Rabu, 18 Mei 2011

esai


Catatan Pertunjukan PSK Kremil, Bangunsari Surabaya:

Teater, Terapi, Testimoni
Oleh S JAI*)


PADA sebuah pertunjukan teater, perlu pembacaan yang meta-kritis apabila dijumpai peristiwa aktor betul-betul menangis di panggung. Walaupun airmata, rona merah menyala, juga luka kata yang pecah, tak mustahil sebagai sinyal sukses bahasa dramatik pemeranan.

Ketika itu terjadi, realitas panggung menjadi lebam. Sementara publik teater bisa luluh lantak melepaskan energi empati, simpati, atau minimal berjibaku dengan perasaan dan emosi sendiri—larut dalam kesedihan, kemunafikan, maupun dalam ketegangan atas kuasa salah satu dari idiom Sigmund Freud id, ego, superego.

Maka ketegangan teater dengan publiknya didominasi oleh problem psikologis aktor dan penonton di satu sisi. Lalu di sisi lain peristiwa teater akan mengalami hambatan justru lebih banyak oleh sebab aspek di luar teater—semisal nilai moral (lama) dalam pengertian sublimasi tata nilai masyarakat di atas kertas.

Peristiwa teater sebagai realitas baru sulit menemukan jalan damai yang memantik tata nilai baru yang lebih konkret dan empirik. Serta peristiwa teater mencurigai dirinya pada kualitas estetika yang ditawarkan sebagai teater yang menerbitkan energi baru manusia-manusia yang bergulat menjeburkan diri.

Maka menangis atau gelak tawa menjadi sangat tidak berimbang kualitasnya untuk pelepasan “gangguan jiwa” demi meledakkan energi baru manusia. Yakni untuk menatap, menjumpai, bergelut dengan masa depan secara lebih akrab dengan bebas bercanda.

Dalam sebuah pidato penerimaan Nobel 2004 aktivis lingkungan Dr. Wangari Muta Maathai, perempuan Kenya berkata, ”masa depan adalah hari ini.” Teater sanggup bagaikan menanam pepohonan di hutan gersang laiknya perjuangan Wangari bagi tumbuhnya manusia berkat penyadaran, pendidikan.

Maka hari ini adalah teater. Demikian halnya esok, hari depan. Pada teater hari ini, Zainuri, sutradara dari Bengkel Muda Surabaya mempertegas dengan mengatakan teater itu realis dan realis itu teater. Rembulan di Atas Kremil, karya teaternya, dipentaskan Rabu 10 November 2010 malam di Gedung Balai Pemuda dalam rangkaian Festival Seni Surabaya.

Menurutnya teater harus bisa membuka, menjunjung dan merangkai kehidupan manusia yang tersingkir atau terlupakan untuk dijadikan awal kebangkitan hidupnya. Pada kesempatan lain, dikatakan, teater harus berguna dengan memindahkan ruang estetis dari problem publik ke ruang yang katarsis—pencerahan.

***

DI PANGUNG ada tiga buah kasur tergantung dan belum dipakai, tiga buah kursi persis di bawahnya. Di belakang itu semua sorot rembulan merah jingga. Di bagian depan ada Bu Sri (65 th) sedang menyulam kasurnya yang bedah. Sedang Mbak Atik (35 th) diam di sisi kiri panggung, menyimpan perasaan dirinya. Tiga anak-anak diantara mereka beberapa kali keluar-masuk bertutur tentang dunianya, batinnya, sekolahnya, tiada perhatiannya kepada ibu yang tak kunjung ditemukannya.

Di ruang dengan tata artistik yang memukau itulah para Pekerja Seks Komersial (PSK) menyusun teks teaternya. Puncaknya, di penghujung pertunjukan berdurasi 45 menit itu, tangis penderita HIV/AIDS diantara mereka pecah tak terbendung. Lantas, rembulan bergeser, warnanya suram biru lebam membayangi kesepian. Juga pada diri Bu Sri dengan kerinduannya akan masa lalu sesosok lelaki beristri yang pernah berbaik hati padanya.

Dengan kata lain teater yang dimainkan 5 PSK dan 3 anak-anak dari komplek pelacuran Kremil, Bangunsari di pinggiran kota Surabaya itu, kenangan masa silam diledakkan dalam bahasa (kata maupun bahasa dramatik) pada saat ini adalah upaya untuk menatap pelbagai citra realitas masa depan. Bahasa menjadi medan pertempuran psikologis aktor-aktor di panggung sebelum pada kenyataan bahwa “panggung teater realis itu harapan kita, sedang realis teater penataan kembali kehidupan kita.”

