Sumber: Majalah Seni Budaya ALUR, Edisi Agustus 2012
Tongkat Bung Karno
Tertinggal di
Restoran Olympic
PINTU masuk Hotel Olympic
dari sisi Pasar Keputran tampak sederhana dan bahkan terkesan rusuh. Pun ruang
parkir di situ begitu sempit, sesak dan berantakan. Hanya bisa untuk parkir sedikit
mobil dan beberapa deret motor saja.
Selepas ruang parkir di lantai bawah
itu, ada sebuah lorong utama menuju
hotel. Pada dinding lorong bangunan khas era 1950-an itu, terpampang foto-foto
lawas gedung tersebut, dengan ukuran yang kecil, sebelum akhirnya menuju tangga
dengan kantor hotel persis di muka tangga pada lantai dua.
Tampak berbeda bila memasuki hotel melalui front office dari Jalan Urip
Sumoharjo. Lebih modern. Bersih. Di belakang meja
resepsionis terpajang foto besar hotel ini di masa jayanya, sekitar tahun 1957.
Memang terlihat keasliannya bila dibanding keadaan sekarang. Seperti diakui
Tusito Osmar, SE, ahli waris yang sekarang mengelola hotel tersebut,
penyesuaian hanya dilakukan tambal sulam di beberapa bagian bangunan.
Menara khas hotel
Olympic pun masih terlihat sebagaimana terpampang di foto dinding lobby hotel
itu.
Tusito adalah pewaris hotel bergaya arsitektur Streamline Moderne itu. Hotel yang dibangun pada 1954 dan
beroperasi 14 Juni 1956 tersebut dibangun oleh pengusaha terkaya tahun 1956
dengan seorang keturunan tionghoa bernama Ong Kie Tjay atas izin Presiden Soekarno.
Ada tiga bangungan yang diizinkan berdiri di Surabaya kala itu, salah satunya
hotel Olympic.
“Yang tidak diketahui banyak orang adalah
ayah saya, Ong Kie Tjay hanyalah lulusan SD. Beliau sendiri yang mendesain
arsitektur bangunan Hotel Olympic,” ungkap Tusito Osmar.
Bung Karno suatu ketika makan di lantai dua
restoran Olympic. Sehabis makan dan
beranjak, di lantai bawah Hotel Olympic, beliau sadar tongkat komandonya
tertinggal di meja makan. Seorang waitres bermaksud membawakan tongkat
itu.
Namun, waitres
itu mendapati tongkat tak bisa diangkat dari meja, karena dirasanya berat dan
lengket. Rasa takjub waitres itu tak
pernah terlupakan, begitu Bung Karno kembali untuk mengambilnya, ternyata
dengan gampang beliau mengambil tongkat tersebut.
Kisah itu pernah dituturkan Ong Kie
Tjay—pemilik Hotel Olympic—kepada Tusito Osmar, seorang putra sekaligus ahli warisnya yang sejak 1982
mengelola hotel yang pernah disebut-sebut termegah di Surabaya itu.
Tusito sendiri tak
pernah tahu kejadian itu. Namun pengakuan yang sama juga datang dari almarhum
karyawannya yang menjadi saksi peristiwa di restoran itu. Yang diketahui
Tusito, hanyalah saat Megawati menginap di hotel itu menjelang kongres partai
di Asrama Sukolilo, tahun 1993—langkah awal politiknya untuk menjadi Presiden
RI.
Ong Kie Tjay adalah pengusaha yang juga
pemilik cagar budaya Hotel Niagara di Lawang, dan kini dikelola Ongko Budihartanto, sang anak yang juga saudara Tusito Osmar. Ong
Kie Tjay juga tokoh penting di balik penyatuan Konghucu, Buddha, Taoisme
karena kecurigaan kecinaan makin menggila pasca G-30-S, dengan membentuk tempat
ibadat Tridharma. Ong Kie Tjay adalah Ketua Umum Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia sejak 1979 hingga
1980.
