Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Edisi Juli 2012
Teater Pemberdayaan:
Kemerdekaan Bagi Mantan
Napi Anak
Oleh S JAI*)
“Bebas lepas. Tanpa Beban. Aku merdeka.”
EMPAT pemain melantunkan lirik ini, tanpa aturan nada
tertentu. Mereka saling bergantian bernyanyi. Kadang dengan kasar, seringkali
juga kocak. Lantas mereka—Eko (18),
Fredi (18), Musthofa (23) dan Wahyu (21)—saling mengisahkan pahit getir dirinya
selama menghuni Lapas Anak. Ingatan paling menyiksa yang dilakoni tiap hari
oleh mereka adalah ketika di teras langgar menyaksikan rekan-rekannya dibezoek
keluarganya.
Sebaliknya, selama di
penjara tak seorang pun manusia yang peduli pada keempat anak ini. Mereka merindukan
ibundanya, juga “kekasih”—nya dan memuntahkan emosinya begitu mendapati
kemerdekaan selepas dari tahanan hanyalah kegetiran hidup lainnya.
Itu terjadi di
panggung teater Maha Ibu oleh teater Shelter Rumah Hati, yang disutradarai Zainuri Rabu
(4/4) lalu di Gedung Cak Durasim Taman Budaya Surabaya. Eko, Fredi, Musthofa dan Wahyu bermain di
panggung berseting empat tangga yang digantung menuju arah langit. Simbol yang
jelas berkait erat dengan tujuan atau citacita—sebuah kata kunci yang tak asing
bagi setiap aktivitas pemberdayaan.
Di atas kertas, Eko
dan Fredi masih terhitung anak dan semestinya di bawah perlindungan orangtua,
keluarga, masyarakat dan negara (pasal
52 UU 39/1999). Sebagai anak juga punya hak untuk istirahat dan memanfaatkan
waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri (pasal 11 UU 23/
2002).
Musthofa dan Wahyu
tak bisa lagi disebut anak. Namun justru ia memiliki beban besar di luar pasal-pasal hukum, bukan hanya selepas dari lapas anak dijerat
lagi dan “dihukum” masyarakat. Keduanya seolah diluar jangkauan
hukum dan menghadapi alam baru kedewasaannya—yang jauh lebih menuntut
kekuatannya.
Di bawah dampingan
Shelter Rumah Hati, proses teater buat mereka adalah proses belajar memimpin
diri sendiri, memberdayakan diri melalui media paling ampuh: komunikasi. Mereka merancang bangun gambaran mengenai sesuatu yang
baik, idealisme, cita-cita yang bermakna. Di situlah para eks
tahanan ini mengembangkan etika kreatif, menghormati, menghargai sesama kawan yang
belajar, menumbuhkan keyakinan pada sesuatu yang benar untuk dunianya yang
dibangunnya dengan lebih baik, menerbitkan kepekaan, empati dengan melayani
orang lain, tak berburuk sangka, apalagi memaksakan kehendak sendiri. Mereka
bersentuhan dengan keberanian, kesabaran, pengabdian, ketekunan, rendah hati
dengan rasa hormat pada keberagaman orang lain.
Mereka adalah eks tahanan yang beruntung
karena dirinya sungguh penting dalam teater. Ia dihargai idenya, imajinasinya,
naskah buatannya sendiri. Mungkin dia bukan aktor. Tetapi mereka memiliki
spirit sebagai aktor, khususnya dalam memerankan dirinya sendiri. Bukankah teater menurut Rendra justru yang
bersifat spirituil?
Mereka beruntung karena bisa mengasah daya
asosiasi, panca indera, juga improvisasi
yang menyiapkan dirinya tangkas pada lingkungan dan giras bekerja. Dan itu
dilakukannya dengan penuh kesadaran diri akan kekuatan dirinya. Mungkin Eko,
Fredi, Musthofa dan Wahyu bukan aktor. Namun pada teater yang dimainkkannya mereka
bisa menumbuhkan kepercayaan diri, bahkan dalam kesulitan paling muskil
bisa mendorong diri tanpa bertumpu pada harapan orang lain. Inilah sebenarnya kemerdekaan.
Mereka telah menjaga
kemerdekaan itu, menjaga integritas perbuatan dan hati nuraninya. Mereka telah
tahu kemerdekaan bisa lepas darinya bila tak dijaganya. Maka, mungkin mereka bukan aktor, namun
teater Maha Ibu telah mempertegas
hakekat yang disebut Rendra 32 tahun lalu sebagai “usaha untuk
mempertahankan intrinsik kemanusiaan.”
Teater Maha Ibu juga telah
menangkap kembali keyakinan Suyatna Anirun, bahwa teater untuk menemukan
manusia.
***
PERTUNJUKAN berdurasi 55 menit
itu mengisahkan kehidupan Eko, Fredi yang dipenjara 3,5
bulan karena mencuri bor. Keduanya sempat dihajar massa 3 kampung di Jombang.
Saat diseret ke balai desa pun tak ada aparat desa yang mencegah. Musthofa masuk hotel prodeo lantaran dituduh
memperkosa. Di kantor polisi, ia malah menjadi bulan-bulanan puluhan polisi.
Walau visum dokter tak memberi bukti perkosaan, Musthofa dikenakan hukuman
pencabulan dan mendekam 5 tahun di penjara. Nasib yang sama terjadi pada Wahyu.