Dalam suatu tata nilai masyarakat yang belum sepenuhnya terbuka pola pikir dan sentuhan kemanusiaannya, sudut pandang “kita” seringkali sangat tertatih-tatih dengan “kami”. Kecuali bila telah sepakat—dan ini artinya membalik sisi kemanusiaan kepada situasi yang paling murni, primitif dan bahkan, subversif—bahwa kita telah samasama dalam kondisi sakit. Katakanlah schizophrenia positif, saat terjadinya desintegrasi kepribadian dan maladjustment sosial berat, digunting dari realitas hidup.

Lalu teater adalah jalan damai sebagai laku terapi. Sutradara sebagai ahli psikopatologi, atau bila mungkin aktor-aktor diantara mereka sendiri menjadi dokter bagi dirinya sendiri, sebelum pada akhirnya publik adalah ahli-ahli terapi dalam peristiwa teater baik buat pertunjukan maupun diri mereka sendiri.

Artinya, menampilkan sisi gelap hidup mereka pada mulanya adalah trauma. Lalu sejauhmana trauma dikelola menjadi energi positif untuk tidak saja sebagai suatu penyadaran, pendidikan. Melainkan juga demi menemukan diri puncak-puncak realitas hidup yang segar dan baru—baik dari sisi kejiwaan maupun tata nilai diantara mereka sendiri. “Diantara mereka sendiri” itu penting, karena perkembangan kota telah menempatkan individu pada situasi yang sangat keukeuh untuk sekadar menilai apakah dirinya negatif atau positif berhadapan muka dengan wajah kota.

Dengan kata lain hampir pasti manusia lebih diposisikan sebagai korban ketimbang sebagai penguasa dari gempuran arus utama laju kota. Karena itu, teater sebagai terapi berorientasi bukan pada penyadaran, apalagi mengamini tata nilai klise di atas kertas, akan tetapi menerbitkan kualitas jiwa yang sepenuhnya bertanggungjawab pada sisi kemanusiaan dalam dirinya untuk tidak seterusnya menjadi korban, terpinggirkan, tersingkirkan, terlupakan yang di sisi lain ternyata ada proyek pelestariannya.
Pada titik ini, kualitas bahasa diantara mereka sendiri sangatlah menentukan dan metode terapi teater mendapatkan ruang ekplorasi maupun eksploitasinya. Meski sesekali mereka perlu berkenalan dengan bahasa puitik, misalnya. Ruang dan waktu berbahasa, membebaskan pikiran dan perasaan, diarahkan terjadinya redusir terhadap pelibatan emosi dalam menyelesaikan masalah yang dialaminya.

Metode terapi teater sangat memungkinkan untuk menghancurkan endapan-endapan tekanan berlebih superego yang tertutup kulit kerak kegagalan mereka dalam mengaktulisasikan secara sehat ego mereka dengan cara memuntahkannya melalui medium bahasa. Proses penghancuran superego dalam dirinya tentu saja demi mengkonstruksi kembali tafsir baru normalisasi ego dengan bangunan pondasi yang lebih realistis dan rasional. Sehingga teater pada para PSK ini bekerja pada dua level kekuatan bangunan superego yang lebih banyak berdiri di atas hal-hal yang kurang rasional, terkadang mistis, dogmatis. Jika superego-nya dominan dari insting seksual dan insting agresi (id) atau atas kemampuan integrasi keduanya dengan dunia luar (ego), maka akan bersifat sangat moralistis.

Sementara kurang mempertimbangkan secara kasuistis, dalam arti setiap orang punya respon impuls-impuls yang berbeda terhadap realitas, “takdir” serta pengalaman batin yang berbeda. Dengan kata lain keragaman tidak mendapat ruang. Trauma dan logika pengetahuanlah yang menjadi palu godam kekuasaan superego pada para pekerja seks komersial itu. Artinya, pada akhirnya kualitas trauma mereka, juga sikap terbuka pada ilmu pengetahuan sangat menentukan sukses metode terapi teater Zainuri. Kesederhanaan maupun kompleksitas tingkat traumatisnya, boleh jadi tidaklah berkait erat dengan keterbukaan dan kemampuan daya kritis pengetahuan mereka.

Pada tataran inilah sebetulnya ketegangan antara pelaku teater itu terjadi dan ketegangan teater dengan publiknya berkecamuk. Untuk merespon canda aktor yang tulus pun bagi publik amat berat. Atau mengundang empati dan simpati melalui derai airmata dan rona merah menyala pun, publik lebih gampang dikuasai superego (dan barangkali juga Id yang menjatuhkan diri pada rasa belas kasih ketimbang mengedepankan ego pada semisal menangis bagi aktor adalah sebuah jalan menemukan diri bahwa telah menghormati takdir—termasuk atas perjumpaannya dengan publik pada peristiwa teater. Karena itu demi menemukan diri pada mereka, menangis maupun gelak tawa memiliki cara pandang yang berimbang.