Tak
Pernah Urus Subsidi
PERSIS di muka anak tangga
lantai dua, ruang kantor. Beberapa meja dan komputer di situ. Masuk ke dalam
lagi ruang kerja Tusito Osmar, pewaris Hotel Olympic. Ia enggan disebut pemilik
hotel. Ia lebih suka disebut pewaris karena ada beberapa anggota keluarganya
dan ia ditunjuk selaku pengelola saja.
Ruang kerjanya kecil hanya berukuran sekitar
3 x 4 meter, cukup untuk sebuah meja kerja dan sedikit kursi tamu. Persis di
dinding belakang meja kerjanya, terpampang foto sang ayah, Ong Kie Tjay bersebelahan
dengan ibunda Tusito.
Di situlah, Tusito mengisahkan masa kejayaan
hotel Olympic. Ia memang mengakui kemorosotan pamor hotel tersebut. “Olympic ini berjaya pada tahun 1960-an. Kalau
sekarang sudah tergusur dengan adanya hotel-hotel baru. Kita menangnya sudah punya relasi langganan,
letak kita strategis mau ke airport dekat, mall, central bisnis, rumah sakit,
stasiun kereta api, terminal juga dekat. Itu saja yang menunjang sehingga
Olympic bisa eksis sampai hari ini,” tutur Tusito kepada ALUR beberapa waktu
lalu.
Walau kini hotel dengan 32 kamar itu jarang
penuh, terkecuali bilamana ada rombongan gerak jalan Surabaya—Mojokerto, namun
ada kebanggaan dalam diri Tusito atas hotel peninggalan ayahandanya ini. Terbersit
kesedihan pula yang mendalam, ketika mengisahkan banyak tamu-tamu berkebangsaan
Belanda. Katanya mereka dirujuk oleh papa dan mama mereka untuk menginap di
Olympic demi kenangan mereka.
“Orang tua mereka bilang, bila ke Surabaya
jangan lupa menginap di Olympic,” ungkap Tusino menirukan. “Ya, mereka menginap
karena nuruti nasehat orang tua. Ternyata baru tahu Olympic sudah ketinggalan. Tahun
1960, Olympic memang nomor satu di Surabaya.”
Satu-satunya yang mendesak untuk dipikirkan
dan dikembangkan sekarang, menurutnya adalah kebutuhan lahan parkir. Lahan
parkir menurutnya minim dan jika tamu membawa kendaraan semua jelas hal itu
tidak cukup. “Hanya itu yang mendesak. Sementara ini yang lain masih bisa kami
atasi,” tandas alumnus Ekonomi Manajemen Universitas Narotama itu.
Karena itu ketika dirinya mendengar hotel
Olympic mendapat subsidi biaya pengecatan dari Dinas Pariwisata Pemkot
Surabaya, dana itu sampai sekarang belum juga diambilnya. Alasannya karena
pihaknya belum ada rencana untuk pengecatan bagian depan.
“Tidak pernah saya urus. Tidak pernah saya
tanyakan. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu,” ungkap pria kelahiran 4 Juni
1961 itu.
Sementara ini, lanjutnya, dana tersebut tidak
dimanfaatkan, mungkin juga karena dirinya belum tahu betul soal bagaimana
mekanisme birokrasi itu. Hanya ia mendengar dana subsidi itu setelah Hotel
Olympic dicanangkan sebagai bangunan Cagar Budaya golongan A.
Golongan A, artinya sesuai Perda No 5 Tahun
2005, bangunan tersebut harus dipertahankan dengan cara preservasi—pelestarian
suatu bangunan dengan cara mempertahankan keadaan aslinya tanpa ada
perubahan, termasuk upaya mencegah
penghancuran.
“Sepengetahuan saya, bentuk depannya itu
tidak boleh diubah,” ujar mantan juara 2 Kejurda Karate-do kyokushinkai
se-Jatim itu.
