Soegija:
Paradoks Film Serius yang Menghibur
Oleh
S. JAI*)
FILM Soegija dibuka dengan catatan harian
berangka tahun 1940. Kemudian sosok Soegija bersepeda dengan canggung, yang
sepintas terkesan gambaran meragukan dari kualitas akting sastrawan Nirwan
Dewanto.
Pada pembuka film muncul narasi tertulis—yang
bagi saya demikian menggugah kekayaan teks-teks lain atas film itu: sosok Soegija
dalam film itu didasarkan pada catatan pribadi Mgr. Albertus Magnus Soegijapranata, SJ yang disusun Romo Budi Subanar SJ. Sementara para tokoh lainnya bersifat fiktif
belaka.
Bagi saya ini sepenggal
narasi pengantar yang sangat menarik pada sebuah film yang dimaksudkan lebih
dari sekadar pendokumentasian perjalanan sejarah seorang tokoh Pahlawan
Nasional. Mgr Soegijapranata, SJ adalah seorang Vikaris
Apostolik Semarang, yang kemudian menjadi Uskup Agung Semarang. Sekaligus uskup
pribumi pertama di negeri ini.
Sebuah catatan pribadi,
tentu memiliki nilai subjektivitas yang tinggi. Termasuk subjektivitas dalam
hal menyerap, memandang dan memahami peristiwa sosial di luar dirinya, dan
kemudian subjektivitas di dalam menuangkan, membicarakan, mengangkat kembali
peristiwa sosial tersebut melalui kemampuan berbahasa serta artikulasi kekuatan
kata dalam catatan hariannya.
Yang tersebut
belakangan itu adaptasi dari pencerapan saya atas teori Foucault yang menyoal episteme
dan wacana. Sementara sumbangsih
besar sosok Soegija adalah kemampuan komunikasinya dan jejaring
internasionalnya melalui surat-menyurat terhadap pemimpin nasional maupun dunia
dengan Syahrir,
Soekarno bahkan dengan pihak Vatikan.
Meski demikian, masih
berdasar tafsir saya atas Foucault, nilai subjektivitas tersebut belumlah tentu
kukuh, sebab bukan mustahil masa lalu dan teks di luar dirinya jauh lebih
berkuasa menentukan apa yang tadi telanjur disebut-sebut subjektivitas itu.
Dengan kata lain, mitos atau ideologi bahkan juga agama sangat mungkin
sebetulnya telah menggerakkan sosok Mrg Soegijapranata dalam menuang kembali
catatan dirinya itu.
Bukan mustahil beliau
bukan subjek yang sesungguhnya. Melainkan, ada mitos, ideologi, agama, tata
nilai kemanusiaan yang diam-diam menggerakkan dirinya. Betapapun dengan bijak
beliau menuangkan kata, “Apa
artinya menjadi bangsa merdeka jika kita gagal mendidik diri kita
sendiri."
Pada perspektif inilah
kemudian yang menjadikan narasi pengantar itu buat saya sangat penting.
Sehingga dengan hal itu konsistensi film di satu sisi membawa konsekuensi pada
sejumlah paradoks dalam film tersebut. Betapapun merujuk Ignas Kleden bahwa sebuah karya seni (baca:film) mengandung unsur hiburan
serta sarat akan nilai dan norma pada masyarakat, namun saya kira lebih dari
itu menyimpan kesimpang-siuran yang
menyerang dirinya.
Tampaknya sutradara Garin
Nugroho bekerja dalam sadar diri atas pelbagai paradoks itu sehingga banyak
sekali upaya bertarung memperkecil hal itu. Setidaknya hal itu terkesan dari
ungkapannya, “Kami
mencari cerita-cerita ketika dialog itu dimunculkan. Sumber macam-macam kami
kumpulkan untuk ilustrasi situasi pada saat Soegija bicara. Itu yang sangat
sulit karena kalau tidak nanti isinya hanya pidato dia saja."
