Senin, 03 September 2012

feature

 Sumber: Majalah Seni Budaya ALUR, Edisi Agustus 2012

Tongkat Bung Karno
Tertinggal di Restoran Olympic


PINTU masuk Hotel Olympic dari sisi Pasar Keputran tampak sederhana dan bahkan terkesan rusuh. Pun ruang parkir di situ begitu sempit, sesak dan berantakan. Hanya bisa untuk parkir sedikit mobil dan beberapa deret motor saja.

Selepas ruang parkir di lantai bawah itu,  ada sebuah lorong utama menuju hotel. Pada dinding lorong bangunan khas era 1950-an itu, terpampang foto-foto lawas gedung tersebut, dengan ukuran yang kecil, sebelum akhirnya menuju tangga dengan kantor hotel persis di muka tangga pada lantai dua.



Tampak berbeda bila memasuki  hotel melalui front office dari Jalan Urip Sumoharjo. Lebih modern. Bersih. Di belakang meja resepsionis terpajang foto besar hotel ini di masa jayanya, sekitar tahun 1957. Memang terlihat keasliannya bila dibanding keadaan sekarang. Seperti diakui Tusito Osmar, SE, ahli waris yang sekarang mengelola hotel tersebut, penyesuaian hanya dilakukan tambal sulam di beberapa bagian bangunan.

Menara khas hotel Olympic pun masih terlihat sebagaimana terpampang di foto dinding lobby hotel itu.

Tusito adalah pewaris hotel bergaya arsitektur Streamline Moderne itu. Hotel yang dibangun pada 1954 dan beroperasi 14 Juni 1956 tersebut dibangun oleh pengusaha terkaya tahun 1956 dengan seorang keturunan tionghoa bernama Ong Kie Tjay atas izin Presiden Soekarno. Ada tiga bangungan yang diizinkan berdiri di Surabaya kala itu, salah satunya hotel Olympic.

“Yang tidak diketahui banyak orang adalah ayah saya, Ong Kie Tjay hanyalah lulusan SD. Beliau sendiri yang mendesain arsitektur bangunan Hotel Olympic,” ungkap Tusito Osmar.

Bung Karno suatu ketika makan di lantai dua restoran Olympic.  Sehabis makan dan beranjak, di lantai bawah Hotel Olympic, beliau sadar tongkat komandonya tertinggal di meja makan.  Seorang waitres bermaksud membawakan tongkat itu.

Namun, waitres itu mendapati tongkat tak bisa diangkat dari meja, karena dirasanya berat dan lengket.  Rasa takjub waitres itu tak pernah terlupakan, begitu Bung Karno kembali untuk mengambilnya, ternyata dengan gampang beliau mengambil tongkat tersebut.

Kisah itu pernah dituturkan Ong Kie Tjay—pemilik Hotel Olympic—kepada  Tusito Osmar, seorang putra sekaligus ahli warisnya yang sejak 1982 mengelola hotel yang pernah disebut-sebut termegah di Surabaya itu.

Tusito sendiri tak pernah tahu kejadian itu. Namun pengakuan yang sama juga datang dari almarhum karyawannya yang menjadi saksi peristiwa di restoran itu. Yang diketahui Tusito, hanyalah saat Megawati menginap di hotel itu menjelang kongres partai di Asrama Sukolilo, tahun 1993—langkah awal politiknya untuk menjadi Presiden RI.

Ong Kie Tjay adalah pengusaha yang juga pemilik cagar budaya Hotel Niagara di Lawang, dan kini dikelola Ongko Budihartanto, sang anak yang juga saudara Tusito Osmar. Ong Kie Tjay juga tokoh penting di balik penyatuan Konghucu, Buddha, Taoisme karena kecurigaan kecinaan makin menggila pasca G-30-S, dengan membentuk tempat ibadat Tridharma. Ong Kie Tjay adalah Ketua Umum Majelis Rohaniwan Tridharma Seluruh Indonesia sejak 1979 hingga 1980.

Tak Pernah Urus Subsidi

PERSIS di muka anak tangga lantai dua, ruang kantor. Beberapa meja dan komputer di situ. Masuk ke dalam lagi ruang kerja Tusito Osmar, pewaris Hotel Olympic. Ia enggan disebut pemilik hotel. Ia lebih suka disebut pewaris karena ada beberapa anggota keluarganya dan ia ditunjuk selaku pengelola saja.

Ruang kerjanya kecil hanya berukuran sekitar 3 x 4 meter, cukup untuk sebuah meja kerja dan sedikit kursi tamu. Persis di dinding belakang meja kerjanya, terpampang foto sang ayah, Ong Kie Tjay bersebelahan dengan ibunda Tusito.

Di situlah, Tusito mengisahkan masa kejayaan hotel Olympic. Ia memang mengakui kemorosotan pamor hotel tersebut.  “Olympic ini berjaya pada tahun 1960-an. Kalau sekarang sudah tergusur dengan adanya hotel-hotel baru.  Kita menangnya sudah punya relasi langganan, letak kita strategis mau ke airport dekat, mall, central bisnis, rumah sakit, stasiun kereta api, terminal juga dekat. Itu saja yang menunjang sehingga Olympic bisa eksis sampai hari ini,” tutur Tusito kepada ALUR beberapa waktu lalu.

Walau kini hotel dengan 32 kamar itu jarang penuh, terkecuali bilamana ada rombongan gerak jalan Surabaya—Mojokerto, namun ada kebanggaan dalam diri Tusito atas hotel peninggalan ayahandanya ini. Terbersit kesedihan pula yang mendalam, ketika mengisahkan banyak tamu-tamu berkebangsaan Belanda. Katanya mereka dirujuk oleh papa dan mama mereka untuk menginap di Olympic demi kenangan mereka.

