Para Perempuan Perkasa
Sebuah Refleksi Hari Kartini
(Radar Surabaya, 21 dan 22 April 2011)
Oleh: S. JAI
“Aku tak tahu sampean datang dari mana? Tiba-tiba kok bisa mengetuk hatiku.
Aku merasa terpuji. Aku merasa hidup kembali.”
(Bu Sri, 65 tahun—“ibu” dari para PSK dalam drama Rembulan di Atas Kremil)
PEREMPUAN itu misteri sekaligus obsesi. Misteri—yang termaktub di dalamnya obsesi dan inspirasi—perempuan tak habis hingga dunia keseharian kita, kini.
Kisah seorang ibu yang mengasuh anak macan di Kebon Binatang Gembiraloka pernah ditulis apik, menyentuh bahkan amat manusiawi oleh Sindhunata. Ibu yang sehari-hari bertugas menyusui, memberi makan serta mengasuh anak-anak macan itu, sungguh menganggap “mereka” anak-anak sendiri. Dia namai anak-anak macan itu, dia ajak bicara, dia ajak bermain laiknya momonganya sendiri.
Betapa hubungan yang memperkaya ruang batin ibu dengan anak sering mengispirasi kisah-kisah kemanusiaan, tumbuh dan dikembangkan, sebagai pintu menuju kisah-kisah kemanusiaan yang maha luas, merambah pelbagai ranah sosial, ideologi, budaya, politik, lingkungan dan sebagainya.
Mak Mursinah, pemilik kedai di depan Kampus Unair, Jalan Airlangga selama berpuluh tahun menjadi ibu bagi ratusan mahasiswa Unair langganannya. Ia tunjukkan—kasih sayangnya laiknya kepada anaknya sendiri—dan mengispirasi banyak mahasiswa-mahasiswa yang kemudian menjadi “orang”, mulai dari guru, wartawan, penyair, maupun pegawai kantoran yang lain. Bahkan diantara mereka yang telah menjadi “orang” masih kerap bertandang—beberapa diantara mereka justru ada yang menjadikan Mak Mursinah sebagai objek penyusunan skripsinya.
Sepeninggalan suaminya kurang lebih 10 tahun lalu, Mak Mursinah menjadi satu-satunya nakhoda rumah tangga. Dua anaknya, perempuan memiliki anak satu dari hasil perkawinannya yang gagal. Lalu, seorang lagi berkat kegigihan Mak Mursinah melobi pimpinan Unair, bisa kuliah dan mengambil jurusan Teknik Perpustakaan. Kini pun telah menikah dan menjadi PNS di sebuah Rumah Sakit TNI di Jember.
Pengalaman batin Mak Mursinah diserap tidak saja oleh anak—yang kini salah satunya mewarisi usaha warungnya—tetapi juga oleh sekian banyak orang yang pernah dekat dengannya dan merasa sebagai “anak kandungnya.” Ketika diantara mereka menikah, Mak menjadi informasi satu pintu. Mak memberi petuah, juga mengirimkan “amplop-nya”.” Demikian pula ketika cucunya khitanan, “anak-anak kandungnya” yang lain menjadi undangan utama. Sikap sukarela yang sama diberikan ketika warung Mak Mursinah diobrak petugas Satpol PP.
Dalam kondisi paling kritis, Mak Mursinah seringkali memperlihatkan ketegasannya. Ketika Mak melihat ada indikasi persaingan usaha, Mak pun melawan. Ketika putrinya lolos tes masuk perguruan tinggi, tapi tanpa punya biaya, Mak dengan tanpa sungkan melunakkan hati pimpinan pucuk kampus ternama itu.
Keperkasaan Mak muncul justru saat suaminya telah tiada. Barangkali suaminya turut andil atas kepribadian dan sikapnya Mak. Atau mungkin Mak memang terlahir sebagai perempuan perkasa tertunda karena konstruksi masyarakat kita yang bias gender—menimpakan porsi tanggung jawab yang lebih pada suami tetapi tentu dengan paket keuntungannya tentunya. Keterpaksaan membuat kemampuan kepemimpinan Mak yang lama terpendam muncul kembali.
