Halim HD:
“Makna
Kebersamaan Sering Dimanipulasi”
Sumber: Majalah Seni Budaya ALUR, Edisi 05 Juli 2012
PADA
prinsipnya manusia adalah homo festivus—makluk
yang suka berpesta—dan mula sebuah pesta adalah upacara. Pada muasalnya festival itu sebuah
pesta (dari kata bahasa latin festa
yang berarti pesta besar peringatan atau perayaan sesuatu).
Novel Korrie Layun Rampan, upacara mengungkap upacara suku
pedalaman dayak balian tetap
dipersiapkan walaupun hasil panen agak merosot. Sementara, gambaran primitive
tentang upacara bisa ditangkap pula dari film arahan sutradara Mel Gibson, Apochalypto—kisah tentang kehidupan
keluarga suku Maya di Amerika Latin. Di sana ada hajatan upacara korban untuk
sang Dewa Matahari.
Dalam film itu dikisahkan, ketika
terjadi gerhana matahari, suku yang belum mengenal
fenomena alam tersebut, menyangka gerhana adalah pertanda dewa telah menerima
persembahannya. Karena itu penguasa yang berkomplot dengan saman mencukupkan korbannya.
Sangkaan itu, takdir baik bagi
sisa sebuah keluarga keturunan terakhir suku Maya yang selamat sebagai korban
persembahan upacara sesat kelompok suku yang jahat. Artinya, pada zaman
bahuela, penguasa suku yang kejam, yang suka menjual wanita, menyiksa,
menjadikan budak dan membantai suku lain,
dengan disokong oleh para saman,
pun rajin menggelar upacara.
Begitulah mula suatu festival
pun sebetulnya upacara keagamaan untuk menghormati Tuhan atau Dewa di banyak
agama. Liturgi Kristen mengenal Pesta Kelahiran
Tuhan, Hari Raya Kebangkitan. Liturgi Anglikan mengenal peringatan Kudus, Peristiwa Suci. Di negeri ini, kita mengenal Grebeg Suro, Grebeg Maulid. Dengan kata lain festival lebih sering
merujuk sebuah festival keagamaan, ketimbang misalnya; sebuah festival seni.
Memang, mitologi Yunani
mengenal Dewa Seni, Muses (musik).
Karena itu pesta seni adalah pemujaan pada “dewa seni
muses.” Konon festival seni yang tertua
di Inggris pada 1589 yang diperuntukkan kepentingan gereja, yakni Three Choirs Festival kemudian
mentradisi sebagai festival musik.
Karena itulah sebagaimana
diakui Halim HD, yang sering ambil bagian dalam kegiatan festival di pelbagai
kota termasuk Surabaya dan Makasar, festival sangat mungkin dimanipulasi.
“Sayangnya, makna festival sebagai kebersamaan dan
saling berbagi begitu banyak
dimanipulasi,” ungkap networker kebudayaan asal Solo itu kepada ALUR,
akhir pekan lalu.
Terhadap
fenomena festival di Surabaya, menurut pandangan Halim, Surabaya itu mirip
dengan Makassar: Terperangkap ke dalam sejarah masa lampau. hampir rata-rata terperangkap ke dalam sejenis
nasionalisme etnis budaya arek akan tetapi sudah kehilangan basis sosialnya.
“Mereka bicara seolah-olah arek, tapi
pikiran dan sikapnya sangat tergantung pada hal di luar dirinya,” tandas
periset Melacak Strategi Kebudayaan
Mandar itu.
Tahun 2004 dalam suatu
tulisannya Halim pernah mengungkap; sebuah festival dalam masyarakat tradisi
memiliki kekuatan ikatan sosial dari waktu ke waktu, yang juga berhubungan erat
dengan tata ruang wilayah permukiman mereka, yang selalu memiliki ruang
berlatar amba (terbuka)
atau alun alun—sebagai ruang pertemuan sosial, yang mengikat hubungan batin
antarwarga dari berbagai lapisan sosial ekonomi.
“Sebuah peristiwa festival
dalam masyarakat tradisi kita terasa akrab. Pada sisi lainnya, mekanisme
kehidupan ekonomi kalangan bawah juga ikut terlibat, misalnya dengan munculnya
warung makanan atau bahkan berbagai jenis produk tradisional alat rumah tangga,
pakaian, dan sebagainya yang banyak digelar selama festival itu berlangsung.
Erau dan Sekaten bisa menjadi bukti dari suatu festival tradisi yang sangat
melekat dan dibutuhkan oleh masyarakat sekitarnya,” demikian tulis lelaki kelahiran Serang 25 Juli 1952 itu.
Sebaliknya, pada festival di
wilayah masyarakat perkotaan yang diselenggarakan oleh kalangan seniman modern
cenderung merupakan kegiatan kesenian atau festival di wilayah yang dianggap
elitis. “Pusat kesenian dengan politik birokrasi yang ketat demikian sering
menampilkan jenis kuratorial sepihak yang menciptakan selera estetika
tertentu,” lanjut pria yang pernah kuliah
di jurusan Filsafat UGM itu.