Memang tak ada yang berubah pada bentuk fisik
gedung bersejarah itu. Demikian pula tak ada yang berganti dengan kewajiban
pemiliknya untuk membayar pajak pada pemerintah. Setahun sekali Tusito mesti
mengeluarkan sekitar Rp 16 juta untuk membayar pajak bumi dan bangunan.
“Pajaknya tetap seperti dulu. Tidak ada
keringanan,” tandas pemilik hotel bermoto Kepuasan Anda Kebahagian Kami itu.
Walaupun diakui ada ketetapan baru perihal
pajak, namun hal itu bukan terkait dengan cagar budaya. Cagar budaya tidak ada relevansinya
dengan pajak. “Karena itu kalau ada
pajak bebas atau keringanan untuk bangunan cagar budaya, saya menyambutnya
dengan senang jika ada prioritas seperti itu. Saya akan dengan suka cita kami
terima,” ungkapnya.
Jaminan
Tidak Digusur
MESKI Hotel Olympic
ditetapkan sebagai Cagar Budaya, dikatakannya, sampai saat ini belum ada campur
tangan dari pemerintah. Namun demikian, pihaknya menyatakan rasa terimakasih
kepada pemerintah kota. Karena dengan masuk golongan A cagar budaya, semestinya
hotel Olympic bisa dipertahankan keberadaannya.
“Harapan saya dengan Cagar budaya, Hotel
Olympic tidak digusur begitu saja, hhehe..Karena dengar-dengar mau ada fly over dari Banyuurip sampai
Kertajaya,” tukasnya.
Walau penetapan status cagar budaya bukanlah
beban baginya, karena memang tidak ada rencana untuk mengubah bentuk gedung,
namun beban itu justru pada hasrat untuk mengembankan bisnis hotel tua dan
diakui ketinggalan tersebut.
Lebih lanjut, Tusito punya harapan ideal,
sebagai bangunan cagar budaya, semestinya, Hotel Olympic bisa dimasukkan dalam
satu buku yang diterbitkan Departemen Pariwisata dengan hotel-hotel cagar
budaya lainnya. “Harapan saya itu saja sebetulnya,” imbuhnya.
Dalam waktu dekat, pihaknya berencana untuk
menghadap ke Departemen Pariwisata untuk menimbang kepentingan sisi historis
Hotel Olympic itu. Setidaknya, dengan status cagar budaya itu, pemerintah
diminta untuk mempromosikan, selain berupa terbitan buku, semisal dengan
mengadakan kegiatan di Hotel Olympic. “Dengan demikian sekaligus, kami mendapat
tamu dari Dinas Pariwisata,” katanya.
Namun demikian, saat ini dirinya mengaku
belum siap membicarakan hal itu pada Departemen Pariwisata, oleh karena kurang
yakin dengan kemampuan sarana dan prasarananya yang dimiliki Hotel Olympic.
Hotel Olympic kurang cukup untuk menampung tamu-tamu dari manca negara dengan keterbatasan
sumberdaya manusia. “Dalam hal kemampuan komunikasi saja, hanya front office yang bisa bahasa Inggris dengan baik, sedangkan
house keeping-nya belum memadai,”
paparnya.
Karena itu, sampai saat ini semua ditangani
sendiri oleh manajemen Hotel Olympic dan sama sekali tidak ada campur tangan
pemerintah. Termasuk dalam hal promosi. Untuk promosi, kata Tusito, mengandalkan
penyebaran brosur, melalui internet dan dari mulut ke mulut.
Disamping fokus promosi dengan pembenahan
dari dalam berupa perbaikan fasilitas kamar, kamar mandinya, tempat tidurnya,
AC dan yang terbaru adalah fasilitas free
Wifi di tiap kamar, sebanyak 32 kamar itu. (S.Jai)