"KENABIAN" PADA PEREMPUAN
Oleh Indra Tjahyadi*
(Seputar Indonesia, 9 Oktober 2011)
Judul : TANHA, Kekasih yang Terlupa
Jenis : Novel
Penulis : S. Jai,
Penerbit: Jogja Mediautama,
Cetakan : Pertama, Juni 2011,
Tebal : 321 + vi halaman ; 14.8 x 21 cm
ISBN : 978-602-99092-1
PERSOALAN gender dan kemanusiaan masih menjadi masalah pelik di negeri ini. Kaum hawa hanyalah dijadikan objek semata, masih cukup sering terdengar. Perempuan sering diperlakukan sebagai sebuah benda tertentu. Tepatnya benda mati.
Manusia dan benda. Adalah dua hal yang oleh agama dan kitab-kitab suci jelas dibedakan. Oleh karena itu, seringkali manusia, bukan saja perempuan, merasa direndahkan apabila dipersepsikan sama oleh orang tertentu. Sekali lagi, keduanya punya kodrat yang beda. Benda adalah “sebuah” dan manusia adalah “sesuatu.”
Merebut kembali nilai subjectivitas bermula dari alasan itu. Juga atas diri perempuan. Kata-kata bijak mengatakan: untuk memahami manusia, ya belajarlah tentang manusia itu sendiri. Seakan menampik segala personifikasi perempuan sebagai objek, apalagi benda.
Ilmu-ilmu eksakta misalnya punya alasan kuat untuk mempersepsikan manusia dengan benda, sebagai materi. Sebaliknya, ilmu-ilmu sosial, ilmu jiwa, seni, sastra, filsafat masih mafhum. Semisal membandingkan dengan burung, bunga, serangga dan lain-lain, dimaklumi. “Perempuan adalah kebun bunga, sementara jemari lelaki adalah kawanan lebah.” Perempuan yang kritis karena sadar merasa direndahkan, akan menjawab sinis “Ada bunga bangkai di taman yang selalu melahap kawanan lebah.”
Lebih dari itu, novel ini secara ekstrem justru menafikan gambaran-gambaran yang selama ini telah menjadi momok akibat kesadaran kolektif yang ternyata banyak merendahkan perempuan. Novel ini terang mengisahkan tentang kesadaran pribadi maupun kolektif yang tersembunyi dan direpresi, sambil di sana-sini justru mengabaikan sisi perempuan-lelaki. Dengan kata lain, jalinan kisah dalam novel ini lebih menitikberatkan pada pergulatan tokoh-tokohnya dalam menemukan apa yang disebut diri, oleh pemikir Carl Gustav Jung.
Dikisahkan, Mak Kaji Idayu Kiyati, janda tua telah jatuh miskin. Sejarah hidupnya yang getir telah ia gunting usai pengembaraan dalam kesendiriannya. Seorang putri satu-satunya, Lastri Srigati, mewarisi kemiskinan yang membelit, hingga anak turunnya: Ujub Kajat yang cacat, Maya Durghata Karini yang pemberontak, dan Dalla Ringgit yang tak bergairah. Lastri, bersuamikan Matjain, pria pemuja leluhurnya yang konon keturunan Sunan Bonang dan punya trah raja Brawijaya VI. Belakangan Matjain, suami Lastri dari hasil kawin paksa itu, jatuh cinta pada klenik.
Seluruh sudut pandang “aku” yang disampaikan tokoh-tokoh novel ini sebetulnya bukan hal baru dalam sastra. Pengarang Orhan Pamuk telah malakukannya. Umar Khayam juga demikian. Namun yang baru pada novel Tanha adalah subjektivitas “aku” ini digunakan untuk meneropong sedekat mungkin manusia dengan bahasa mereka sendiri, kejujuran dan kemurnian kata.
Selebihnya, yang terpenting adalah metode psikologis yang mengikutinya dengan pendekatan-pendekatan terapis khususnya. “Izinkanlah aku memasukimu, merasukimu, wahai jiwa-jiwa yang terlupakan. Maafkan bila aku mengudar ujung temalimu, selancar di balik bayang lipatanmu yang tersembunyi seperti malam-malam bagimu (hal 256)
Tentang aspek psikologis yang melatari novelnya, pengarang menegaskan menguasai dan dikuasai itu problem yang rumit disoal. Kembali ia menyitir Jung, bahwa sejak dulu hingga kini manusia terdiri dari tipe-tipe tertentu yang terbentuk dari pengalaman bersama di masa lampau yang disebut collective unconsciousness, atau ketaksadaran bersama. Ia hadir dalam sastra dalam bentuk archetypal images, termasuk di dalamnya image-image simbolik, mitos dan motif-motif tertentu dalam cerita. Dalam bahasa Foucault, bukan manusia yang menentukan episteme (cara manusia menangkap, yaitu memandang dan memahami kenyataan) dan wacana (cara manusia membicarakan kenyataan), melainkan sebaliknya.
Kendati hampir semua tokoh-tokoh novel ini secara psikologis dalam pergulatannya melampaui ambang batas antara kesadaran dan ketaksadarannya, namun demikian nampaklah hanya tokoh Maya Durghata Karini, sang ahli ilmu jiwa yang hampir utuh menemukan diri. Utuh dalam pengertian alam cita, dan mengabaikan keperempuanan maupun kelelakian sebagai makluk hidup. Diri dalam pengertian tujuan hidup yang terus menerus diperjuangkannya. Hal ini terungkap dari risalah yang kemudian dibuatnya sebagai semacam penjelasan science fiction: Pengantar Menuju Jiwa-jiwa yang Terlupakan, (hal 262)
Karena itu novel ini mengupas spiritualitas di balik kemiskinan hidup tokoh-tokohnya. Setidaknya sebagaimana terungkap dari nukilan kegelisahan tokoh-tokohnya tentang penderitaan, nasib, takdir, kemiskinan, trauma jiwa. Juga dipicu kegelisahan pengarang pada kisah Sidharta yang meninggalkan istri dan anaknya, juga kekayaannya dan kemudian memilih pergi ke belantara (hal.316). []
*)Penulis adalah Mahasiswa Magister Kajian Sastra dan Budaya Universitas Airlangga Surabaya.