Cerpen S.Jai
(Radar Surabaya, 9 Oktober 2011)
AKULAH sang lelaki. Di usia senjaku, kebanggaanku yang tak terkikis adalah sepasang cambang panjang dan kumis yang kusisir rapi. Lalu, istriku itu kehormatanku yang lain.
Kami punya tujuh anak perempuan yang dihidupi dari memerah rumah kos yang oleh istriku dikhususkan untuk biaya hidup anak-anak kami. Sementara soal hidupku—ini yang mau kukisahkan—selain masalah istri, kumis, derita, dan sebungkus rokok yang menemaniku tiap hari. Inilah sesuatu hal penting bagi hidupku: sebuah cerita pendek.
Istriku mengerti aku penulis yang jujur. Karena itu harus jujur pula kuakui, aku menulis ini sebetulnya bukanlah kehendakku sendiri. Lebih tepatnya kehendak istriku, si kutu loncat yang cerdik, pintar, keras kepala dan sudah barang tentu berbakat jadi politisi dan berkat itu semua ia bisa mengumpulkan banyak duit untuk menghidupiku. Lain hal bila seringkali ia mengaku tetap miskin, dan tak punya duit meski sebagaimana kutahu nomor rekeningnya banyak. Semuanya berisi.
Jadi aku makan dari jerih payahku sendiri, dari kesempatan yang diberikan istriku.
Seperti kali ini, aku diminta untuk menulis cerita pendek untuk tujuan kegiatan sosial. Begitulah, pintarnya istriku membaca peluang kegiatan amal atau sosial. Apapun kesempatan yang disediakan, buatku tidak masalah. Aku dengan senang hati bersedia menulis cerita apa saja. Apalagi aku menulis cerita sudah lebih tigapuluh tahun lamanya. Boleh dibilang aku hidup dari dan untuk cerita itu sendiri atau akulah mungkin cerita itu. Hidupku telah benar-benar kuabdikan untuk seluruh cerita-cerita yang kutulis, dan cerita-cerita yang kutulis telah demikian jadi milikku, bagian hidupku.
Aku tak peduli sekalipun cerita-cerita itu sebenarnya atas kemauan istriku. Selama itu, anak-anakku senang, istriku girang, tanpa harus repot dengan posisiku apakah sebetulnya aku sedang bekerja pada istriku, atau tengah dipekerjakan oleh majikanku dalam hal tulisan-tulisanku.
Bagiku cukup penting manakala aku punya perasaan bahwa aku setidaknya telah menjadi majikan atas tulisanku. Sebagaimana aku menjadi majikan bagi rokokku pada waktu membuat cerpen-cerpenku. Sesekali memang pernah muncul di pikiranku siapa sebenarnya majikanku dalam hal ini, istri ataukah cerpen-cerpenku. Tapi pertanyaan itu kerdil dengan sendirinya setelah tigapuluh tahun lamanya. Sampai kini aku tetap menulis cerpen-cerpen itu. Sampai tak terhitung berapa bungkus rokok yang kuhisap dan aku dihisap olehnya.
Sepanjang waktu aku menghisap istriku dan aku dihisap melalui ceritaku olehnya.
Cerpen kali ini aku diminta bercerita tentang bahaya yang mengancam manusia kerena menghisap asap rokok. Aku sendiri merokok tapi kalau istriku yang menyuruh, seperti yang lalu-lalu aku tak berkutik. Tidak ada jalan lain, karena itu beginilah jadinya cerpen ini. Bagiku tidak soal. Bila mungkin bagi pembaca atau bagi cerita itu sendiri bermasalah, terkesan dipaksakan, bukanlah soalku.
Jujur saja, aku tak berniat memaksakan. Tepatnya menganjurkan kepada pembaca untuk menangkap kesungguhan ceritaku, meski ini cuma sepotong cerpen. Karena itu bagi yang tidak siap sungguh membaca cerpenku, sebaiknya tak perlu dilanjutkan dan cukup sampai di sini saja. Sama sekali bagiku bukan suatu soal, cerpenku dibaca oleh orang yang terpaksa membaca atau tidak.
