Selasa, 03 Juli 2012

film


Soegija: Paradoks Film Serius yang Menghibur
Oleh S. JAI*)



FILM Soegija dibuka dengan catatan harian berangka tahun 1940. Kemudian sosok Soegija bersepeda dengan canggung, yang sepintas terkesan gambaran meragukan dari kualitas akting sastrawan Nirwan Dewanto.

Pada pembuka film muncul narasi tertulis—yang bagi saya demikian menggugah kekayaan teks-teks lain atas film itu: sosok Soegija dalam film itu didasarkan pada catatan pribadi Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata, SJ yang disusun Romo Budi Subanar SJ. Sementara para tokoh lainnya bersifat fiktif belaka.



Bagi saya ini sepenggal narasi pengantar yang sangat menarik pada sebuah film yang dimaksudkan lebih dari sekadar pendokumentasian perjalanan sejarah seorang tokoh Pahlawan Nasional. Mgr Soegijapranata, SJ adalah seorang Vikaris Apostolik Semarang, yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Sekaligus uskup pribumi pertama di negeri ini.

Sebuah catatan pribadi, tentu memiliki nilai subjektivitas yang tinggi. Termasuk subjektivitas dalam hal menyerap, memandang dan memahami peristiwa sosial di luar dirinya, dan kemudian subjektivitas di dalam menuangkan, membicarakan, mengangkat kembali peristiwa sosial tersebut melalui kemampuan berbahasa serta artikulasi kekuatan kata dalam catatan hariannya.

Yang tersebut belakangan itu adaptasi dari pencerapan saya atas teori Foucault yang menyoal episteme  dan wacana. Sementara sumbangsih besar sosok Soegija adalah kemampuan komunikasinya dan jejaring internasionalnya melalui surat-menyurat terhadap pemimpin nasional maupun dunia dengan Syahrir, Soekarno bahkan dengan pihak Vatikan.

Meski demikian, masih berdasar tafsir saya atas Foucault,  nilai subjektivitas tersebut belumlah tentu kukuh, sebab bukan mustahil masa lalu dan teks di luar dirinya jauh lebih berkuasa menentukan apa yang tadi telanjur disebut-sebut subjektivitas itu. Dengan kata lain, mitos atau ideologi bahkan juga agama sangat mungkin sebetulnya telah menggerakkan sosok Mrg Soegijapranata dalam menuang kembali catatan dirinya itu.

Bukan mustahil beliau bukan subjek yang sesungguhnya. Melainkan, ada mitos, ideologi, agama, tata nilai kemanusiaan yang diam-diam menggerakkan dirinya. Betapapun dengan bijak beliau menuangkan kata, “Apa artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri kita sendiri."

Pada perspektif inilah kemudian yang menjadikan narasi pengantar itu buat saya sangat penting. Sehingga dengan hal itu konsistensi film di satu sisi membawa konsekuensi pada sejumlah paradoks dalam film tersebut. Betapapun merujuk Ignas Kleden bahwa sebuah karya seni (baca:film) mengandung unsur hiburan serta sarat akan nilai dan norma pada masyarakat, namun saya kira lebih dari itu menyimpan kesimpang-siuran yang  menyerang dirinya.

Tampaknya sutradara Garin Nugroho bekerja dalam sadar diri atas pelbagai paradoks itu sehingga banyak sekali upaya bertarung memperkecil hal itu. Setidaknya hal itu terkesan dari ungkapannya, “Kami mencari cerita-cerita ketika dialog itu dimunculkan. Sumber macam-macam kami kumpulkan untuk ilustrasi situasi pada saat Soegija bicara. Itu yang sangat sulit karena kalau tidak nanti isinya hanya pidato dia saja."

Mitos, agama, ideologi di balik sosok Mrg Soegijapranata digunting habis demi mempertimbangkan satu-satunya yang sedikit banyak diharap merangkum itu semua: yaitu dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.  Akibatnya, muncul salah satu bentuk paradoks bahwa sosok Mrg Soegija tampil begitu eksklusif hanya di kalangan umat Katolik—sesuatu yang justru mengecilkan arti perjuangan beliau. Sementara film itu menghargai begitu banyak keragaman, etnis di dalam maupun luar negeri  Jawa, Cina, Belanda, Jepang. Termasuk penggunaan enam bahasa dunia.

Karena itu narasi pengantar film tersebut, bagi saya tak lain sekaligus guna memperteguh daya estetis-kreatif yakni menyuburkan tumbuh kembangnya benih berpikir liyan, memandang perjuangan kemerdekaan dengan prespektif lain, menampilkan sisi lain yang mungkin secara imajinatif ada tetapi selama ini tak tertangkap pengetahuan kita.

Bahkan daya estetis-kreatif seperti ini kemudian memberinya ruang imajinatif atau fiktif sebagaimana dalam narasi awal film itu, sebesar-besarnya. Termasuk dalam hal mengedepankan gagasan kemanusiaan atau ideologi universal yang ideal.

Seluruh tokoh-tokoh utama dalam Soegija adalah tokoh baik dan punya sensibilitas yang sempurna secara manusiawi. Kalaupun mereka ada yang belum menemukan kesempurnaan itu, sutradara mempercepat prosesnya agar  pesan dan kesannya kemudian tidak keliru tangkap sehingga keluar lagi dari nurani penikmat film nantinya. Percepatan itu sebagai bentuk paradoks dari ‘kejutan’ yang terjadi pada semua tokoh-tokohnya.

Ruang inilah sesungguhnya ruang “bermain” Garin Nugroho.  

