Oleh S. JAI
(Duta Masyarakat, Jumat 9 September 2011)
KEMAJUAN zaman dan teknologi informasi yang menjulang langit ternyata membawa konsekuensi tersendiri. Salah satunya adalah semakin rasionalnya tindakan manusia. Tapi, di sisi lain, kita mendapati bahwa hal-hal yang tak masuk akal pun kian muncul ke permukaan. Salah satunya adalah perkawinan di bawah umur (pernikahan dini). Nikah di bawah umur adalah fenomena sosial budaya yang tidak masuk akal karena pelaku sekaligus korban, sesuai peraturan perundangan, masih dalam kategori usia anak-anak.
Laporan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan, pada bulan Juni 2011 saja, untuk usia kawin pertama penduduk wanita kurang dari usia 20 tahun di seluruh Jawa Timur mencapai 6.847 orang atau 19,88 persen dari seluruh perkawinan pertama penduduk wanita di semua usia sebesar 34.443 orang. Jumlah tertinggi tercatat di Kabupaten Malang, yakni dengan 887 perempuan atau 29,09 persen dari total pernikahan 3.049. Sementara persentase tertinggi dibanding seluruh jumlah pernikahan pada usia tersebut di tempatnya adalah Kabupaten Bondowoso sebesar 196 atau 49,75 persen dari total pernikahan 394 orang.
Lebih lanjut, data tersebut mengungkap bahwa sampai dengan pada Juni 2011 laporan usia kawin pertama penduduk wanita seluruh Jawa Timur usia di bawah 20 tahun mencapai 34.016 orang atau sebesar 19,97 persen dari jumlah laporan seluruh usia kawin pertama penduduk wanita di Jawa Timur sebesar 171.862 orang.
Sebetulnya secara implisit UU Perkawinan 1 Tahun 1974 pada pasal 6 ayat (2) menyebut seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun masih dalam kategori anak. Sementara perkawinan di bawah umur adalah perkawinan yang terjadi pria yang belum mencapai usia 19 tahun dan wanita di bawah 16 tahun (pasal 7 ayat 1). Anehnya, menurut UU perkawinan macam itu sah apabila mendapat dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak pria atau pihak wanita (pasal 7 ayat 2).
Dengan kata lain, perkawinan di bawah umur bisa dilegalkan sekalipun terjadi pada usia anak-anak di bawah 18 tahun (pasal 1 ayat 1 UU nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak). Ini berarti negara mengizinkan perkawinan yang melanggar hak asasi anak (UU No. 39/1999 Bagian Kesepuluh tentang Hak Anak pasal 52 s/d pasal 66).
Perkawinan pada anak-anak adalah melembagakan tindakan merenggut kebebasan masa anak-anak atau remaja untuk memperoleh hak-haknya. Tepatnya hak dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (pasal 1 ayat 2 UU No 23 Tahun 2002).
Perkawinan pada anak-anak juga melestarikan pelanggaran hak anak untuk mendapatkan pendidikan, berpikir dan berekspresi, hak untuk menyatakan pendapat dan didengar pendapatnya, hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan teman sebaya, bermain, berekspresi, dan berkreasi. Juga merenggut hak mendapat perlindungan.
Anak-anak sebagai korban sekaligus pelaku seringkali terkurung pelbagai justifikasi perkawinan di bawah umur yang bisa datang dari orangtua, hakim pengadilan agama, tokoh agama, tokoh masyarakat adat, dan tak jarang juga atas inisiatif pelaku sendiri.
Orang tua bisa berdalih meringankan beban tanggungjawab ekonomi yang mendorong terjadinya pernikahan tersebut. Atau atas nama pelestarian dinasti kekayaan tertentu. Bahkan secara ekstrem bukan tidak mungkin pernikahan di bawah umur sebetulnya adalah modus terselubung penjualan anak-anak mereka.
Ketiadaan kesadaran hukum yang kemudian mentradisi juga menjadikan pernikahan di bawah umur suatu solusi. Pergaulan bebas yang berbuah kehamilan di luar nikah, misalnya, menjadikan perkawinan sebagai cara untuk menutup aib keluarga. Seringkali keadaan ini disokong oleh pejabat kantor urusan agama, yang menyakini bila tak segera dinikahkan pasangan-pasangan seperti itu cenderung menafikan norma agama dan perzinaan merajalela.
Di pelbagai daerah bahkan telah mentradisi anak dijodohkan oleh orangtuanya. Biasanya mereka berpegang pada mitos umum bahwa anak yang telah lepas masa menstruasi di usia 12 tahun sudah waktunya menikah. Di antara beberapa kenyataan tersebut, yang paling populer adalah keyakinan yang dianut dari pelbagai tafsir hadis Nabi oleh tokoh-tokoh agama. Berdalih meneladani sunnah Rasul, maka perkawinan di bawah umur tersebut kerap kali masih terjadi.