Aku serius berharap perhatian dari pembaca budiman yang respek dengan masalah bahaya racun tembakau dan akibat-akibat buruk dari asap rokok. Meskipun, di lingkungan kedokteran tentu saja racun-racun yang kumaksudkan terkandung pada rokok itu bisa dimanfaatkan untuk keperluan-keperluan medis.
Rokok dikenal berbahaya bagi tidak saja kepada tuannya, tetapi juga….
***
BIASANYA aku menulis cerpen sambil merokok, dan melepas baju agar perasaan dan tubuhku terbebas dari beban, sambil sesekali memelintir kumisku. Hanya kebiasaan saja. Karena pembaca mungkin sudah menduga ini hanyalah upayaku untuk menghibur diri dari pekerjaan yang dibebankan oleh istriku, agar aku tak berpikir bahwa sebenarnya pikiran, hati, perasaan, imajinasi, persepsi, interpretasiku sedang dihisap oleh istriku sendiri.
Walau sebetulnya, pikiran-hati, perasaan, imajinasi dan tetek mbengek itu semua sudah selama tigapuluh tahun lebih telah dihisap istriku tidak saja dalam hal cerita. Khususnya, ketika kami saling menghisap di kamar, di tempat tidur atau di lantai sampai kami membuahkan tujuh orang puteri yang cantik-cantik dan tak kalah hebatnya dibanding ibunya itu.
Jadi sebetulnya dalam hal menghisap ini, bagiku, istriku serupa dengan rokok. Pada saat kusedot, diam-diam melalui mulutnya ia menebar 4000 racun zat kimia untuk dibenamkan di tubuhku sampai suatu saat ganti menyedot hidupku.
Karena sempitnya waktu, sebaiknya ceritaku jangan melantur yang tak ada hubungannya dengan rokok. Sebelum kulupa, sebaiknya kukabarkan bahwa istriku punya jam terbang kegiatan sosial dan amal yang luar biasa. Sering bepergian tidak saja di luar pulau tapi juga ke luar negeri. Meski jarang bertemu, karena dia telah lama mendelegasikan seluruh urusan keluarga kepadaku, bila bertemu kami banyak bercerita tentang kebobrokan negeri ini. Dia mengomel kesana kemari tentang kesusahan zaman, kemiskinan, korupsi. Padahal, dia sama sekali hidupnya jauh dari kondisi itu semua. Uangnya banyak, makannya kenyang, tidurnya nyenyak, liburannya enak.
Suaminya, aku ini, hanya jadi pendengar. Uang aku tak pernah lebih dari cukup. Kecuali dari hasil keahlianku sebagai penulis cerita pendek dan aku mengurus kamar indekos dan menjaga rumah tangga. Mulai dari belanja kebutuhan makanan, keperluan anak-anak, obat flu, supermi, susu kaleng yang belakangan kutahu dicampur melamin, sampai tusuk gigi atau pembalut dan lain-lain yang tak kutahu muasal duitnya. Aku cuma pegang ballpaint, mencatat di buku laporan keuangan. Terkadang bila kulupa, malah kubawa ke kebun karena aku juga merangkap tukang kebun, atau sambil menyiapkan makanan untuk kucing-kucing kami. Aku punya tiga ekor kucing. Di depan istriku sering kubelai dan anehnya istriku tidak marah.
Ini mungkin bumerang bagiku memelihara kucing. Suatu malam, aku membuatkan masakan paling enak untuk istriku. Makanan kesukaannya itu martabak telor. Berbeda denganku, soal makanan, bagiku memang jarang yang tidak suka. Singkatnya, malam itu istriku tidak berselera dengan masakan martabak buatanku. Semula ia suruh simpan martabak itu di almari, barangkali lain kali bangkit lagi seleranya dengan masakan buatanku. Tapi kemudian berubah pikiran. ”Lemparkan saja martabak itu pada ketiga kucing kesayanganmu!” katanya. Sebetulnya, aku tersinggung mengapa tidak diberikan kepadaku, yang harus jujur kuakui malam itu mengalami lapar luar biasa dan ia tahu tidak ada satupun jenis makanan pantanganku yang tak kusuka.