“Orang tua mereka bilang, bila ke Surabaya jangan lupa menginap di Olympic,” ungkap Tusino menirukan. “Ya, mereka menginap karena nuruti nasehat orang tua. Ternyata baru tahu Olympic sudah ketinggalan. Tahun 1960, Olympic memang nomor satu di Surabaya.”

Satu-satunya yang mendesak untuk dipikirkan dan dikembangkan sekarang, menurutnya adalah kebutuhan lahan parkir. Lahan parkir menurutnya minim dan jika tamu membawa kendaraan semua jelas hal itu tidak cukup. “Hanya itu yang mendesak. Sementara ini yang lain masih bisa kami atasi,” tandas alumnus Ekonomi Manajemen Universitas Narotama itu.

Karena itu ketika dirinya mendengar hotel Olympic mendapat subsidi biaya pengecatan dari Dinas Pariwisata Pemkot Surabaya, dana itu sampai sekarang belum juga diambilnya. Alasannya karena pihaknya belum ada rencana untuk pengecatan bagian depan.

“Tidak pernah saya urus. Tidak pernah saya tanyakan. Jumlahnya berapa saya juga tidak tahu,” ungkap pria kelahiran 4 Juni 1961 itu.

Sementara ini, lanjutnya, dana tersebut tidak dimanfaatkan, mungkin juga karena dirinya belum tahu betul soal bagaimana mekanisme birokrasi itu. Hanya ia mendengar dana subsidi itu setelah Hotel Olympic dicanangkan sebagai bangunan Cagar Budaya golongan A.

Golongan A, artinya sesuai Perda No 5 Tahun 2005, bangunan tersebut harus dipertahankan dengan cara preservasi—pelestarian suatu bangunan dengan cara mempertahankan keadaan aslinya tanpa ada perubahan,  termasuk upaya mencegah penghancuran.

“Sepengetahuan saya, bentuk depannya itu tidak boleh diubah,” ujar mantan juara 2 Kejurda Karate-do kyokushinkai se-Jatim itu.

Memang tak ada yang berubah pada bentuk fisik gedung bersejarah itu. Demikian pula tak ada yang berganti dengan kewajiban pemiliknya untuk membayar pajak pada pemerintah. Setahun sekali Tusito mesti mengeluarkan sekitar Rp 16 juta untuk membayar pajak bumi dan bangunan.

“Pajaknya tetap seperti dulu. Tidak ada keringanan,” tandas pemilik hotel bermoto Kepuasan Anda Kebahagian Kami itu.

Walaupun diakui ada ketetapan baru perihal pajak, namun hal itu bukan terkait dengan cagar budaya. Cagar budaya tidak ada relevansinya dengan pajak.  “Karena itu kalau ada pajak bebas atau keringanan untuk bangunan cagar budaya, saya menyambutnya dengan senang jika ada prioritas seperti itu. Saya akan dengan suka cita kami terima,” ungkapnya.

Jaminan Tidak Digusur

MESKI Hotel Olympic ditetapkan sebagai Cagar Budaya, dikatakannya, sampai saat ini belum ada campur tangan dari pemerintah. Namun demikian, pihaknya menyatakan rasa terimakasih kepada pemerintah kota. Karena dengan masuk golongan A cagar budaya, semestinya hotel Olympic bisa dipertahankan keberadaannya.

“Harapan saya dengan Cagar budaya, Hotel Olympic tidak digusur begitu saja, hhehe..Karena dengar-dengar mau ada fly over dari Banyuurip sampai Kertajaya,” tukasnya.

Walau penetapan status cagar budaya bukanlah beban baginya, karena memang tidak ada rencana untuk mengubah bentuk gedung, namun beban itu justru pada hasrat untuk mengembankan bisnis hotel tua dan diakui ketinggalan tersebut.

Lebih lanjut, Tusito punya harapan ideal, sebagai bangunan cagar budaya, semestinya, Hotel Olympic bisa dimasukkan dalam satu buku yang diterbitkan Departemen Pariwisata dengan hotel-hotel cagar budaya lainnya. “Harapan saya itu saja sebetulnya,” imbuhnya. 

Dalam waktu dekat, pihaknya berencana untuk menghadap ke Departemen Pariwisata untuk menimbang kepentingan sisi historis Hotel Olympic itu. Setidaknya, dengan status cagar budaya itu, pemerintah diminta untuk mempromosikan, selain berupa terbitan buku, semisal dengan mengadakan kegiatan di Hotel Olympic. “Dengan demikian sekaligus, kami mendapat tamu dari Dinas Pariwisata,” katanya.

Namun demikian, saat ini dirinya mengaku belum siap membicarakan hal itu pada Departemen Pariwisata, oleh karena kurang yakin dengan kemampuan sarana dan prasarananya yang dimiliki Hotel Olympic. Hotel Olympic kurang cukup untuk menampung tamu-tamu dari manca negara dengan keterbatasan sumberdaya manusia. “Dalam hal kemampuan komunikasi saja, hanya front office  yang bisa bahasa Inggris dengan baik, sedangkan house keeping-nya belum memadai,” paparnya.

Karena itu, sampai saat ini semua ditangani sendiri oleh manajemen Hotel Olympic dan sama sekali tidak ada campur tangan pemerintah. Termasuk dalam hal promosi. Untuk promosi, kata Tusito, mengandalkan penyebaran brosur, melalui internet dan dari mulut ke mulut.

Disamping fokus promosi dengan pembenahan dari dalam berupa perbaikan fasilitas kamar, kamar mandinya, tempat tidurnya, AC dan yang terbaru adalah fasilitas free Wifi di tiap kamar, sebanyak 32 kamar itu. (S.Jai)