Selasa, 11 Januari 2011

esai

Iklan atas Nama "Pajak Dosa"
Oleh: S.Jai


(Harian Bhirawa, Senin, 10 Januari 2011)


Banyak jalan menuju Roma. Peribahasa ini tampaknya betul-betul ampuh untuk dunia iklan kita pada zaman sekarang. Salah satunya, iklan rokok-salah satu dari tiga barang (alkohol, etanol) yang dihalalkan UU Nomor 11 Tahun 1995 jo UU Nomor 39 Tahun 2007 setelah membayar sin tax alias "pajak dosa."

Saya membayangkan bilamana koran ini memuat iklan rokok dan kemudian beredar dan dibaca masyarakat di kawasan yang dilarang Perda Kawasan Tanpa Rokok di Surabaya, secara kritis sebetulnya bisa dipersoalkan. Apakah yang disoal pabrik rokoknya, penerbit korannya, atau mungkin lopernya. Akan tetapi orang cenderung malas menyoal, terlebih hanya perihal penegakan implementasi Perda Kawasan Tanpa Rokok.
Nah, sebagai contoh, tahun 2010 ditutup dengan peristiwa pada 9 - 12 Desember lalu digelar Pasar Rakyat yang terpusat di Balai Kota Surabaya sebagai puncak dari promosi produk-produk mikro-kecil unggulan dari 31 kecamata sejak Nopember lalu. Program Pemkot Surabaya bertajuk Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat "Pahlawan Ekonomi Surabaya," nyata-nyata menggandeng pabrik rokok PT HM Sampoerna.

Dari sejumlah pemberitaan pernyataan Walikota Surabaya Ir Tri Rismaharini MT maupun Director External Relations, Communications and Contributions PT HM Sampoerna Tbk muncul kesan inisiatif program tersebut datang dari PT HM Sampoerna dan bukan dari Pemkot Surabaya. Hal ini disayangkan, padahal semestinya terkait dengan kebangkitan usaha-usaha kecil adalah tugas pokok Pemkot Surabaya. Dengan kata lain, sebetulnya pola pikir beriklan dari perusahaan rokok gayung bersambut dengan program yang memang tak secara spesifik dicanangkan Pemkot Surabaya.

Tak hanya sekali dua kali, perusahaan rokok bersama-sama beriklan rokok menggandeng Pemkot. Program peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah, misalnya (yang artinya hal ini mencakup kawasan pendidikan yang dilarang beriklan menurut Perda Kawasan Tanpa Rokok) Pemkot Surabaya digandeng lagi PT. HM Sampoerna bersama Sampoerna School of Educationnya. Program yang berjalan hampir dua tahun belakangan dan berakhir Maret 2010 itu mencakup 90 kepala sekolah dan 2.270 guru di tiga daerah termasuk Surabaya.

Belum lagi, iklan berjalan Peduli Sejarah yang dirilis PT HM Sampoerna melalui House of Samporna bertajuk Bus Surabaya Heritage Track yang dirilis 9 Juni 2009 lalu. Seperti program yang lain Pemkot Surabaya pun antusias "sambil menyelam minum air" mendukung Surabaya sebagai tujuan wisata di 164 bangunan cagar budaya dan sejarah Kotanya. Walikota Drs Bambang DH ketika itu, mengakui perlu dukungan dari berbagai pihak untuk promosi cagar budaya yang ada di Surabaya. Pencitraan dari dunia iklan pada program ini seakan mempertegas bahwa perusahaan rokok pun merupakan aset bangsa yang perlu dilestarikan, di balik kepeduliannya pada (bisnis) dunia pariwisata budaya.

Melihat fakta-fakta tersebut, bagi warga yang peduli pada keseriusan perlindungan kesehatan dari bahaya asap rokok dan ancamannya pada anak-anak sejak era Drs Bambang DH hingga Ir Tri Rismaharini MT, terus terang menjadi was-was. Terlebih selain, Pemkot Surabaya belum menunjukkan keseriusan dalam implementasi, perda dan bahkan terkesan lepas tangan, didapati kenyataan sebelum menjabat Walikota, Ir Tri Rismaharini MT justru melakukan tindakan yang kontra produktif yang mempengaruhi sikap, kualitas dan karakter kebijakan Pemkot Surabaya terhadap penegakan Perda Nomor 5 Tahun 2008.