“Sesakit apapun kita tidak akan mati, sesakit apapun
kita tidak akan sakit. Kalau kita sakit dan mati, setidaknya sudah dari
dulu-dulu, ketika kita dikeroyok orang, ketika kita dihajar masa, ketika kita
difitnah orang, dan ketika kita dipenjara. Biarkan apa yang dimaui hidup ini.
Kesenangan kita sebagai anak terlalu sedikit. Ayoo…. kita tertawakan saja hidup
ini, karena kita tak pernah diberi kesempatan…”
Kalimat yang dilantunkan Wahyu ini seakan menyiratkan
sublimasi ruh hidup dan spirit mereka. Yakni, keyakinan pada kekuatan manusia. Sebuah sikap berani namun getir. Tema remeh-temeh kehidupan penjara, juga telah dianjurkan pemikir Foucault dan sutradara Zainuri
telah melakukan itu dengan estetika “mencangkok ruang teater di antara
kepanikan publik”-nya sejak melibatkan napi Rutan Medaeng (Rasanya Baru Kemarin, 2010), teater anak-anak bonek mania.
Bahkan pada Rembulan di Atas Kremil (2010), Zainuri, mempertegas dengan mengatakan teater
itu realis dan realis itu teater. Teater adalah cara
mengaktualisasikan diri dalam kapasitas peran yang berlebih dan panggung adalah
kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, teater harus berguna dengan
memindahkan ruang estetis dari problem publik ke ruang yang
katarsis—pencerahan.
Tampaknya pandangannya tentang teater realis
dan realis teater ini mengoreksi gagasan v-effekt
atau “efek keterasingan” Bertolt Brecht.
Meski baik Zainuri dan Brecht sepakat bahwa tugas ilmu pengetahuan dan
teater samasama meringankan beban manusia, namun “efek keterasingan” pada
Brecht dengan menanggalkan yang dimiliki aktor agar tak terjadi trance, justru
pada aktor-aktor teater Zainuri mutlak melibatkan dirinya sendiri. Aktor harus
mengalami trance, pencerahan, khatarsis secara bersama.
Jelas ini adalah problem psikologis dalam
teater Zainuri yang tampaknya ini berarti
mengubah pandangan Carl Gustav Jung tentang ketaksadaran bersama, tentang
mitos-mitos yang menguasai kita. Jikapun oleh ahli-ahli psikologi, teater ini
disebut sebagai teater terapi, sebagaimana diungkap Prof Dr Yusti Probowati R, ketua
proyek Shelter Rumah Hati, tentu terapi dalam pengertian efek domino ketakadanya
harmoni id, ego, superego
Sigmund Freud. Teater sebagai laku pelepasan schizophrenia demi
meledakkan energi baru manusia. Yaitu teater yang bisa membuka, menjunjung dan merangkai kehidupan manusia yang tersingkir
atau terlupakan untuk dijadikan awal kebangkitan hidupnya.
Lalu teater adalah
cara ideal sebagai laku terapi. Sutradara sebagai ahli psikopatologi,
aktor-aktor diantara mereka sendiri menjadi dokter bagi dirinya sendiri,
sebelum pada akhirnya publik adalah ahli-ahli terapi dalam peristiwa teater
baik buat pertunjukan maupun diri mereka sendiri.
Artinya, menampilkan
sisi gelap hidup mereka pada mulanya adalah trauma. Lalu sejauhmana trauma
dikelola menjadi energi positif untuk tidak saja sebagai suatu penyadaran,
pendidikan. Melainkan juga demi menemukan diri puncak-puncak realitas hidup
yang segar dan baru—baik dari sisi kejiwaan maupun tata nilai diantara mereka
sendiri.
Bahwa kesadaran bisa
ditempuh dengan menggali trauma mereka sendiri atau memberikan pengetahuan,
melalui komunikasi. Sebagaimana kata Jung, pengakuan atas sisi gelap manusia ini
sangat penting kalau kita ingin mencapai kepenuhan integritas diri dan
bertindak secara lebih realitis.
Dengan membocorkan diri tentang ruang gelap,
dosa, kejahatan, keburukan masa lalu dalam batin manusia, maka hal itu berarti
aktif menciptakan kondisi ektrem manusia tanpa lebih dulu harus ditekan dan
pojokkan. Cara itu ditempuh guna mengenali diri secara lebih dahsyat yang pada
gilirannya menumbuhkan rasa percaya diri sebagai manusia menjalani fitrahnya, mampu menempatkan konflik lebih proporsional, dan pelaku mengalami proses penurunan ketegangan dan
lebih toleran pada diri dan lingkungannya.
***
BOLEH jadi ketika Eko, Fredi, Musthofa, Wahyu mencari ibunya, sebetulnya adalah upaya untuk menatap
pelbagai citra realitas masa depan—ruh ibu, kemerdekaan, keadilan, kasih
sayang, cinta, juga kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Kredo Zainuri bahwa “panggung teater realis itu harapan kita,
sedang realis teater penataan kembali kehidupan kita,” mengarah pada gagasan
itu.
Kita pun,
penonton, juga publik di negeri ini
rasanya juga telah lama kehilangan sosok ibunda.
“Ibu, aku wis metu teko penjara, tapi kenek opo pingin
ketemu sampean ae kok angel—Ibu aku telah keluar
dari penjara, tapi kenapa ingin berjumpa denganmu begitu susahnya.[]
*) Peminat teater, Divisi Pelatihan dan Advokasi WYDII, Surabaya