Kupikir beruntung martabak itu diberikan kepada kucing kesayanganku. Jadi aku bisa minta cerita pada ketiga kucing itu untuk mengisahkan kelezatannya padaku.
Ah, tapi cerpenku sudah ngelantur lagi, sudah menyimpang dari pokoknya.
***
HARUS kuakui, pembaca lebih senang menikmati cerita romantis, percintaan remaja, atau tragic comedy. Tapi alangkah baiknya sebelum lupa kukatakan, bahwa selain menjaga urusan rumah tangga, menulis cerpen, aku juga diserahi membuat kliping koran tentang masalah keagamaan dan masyarakat, sesekali melatih kegiatan teater terutama bila untuk kegiatan amal, mengikuti rapat-rapat di lembaga dewan rakyat atau menghadiri undangan komunitas ilmiah dan lembaga swadaya masyarakat. Semua itu atas permintaan istriku, bukan atas kemauanku sendiri.
Huh, tapi ada satu hal yang mungkin di luar dugaan. Terus terang, aku menulis cerpen ini, bila dimuat atau tidak dimuat di media, tidak akan pernah kutunjukkan pada istriku mengenai isinya. Kecuali hanya kubacakan judulnya saja: RACUN. Itu pun tak membuatku habis kekawatiran. Yang kutakutkan berikutnya, bila istriku membuka website koran yang memuat ceritaku, sehingga jadi tahu keseluruhan isi pikiranku. Meski andaikan tahu, aku masih punya alibi baru karena itu semua atas kemauaannya.
Syukurlah, setidaknya hingga kini masih selamat, jalan cerita halus mulus. Berikutnya, tentu yang perlu kuwanti-wanti adalah setiap pembaca cerpenku ini. Kuperingatkan kepadanya, agar tidak menceritakan isinya kepada istriku, apalagi membacakan di depannya. Jangankan satu alenia, satu kalimat pun, bahkan satu kata pun jangan ia sampai dengar dari orang lain. Karena bukan mustahil bila orang lain yang berpesan, ia tak segan menyampaikan kalimat: ”Istriku adalah racun bagiku.” Mungkin, andaikan itu pun terjadi, aku masih menangkis dengan kata lain yang tak kurang lebih mengerikan, maksudnya itu adalah: ”Istriku itu seperti rokok.”
Aku memang tak punya nyali untuk mengutarakan maksud sebenarnya, yaitu NIKMAT DIHISAP DAN KUAT MENGHISAP. Karena sebetulnya aku sedang berbicara tentang diriku sendiri, bukan istriku atau pengakuan pembaca setelah membaca cerpen-cerpenku. Akulah yang tidak punya nyali, tua dan bodoh. Hidupku di tengah keluarga telah melampaui dari tragic comedy. Satu-satunya yang membangun spirit hidup adalah mempersulit diri setiap jengkal perjalanan hidupku dengan membuat cerita-cerita seperti ini.
Kini melalui cerpen ini, meski kelihatan enjoy, sesungguhnya aku ingin berteriak setinggi langit atau lari ke ujung dunia—sesuatu hal yang amat sulit kulakukan. Kepada siapa aku bisa mengadu? Ah, obat mujarab yang bisa kulakukan hanyalah aku ingin menangis. Aku menangis bukan minta dikasihani. Tapi aku menangis karena cerpenku menghendaki aku menempuh pembebasan dengan cara itu. Terserah, apa kata pembaca sekalian, karena ini kenyataan paling pahit bagiku waktu merasa sendiri, sepi, dan sunyi di tengah keluargaku yang seperti ini.
Pembaca boleh menyalahkan aku, dan memang sedikit banyak aku merasa bersalah. Tapi kalau pembaca berkata, anak-anak perempuankulah seharusnya yang bisa mengusir kesunyianku, itu sama sekali tidak benar. Anak-anakku seperti anak-anak zaman sekarang tidak mau tahu dan tidak banyak tahu. Mereka cuma maunya beres, cekikikan di sana-sini, hidup bergaya pakai barang buatan Eropa-Amerika. Oya, istriku punya 7 anak perempuan. Yang sulung Ana, umur 27 tahun, yang bungsu sudah umur 17.
