Senin, 23 Mei 2011
resensi
Revolusi atas Dominasi Integritas Individual
Penulis : S.JAI
(Sinar Harapan, Edisi Minggu 23 Mei 2011)
SALAH satu subtansi teks yang membangun realitas sastra adalah pandangan dunia. Penyair menggunakan mata pandang yang meledakkan segenap daya indranya untuk tujuan itu.
Oleh karena itu, mempertanyakan “realitas sastra” berarti membuka diri dalam suasana pengembaraan terkait pandangan dunia penyair atau komunitas puisi itu. Dengan demikian, memosisikan diri penyair selaku intelektual atau cendekiawan yang memantik gagasan baru keilmuannya di bidang sastra adalah suatu keniscayaan.
Bahwa penyair memandang realitas sastra sudah pada persoalan visi dan ekspresi–sebagaimana Ibnu Chaldun mendefinisikan visinya sebagai “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”
Amat menarik menelisik sudut pandang “kami” yang dipakai penyair F Aziz Manna dalam hampir keseluruhan sajak-sajak yang terkumpul Siti Surabaya, dan Kisah Para Pendatang, November 2010. Lihat petikan sajaknya berjudul “Jagir”, “…kehadiran kami bagimu hanyalah pengganggu, perusuh seperti kadas, kudis, kurap, kutil, jerawat, kami laknat dilaknat, tapi akar kami kadung menjalar, liar melingkar-lingkar, akar yang lahir dari kisah perlawanan, penggusuran, pembantaian,…” (hal 61).
Tentu ini sebuah revolusi sajak dari suatu pengalaman personal, subjektif yang selama ini telanjur menguasai arus utama sejarah puisi kita, yang puncaknya diteguhkan kelompok di sekitar Chairil Anwar dan penganutnya.
Hal ini sebelumnya telah diprediksi dengan baik oleh Edgar Du Peron–sastrawan Belanda keturunan Prancis Kelahiran Jatinegara. Saat itu Du Peron mengomentari perdebatannya dengan Sjahrir perihal rumusan konsepsi sastra sosialis-realis dari Eropa menjadi Indonesia. “Apabila Indonesia menemukan sendiri seorang penulis besar yang mampu memberi bentuk pada bahasa Indonesia, itu lebih baik,” katanya. “Akan tetapi,” lanjutnya, “jika kekuatan dalam bahasa itu datang melalui ‘para penutur cerita’ yang mampu menangkap imajinasi publik dan luas dibaca orang, maka tak ada alasan untuk cemas.”
Untuk itu, daya ledak sudut pandang “aku” Chairil Anwar dan pengikutnya bernasib baik dalam sejarah puisi kita hingga sekarang. Ini tak lain berakar dari konsepsi internasionalisme sebagai identifikasi estetika modernis eropa, yang meletakkan tanggung jawab dan integritas seniman secara individual di atas segalanya. Inilah cikal bakal humanisme universal yang diadopsi dari “temuan kami, barangkali tidak selalu orisinil”-nya Surat Kepercayaan Gelanggang dalam “menemukan manusia.”
Pada sajak “Kota Percakapan” yang meminjam Kota-Kota Imajiner Italo Calvino dengan konteks spirit Surabaya yang lebih baru: kau membaca kota-kota imajiner calvino seperti sebuah kehidupan nyata, “tapi kota ini memang nyata, katamu, meski nyata dalam benak, tapi nyata, kami hanya mendengar kisah kota imajiner itu dari mulutmu, hanya mendengar kisah rekaan yang kau baca seperti membaca sebuah kehidupan nyata...” (hlm 111).
Meski demikian, puisi tetaplah suatu dunia penuh misteri. Sebagaimana menjawab teka-teki misteri penyair ini ketika menulis sajak Lagu Orang Usiran. Menyimak sajak tersebut, terungkap keunikannya. Aziz Manna seakan menyentil ingatan kita pada Chairil Anwar tanpa kepastian maksudnya (Chairil pernah menggunakan judul yang sama saat menerjemahkan sajak WH Auden tentang pengusiran orang Yahudi oleh Hitler).
