Revolusi atas Dominasi Integritas Individual
Oleh S.JAI*)
Bali Post, 20 Maret 2011 atau
http://epaper.balipost.com/2011/03/20.html
Judul buku : Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang
Penulis : F. Aziz Manna
Penerbit : Diamond, kerjasama DKJT, FS3LP, CeRCS
Cetakan : Pertama, November 2010
Tebal : 116 halaman
SALAH satu subtansi teks yang membangun realitas sastra adalah pandangan dunia. Penyair menggunakan mata pandang yang meledakkan segenap daya indranya untuk tujuan itu.
Karena itu mempertanyakan “realitas sastra,” berarti membuka diri dalam suasana pengembaraan terkait pandangan dunia penyair atau komunitas puisi itu hidup. Dengan demikian, memposisikan diri penyair selaku intelektual atau cendekiawan yang memantik gagasan baru keilmuannya di bidang sastra adalah suatu keniscayaan.
Bahwa penyair memandang realitas sastra sudah pada persoalan visi dan ekspresi—sebagaimana Ibnu Chaldun mendefinisikan visi sebagai “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”
Amat menarik menelisik sudut pandang “kami” yang dipakai penyair F Aziz Manna dalam hampir keseluruhan sajak-sajak yang terkumpul Siti Surabaya, dan Kisah Para Pendatang, November 2010.
Lihat salah satu sajaknya berjudul Jagir berikut: …kau anggap kami pengganggu, perusuh, kau perlakukan kami seperti benalu, seperti panu, kau siram kami dengan siksa agar segera musnah, kau pangkas, kau gosok-gesek dengan ampelas agar nampak halus dan mulus, kehadiran kami bagimu hanyalah pengganggu, perusuh seperti kadas, kudis, kurap, kutil, jerawat, kami laknat dilaknat, tapi akar kami kadung menjalar, liar melingkar-lingkar, akar yang lahir dari kisah perlawanan, penggusuran, pembantaian,…(hal 61)
Tentu ini sebuah revolusi sajak dari suatu pengalaman personal, subjektif yang selama ini telanjur menguasai mainstream sejarah puisi kita, yang puncaknya diteguhkan kelompok di sekitar Chairil Anwar dan penganutnya.
Hal ini sebelumnya telah diprediksi dengan baik oleh Edgar Du Peron—sastrawan Belanda keturunan Prancis Kelahiran Jatinegara, saat itu Du Peron mengomentari perdebatannya dengan Sjahrir perihal rumusan konsepsi sastra sosialis-realis dari Eropa menjadi Indonesia.
“Apabila Indonesia menemukan sendiri seorang penulis besar yang mampu memberi bentuk pada bahasa Indonesia, itu lebih baik,” katanya. “Akan tetapi,” lanjutnya, “Jika kekuatan dalam bahasa itu datang melalui ‘para penutur cerita’ yang mampu menangkap imajinasi public dan luas dibaca orang, maka tak ada alasan untuk cemas.”
Maka, daya ledak sudut pandang “aku” Chairil Anwar dan pengikutnya bernasib baik dalam sejarah sastra, puisi kita hingga sekarang. Yang tak lain berakar dari konsepsi “internasionalisme” sebagai identifikasi estetika modernis eropa, yang meletakkan tanggungjawab dan integritas seniman secara individual sebagai di atas segalanya. Inilah cikal bakal humanisme universal yang diadopsi dari “temuan kami, barangkali tidak selalu orisinil”-nya Surat Kepercayaan Gelanggang dalam “menemukan manusia.”
Mata pandang sebagai pisau analisis atau teknik dan metode dalam pergulatan menemukan manusia inilah yang oleh Aziz Manna direvolusi habis dari “aku” menjadi “kami.” Setiap puncak pencapaian ilmu pengetahuan musti berbuah keragu-raguan, dan saat itu penyair mengembalikannya pada tataran yang murni, asali, sublim: mitos atau religi. Puisi menjadi sangat religius—sebagai laku religius lebih bertitik tolak pada proses menjadi, lahirnya dan seluruh takdirnya yang mendarah daging, meruang dan mewaktu padanya dalam pengertian yang rohaniah.
Pada sajak Kota Percakapan yang meminjam Kota-Kota Imajiner Italo Calvino dengan konteks spirit Surabaya yang lebih baru. kau membaca kota-kota imajiner calvino seperti sebuah kehidupan nyata, “tapi kota ini memang nyata,” katamu, “meski nyata dalam benak, tapi nyata,” kami hanya mendengar kisah kota imajiner itu dari mulutmu, hanya mendengar kisah rekaan yang kau baca seperti membaca sebuah kehidupan nyat, kau yakinkan kami bahwa sebuah cerita adalah kehidupan nyata tapi kami pikir itu hanya bualanmu agar kami melupakan hidup kami sesungguhnya,… (hal 111)
Meski demikian puisi tetaplah suatu dunia penuh misteri. Sebagaimana tak takjawab teka-teki misteri penyair ini ketika menulis sajak Lagu Orang Usiran. Menyimak sajak tersebut, terungkap keuniknya, Aziz Manna seakan menyentil ingatan kita pada Chairil Anwar tanpa kepastian maksudnya. (Chairil pernah menggunakan judul yang sama saat menterjemahkan sajak WH Auden tentang pengusiran orang Yahudi oleh Hitler). Dalam sajak Aziz: tidak ada yang lebih kuat dibanding kami yang tidak memiliki apa-apa, yang terenggut harta bendanya, yang dulunya bernapas di jantung kota lalu terjengkang, tersuruk di pinggiran, di kekumuhan, di mulut-mulut sungai, mulut sungai yang seperti lobang kakus, lobang kakus yang menjulur ke anus-anusmu, anus yang menyemprotkan kotoran ke rumah kami, ke depan meja makan kami.
Aziz mempertegas puisi ditakdirkan lahir dari pengalaman religius penyair. Akan tetapi ia sadar pengalaman religius penyair itu secara rohaniah tak bisa ditranfer, dikomunikasikan kepada orang lain karena sangatlah personal. Karena itu yang dituliskannya hanyalah “suatu” puisi. Menulis puisi bagi penyair berbeda dengan ketika Tuhan menciptakan manusia. Aziz sadar, bahwa manusia, penyair bukanlah satu-satunya yang berhak memfetakompli mendapatkan pengalaman religiusnya. Kesadarannya ketika menulis puisi berada pada situasi seperti itu.
Lantas, ia tak sudi menyombongkan diri, terlebih berbuat jahat: jangankan kepada umat manusia, pembaca, kepada puisinya sendiri saja ia tak sudi lakukan itu. Sebagai penyair ia tak memiliki harapan lebih kepada puisi-puisi yang dituliskannya melampaui takdirnya dengan mengkomunikasikan pengalaman religius kepada orang lain. Bahwa puisi dalam realitas keseharian tidak sendiri, seperti halnya puisi yang terus tumbuh, jiwa-jiwa yang menatap kilatan pelbagai citra realitas pada fiksi pun terus berebut mendapatkan pengetahuan yang ia rindukan.
Barangkali yang lebih tepat, penyair ini memperlakukan puisi-puisinya, juga meminta para pembacanya, untuk menempatkankan sekadar sebagai doa—wahana untuk menjadikan kita tak menjadi seorang yang sombong di dunia, terlebih di hadapan sang pencipta, ketika kesombongan kini bersimaharajalela. []
*) Penulis adalah kepala bidang seni budaya Center for Religious and Community Studies, Surabaya