Mitos, agama, ideologi
di balik sosok Mrg Soegijapranata digunting habis demi mempertimbangkan
satu-satunya yang sedikit banyak diharap merangkum itu semua: yaitu dengan
mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan.
Akibatnya, muncul salah satu bentuk paradoks bahwa sosok Mrg Soegija
tampil begitu eksklusif hanya di kalangan umat Katolik—sesuatu yang justru
mengecilkan arti perjuangan beliau. Sementara film itu menghargai begitu banyak
keragaman, etnis di dalam maupun luar negeri Jawa, Cina, Belanda, Jepang. Termasuk
penggunaan enam bahasa dunia.
Karena itu narasi
pengantar film tersebut, bagi saya tak lain sekaligus guna memperteguh daya
estetis-kreatif yakni menyuburkan tumbuh kembangnya benih berpikir liyan, memandang perjuangan kemerdekaan
dengan prespektif lain, menampilkan sisi lain yang mungkin secara imajinatif
ada tetapi selama ini tak tertangkap pengetahuan kita.
Bahkan daya estetis-kreatif
seperti ini kemudian memberinya ruang imajinatif atau fiktif sebagaimana dalam
narasi awal film itu, sebesar-besarnya. Termasuk dalam hal mengedepankan
gagasan kemanusiaan atau ideologi universal yang ideal.
Seluruh tokoh-tokoh
utama dalam Soegija adalah tokoh baik
dan punya sensibilitas yang sempurna secara manusiawi. Kalaupun mereka ada yang
belum menemukan kesempurnaan itu, sutradara mempercepat prosesnya agar pesan dan kesannya kemudian tidak keliru
tangkap sehingga keluar lagi dari nurani penikmat film nantinya. Percepatan itu
sebagai bentuk paradoks dari ‘kejutan’ yang terjadi pada semua tokoh-tokohnya.
Ruang inilah
sesungguhnya ruang “bermain” Garin Nugroho.
Sementara pada sisi
lain, sutradara menekan ruang sejarah Mgr Soegija yang diyakininya berpeluang
menyesakkan dada penonton bilamana diumbar. Pada ruang ini, musti betul-betul
dipilih catatan tokoh yang efektif, kontekstual, dan tentu saja sembari meremukkan
jargon dan menjadikannya keindahan puisi—walaupun mustahil.
Estetika Berlapis
SUDAH
barangtentu keadaan ini bisa jadi menggiring penikmat film Soegija untuk kembali jatuh dalam
pertanyaan; genre film cerita ataukah bukan film cerita film ini? Bila film cerita itu merujuk pada The Pianist (2002), karya sutradara
Roman Polanski maka Soegija bukanlah
film cerita.
Dalam film sepanjang 115 menit ini,
sedikit bertutur tentang kisah cinta Mariyem (Annisa Hertami) dengan wartawan
perang Hendrick (Wouter Braaf). Kisah itu berakhir kandas dan hanya menyisakan
harapan dan kenangan melalui foto-foto yang ditinggalkan. Kisah Ling Ling
(Andrea Reva), gadis mungil yang dipisahkan dari ibunda (Olga Lydia) oleh
serdadu Jepang. Keduanya dipertemukan kembali di sebuah gereja di Jogjakarta.
Di sisi lain, Soegija juga mengisahkan
serdadu Jepang Nobuzuki (Suzuki), yang hidupnya digerakkan oleh simpatinya pada
keluarga dan anak-anak. Serdadu itu mati diujung bedil laskar republik. Juga
kisah Robert (Wouter Zweers), serdadu Belanda yang mendadak nuraninya tersentuh
bayi yang ditemukannya di medan perang.
Hidupnya berakhir setelah tertembak, dan ia membawa rindu pada ibundanya
berkalang tanah.
Meski Garin Nugroho mengaku
film ini pertobatan beliau, namun bermain dalam ruang liyo-liyaning liyan adalah keahlian, kecanggihan dan keteguhannya
yang tidak begitu gampang dihapus dengan kata-kata puitis sekalipun. Film Soegija begitu indah karena itu.
