Senin, 16 Mei 2011

esai


ILUSI REALISME PRIMITIF TEATER POPULER
Oleh S.JAI*)

(Radar Surabaya, Minggu 15 Mei 2011)

LATAR budaya Jawa dan Sunda pada Sabtu (7/5) dan Minggu (8/5) lalu dihadirkan kelompok Teater Populer dalam pertunjukkan di Ruang Merah Putih Balai Pemuda Surabaya.

Pertunjukkan yang disutradarai Slamet Rahardjo dan digelar dalam rangkaian “Pasar Seni Lukis Indonesia” itu hasil adaptasi naskah Anton Chekov, The Bear dan A Marriage Proposal. Yang pertama diadaptasi Teguh Karya ke dalam latar Jawa sebagai Penagih Hutang dan berikutnya disadur Suyatna Anirun dan Jim Adilimas ke latar Sunda sebagai Pinangan.
Tentu saja menarik mencermati upaya sutradara yang menghadirkan teks ketiga dari naskah yang lahir dari buah pikir sastrawan yang hidup pada kurun menjelang akhir era Dinasti Tsar yang berkuasa selama 304 tahun di Rusia itu. Yakni ketika kekaisaran menjelang senja Alexander III (1894), disusul bangkrut di tampuk penggantinya, Nikolai Alexandrovich Romanov akibat perang dunia pertama.

Diceritakan dalam Penagih Hutang, lelaki kasar bernama Tirto (Kiki Narendra) datang menagih hutang pada janda yang ditinggal mati suaminya, Haryati (Gesata Stella). Haryati yang berduka ditemani pembantunya, Tentrem (Hendro Djarot). Haryati tak mampu bayar, tapi Tirto bersikukuh. Keduanya berseteru hebat namun Tirto luluh melihat kecantikan Haryati dan seketika ia jatuh hati. Haryati pun menyambut, dan soal hutang pun terlewatkan.

Pinangan mengisahkan bujang penyakitan bernama Agus Tubagus (Trisa Triandesa), bertamu hendak meminang Ratna Rukmana (Antie Damayantie), putri dari Raden Rukmana (Aki Zulfikar). Belum sempat terjadi pinangan, mereka terlibat adu mulut tentang kepemilikan toko sepatu. Lantas Raden Rukmana pun mengusir Agus Tubagus. Begitu tahu, Agus bermaksud meminang, Ratna histeris. Agus pun kembali diminta datang. Adu mulut lagi, berkali-kali. Hingga Agus pingsan. Setelah siuman, Ratna menerima pinangan itu dan melupakan toko sepatu yang telah membuatnya berseteru.

Kedua drama itu ditulis Chekov antara1880-1890, saat senjakala monarkhi, dan terbit fajar pengaruh Eropa—utamanya ideologi sosialisme-realisme yang beberapa tahun kemudian dipanjikan Lenin serta dilatari carut-marut pertentangan kubu-kubu masyarakat Rusia yang tak jarang berujung perang saudara.

Sebagai sastrawan yang juga memperkaya aspek sastrawinya di setiap dramanya, Penagih Hutang dan Pinangan berada di dunia antara seperti itu, antara kenyataan maupun harapan dan sudah barangtentu, ketakutan maka terciptalah pelbagai ilusi pada karyanya. Yakni ilusi yang melepaskan dominasi kekuasaan absolute, ideologi-ideologi besar yang memberi kuasa pada pikiran, juga dominasi materialisme atas cinta, imajinasi, intuisi dan insting-insting manusiawi yang justru lebih bermakna ketika sedang bersama-sama.

Inilah yang menjadi titik tolak kecerdasan setiap sastra dari latar drama tersebut. Karena itu latar Jawa dan Sunda dalam kontek kebersamaan yang bergerak tak bisa begitu saja dengan gampang dihadirkan dalam wadagnya. Selayaknya Jawa dan Sunda pun mesti hadir dalam ilusinya, yang dinamis.

Kiranya di sinilah kesulitan besar proyek adaptasi dari naskah gemilang Chekov, jika tak hendak jatuh pada sekadar bentuk Jawa atau Sunda. Dalam bahasa dramawan Rusia Stanilavsky, teater musti digagas dalam sifatnya yang ilusif dengan menyikapi kehidupan ilusif secara tulus dan jujur. Di satu pihak musti jujur, musti menggambarkan realitas (konstekstual) di pihak lain haruslah sebagai teks baru yang penuh harapan.

Maka realisme bagi Penagih Hutang dan Pinangan di satu sisi diamini tetapi di sisi lain dipertanyakan, digugat, disangsikan. Artinya, pertunjukan itu sendiri tak sepenuhnya percaya pada dirinya sendiri.
***

SAMPAI di sini hadirnya Jawa dan Sunda yang secara ideologis senantiasa percaya diri bahkan sombong memberatkan konsep penyutradaraan—sehingga berdampak tak cukup kuat kesan dan gagasan akan hal itu. Perkecualian bila sejak mula disadari betul pertunjukan juga dalam kerangka menyangsikan Jawa atau Sunda.