***
TOKOH Ibunda dalam novel Maxim Gorky layak untuk merinci keperkasaan perempuan dalam menantang badai. Janda seorang montir pabrik, badannya bongkok, rautnya berkerut dan alisnya terbelah oleh bekas luka—korban kekerasan dan caci maki suaminya sepanjang pernikahannya. Anak semata wayangnya terbebas dari kebiasaan buruk para buruh, kekerasan dan alkohol. Dia gemar membaca dan diskusi—sesuatu yang dilarang pada zaman Tsar. Kegiatan itu lantas mendorong ibunda yang semula buta huruf untuk belajar membaca. Keikhlasan ibunda untuk belajar, sadar pikir, kepekaan pada perasaan positif atas anaknya, adalah modal ibunda mendampingi anak-anak sebagaimana anaknya sendiri demi pencarian kebenaran dan perubahan. Bahkan pada saat-saat sulit sekalipun.
Pada titik ini cinta ibunda terhadap anak semata wayangnya mengalami trensedensi menjadi cinta bagi anak manusia. Tokoh ibunda dalam novel Maxim Gorky juga menginspirasi sebagian besar tokoh perempuan dalam novel-novel Pramudya Ananta Toer untuk melabrak segala bentuk pranata yang berbau militer, Jawa, dan Orde Baru akibat dendam padanya—yang juga menginspirasi tak sedikit aktivis perempuan di negeri ini. Pramudya tak pernah tertarik pada kisah berbau seks, situasi yang sesungguhnya menafikan diri perempuan. Akan tetapi sangat mungkin justru karena Pramudya tidak pernah terbenam dalam energi seks yang traumatik. Tokoh memikat seperti Annelies, misalnya dalam Bumi Manusia, oleh Pramoedya justru dibunuh dalam perjalanan kembali ke Nederland.
Lantas apa misterinya dari seks pada perempuan? Berbeda dari Pramoedya, pengarang yang sangat cemerlang Paul I Wellman, melihat potensi seks sebagai sesuatu yang luar biasa kekuatannya. Pada novelnya Wanita, yang bersetting di Romawi pada abad-abad permulaan, Wellman menyusun biografi perempuan bangsawan yang mengawali karirnya dari dunia hitam. Theodora adalah pelacur muda di Konstantinopel. Dia sangat cerdas, pemberani, dan setia. Sifat-sifat itu membawanya dari lumpur jalanan Konstantinopel sampai ke puncak kemaharajaan. Kecerdasan dan ketegasannya selalu menyelamatkannya. Dia pernah dibuang dari Konstantinopel, lalu sekali lagi diusir sehingga terpaksa mengarungi keganasan Sahara. Namun, perlahan tapi pasti, Theodora membawa dirinya kembali ke Konstantinopel. Tapi tidak lagi sebagai pelacur, melainkan sebagai maharani.
Dunia hitam yang digambarkan Wellman sarat dengan problematika kemanusiaan, dan Theodora berhasil menjadikan dendam akan kepedihan pengalaman seksualnya membara dalam konteks yang lebih luas: politik dan kekuasaan dengan segala intriknya. Yang menarik dari tokoh ini, tampaknya pengarang sejalan dengan teori Sigmund Freud bahwa yang paling mendasar dari keberlangsungan hidup manusia adalah insting seksual dan agresi (id) sementara ego dan superego hanyalah berfungsi sebagai penyeimbang.
***
SEPERTI halnya Theodora yang kuasa menyeimbangkan insting-insting dengan kemampuan ego dan superego-nya, Bu Sri, menjadi “ibu” bagi anak-anak asuhnya para pekerja seks komersil di Kremil, Bangunsari Surabaya. Sangat mungkin telah melampaui tahap keseimbangan masa silamnya sebagai pelacur dalam upaya untuk menatap pelbagai realitas masa depan.