Kehilangan Tema
LEBIH
sepuluh tahun kemudian, ketika festival-festival tumbuh subur seperti jamur di
musim hujan, Halim HD masih lantang mengingatkan pentingnya menggali spirit
lama dalam tradisi festival. Yaitu secara prinsip dalam setiap festival tentu
harus ada konteks yang menempatkan
posisi dan fungsi warga, orang kebanyakan terlibat secara langsung.
“Selama ini yang ada festival seniman. Alias antar seniman.
Sebetulnya nggak apa-apa. Menjadi masalah karena biasanya antar seniman itu
lebih berkaitan dengan proyek. Lalu
makna festivalnya menjadi ambruk. Tema
menjadi hilang dan justru yang muncul isu tentang pendanaan,” ujar Halim.
Makna
festival menurut Halim pada dasarnya
sangat ideal. Meskipun idiomnya datang dari wilayah lain dari bahasa
Spanyol, ketika memasuki ruang kultural
kita, semestinya festival berkaitan dengan tradisi, dengan pesta warga. Di sini
kandungan makna tradisi dan pesta warga.
Kita bisa membandingkannya dengan sejenis
ruwatan atau slametan di lingkungan sosial kita. “Dalam konteks itulah, tradisi dan pesta warga
karena di sana kandungan berbagi dan bersama menjadi nilai utamanya. Makna
festival sebagai makna kebersamaan, saling berbagi. Hanya saja, sayangnya di
Indonesia begitu banyak seniman yang memanipulasinya,” ungkap pria yang sempat mengajar bahasa Indonesia di
Annarborg University Ameriaka Serikat
itu.
Makna
yang demikian itu, menurut Halim, terwujud dalam keterbukaan. Bukan cuma
spirit, tetapi kehadiran warga juga secara populis serta secara fisik warga
kebanyakan mesti hadir terlibat. Halim
mempertegas makna festival secara terbuka dan bukan dalam pengertian utuh.
“Artinya festival yang maknanya terbuka itu makanya selalu direvisi, selalu
dinilai ulang dan tidak ada yang utuh. Pikiran soal utuh itu cenderung
pikirannya seniman—seniman yang nggak paham kondisi dan kontek sosial festival,”
tandasnya.
Dalam
pengertiannya yang terbuka dan penting untuk selalu direvisi, oleh karena
sebuah festival berangkat dari kebutuhan warga. Jika seniman memang mau
terlibat, maka mesti paham kebutuhan warga. Kebutuhan itu musti diketahui
melalui riset. “Harus ada riset. Melakukan pelacakan kembali dan menafsirkan
kembali. Pelacakan serta penafsirannya itu mesti bersama,” kata Halim.
Dalam
konteks perlunya festival Surabaya, misalnya, riset dan pelacakan kembali harus
dimulai dari semua arah. “Dan yang terpenting, duduk bersama, membuka pikiran.
Selama ini masih tertutup oleh kepentingan faksi-faksi seniman masing masing,”
Bukankah
pemahaman ‘pokoknya ramai dan semua terlibat’ mengandung pengertian yang bias
dalam penyelenggaraan festival? Jawab
Halim: “Tidak ada bias. Bias itu (terjadi)
karena senimannya kayak gerombolan, tak memiliki individualitas. Lalu mereka
masuk ke dalam faksi faksi dan menjadi gerombolan atas nama kesenian dan
kebudayaan.
Ruang dan Kerja Alternatif
KARENA itu
dalam sebuah festival, tepatnya festival seni kata kuncinya, menurut Halim HD adalah
konsep seni back to basic—menentukan
seni yang mana dan lingkungan sosial yang mana. Halim mengingatkan bahwa warga
dan masyarakat itu beragam. Karena itu, kapasitas untuk mempertemukan
keberagaman itulah yang diuji. Jadi kata kuncinya kapasitas dialogis semua
elemen kesenian yang mencari makna kebersamaan. “Festival itu bukan hanya milik
seniman dan kesenian, tetapi juga (festivalnya) tukang becak, tukang parkir,
polantas, warung warung, jurnalis, pengamat. Semuanya. Ingat, semuanya!”
Halim
membenarkan keberadaan kebanyakan penyelenggara festival belakangan ini yang
cenderung menjadi objek dan bukan menjadi subjek. Sehingga tidak memiliki nilai
tawar. Posisi tawar itu menurut Halim sudah lama hilang. Konkretnya, Halim
menyebut festival hanyalah menjadi proyek. Proyek dari birokrat, seniman,
maupun petualang. “Makanya yang tepat
festival menjadi objek-objekan. Karena sudah tak memiliki tema, tak memiliki
prinsip kerja bersama. Masing masing saling berlomba untuk menjegal,” tandas
pria yang pernah bekerja sebagai asisten research di Cornell Modern
Indonesian Project Amerika itu.
