Senin, 03 September 2012

profil


Halim HD:

“Makna Kebersamaan Sering Dimanipulasi”



Sumber: Majalah Seni Budaya ALUR, Edisi 05 Juli 2012




PADA prinsipnya manusia adalah homo festivus—makluk yang suka berpesta—dan mula sebuah pesta adalah upacara. Pada muasalnya festival itu sebuah pesta (dari kata bahasa latin festa yang berarti pesta besar peringatan atau perayaan sesuatu).

Novel Korrie Layun Rampan, upacara mengungkap upacara suku pedalaman dayak balian tetap dipersiapkan walaupun hasil panen agak merosot. Sementara, gambaran primitive tentang upacara bisa ditangkap pula dari film arahan sutradara Mel Gibson, Apochalypto—kisah tentang kehidupan keluarga suku Maya di Amerika Latin. Di sana ada hajatan upacara korban untuk sang Dewa Matahari.



Dalam film itu dikisahkan, ketika terjadi gerhana matahari, suku yang belum mengenal fenomena alam tersebut, menyangka gerhana adalah pertanda dewa telah menerima persembahannya. Karena itu penguasa yang berkomplot dengan saman  mencukupkan korbannya.

Sangkaan itu, takdir baik bagi sisa sebuah keluarga keturunan terakhir suku Maya yang selamat sebagai korban persembahan upacara sesat kelompok suku yang jahat. Artinya, pada zaman bahuela, penguasa suku yang kejam, yang suka menjual wanita, menyiksa, menjadikan budak dan membantai suku lain,  dengan  disokong oleh para saman, pun rajin menggelar upacara. 

Begitulah mula suatu festival pun sebetulnya upacara keagamaan untuk menghormati Tuhan atau Dewa di banyak agama. Liturgi Kristen mengenal Pesta Kelahiran Tuhan, Hari Raya Kebangkitan. Liturgi Anglikan mengenal peringatan Kudus, Peristiwa Suci. Di negeri ini, kita mengenal Grebeg Suro, Grebeg Maulid. Dengan kata lain festival lebih sering merujuk sebuah festival keagamaan, ketimbang misalnya;  sebuah festival seni.

Memang, mitologi Yunani mengenal Dewa Seni, Muses (musik). Karena itu  pesta seni adalah pemujaan pada “dewa seni muses.”  Konon festival seni yang tertua di Inggris pada 1589 yang diperuntukkan kepentingan gereja, yakni Three Choirs Festival kemudian mentradisi sebagai festival musik. 

Karena itulah sebagaimana diakui Halim HD, yang sering ambil bagian dalam kegiatan festival di pelbagai kota termasuk Surabaya dan Makasar, festival sangat mungkin dimanipulasi. “Sayangnya, makna festival sebagai kebersamaan dan saling berbagi begitu banyak  dimanipulasi,” ungkap networker kebudayaan asal Solo itu kepada ALUR, akhir pekan lalu.

Terhadap fenomena festival di Surabaya, menurut pandangan Halim, Surabaya itu mirip dengan Makassar: Terperangkap ke dalam sejarah masa lampau.  hampir rata-rata terperangkap ke dalam sejenis nasionalisme etnis budaya arek akan tetapi sudah kehilangan basis sosialnya. “Mereka bicara seolah-olah arek, tapi pikiran dan sikapnya sangat tergantung pada hal di luar dirinya,” tandas periset Melacak Strategi Kebudayaan Mandar itu.

Tahun 2004 dalam suatu tulisannya Halim pernah mengungkap; sebuah festival dalam masyarakat tradisi memiliki kekuatan ikatan sosial dari waktu ke waktu, yang juga berhubungan erat dengan tata ruang wilayah permukiman mereka, yang selalu memiliki ruang berlatar amba (terbuka) atau alun alun—sebagai ruang pertemuan sosial, yang mengikat hubungan batin antarwarga dari berbagai lapisan sosial ekonomi.

“Sebuah peristiwa festival dalam masyarakat tradisi kita terasa akrab. Pada sisi lainnya, mekanisme kehidupan ekonomi kalangan bawah juga ikut terlibat, misalnya dengan munculnya warung makanan atau bahkan berbagai jenis produk tradisional alat rumah tangga, pakaian, dan sebagainya yang banyak digelar selama festival itu berlangsung. Erau dan Sekaten bisa menjadi bukti dari suatu festival tradisi yang sangat melekat dan dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya,” demikian tulis lelaki kelahiran Serang 25 Juli 1952 itu.

Sebaliknya, pada festival di wilayah masyarakat perkotaan yang diselenggarakan oleh kalangan seniman modern cenderung merupakan kegiatan kesenian atau festival di wilayah yang dianggap elitis. “Pusat kesenian dengan politik birokrasi yang ketat demikian sering menampilkan jenis kuratorial sepihak yang menciptakan selera estetika tertentu,” lanjut pria yang pernah kuliah di jurusan Filsafat UGM  itu.