Pembaca yang budiman, sekali lagi, jangan ceritakan apapun mengenai cerpen ini pada istriku....
Aku sengsara, menderita, dungu, tidak berarti. Tapi, dengan cerpen ini, aku harus tunjukkan akulah seorang ayah yang paling bahagia. Sudah seharusnya seperti ini dan aku tidak punya nyali menafikkan ini. Tigapuluh tahun lebih bukan waktu yang pendek untuk penderitaanku. Harus kukatakan itulah sepanjang waktu paling subur. Dan penderitaan itu harus pembaca ketahui cerpen ini adalah titik terang kebahagiaan itu. Yang lain prek! Persetan!
Inilah kesempatan menyingkap titik terang dalam cerpen ini. Sesukaku.
Aku ini sangat penakut, tapi ternyata anak-anak perempuanku juga menjadi korban dari istriku. Dari ketujuh anak-anak perempuanku, satupun belum ada yang kawin. Mungkin karena pemalu. Tapi jangan-jangan memang dilarang kawin oleh ibunya, karena yang dia tahu tentang laki-laki hanyalah aku bapaknya. Tapi satu hal yang pasti, istriku paling tidak suka bikin pesta, dia tidak pernah undang siapa-siapa makan, dia kliwat judes, adatnya jelek, perempuan tukang cekcok, sehingga tidak ada yang mau bertamu.
Tolong, pembaca untuk tidak mendengarkan bagian cerita ini karena maaf aku tidak percaya pada anda, bakal tidak menceritakan ini pada istriku.
Ini yang perlu pembaca ketahui, aku lebih bebas bila menghadiri pesta tanpa istri dan anak-anakku. Tentu bisa diduga apa yang terjadi. Mabuk! Akulah pemabuk dengan minuman apapun yang memabukkan, karena dengan demikian inilah cara kedua aku mampu berasa bahagia sekaligus sedih. Sulit memang mengambarkan kemabukkan seperti ini.
Namun cerpenlah gambaran paling mudah untuk menyingkap perasaanku seperti itu. Bahagia tapi sedih. Semacam kebahagian tapi palsu. Atau kebahagiaan yang hanya ada dalam cerita. Kebahagiaan yang disusupi sesuatu yang membikin aku ingin lari, ingin segera minggat.
Oh, andai pembaca sekalian bisa merasakan bagaimana aku ingin melakukan itu! Lari, meninggalkan semua ini, lari tanpa menengok asalkan bisa minggat dari kehidupan yang hina, kejam, marah ini, yang sudah menjadikan aku tua bangka bobrok, tua bangka edan; minggat dari si pelit goblok, galak, dengki, yang jiwanya sempit serta menjengkelkan itu. Istriku itu, yang sudah menyiksaku lebih tigapuluh tahun lamanya.
Aku ingin minggat dari kemunafikan, dari dapur, dari urusan duit istriku, dari segala persoalan tetek mbengek. Lari untuk berhenti di suatu tempat yang jauh, jauh sekali di suatu padang, untuk berdiri menjulang seperti pohon, seperti tiang, seperti memedian pengusir burung, di bawah langit yang lebar, dan semalaman terus memandang bulan terang yang sunyi di atas kepala, lalu melupakan, melupakan.
Oh, aku merindukan kemampuan tidak mengingatku. Betapa aku tidak sabaran lagi untuk menjambret jas tua, beluhuk ini, yang 33 tahun yang lalu kupakai pada pernikahanku. Aku betul-betul merindukan kemampuan tidak mengingat. Aku merindukan kepalaku, pikiranku, perasaanku, emosiku bersih dari segala noda bernama ingatan. Bersih seperti kertas putih yang dihapus dari catatan harian, angka-angka dan daftar utang piutang. Ingatanlah yang telah membawaku melompat-lompat, menyeret-nyeret pada jurang masa lalu, masa kini dan masa depan. Ingatanlah yang menyebabkan aku muter-muter ke sana kemari.