Dalam sajak Aziz: “tidak ada yang lebih kuat dibanding kami yang tidak memiliki apa-apa, yang terenggut harta bendanya, yang dulunya bernapas di jantung kota lalu terjengkang, tersuruk di pinggiran, di kekumuhan, di mulut-mulut sungai, mulut sungai yang seperti lobang kakus, lobang kakus yang menjulur ke anus-anusmu, anus yang menyemprotkan kotoran ke rumah kami, ke depan meja makan kami.”
Para Perempuan Perkasa
Kisah-kisah para perempuan perkasa mengilhami puisi-puisi F Aziz Manna dalam buku ini. Karena penyair banyak melakukan penggalian potensi estetis puisinya di sebuah warung di luar pagar kampus Universitas Airlangga, milik Mak Mursinah--salah seorang yang disebut dalam ucapan terima kasih buku ini.
Juga, lingkungan seperti itu memang memungkinkan menciptakan tokoh Siti Surabaya dalam sajaknya yang tergencet hingga ke kompleks pelacuran pinggiran Kota Surabaya. Lihatlah pada sajak-sajak lain seperti “Perempuan itu Tak Bisa Menangis” dan “Perempuan Tua Kota Kami”.
Meski ada suara bernada “kiri” dari sajak-sajak Aziz Manna, namun amat berbeda bila dibanding nasib tokoh Annelies dalan novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Annelies, yang menjadi korban seks brutal di kebun tebu oleh saudaranya, oleh Pramoedya justru dibunuh dalam perjalanan kembali ke Nederland. Ini jauh dari upaya pengarang untuk membangkitkan kesadaran jiwa tokohnya sendiri.
Lebih dari itu, dunia batin perempuan korban brutalitas seks laki-laki sangat menarik di tangan pengarang novel populer yang sangat cemerlang, Paul I Wellman. Ia melihat potensi seks sebagai suatu yang luar biasa. Pada novelnya, Wanita, yang berseting di Romawi pada abad-abad permulaan, Wellman menyusun biografi perempuan bangsawan yang mengawali kariernya dari dunia hitam.
Theodora adalah pelacur muda di Konstantinopel. Dia sangat cerdas, pemberani, dan setia. Sifat-sifat itu mengangkatnya dari lumpur jalanan Konstantinopel sampai ke puncak kemaharajaan. Theodora membawa dirinya kembali ke Konstantinopel. Namun tidak lagi sebagai pelacur, melainkan menjadi maharani. Dunia hitam yang digambarkan Welman syarat dengan problematika kemanusiaan, dan Theodora berhasil menjadikannya kegairahan untuk berbicara dalam konteks yang lebih luas: politik dan kekuasaan dengan segala intriknya.
Terbayangkah jiwa Theodora oleh Aziz Manna bila itu terjadi di kompleks-kompleks pelacuran pinggir kota semacam Kremil di Surabaya? Dalam sajak “Kepada Penyair Indra” (hal 31), Aziz betapa jarang mengungkap kualitas seksual perempuan, apakah berbanding lurus atau terbalik dengan daya sintasnya dalam kehidupan nyata yang lebih kompleks.
Sering kali masyarakat menggunakan “standar laki-laki” untuk menaklukkan perempuan, termasuk dalam hal seksual. Nyata, bahwa peran khusus perempuan dalam hal hamil, melahirkan, menyusui, bahkan seks dilihat bukan sebagai kekuatan, melainkan sebagai kelemahan dan justru mempersempit subtansi keperempuanan. Ini tidak dilihat sebagai suatu fitrah adi kodrati demi kelestarian umat manusia di bumi.
Bahkan, tak jarang daya sintas perempuan dalam kehidupan sehari-hari yang tinggi oleh kaum lelaki dinilai merupakan konsekuensi akibat fungsi seksualnya yang abnormal. Tentu saja ini suatu asumsi yang didasari pola pikir yang sama sekali tidak adil terhadap kaum perempuan.
Judul buku : Siti Surabaya dan Kisah Para Pendatang
Penulis : F. Aziz Manna
Penerbit : Diamond, kerja sama DKJT, FS3LP, CeRCS
Cetakan : Pertama, November 2010
Tebal : 116 halaman
*Penulis adalah kepala bidang seni budaya Center for Religious and Community Studies, Surabaya.