Kehilangan Tema

LEBIH sepuluh tahun kemudian, ketika festival-festival tumbuh subur seperti jamur di musim hujan, Halim HD masih lantang mengingatkan pentingnya menggali spirit lama dalam tradisi festival. Yaitu secara prinsip dalam setiap festival tentu harus  ada konteks yang menempatkan posisi dan fungsi warga, orang kebanyakan terlibat secara langsung.

“Selama ini yang ada festival seniman. Alias antar seniman. Sebetulnya nggak apa-apa. Menjadi masalah karena biasanya antar seniman itu lebih berkaitan dengan proyek.  Lalu makna festivalnya menjadi  ambruk. Tema menjadi hilang dan justru yang muncul isu tentang pendanaan,” ujar Halim.

Makna festival menurut  Halim pada dasarnya sangat ideal. Meskipun idiomnya datang dari wilayah lain dari bahasa Spanyol,  ketika memasuki ruang kultural kita, semestinya festival berkaitan dengan tradisi, dengan pesta warga. Di sini kandungan  makna tradisi dan pesta warga. Kita bisa membandingkannya dengan  sejenis ruwatan atau slametan di lingkungan sosial kita.  “Dalam konteks itulah, tradisi dan pesta warga karena di sana kandungan berbagi dan bersama menjadi nilai utamanya. Makna festival sebagai makna kebersamaan, saling berbagi. Hanya saja, sayangnya di Indonesia begitu banyak seniman yang memanipulasinya,” ungkap  pria yang sempat mengajar bahasa Indonesia di Annarborg University Ameriaka Serikat  itu.

Makna yang demikian itu, menurut Halim, terwujud dalam keterbukaan. Bukan cuma spirit, tetapi kehadiran warga juga secara populis serta secara fisik warga kebanyakan mesti hadir terlibat.  Halim mempertegas makna festival secara terbuka dan bukan dalam pengertian utuh. “Artinya festival yang maknanya terbuka itu makanya selalu direvisi, selalu dinilai ulang dan tidak ada yang utuh. Pikiran soal utuh itu cenderung pikirannya seniman—seniman yang nggak paham kondisi dan kontek sosial festival,” tandasnya.

Dalam pengertiannya yang terbuka dan penting untuk selalu direvisi, oleh karena sebuah festival berangkat dari kebutuhan warga. Jika seniman memang mau terlibat, maka mesti paham kebutuhan warga. Kebutuhan itu musti diketahui melalui riset. “Harus ada riset. Melakukan pelacakan kembali dan menafsirkan kembali. Pelacakan serta penafsirannya itu mesti bersama,” kata Halim.

Dalam konteks perlunya festival Surabaya, misalnya, riset dan pelacakan kembali harus dimulai dari semua arah. “Dan yang terpenting, duduk bersama, membuka pikiran. Selama ini masih tertutup oleh kepentingan faksi-faksi seniman masing masing,”

Bukankah pemahaman ‘pokoknya ramai dan semua terlibat’ mengandung pengertian yang bias dalam penyelenggaraan festival?  Jawab Halim:  “Tidak ada bias. Bias itu (terjadi) karena senimannya kayak gerombolan, tak memiliki individualitas. Lalu mereka masuk ke dalam faksi faksi dan menjadi gerombolan atas nama kesenian dan kebudayaan.

Ruang dan Kerja Alternatif

KARENA itu dalam sebuah festival, tepatnya festival seni kata kuncinya, menurut Halim HD adalah konsep seni back to basic—menentukan seni yang mana dan lingkungan sosial yang mana. Halim mengingatkan bahwa warga dan masyarakat itu beragam. Karena itu, kapasitas untuk mempertemukan keberagaman itulah yang diuji. Jadi kata kuncinya kapasitas dialogis semua elemen kesenian yang mencari makna kebersamaan. “Festival itu bukan hanya milik seniman dan kesenian, tetapi juga (festivalnya) tukang becak, tukang parkir, polantas, warung warung, jurnalis, pengamat. Semuanya. Ingat, semuanya!”

Halim membenarkan keberadaan kebanyakan penyelenggara festival belakangan ini yang cenderung menjadi objek dan bukan menjadi subjek. Sehingga tidak memiliki nilai tawar. Posisi tawar itu menurut Halim sudah lama hilang. Konkretnya, Halim menyebut festival hanyalah menjadi proyek. Proyek dari birokrat, seniman, maupun petualang.  “Makanya yang tepat festival menjadi objek-objekan. Karena sudah tak memiliki tema, tak memiliki prinsip kerja bersama. Masing masing saling berlomba untuk menjegal,” tandas pria yang pernah bekerja sebagai asisten research di Cornell Modern Indonesian Project Amerika itu.