Ya aku sih sudah muter balik kemari ke sana, tapi ujung-ujungnya tetap karena aku punya ingatan. Ini yang menyiksaku, menyulitkan aku. Aku merindukan saat aku tak perlu sibuk tahu berapa umurku, siapa istriku, dan mau apa besok sesudah pentas drama ini usai. Bayangkan bila aku tak punya ingatan, betapa jernih hidup sehari-hariku. Tak perlu aku mengisahkan bagaimana si kutu loncat istriku itu menghisapku seperti hingga lebih tahun ke tigapuluh ini. Kubayangkan bila aku tanpa ingatan, maka aku hanya perlu bermain sesukaku, bermain drama sekehendakku, karena bagiku setiap waktu adalah masa kini. Masa kini, masa kini thok!. Drama ini tak bakal serumit dan sesulit pertunjukan malam ini. Atase drama wae, kok!
Tapi kenyataannya malam ini tidak sebegitu enteng. Kenyataannya, aku perlu mempersulit diri dalam bermain drama biar katanya lebih berbobot. Padahal itu jelas-jelas menyiksaku, menganiaya aku. Anda-anda ternyata senang kan bila saya tersiksa? Aku juga jadi nggak tahu kenapa, aku juga senang menyiksa diri. Heran aku! Padahal aku tahu ini penyakit mashokis, senang menyiksa diri. Syukurlah, cintalah yang membuatku betah dan terhibur di tempat ini, dunia ini, pertunjukan ini: Istri dan drama.
Cinta pula yang menyebabkan aku perlu sedikit kompromi dengan ingatanku, penderitaanku, kekonyolanku. Aku perlu mengajak bercanda masa lalu, masa kini dan masa depan dengan cara seperti ini: Berputar-putar saja tanpa harus memikirkannya. Aku perlu bercengkerama dengan nama-nama baru yang telah hidup di pikiran, hati, perasaan dan emosiku, sebagaimana halnya aku memanggil Kutu Loncat pada istriku. Jujur saja aku tak perlu memikirkan itu semua bila aku tak ingin lebih tersiksa lagi dengan ingatanku seperti ini. Susah. Sungguh Susah. Susah Sungguh menjadi orang cerdas sepertiku.
Mungkin sudah menjadi ciri khas bahwa mutlak bagi orang cerdas untuk susah sungguh! Atau salah satu syarat menjadi cerdas adalah susah sungguh. Atau bila ingin menjadi cerdas harus belajar sungguh susah. Ah! Mana yang benar? Kok susah benar jadi orang yang benar! .....
Kubuang deretan setiap huruf yang tersusun rapi di keybord komputer ke bak sampah, dan tercecer di lantai. Sebelum akhirnya kupunguti lagi untuk melanjutkan cerpen ini. Lalu kucabut dengan kasar rokok yang semula terjepit di antara dua bibirku dan kubuang tepat di bawah kakiku. Rasakan puntungmu, kuinjak-injak kau! Rasain! Aku tua, melarat, sengsara, menderita. Aku sudah nyaris habis menghisap kamu tapi kamu tak habis-habisnya menghisap aku.
Keinginanku tidak muluk-muluk. Aku sebagai lelaki hanya ingin mendapat hidup yang bersih, tidak dihisap, kalaupun aku menghisap kamu itu karena aku membutuhkan kenikmatanmu. Aku pernah muda, aku pernah belajar di universitas, aku pernah bercita-cita, aku pernah menganggap diriku seorang lelaki. Aku cukup punya kehormatan untuk mendapatkan hidup yang bersih, tidak terus-terus dihisap, dan mengumpulkan penyakit di tubuhku. Sekarang aku tidak mau apa-apa! Tidak apa-apa selain istirahat, Istriku!
Maaf, pembaca, istriku sepertinya mau memeriksa cerpenku. Kalau anda ditanya, kumohon katakan, ”Cerpen ini hanya untuk dibaca para perokok karena di tubuhnya dibenamkan 4000 racun asap rokok. Katakan juga, bahwa merokok dapat menyebabkan gangguan janin dan jiwa!”
Seluruh rangkaian karya ini didedikasikan untuk para korban kekejian asap dari pecandu rokok yang kian menggurita di dunia. Bagi yang bukan perokok mustahil paham cerita ini. []
Karya Antón Chekov