Lagi-lagi Pemkot Surabaya melalui Walikota sebelumnya, Drs Bambang Dwi Hartono bekerja sama dengan PT HM Sampoerna. Ketika itu, Ir Tri Rismaharini MT masih selaku Kepala Badan Perancang Pembangunan Kota (BAPEKO) Surabaya. Hanya selang empat bulan sejak Perda disahkan DPRD Kota Surabaya, Pemkot malah mengawali membuat perjanjian Nomor : 028/CLD.CRO/HMS-Pem.Kot.Sby/III/ 2009 Nomor : 415.4 / 973 / 436.2.3 / 2009 dengan PT HM Sampoerna. Isinya, kesepakatan untuk pengadaan Ruangan Merokok yang wajib dimiliki setiap Kawasan Terbatas Merokok sebagaimana diamanatkan Perda. Apalagi, nilai nominal dari kesapakatan kesepahaman dengan PT HM Sampoerna sebetulnya tidak banyak, hanya Rp. 384.045.226 untuk 4 (empat) Ruang Merokok tipe standar, 2 (dua) di Balai Kota Surabaya dan 2 (dua) di Bapeko.

Artinya, perjanjian ini dibuat pada saat Perda Nomor 5 Tahun 2008 pada tahap sosialisasi, dan justru semangat awal dari dicetuskannya ide untuk penegakan perda yakni guna meningkatkan derajat kesehatan warga kota Surabaya, mendapat counter tindakan klise dari Pemkot yang berada di bawah bayang-bayang industri rokok.

Memang dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008 tak disebutkan Pemkot Surabaya dilarang menjalin kerjasama dengan perusahaan rokok. Kawasan lingkungan Pemkot Surabaya pun termasuk Kawasan Terbatas Merokok, walaupun sebetulnya telah dikoreksi oleh Undang-Undang Kesehatan yang terbaru Nomor 36 Tahun 2009 sebagai kawasan tanpa rokok.

Meski demikian sebetulnya "nuansa" mengurangi ruang gerak industri tembakau itu sangat dominan pada perda. Lagi-lagi, demi menjaga konsistensi pemerintah dalam mengawal perda KTR/KTM sebaiknya hal yang bisa menumbuhkan ketidakpatutan politik itu bisa dihindari Pemkot Surabaya. Hal ini berarti, demi menjaga kepatutan dan menjunjung etika politik pemerintahan yang berkualitas dan berkarakter, semestinya Pemkot Surabaya tak selayaknya bekerjasama dengan Perusahaan Rokok, atas nama kepentingan apapun. Hal yang sama diberlakukan pada sejumlah Kawasan Tanpa Rokok yang dipersyaratkan oleh Perda Nomor 5 Tahun 2008.

Sudah menjadi rahasia umum, hampir tak ada kerjasama perusahaan rokok dengan pihak kedua yang kasat mata berhubungan langsung dengan kepentingan industri rokok. Pertama, di bidang pendidikan dalam program pemberian beasiswa kepada pelajar berprestasi maupun pelajar dalam keluarga kurang mampu secara keuangan. Kedua, di bidang olahraga dalam program sponsorship. Ketiga, di bidang microfinance dalam program pemberian kredit usaha, yang semuanya tidak berhubungan secara langsung dengan produk rokok, malah dirasa menganggu.

Terhadap pelbagai kenyataan tak seriusnya Pemkot Surabaya dalam implementasi Perda KTR-KTM, keberadaan Tim Pemantau yang apa adanya tanpa panduan praktis penegakan, aparat Penegak Pegawai Negeri Sipil yang terbatas, masalah anggaran, maka sudah saatnya kini, elemen masyarakat yang peduli, meminta kembali DPRD Kota Surabaya untuk duduk bersama hearing dengan Walikota Surabaya guna memastikan sikap Eksekutif maupun Legislatif terhadap implementasi Perda KTR. Sekaligus untuk mengetahui kejelasan kerjasama eksekutif dengan perusahaan rokok. ***

(Penulis adalah peneliti pada Center for Relegious and Community Studies Surabaya.)