Sebagian besar “anak-anak” Bu Sri adalah korban dari brutalitas seks kaum lelaki. Dalam kontek yang lebih luas, Bu Sri selaku ibu dari mereka, menjaga kualitas jiwa yang sepenuhnya bertanggung jawab pada sisi kemanusiaan dalam diri untuk tidak seterusnya menjadi korban, terpinggirkan, tersingkirkan, terlupakan. Setidaknya peran Bu Sri telah turut menghancurkan endapan-endapan tekanan superego yang membuncah, yang tertutup kulit kerak dan menjelma menjadi kegagalan aktulisasikan diri. Proses penghancuran superego dalam dirinya tentu saja demi mengkonstruksi kembali tafsir baru normalisasi ego dengan bangunan pondasi yang lebih realistis dan rasional.
Amat jarang dibicarakan kualitas seksual perempuan apakah berbanding lurus atau terbalik dengan daya survivalnya dalam kehidupan nyata yang lebih kompleks. Yang sering terjadi adalah, masyarakat menggunakan ’standar laki-laki’ untuk menilai dan mengendalikan daya seksual perempuan.
Yang kerap kali terjadi adalah peran khusus perempuan dalam hal hamil, melahirkan, menyusui maupun dalam hubungan seks dilihat bukan sebagai kekuatan, melainkan sebagai kelemahan dan justru mempersempit subtansi keperempuanan yang tidak dilihat sebagai suatu fitrah adi kodrati demi kelestarian umat manusia di bumi. Bahkan tak jarang daya survival perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang tinggi oleh kaum lelaki dinilai sebagai konsekuensi akibat fungsi seksualnya yang abnormal.
Di kampung saya dekat hutan jati Lamongan selatan berbatasan dengan Kabupaten Jombang, ada seorang janda tua yang kaya. Namanya Mutmainah. Mulanya di kampung itu ia cuma seorang pendatang dari Bojonegoro yang bermaksud mengadu nasib. Maka Mutmainah, pemeluk Islam yang teguh itu, mengawali hidup baru di kampung tersebut.
Dalam perjalanan waktu Mutmainah menikah sampai empat kali dengan empat lelaki, dan bersama seorang diantaranya Mutmainah kemudian melahirkan seorang putri. Tetapi tak satupun keempatnya yang bertahan hidup bersama. Mutmainah memilih terus menjanda. Hebatnya, ia bangun kerajaan keluarga dengan empat buah rumah dari kayu jati mahal dengan sendirinya. Bidang usahanya meluas dan banyak orang bergantung hidup padanya. Akan tetapi Mutmainah tetap pula menjanda.
Dari sejumlah kisah perempuan itu, tentu di mata saya, menjadi sangat berbeda bila saya musti mengisahkan kekaguman pada sosok perempuan dalam diri ibu saya. Meski sangatlah subjektif karena pastilah semua umat manusia punya ibu, namun bangun superego dari sosok ibu relatif lebih kukuh bagi putra-putrinya, terlebih bila disangga oleh kehidupan sehari-hari seorang ibu yang perkasa dimata anak-anakknya, berjuang demi masa depan anak-anaknya, sehingga juga lebih gampang bagi putra-putrinya untuk melihat ke dalam cakrawala yang lebih luas secara manusiawi.
Sudah barangtentu hal paling akhir ini, perkecualian bagi anak-anak yang dendam pada sosok ibu kandungnya. Saya membayangkan petaka besar nyata terjadi saat diantara mereka para pendendam, memimpin negara ini. Tindakan korup dan pelbagai kejahatan bakal bersimaharajalela dari tangan pemimpin yang tak menjunjung tinggi ruh seorang ibu . Saya yakin akan hal itu. []
*)Penulis adalah Program Advisor pada Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII), Surabaya