***

DI SINILAH peran penting pilihan bentuk testimoni. Bentuk pengakuan yang syarat dengan wilayah kelisanan, kesaksian. Baik dalam bidang hukum maupun politik yang paling sering menggunakan istilah ini pun, punya pemaknaan yang sama. Sementara dalam perluasan maknanya testimoni penting untuk menjernihkan pikiran, hati, dan emosi sebagai semacam jalan pencerahan atau pengakuan dosa dan lain-lain. Yang ada hanyalah dialog subjek dengan objek, aku dan kamu. ”Aku Mengaku Maka Aku Ada” atau ”Aku Bersaksi Maka Aku Ada.”

Dari Carl Gustav Jung, pengakuan atas sisi gelap manusia ini sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan bertindak secara lebih realitis. Dengan membocorkan diri tentang ruang gelap, dosa, kejahatan, keburukan masa lalu dalam batin manusia, maka hal itu berarti aktif menciptakan kondisi ektrem manusia tanpa lebih dulu harus ditekan dan pojokkan. Cara itu ditempuh guna mengenali diri secara lebih dahsyat yang pada gilirannya menumbuhkan rasa percaya diri sebagai manusia menjalani fitrahnya, mampu menempatkan konflik lebih proporsional, dan pelaku mengalami proses penurunan ketegangan dan lebih toleran pada diri dan lingkungannya.

Pengakuan Dara, 27 tahun, ”Dalam waktu singkat aku bertemu seseorang yang menyanggupi aku suatu pekerjaan. Tapi apa yang terjadi. Aku dijual, dijadikan lonte.” Pengakuan Erick 28 tahun, ”Ketika anakku lahir, aku punya firasat buruk. Ternyata benar, dia pergi lagi. Aku berniat menyusulnya. Di dalam kendaraan umum aku ketemu seorang ibu yang katanya sanggup membantu dan mengasuh anakku. Dari itu aku nekat menjadi pekerja seks.” Krishna, 25 tahun, ”Mei 2009. Aku dinyatakan positif HIV,” Mbak Atiek, 35 tahun, ”Aku juga dinyatakan positif HIV.”

Metode Terapi Teater melempangkan jalan itu—juga atas keilmuan yang lain, sosial, politik, ekonomi, budaya, HAM, bahkan medical. Secara teori ini ada pada pelbagai metode yang sering digunakan pada “teater penyadaran” dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat bahwa kesadaran bisa ditempuh dengan menggali trauma mereka sendiri atau memberikan pengetahuan.

Pada tahap ini Zainuri bisa dikatakan mengadopsi kerja “perbengkelan” dari Bengkel Teater Rendra maupun Bengkel Muda Surabaya (BMS) yang era 1970-1980an yang mengorganisir orang-orang urakan, pengangguran dan kriminal. Akan tetapi secara konseptual Zainuri hendak melampaui semangat masa silam teater Rendra maupun BMS. Yakni ketika di satu sisi memecahkan antropologi teater dengan publiknya dan di sisi lain juga pada psikologi teater dan publiknya.

Resiko itu tentunya dengan sadar dilakoni Zainuri ketika membawa teater pada public Festival Seni Surabaya. Hal yang tidak terjadi pada teater sebelumnya saat mementaskan Tinta Merah, 2008 di Rutan Anak Blitar dan Rasanya Baru Kemarin, 2010, di Rutan Medaeng. Berbeda dengan Rembulan di Atas Kremil di kedua pertunjukan sebelumnya itu, para napi tidak diizinkan menjumpai publik di luar rutan. Akan tetapi pada akhirnya bagaimanapun kualitas estetika teater juga bisa turut ditentukan bila sanggup menjumpai publiknya lebih luas.

Pada perkembangan pelbagai penjara, rutan, kota, sistem nilai, juga kuasa negara, persoalan sejauh mana kualitas estetika teater, tergantung pada tafsir dan pembacaan kita atas teks-teks realitas teater itu.

Di penghujung pentas, dari bibir gemetar Bu Sri, perempuan tua itu bertutur tentang pengetahuan jiwa yang mengampu pada sublimasi nostalgia, “Aku tak tahu sampean datang dari mana? Tiba-tiba kok bisa mengetuk hatiku. Aku merasa terpuji. Aku merasa hidup kembali.” []


*) Penulis adalah peminat teater, tinggal di Lamongan