Kamis, 28 April 2011

memorial

Bambang Sujiyono, Peletak Fondasi Penghargaan Seni

Sejumput Puisi, Sepotong Inspirasi

(Majalah Seni dan Budaya Dewan Kesenian Jawa Timur, Kidung, Edisi 20)

SETIAP kepergian, tentu orang-orang terdekatlah yang kali pertama merasa kehilangan. Hingga hari ini, BS tetap mensejarah buat orang-orang terdekat, melegenda di kompleks simpang societet. Dan bagi para sahabat yang berpikir sederhana, BS kemudian menjadi mitos.

Sampai detik ini, hanya beberapa butir puisi yang ditulisnya, sedikit cerpen yang diabuat dan beberapa buah drama saja dipertontonkan pada khalayak. Tapi, yang sedikit itu justru telah mengukuhkan pandangan dunianya terhadap estetika seni. Begitu kuat kesan akan hal itu.
Saya beruntung sempat membaca sebuah cerita pendeknya di harian Surabaya Post. Mungkin itu satu-satunya. Sialnya justru karena itu, terlupakan di benak saya judul maupun jalan ceritanya—betapa bodohnya saya.

Saya beruntung bermain dalam sedikit drama BS, melatih kepekaan jiwa, indra, ingatan, juga menggali emosi di sebuah hutan buatan dekat Malang. Bersama kawan-kawan di Bengkel Muda Surabaya (BMS), BS mengisi kualitas fisik kami pada seorang guru silat teratai putih di dekat terminal Joyoboyo.

Di luar lingkaran orang terdekat, kami perlu perjelas BS, pria kelahiran Ponorogo 13 Pebruari 1948 itu adalah Bambang Sujiyono.

Lantas, yang ini tak terjadi pada lainnya: saya beberapa kali diminta BS menjadi editor, atau mengkritik puisinya sebelum dikorankan. Meski saya yang saat itu mahasiswa sastra Indonesia di Unair, bukan satu-satunya editor atau tukang timbang kritik. Belakangan, sepengetahuan saya peran yang sama dilakukan Roesdi Zaki, seorang redaktur sastra koran Surabaya Post yang bertangan dingin kala itu.

Ada sepenggal puisi BS yang tersimpan di catatan harian saya, seperti ini:

Untukmu Maumere/Kukirim berita/Tentang ribuan orang/Yang menyisihkan uang/Bagi ribuan orang/Yang malang dan ditimpa bencana/Tapi, apa yang mereka sisihkan/Tak sampai/Terhalang tangan angkara,/Mencengkeram/Berlaksa wajah prihatin/Ooo.../Bencana di atas bencana/Keserakahan menari di atas kemalangan/Untukmu Maumere/Kukirim berita…

Sejujurnya, sepotong puisi ini menambah pelik gejolak pikiran saya yang sedang bergolak waktu itu—disatu sisi sebagai mahasiswa dengan idealisme sastra murni, dan di sisi lain kenyang materi kuliah sosial politik. Ketika itu, sikap kesenian BS, cuma sedikit bisa saya tangkap dari rekaman bahasa puitik puisi tersebut.

***
DI KEMUDIAN hari puisi itu bagian penting drama, Geger Ngoyak Maling yang disutradarai BS. Drama yang menggugat sebuah media besar di Surabaya yang disinyalir menilep dana bantuan kemanusiaan untuk korban bencana tsunami di Maummere. Dana dari masyarakat pembaca koran itu mencapai Rp 1,3 miliar rupiah.

Maumere terletak di wilayah Flores, Nusa Tenggara Timur. Bencana tsunami menyerang kawasan itu pada 12 Desember 1992. Menurut catatan, akibat musibah itu memakan korban kurang lebih 2.000 jiwa dan merusak sekitar 18.000 rumah. Tsunami terjadi akibat gempa bumi berkekuatan 6,6 pada skala Ricter juga menyerbu P. Babi dan Pamana. Bahkan di wilayah tertentu garis pantai bergeser 20 sampai 50 meter ke daratan.

Saya beruntung karena menjadi aktor penting drama tersebut.

”Korupsi masih punya hati, tapi mengkorup atas hak orang menderita, itu biadab betul,” begitu kira-kira ucap BS kala itu.