Efek domino
Lebih dari itu, tampaknya data yang dilansir Badan Pemberdayaan Perempuan Jawa Timur pada tahun 2010 cukup mencengangkan. Di beberapa kabupaten di Jawa Timur terungkap angka pernikahan pertama penduduk perempuan bawah umur 17 tahun di atas 50 persen dari total pernikahan di daerahnya. Seperti Kabupaten Jember yang mencapai 56 persen, Bondowoso 73, 9 persen, Probolinggo 71,5 persen, Lamongan 52, 5 persen, Sampang 63,8 persen, Pamekasan 59,2 persen, dan Kabupaten Sumenep 60 persen.
Sementara secara nasional data BPS sebagaimana dirilis Kompas (19/8) memperlihatkan, hampir 47 persen perempuan pernah menikah saat usia mereka di bawah 18 tahun; 13,4 persen perempuan sudah menikah pada usia 10-15 tahun; 33,4 persen menikah usia 16-18 tahun. Pernikahan perempuan pada usia 10-15 tahun tertinggi terdapat di Kalimantan Selatan dengan jumlah 18,89 persen dari jumlah perempuan yang pernah menikah. Menyusul kemudian Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Papua, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur yang rata-rata berjumlah 10 persen dari populasi perempuan yang pernah menikah.
Dampak terburuk pernikahan bawah umur adalah terganggunya aspek psikologis pelaku. Masalah psikologis berupa kesehatan mental pelaku, yang sekaligus cenderung sebagai korban, berpengaruh besar bagi kelangsungan rumah tangga mereka.
Bangunan rumah tangga di atas pondasi kesehatan mental yang rapuh, berbuntut tanda tanya besar. Bagaimana seorang di usia yang seharusnya masih mendapat bimbingan dalam menjalani kehidupan, kebebasan dalam berekpresi yang sesuai tingkat kecerdasannya, dan memperoleh pendidikan untuk menjadi tunas, potensi, dan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan, kemudian diberikan tanggungjawab dan kewajiban untuk menjadi suami-istri?
Terlebih, negara telah (melalui UU Perkawinan dan masyarakat dengan stigmanya) nyata-nyata memberikan tanggung jawab kepada pasangan yang tidak siap itu untuk mengurusi segala bentuk kebutuhan rumah tangga. Pendek kata, sudah tak ada ampun bagi negara.
Tidak hanya berhenti di situ, gangguan kesehatan mental selanjutnya berpengaruh juga pada masalah psikologi sosial pelaku/korban pernikahan di bawah umur. Interaksi, komunikasi, sosialisasi, juga adaptasi di lingkungan masyarakat menjadi terkendala.
Masalah keterasingan di kalangan pasangan nikah di bawah umur lebih menguasai mereka pada saat berinteraksi dengan masyarakatnya yang lebih kompleks. Keterasingan ini berdampak pada kemampuan adaptasinya, kedewasaannya, cara pandangnya, gaya komunikasinya, dan —tentu saja— kualitas intelektualnya. Yang disebut terakhir ini memperlihatkan terpotongnya aspek perkembangan budaya pasangan menikah di bawah umur, selain disebabkan oleh jenjang kesempatan pendidikan yang terenggut. Sampai pada aspek ini, pasangan nikah di bawah umur bisa dikatakan tidak berkualitas secara budaya.
Terlebih manakala pasangan tersebut berikutnya menghadapi masalah kesulitan ekonomi, yakni ketidaksiapan mereka memenuhi kebutuhan dasar hidupnya, pada saat angka kemiskinan terus melonjak. Data BPS menyebutkan jumlah pengangguran meningkat dengan didominasi oleh kaum wanita dibandingkan pria. Stereotype perempuan sebagai konco wingking, dan marginalisasi yang legal dari UU Perkawinan dalam situasi kesulitan ekonomi, memperbesar kemungkinan terjadinya kriminalisasi dalam rumah tangga.
Pelbagai kemungkinan bentuk KDRT berpeluang terjadi di dalamnya dan tentu saja lebih banyak menempatkan perempuan sebagai korban. Berlanjut pada tingginya angka perceraian di kalangan pasangan di bawah umur yang berbuntut pada praktik prostitusi terselubung maupun terbuka.
Kemudian dari aspek kesehatan, ketidaksiapan organ-organ tubuh perempuan, dalam hal ini yang berhubungan dengan kehamilan dan kesiapan organ tubuh perempuan untuk melahirkan seorang bayi, telah meningkatkan risiko kematian ibu dan anak. Aspek ini seringkali disertai pelbagi kemungkinan praktik kriminalitas berupa kasus aborsi yang merajalela.
Yang tak kalah penting dicermati adalah dampak perkawinan di bawah umur terhadap rendahnya kualitas keluarga, ketidaksiapan psikis, sosial, ekonomi dan juga budaya, adalah menyangkut kelangsungan kualitas hidup anak-anak yang dilahirkan dari pasangan tersebut. Anak-anak yang lahir dari keluarga yang berkualitas rendah, tentu masa depannya sesuram nasib negara yang didiaminya. []
S. Jai
Advisor pada Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII), Surabaya.