Sementara pada sisi lain, sutradara menekan ruang sejarah Mgr Soegija yang diyakininya berpeluang menyesakkan dada penonton bilamana diumbar. Pada ruang ini, musti betul-betul dipilih catatan tokoh yang efektif, kontekstual, dan tentu saja sembari meremukkan jargon dan menjadikannya keindahan puisi—walaupun mustahil.

Estetika Berlapis

SUDAH barangtentu keadaan ini bisa jadi menggiring penikmat film Soegija untuk kembali jatuh dalam pertanyaan; genre film cerita ataukah bukan film cerita film ini?  Bila film cerita itu merujuk pada The Pianist (2002), karya sutradara Roman Polanski maka Soegija bukanlah film cerita. 

Dalam film sepanjang 115 menit ini, sedikit bertutur tentang kisah cinta Mariyem (Annisa Hertami) dengan wartawan perang Hendrick (Wouter Braaf). Kisah itu berakhir kandas dan hanya menyisakan harapan dan kenangan melalui foto-foto yang ditinggalkan. Kisah Ling Ling (Andrea Reva), gadis mungil yang dipisahkan dari ibunda (Olga Lydia) oleh serdadu Jepang. Keduanya dipertemukan kembali di sebuah gereja di Jogjakarta. 
Di sisi lain, Soegija juga mengisahkan serdadu Jepang Nobuzuki (Suzuki), yang hidupnya digerakkan oleh simpatinya pada keluarga dan anak-anak. Serdadu itu mati diujung bedil laskar republik. Juga kisah Robert (Wouter Zweers), serdadu Belanda yang mendadak nuraninya tersentuh bayi yang ditemukannya di medan perang.  Hidupnya berakhir setelah tertembak, dan ia membawa rindu pada ibundanya berkalang tanah.

Meski Garin Nugroho mengaku film ini pertobatan beliau, namun bermain dalam ruang liyo-liyaning liyan adalah keahlian, kecanggihan dan keteguhannya yang tidak begitu gampang dihapus dengan kata-kata puitis sekalipun. Film Soegija begitu indah karena itu. Menggerakkan energi dari sifatnya yang paradoksal dengan menampilkan banyak sekali teks untuk ditafsirkan menjadi teks baru tanpa peduli apa pesan maupun kesan dari yang pertama digambarkan dalam film.

Bayangkan pada film yang berlatar natural dan bahkan terkesan artistiknya kurang tergarap terutama pada latar kampung di Semarang, begitu banyak bahasa gambar dari teks yang sarat estetika. Musik. Teater. Opera. Drama. Tari. Upacara Agama. Wayang. Komedi. Ini semua tentu saja adalah bentuk keindahan yang berlapis. Orang kedua yang berperan besar memperkaya teks berlapis ini adalah Djaduk Ferianto dengan kekuatan musik dan utamanya lagu-lagu masa perjuangan tempo dulu maupun upacara-upacara ritual keagamaan.

Walaupun bunyi dan musik bukan satu-satunya kekuatan. Seorang penyiar radio bernama Pak Besoet berkali-kali menjadi narator bagi penonton film. Dia memegang mikrofon paling modern pada zamannya, ditemani asistennya seorang pemuda dengan ‘kotak ajaib’ berantena dan headphone pada telinganya.  Penjual dawet cendol keliling yang diperankan Marwoto menjadi primadona anak-anak. Kesempatan itu digunakan Marwoto untuk mengajari anak-anak nyanyi dolanan yang diplesetkan. “Eee..londone teko. Eee..pakakno asu!” (Belanda datang. Berikan pada anjing).

Kesempatan bermain pada ruang sutradara ini pula yang tentu saja memakan durasi paling panjang digunakan sebaiknya demi mempertimbangkan aspek hiburan tanpa sedikitpun membunuh keseriusan penggarapan film ini. Sejak hiburan yang intelek, cerdas, maupun yang ndesit dan kampungan.

Seorang pejuang kampungan yang belum bisa membaca, menipu pimpinannya dengan mengatakan dirinya bisa membaca kata ‘merdeka.’ Ketika menyombongkan hal itu, oleh pimpinannya malah diminta membaca buku Tan Malaka. “Pilih gelut ae nek ngono aku,” (Aku pilih berantem saja kalau begitu) jawab pemuda itu.

Eksklusifnya sosok Mgr Soegija yang kemudian terbukti diperankan dengan matang oleh Nirwan Dewanto, baru dirongrong dengan dialog-dialog nakal yang menggelitik dan menyegarkan disampaikan Koster Toegimin yang diperankan Butet Kertarajasa.

Sebagai sebentuk hiburan Soegija terkadang juga menyerang dirinya sendiri. Sebagai film serius yang dibuat dengan serius (2.275 aktor dan menelan dana Rp 12 miliar) namun bertujuan menghibur, memperlihatkan arus hiburan itu terbawa pada sejumlah peristiwa.  Tokoh Lantip yang berpidato di atas cikar pada hari kemerdekaan tak bisa menahan diri ketika sapinya sulit ditenangkan.

Memang kekonyolan yang sengaja atau kesengajaan yang konyol, keduanya sanggup menggelikan hati.  Namun kesengajaan membawa penonton untuk mengingat film lain, saat sekelompok pemusik di Soegija dihujani bom mirip film Titanic seperti sebutir pasir yang menganggu mata saya. Menariknya, saya temukan paradoks di adegan ini: pimpinan rombongan musik memerintahkan anak buahnya untuk terus bermain, tapi perintah itu disampaikan saat dirinya juga berhenti menggesekkan dawai biolanya.

Rupanya dia juga menghibur diri sendiri. Karena ledakan bom bukanlah hiburan.[]



*) penulis adalah pengarang dan pemerhati seni, tinggal di Lamongan