Ilusi yang berangkat dari niat sangsi itu, sewajarnya termanifestasi pada penokohan. Yaitu tak satupun hadir tokoh yang memiliki kepercayaan (dan keyakinan) terhadap suatu ideologi apalagi yang rasionalistik, bisa kukuh dan menjadi satu-satunya kebenaran mutlak. Sebaliknya, pertunjukan itu menegaskan apapun keteguhan sebuah “prinsip” hidup dapat luluh jika kita saling memahami demi kepentingan bersama. Kebersamaanlah ajang pertarungan antara harta dan harga diri, antara nalar dan insting, antara cinta dan kuasa.

Kemenangan insting, instuisi, perasaan pada katakan ideologi bukan disebabkan oleh waktu, melainkan oleh ruang, tragedi dan demi itu Penagih Hutang dan Pinangan mencoba menyingkapnya tidak dalam drama panjang, melainkan hanya satu babak. Yaitu satu babak dimana pada saat hadir tragedi yang melepaskan manusia dari kondisi keterasingannya manakala kukuh pada ideologi.

Bukankah tragedi datang dan diciptakan untuk merebut pelbagai simpati?

Tanpa tragedi maka manusia hanyalah arogan, terlebih bila telah menguasai realitas dengan ideologi, agama, filsafat, sains yang keukeuh diamini. Penagih Hutang dan Pinangan adalah tragedi dalam kungkungan ideologi, prinsip hidup, nalar Jawa, Sunda untuk mengembalikan manusia pada tataran ilusi dasar yang lebih enjoy, relax, segar: kebersamaan.

Dengan kata lain dalam Penagih Hutang dan Pinangan, tragedilah kenyataan yang disebut orang sebagai realisme itu. Yaitu kenyataan baru yang merambah ruang psikis tokoh-tokohnya, yang situasinya bisa ditangkap hanya dengan perasaan. Singkat kata, ilusi yang terbaik pada pertunjukan drama ini hanya bila terjadi perasaan tokoh-tokohnya dalam tragedi itu, bisa tertangkap. Karena perasaan yang kuatlah yang menyebabkan hidup tokoh-tokohnya itu mendapat banyak simpati.

Tantangan penyutradaran timbul karena Penagih Hutang dan Pinangan adalah drama sastrawi yang terus terang mengandalkan arti kata dalam dialog untuk menyingkap perasaan dan mengungkap tragedi pendek ini. Sementara, kata punya beban berat melakukan sesuatu yang mustahil ia emban: melukiskan tragedi.

Oleh karena itu jalan yang ditempuh dalam konsep penyutradaraan Penagih Hutang dan Pinangan, sebagai siasat situasi yang “mustahil guna” tersebut adalah dengan menggelorakan insting bermain, memperkaya permainan kata, dan tentu saja humor—teknik yang sangat efektif mengelola kejiwaan manusia.

Kemampuan intuisi, insting, ketaksadaran, naluri bermain inheren dalam diri manusia. Dialah yang sekaligus sanggup mensubversi nalar dalam terminologi Johan Huizinga: Homo Ludens,(makhluk bermain)—buku yang ditulis kurang lebih setengah abad sesudah kedua drama itu dimainkan kali pertama. Sebuah buku yang juga mendasar gagasan Erich Fromm mendamaikan psikoanalis dan materialisme Marx.

Fromm menyebut situasi seperti yang tergambar dalam Penagih Hutang dan Pinangan itu sebagai eros dan thanatos—naluri seksual dan usaha mempertahankan diri. Yang satu bisa dikendalikan, difantasikan, yang lainnya harus terpuaskan. Keluwesan seorang yang jatuh cinta dalam kedua lakon tersebut melumpuhkan kekakuan naluri mempertahankan diri

Jelas aspek bermain dalam pertunjukan ini memperkaya fantasi dari sifat naluri seksual untuk memberi arti secara sosial: dalam kosa kata homo ludens termaktup sifat spontanitas, kegembiraan, intens, aktualisasi diri, emansipatoris dan merdeka. Yang secara ekstrem terwakili oleh primitifme tubuh binatang dan pada anak-anak dan sebagian orang yang mengalami gangguan jiwa.

Pertunjukan adalah ruang luang kesepakatan untuk bermain. Bahwa mari sepakat untuk bermain. Bermain drama. Bukan kampanye partai politik, bukan ajakan menganut paham ideologi tertentu, apalagi kotbah moral agama baru. Boleh dikata, sepakat untuk sejenak menjadi manusia primitif. Bermain, itu ampuh karena puncak-puncak pencapain makluk primitif justru menginspirasi pengetahuan bahkan mempengaruhi kemajuan peradaban. Aspek bermain menghindari pemaknaan yang keras atas nalar dan pikiran manusia—salah satunya. []

.
*) Penulis adalah peminat teater, tinggal di Lamongan.