Pada salah satu kesempatan latihan, BS membeber konsep penyutradaraan Geger Ngoyak Maling. Bahasa ucapnya sangat sederhana, gamblang, nyaris tanpa simbol yang rumit.

(Di kemudian hari saya tahu BS terinspirasi drama Geger Ngoyak Macan karya salah satu penggagas gerakan sastra kontekstual, Emha Ainun Nadjib lebih sepuluh tahun sebelumnya. BS maupun Emha memang sangat dekat).

”Pakai topeng,” kata BS. ”Ya, perempuan penari dalam drama ini, bertopeng, pakaian merah menyala, menari sesuka hati seperti pelacur.”

”Pelacur? Mengapa pelacur?” celetuk seseorang.

”Itupun tidak cukup. Saya tidak bisa maafkan kebiadabannya. Dimana hati nurani bagi yang mengeruk uang dari hak korban kemanusiaan?” ucapan ini sudah saya mampatkan dari gelora emosi BS, kala itu.

BS menyebutnya ini aksi seni keprihatinan. Lantas dibuatlah instalasi. Gedung Bengkel Muda Surabaya ditutup kain hitam penuh dan dijepit kawat-kawat, simbol bela sungkawa atas tragedi kemanusiaan selama beberapa hari.

Seingat saya itu terjadi pada minggu pertama bulan Juni 1994, gedung itu benar-benar ditutup kain hitam. Selain duka, ada perasaan gelap yang menutup bagian hidup saya.

***
MALAM drama Geger Ngoyak Maling tak menggegerkan ingatan saya. Malam mencekam dengan sorot lampu merah menyala. Musik kentrung dipadu rock. Ada syair-syair, lalu puisi dan dari disusul pernyataan sikap. Juga seruling ditiup melengking dan panjang dan sekawanan pemuda melayangkan yel-yel perlawanan.

Kisahnya, Mat Koja seorang pendekar si tulus hati dari Selobintana yang disegani karena keahliannya menangkap pencuri dari segala lapisan tanpa pandang bulu. Ia jadi kesulitan ketika yang menjadi pencuri ternyata adalah bayangannya sendiri. Maka puisi itu pun hadir dalam peristiwa teater penyadaran.

Memang semuanya terlampau biasa. Yang diluar kebiaaan adalah di tengah pertunjukan dengan audien, penonton seolah untuk sama-sama sadar diri betapa kemanusiaan telah hilang nilainya oleh uang. Betapa malang korban musibah di Maumere karena hak-hak mereka dipenggal oleh tangan orang yang setiap hari tampil dengan murah senyum.

Sayalah, aktor itu, yang menarikan tarian menjijikan, dandanan seronok seorang yang melacurkan harga diri. Saya tenggelam dalam selendang kertas bertuliskan NW, wanita pemimpin media massa terbesar di Surabaya. NW, saat itu jelas siapa yang dimaksudkan.

Sehabis drama, ada drama lagi: sebuah insiden. Seseorang, sebut saja DI, malam itu datang dan mengajak berdamai sang sutradara. BS menolak dan menyelinap keluar gedung pertunjukkan di Dewan Kesenian Surabaya. Begitulah, teater tak bisa dihentikan. Aktor, Sutradara, penonton telah sama-sama menjadi pemain dalam teater penyadaran itu.

***
BS sangat menghargai proses yang mengutuhkan teater.

Suatu hari , dari sebuah kamar penginapan depan terminal Pulo Gadung, Jakarta, seluruh awak panggung dari BMS ini, dibekali uang receh kertas limaratusan.

“Karena aksi kita ini memperjuangkan kemuliaan, alangkah baiknya bila kita mulai dengan kemuliaan pula,” demikian kesan yang saya tangkap dari pesan moral BS. “Uang ini harus kalian dermakan kepada kaum miskin, pengemis dan gelandangan. Ini amanah.”

Dari trem Jabotabek kota yang sumpek itu, seorang pengemis buta yang pura-pura menyuarakan nyanyian dari kotak kecil karaoke buatannya, jadi rebutan mata pandang kami.

Rupanya penyair Arief B Prasetyo, lebih dulu menyantap pengemis buta itu, seakan berkata, “akan kujadikan kau sebuah sajak penting di dunia ini.” Begitulah akhirnya lahir sebuah sajak Impian Dalam Trem karya Arief B Prasetyo. (Selanjutnya terkumpul dalam Kami di Depan Republik oleh Kelompok Seni Rupa Bermain). Jadi saya pastikan darah yang mengalir dari sajak itu adalah darah pengemis yang buta).