Menggerakkan energi dari sifatnya yang paradoksal dengan menampilkan banyak
sekali teks untuk ditafsirkan menjadi teks baru tanpa peduli apa pesan maupun
kesan dari yang pertama digambarkan dalam film.
Bayangkan pada film
yang berlatar natural dan bahkan terkesan artistiknya kurang tergarap terutama
pada latar kampung di Semarang, begitu banyak bahasa gambar dari teks yang
sarat estetika. Musik. Teater. Opera. Drama. Tari. Upacara Agama. Wayang.
Komedi. Ini semua tentu saja adalah bentuk keindahan yang berlapis. Orang kedua
yang berperan besar memperkaya teks berlapis ini adalah Djaduk Ferianto dengan kekuatan musik dan utamanya lagu-lagu masa
perjuangan tempo dulu maupun upacara-upacara ritual keagamaan.
Walaupun bunyi dan musik bukan
satu-satunya kekuatan. Seorang penyiar radio bernama Pak Besoet berkali-kali
menjadi narator bagi penonton film. Dia memegang mikrofon paling modern pada zamannya,
ditemani asistennya seorang pemuda dengan ‘kotak ajaib’ berantena dan headphone
pada telinganya. Penjual dawet
cendol keliling yang diperankan Marwoto menjadi
primadona anak-anak. Kesempatan itu digunakan Marwoto untuk mengajari anak-anak
nyanyi dolanan yang diplesetkan. “Eee..londone
teko. Eee..pakakno asu!” (Belanda datang. Berikan pada anjing).
Kesempatan bermain pada
ruang sutradara ini pula yang tentu saja memakan durasi paling panjang
digunakan sebaiknya demi mempertimbangkan aspek hiburan tanpa sedikitpun
membunuh keseriusan penggarapan film ini. Sejak hiburan yang intelek, cerdas,
maupun yang ndesit dan kampungan.
Seorang pejuang
kampungan yang belum bisa membaca, menipu pimpinannya dengan mengatakan dirinya
bisa membaca kata ‘merdeka.’ Ketika menyombongkan hal itu, oleh pimpinannya
malah diminta membaca buku Tan Malaka. “Pilih
gelut ae nek ngono aku,” (Aku pilih berantem saja kalau begitu) jawab pemuda itu.
Eksklusifnya sosok Mgr Soegija
yang kemudian terbukti diperankan dengan matang oleh Nirwan Dewanto, baru
dirongrong dengan dialog-dialog nakal yang menggelitik dan menyegarkan disampaikan
Koster Toegimin yang diperankan Butet Kertarajasa.
Sebagai sebentuk
hiburan Soegija terkadang juga
menyerang dirinya sendiri. Sebagai film serius yang dibuat dengan serius (2.275
aktor dan menelan dana Rp 12 miliar) namun bertujuan menghibur, memperlihatkan
arus hiburan itu terbawa pada sejumlah peristiwa. Tokoh Lantip yang berpidato di atas cikar pada hari kemerdekaan tak bisa
menahan diri ketika sapinya sulit ditenangkan.
Memang kekonyolan yang
sengaja atau kesengajaan yang konyol, keduanya sanggup menggelikan hati. Namun kesengajaan membawa penonton untuk
mengingat film lain, saat sekelompok pemusik di Soegija dihujani bom mirip film Titanic
seperti sebutir pasir yang menganggu mata saya. Menariknya, saya temukan
paradoks di adegan ini: pimpinan rombongan musik memerintahkan anak buahnya
untuk terus bermain, tapi perintah itu disampaikan saat dirinya juga berhenti
menggesekkan dawai biolanya.
Rupanya dia juga
menghibur diri sendiri. Karena ledakan bom bukanlah hiburan.[]
*) penulis adalah
pengarang dan pemerhati seni, tinggal di Lamongan