Menjawab
pertanyaan perihal eksistensi Festival Seni Surabaya, Halim berpendapat, jika
memang hendak dilanjutkan, FSS musti back
to basic dimulai dari hal-hal kecil yang ada di sekitar. “Tapi wis kadung melambung. Akhirnya yang ada
cuma mimpi. Sambil ngintip,.ana pira nang
kana haa..haa..haa. bagaimana pun, seharusnya musti ada yang bisa dan
berani melacak lebih jauh dan menguak
lebih dalam, lalu mempublikasikannya.”
Menangani
sebuah festival menurutnya membutuhkan orang-orang dengan pikiran terbuka dan
penciptaan ruang alternatif. Halim menegaskan banyak komunitas telah melakukan hal
itu: kerja alternatif. Mereka selama belasan tahun dan bahkan ada yang sudah
tigapuluh tahunan melakukan kerja alternatif seperti itu.
“Prinsip mereka menarik—sependek pengetahuan
saya berkenalan dan terlibat bersama mereka. Bahwa mereka sadar benar pada
posisi sosial mereka, yakni, sebagai warga sipil dan ingin mewujudkan
kebudayaan madani. Repotnya di Surabaya, kebanyakan kebudayaannya 'medeni'....hehehehe.....” imbuhnya.
Selebihnya bergantung pada kemauan untuk
menciptakan ruang dan kerja alternatif itu. Termasuk kemungkinannya tumbuh di
Surabaya. Halim membeberkan ada sejumlah
festival yang layak sebagai bahan pembelajaran. Diantaranya Festival Lima Gunung. Lalu membandingkan
dengan Rumah Dunia Banten dengan Jatiwangi Art Factory di Cirebon CCL
atau Celah Celah Langit di Kampung
Ledeng Bandung, atau seperti yang dikerjakan oleh Thompson HS dengan opera
Bataknya di Pematang Siantar sejak 1990-an.
Festival Lima Gunung berangkat dari warga di gunung Merapi, Merbabu, Andong, Menoreh, Sumbing dan ada satu keluarga
pendukung yang kuat yang memiliki akar sejarah tradisi. Seniman Sutanto Mendut
memiliki komitmen yang kuat di festival ini dengan mengajak para petani—yang
biasanya ke sawah—untuk menari, melukis dan bermain musik bersama.
Jatiwangi Art Factory berangkat dari konteks lingkungannya, kaum perupa
yang menerobos ruang dan disiplin seni lainnya membangun ruang dan kerja
alternatif bersama warga. Di sini ada
ruang kampung dimana Imam Sholeh, aktor keren itu membikin kegiatan bersama
tetangganya. Rumah Dunia Banten, segelinir anak-anak muda membangun ruang kerja
alternatif dengan tema menulis dan membaca yang pada akhirnya melahirkan
jaringan komunitas dan festival penulis sejak awal tahun 2000-an. Meraka telah
memulai bergiat sejak tahun 1995-an.
“Semuanya berangkat dari kapasitas
mereka. Tanpa mengemis kepada siapapun juga. Tanpa menyodor-nyodorkan proposal
kepada bupati, walikota atau gubernur,” tandas Halim.
Warga Pemilik Sah Kebudayaan
HENDAKNYA,
festival menurut Halim, diletakkan
pada posisi dan fungsi kebutuhan warga sebagai bentuk rasa kebersamaan yang
didasarkan dari keprihatinan dan rasa syukur dari warga sebagai pemilik sah
khasanah tradisi dan karya senibudaya. Festival bukan milik penguasa atau
pemda, dan warga hanya sekedar pengikut serta belaka.
Kemiripan yang terjadi pada Surabaya dan Makasar, yang terperangkap
ke dalam sejarah masa lampau, tak lain disebabkan kebutuhan warga tidak
diletakkan sebagaimana posisi dan fungsinya dalam kebersamaan. Beruntung, luar
kondisi itu, masih ada energi-energi ultimate
concern dari masyarakat yang keukeuh mencipta ruang dan kerja alternatif.
Di
Makasar ada beberapa pribadi yang menarik, seperti Komunitas Ininnawa, Teater
Kala, dan beberapa komunitas perupa. Lainnya menjadi penggerutu karena tak
mendapat jatah proyek dari Pemkot. Di
Tinambung, Mandar, ada anak muda, drop
out dari fakultas perikanan, tapi sekarang menjadi periset dan penggerak
penelitian kebudayaan bahari Mandar. Dia sudah menulis 5-6 buku. “Namanya Muhammad
Ridwan Alimuddin. Dialah sekarang yang banyak menjadi penggerak bagi
rekan-rekannya, lalu menciptakan jaringan sosialnya,” cetus Halim.
Lantas, di Palu, ada komunitas antar
kaum muda yang studi tentang perubahan tata kota berkaitan dengan kegiatan
senibudaya, mereka arsitek, perupa, orang teater dan lain lainnya. Sedang di Jawa Timur, Halim mengaku jarang
menemukan seniman atau kaum muda yang benar-benar mandiri.
“Mungkin ada satu dua oranglah. Seperti
halnya, apa yang dikerjakan Fahrudin Nasruloh dengan Komunitas Lembah Pring
dalam kegiatan sastra dan riset pribadinya sangat menarik,” tukas Halim. (s.jai)