Pada , 15 Juni 1994 ke rumah rakyat BS membawa kami, para awak Geger Ngoyak Maling. Kami bentangkan poster kecaman. Diantaranya “Kembalikan Sumbangan Rp 1,3 M Kepada yang Berhak,” “DI dan NW, Dimana Nuranimu?” “Koranmu Hanya Kedok Kejahatanmu,” “Maumere Bukan Ladang Ganja.” Tak ada peristiwa benar detik-detik itu kecuali bunyi rebana, terbang, seruling dan nyanyian tanpa judul.

Keesokan harinya, sudah diduga, tak satupun koran ibukota memuat berita aksi solidaritas. ”Semua koran sudah di bawah pengaruhnya, dan koran kecil tentu nggak punya keberanian melawan,” BS menyakinkan.

Satu-satunya koran yang berani memuatnya adalah Koran Angkatan Bersenjata.

***

DARI Senayan ke Tanah Abang hanya beberapa menit bila ditempuh dengan naik angkot. Lebih cepat bila menumpang taksi. Ada sebuah gang di sana yang dihuni sutradara, penulis skenario film dan pemimpin Teater Populer, Teguh Karya. BS menyeret kami berguru padanya.

”Di sini, kemarin sore ada puluhan pemulung. Mereka diundang untuk bicara banyak perihal diri mereka sendiri,” ujar Teguh Karya.

Katanya, mereka diundang demi penggarapan sebuah film cerita.

“Oh, begini rupa rasanya sikap seniman terhadap kemiskinan,” pikir saya yang langsung terlempar sikap serupa pada BS.

Seperti biasa, BS berpesan untuk menjaga integritas moral dan etika, serta membiasakan diri untuk tidak menyusahkan orang lain. Terlebih selaku tamu.

Sementara Teguh Karya bicara di sela asap rokok dan secangkir kopi susu tentang banyak hal, utamanya bagaimana sebaiknya menjadi seorang aktor. Buat Teguh, persoalan teater sebenarnya persoalan tentang hidup. Hidup harus dilakoni dengan tatag, titis, tutug (Berani, cermat dan tuntas). Hidup harus dihadapi dengan berani ambil resiko, tahu kemampuan diri dan bertanggungjawab sampai tuntas.

Menjadi aktor dalam teater sama halnya menjadi lakon dalam kehidupan nyata. Aktor harus pandai bergaul dengan kehidupan karena dengan demikian hidupnya akan realistis. Begitulah, sang sutradara banyak bicara tentang hidup.

Malam itu rombongan tidur di pendopo. Pulas cukup dengan tikar. Hanya beberapa mata berkedip. Begitu mata terbuka; nasi goreng, kopi susu, dan Teguh Karya sudah lebih dulu berpikir di depan meja.

Malu rasanya.

***

SAYA menjadi kian tahu sikap kesenian BS, dengan mengerti orang yang dia kagumi: Rendra—utamanya, saat membebaskan trauma psikologis akibat reaksi ulah Lekra mencampuradukkan seni dan politik. Menjejak Rendra, BS tak lagi mengharamkan itu. Terbukti awal kiprahnya, 1972, BS menggelar aksi “Solidaritas Keprihatinan Seniman Muda Surabaya” atas mahalnya harga beras.

Maka menyempatkan bertandang ke Cipayung Bogor, di Bengkel Teater Rendra bagi BS adalah fardlu ain.

Tempat itu lebih menyerupai padepokan ketimbang komunitas teater. Ada kandang ayam, gubuk reot dan ladang gersang. Kami dijamu dengan nasi lodeh dengan lauk ikan asin, plus, harus mencuci piring bekas makannya sendiri.

Rupanya, ini cuma sepercik cermin sikap hidup kegagahan dalam kemiskinannya yang ditanamkan Rendra pada anak buahnya: Ikan asin dan piring kotor, dan tentu saja perhatiannya pada alam, ladang, kebun, lereng, perbukitan, binatang piaraan dan angin.