Menjawab pertanyaan perihal eksistensi Festival Seni Surabaya, Halim berpendapat, jika memang hendak dilanjutkan, FSS musti back to basic dimulai dari hal-hal kecil yang ada di sekitar. “Tapi wis kadung melambung. Akhirnya yang ada cuma mimpi. Sambil ngintip,.ana pira nang kana haa..haa..haa. bagaimana pun, seharusnya musti ada yang bisa dan berani melacak  lebih jauh dan menguak lebih dalam, lalu mempublikasikannya.”

Menangani sebuah festival menurutnya membutuhkan orang-orang dengan pikiran terbuka dan penciptaan ruang alternatif. Halim menegaskan banyak komunitas telah melakukan hal itu: kerja alternatif. Mereka selama belasan tahun dan bahkan ada yang sudah tigapuluh tahunan melakukan kerja alternatif seperti itu.

“Prinsip mereka menarik—sependek pengetahuan saya berkenalan dan terlibat bersama mereka. Bahwa mereka sadar benar pada posisi sosial mereka, yakni, sebagai warga sipil dan ingin mewujudkan kebudayaan madani. Repotnya di Surabaya, kebanyakan kebudayaannya 'medeni'....hehehehe.....” imbuhnya.

Selebihnya bergantung pada kemauan untuk menciptakan ruang dan kerja alternatif itu. Termasuk kemungkinannya tumbuh di Surabaya.  Halim membeberkan ada sejumlah festival yang layak sebagai bahan pembelajaran. Diantaranya Festival Lima Gunung. Lalu membandingkan dengan Rumah Dunia Banten dengan Jatiwangi Art Factory di Cirebon CCL atau Celah Celah Langit di Kampung Ledeng Bandung, atau seperti yang dikerjakan oleh Thompson HS dengan opera Bataknya di Pematang Siantar sejak 1990-an.

Festival Lima Gunung berangkat dari warga di gunung Merapi, Merbabu, Andong,  Menoreh, Sumbing dan ada satu keluarga pendukung yang kuat yang memiliki akar sejarah tradisi. Seniman Sutanto Mendut memiliki komitmen yang kuat di festival ini dengan mengajak para petani—yang biasanya ke sawah—untuk menari, melukis dan bermain musik bersama.

Jatiwangi Art Factory berangkat dari konteks lingkungannya, kaum perupa yang menerobos ruang dan disiplin seni lainnya membangun ruang dan kerja alternatif bersama warga.  Di sini ada ruang kampung dimana Imam Sholeh, aktor keren itu membikin kegiatan bersama tetangganya.  Rumah Dunia Banten, segelinir anak-anak muda membangun ruang kerja alternatif dengan tema menulis dan membaca yang pada akhirnya melahirkan jaringan komunitas dan festival penulis sejak awal tahun 2000-an. Meraka telah memulai bergiat sejak tahun 1995-an.

“Semuanya berangkat dari kapasitas mereka. Tanpa mengemis kepada siapapun juga. Tanpa menyodor-nyodorkan proposal kepada bupati, walikota atau gubernur,” tandas Halim.


Warga Pemilik Sah Kebudayaan

HENDAKNYA, festival menurut Halim,  diletakkan pada posisi dan fungsi kebutuhan warga sebagai bentuk rasa kebersamaan yang didasarkan dari keprihatinan dan rasa syukur dari warga sebagai pemilik sah khasanah tradisi dan karya senibudaya. Festival bukan milik penguasa atau pemda, dan warga hanya sekedar pengikut serta belaka.
Kemiripan yang terjadi pada Surabaya dan Makasar, yang  terperangkap ke dalam sejarah masa lampau, tak lain disebabkan kebutuhan warga tidak diletakkan sebagaimana posisi dan fungsinya dalam kebersamaan. Beruntung, luar kondisi itu, masih ada energi-energi ultimate concern dari masyarakat yang keukeuh mencipta ruang dan kerja alternatif.

Di Makasar ada beberapa pribadi yang menarik, seperti Komunitas Ininnawa, Teater Kala, dan beberapa komunitas perupa. Lainnya menjadi penggerutu karena tak mendapat jatah proyek dari Pemkot.  Di Tinambung, Mandar, ada anak muda, drop out dari fakultas perikanan, tapi sekarang menjadi periset dan penggerak penelitian kebudayaan bahari Mandar. Dia sudah menulis 5-6 buku. “Namanya Muhammad Ridwan Alimuddin. Dialah sekarang yang banyak menjadi penggerak bagi rekan-rekannya, lalu menciptakan jaringan sosialnya,” cetus Halim.

Lantas, di Palu, ada komunitas antar kaum muda yang studi tentang perubahan tata kota berkaitan dengan kegiatan senibudaya, mereka arsitek, perupa, orang teater dan lain lainnya.  Sedang di Jawa Timur, Halim mengaku jarang menemukan seniman atau kaum muda yang benar-benar mandiri.

“Mungkin ada satu dua oranglah. Seperti halnya, apa yang dikerjakan Fahrudin Nasruloh dengan Komunitas Lembah Pring dalam kegiatan sastra dan riset pribadinya sangat menarik,” tukas Halim.  (s.jai)