Sepanjang perjalanan pulang, selepas menikmati derit lokomotif, kawat-kawat elektris, lalu peron, bangku-bangku yang bosan, saat keberangkatan, foto bersama di pelataran masjid istiqlal berlatar belakang menara Monas, saya telah tahu rupanya begitu menusuk nurani penyair Arief B Prasetyo.

Juga bayang jiwa sang Burung Merak yang menjadi cinderamata sajaknya. Lihatlah sajak: Di lobby rumah rakyat itu, engkau mengecupku seraya berkata: “ada anak burung terjatuh dari sarangku. Maafkan aku mencintainya, ternyata.

Ah, punya siapa sebagian deret puitika itu, kecuali punya Rendra?

Beberapa hari kemudian, saya mencoba kembali mengingat wajah-wajah awak Bengkel Teater Rendra. Sebab terbetik kabar sebagian dirusak dan dilumpuhkan polisi saat aksi menentang pembredelan pers Tempo, Editor dan Detik 21 Juni 1994.

Saya gagal mengingatnya.

***

PADA 1 Oktober 1994, pukul 19.00 wib, seniman dan aktivis punya hajatan Seratus Hari terbunuhnya tiga media besar di negeri ini di Balai Pemuda. Ada dari Solo Kelompok Tanggap dan Sanggar Sukabanjir yang dipelopori penyair Wiji Thukul, Mahasiswa dari Universitas Darul Ulum Jombang, dari Lumajang dan Barisan Seniman Muda Blitar, dan Universitas Airlangga, Institut Seni Indonesia Yogyakarta.

Itulah untuk pertama kali saya menyuarakan perlawanan dengan cerita pendek dan pertunjukan teater.

Selanjutnya, muatan idealisme yang kental pula BS mencipta lakon Adu Domba, untuk mencela kebengisan negara adidaya terhadap anak-anak yang teraniaya, perempuan dan kaum tertindas di Chechnya, Pakistan, Afganistan, Irak, Bangladesh, Bosnia dan juga di Indonesia. Lantas, drama Racun Tembakau, dari Anton Cekov yang diapakai mengkritik lemahnya dominasi kepemimpinan dalam sebuah keluarga atau negara oleh kuasa istrinya.

Saya pun terus berkarya. Beberapa tahun kemudian saya melahirkan banyak cerita, juga novel semi otobiografis. Salah satu judul novel itu Gurah, Yang Tak Sempat Dikubur. Sebagian fragmen novel ini dimuat di koran Surabaya Post pada Pebruari-Mei 2005. Pada novel itu ada tokoh bernama Bintang Sakti—tapi saya tak pernah ungkapkan nama itu bisa diperpendek BS.

Dan tulisan ini saya nukil dari sana.

Di Surabaya yang dituntut harus berjalan serba cepat ini, ketika BS meninggal dunia pada Jumat malam 18 Desember 2009, saya tidak bisa turut mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhir, karena saya yang tak sanggup hidup di kota, terlambat menerima kabar.

“Kau boleh pergi, Mas Bambang. Tapi sejumput puisi tak pernah betul-betul enyah dari tubuh dan tempat ini.”[S.JAI]



BIODATA

Nama:
Drs H Bambang Sujiyono SE (alm)

Tempat/Tgl Lahir:
Ponorogo, 13 Pebruari 1948

Pendidikan:
UPN Veteran Surabaya
Akademi Bank Indonesia Yogyakarta

Alamat:
Jl. Garuda 25 Rewwin, Waru, Sidoarjo.

Pengalaman Organisasi:
Pendiri dan Sesepuh Bengkel Muda Surabaya
Ketua Lembaga Seni Budaya Muhammadiyah Jatim
DKS?
DKJT?
Salah satu pendiri FKPPI Jatim
Anggota DPRD Jatim (1997 – 1999)
Pendiri Dewan Maritim Jatim
Pemimpin umum tabloid Indo Maritim
Penasehat ahli Bappeprov Jatim,
Ketua Tim Penghargaan Seniman Jatim (1998-2009)

Prestasi:
Juara Lomba Deklamasi Tingkat Jatim (1972)
Wong Jawa Timur Berpengaruh dari Harian Republika (2005)
Peraih Penghargaan Gubernur Jawa Timur sebagai Seniman berdedikasi (2010)



sumber: http//:www.brangwetan.worldpress.com