Risnawati Utami:
“Ibulah yang Membuat Saya
Lebih Bermartabat”
PADA sebuah malam seorang
perempuan di atas kursi roda menikmati taman di hotel Novotel Surabaya.
Di dekatnya ada kolam renang. Di tempat yang romantis itu, ia berdua dengan
suaminya—pria berkebangsaan AS.
Lantas, keduanya
menyapa dan memberikan senyumnya pada saya.
Perempuan itu adalah
Risnawati Utami. Perempuan kelahiran Gunungkidul, 21 Maret
1973 itu tengah menikmati sisa waktu kegiatannya di hotel
itu, beberapa waktu lalu. Ia diundang oleh organisasi WYDII (Women and Youth and Development
Institute of Indonesia).
Risnawati adalah
penyandang Difable (Different Ability People)—manusia dengan kemampuan yang berbeda—sejak usia 4,5 tahun. Bermula dari demam tinggi yang berakibat dirinya
terjatuh pingsan, dan dokter memvonis Risna kecil terkena virus polio,yang kemudian mengharuskannya menggunakan kruk atau kursi roda.
“Saya tidak mengerti
apa itu polio. Tapi Saya juga tidak mengerti mengapa dibiarkan sendiri di
sebuah kamar di rumah sakit. Pada saat seperti itu satu-satunya teman saya
hanyalah boneka teddy
bear yang diberikan ibu melalui perawat,”
kenang Risna.
Selama 40 hari Risna
kecil diterapi oleh seorang terapis untuk melatih menggerakan tangan dan duduk.
Berkat kegigihannya, ia mampu melakukan itu. Bahkan Risna memilih duduk dan
makan sendiri pada hari selanjutnya.
Namun demikian, lepas
waktu 40 hari itu, semenjak ia kembali berdiam bersama orangtuanya, selama
puluhan tahun ia terus merasa sebagai manusia nomor dua.
Anehnya, perasaan
seperti itu ditumbuhkan bermula dari sikap ayahnya.
Orangtuanya belum
bisa menerima situasi pada Risna. Ayahnya melarangnya pergi kemanapun kecuali
ke sekolah, oleh karena malu bila ada orang lain yang mengetahui keadaan Risna.
Jauh berbeda dengan sikap ibundanya yang justru sangat memberikan semangat dan
gembira memperkenalkan Risna pada siapa pun.
“Saya membutuhkan waktu 27
tahun untuk membuktikan pada ayah saya bahwa sayabisa bekerja. Dan ibulah yang memenangkan saya.Saya dibuat ibu lebih bermartabat di hadapan
teman-teman,” ucap Risna yang kini lebih banyak
menebar senyumnya.
Selama puluhan tahun
itu, tentu bukanlah waktu yang berhenti buat Risna. Bukan saat yang tamat bagi
Risna yang masih terus dicap sebagai perempuan objek saja. Pelbagai pelecehan
kerap menimpanya sampai pada titik yang sempat membuatnya shock.
“Itulah yang menggugah
saya melakukan penguatan difable—tuna grahita selama 6 tahun, juga korban perkosaan, lalu membuat training penguatan
hak-hak grahita, rungu, dandaksa,” tutur lulusan Fakultas Hukum, Universitas
Sebelas Maret itu.
Konsorsium Nasional Difable
Semangat yang
disuntikkan dan kasih sayang dari ibundanya, membuatnya Risna bisa melakukan
banyak hal—bahkan mungkin sesuatu hal yang selama ini sungguh diluar imajinya.
Berbekal Sarjana Hukum, tiga tahun kemudian Risna menawarkan diri sebagai volunteer di PBB ESCAP
Thailand pada 2000 dalam mempromosikan Program Aksesibilitas Fisik.
Lalu, pernah aktif dalam The Asia
and Pacific Decade of Disabled Person tahun 2000 dan 2001,
juga Asia Pacific Campaign for Barrier Free
Environment in Taiwan pada 2002, sebelum itu, terlibat The Sixth
Asia Pacific Congress on HIV-AIDS di Melbourne, Australia tahun
2001.
Risna sempat pula bergabung dengan NGO Leadership,
Development and Social Change Training in International Institute for Rural
Reconstruction/ IIRR, Silang Cavite, Philipina.
Pada 2006 Risna menerima beasiswa dari Program
Beasiswa Ford International Foundation untuk mendapatkan gelar Master
di bidang International Health Policy and Management in
Heller School for Social Policy and Management, Universitas Brandeis, Massachusetts, Amerika Serikat. Risna adalah satu-satunya penyandang difable dari 46
penerima beasiswa itu.
“Selama di Boston,
kemanapun pergi saya sendiri. Belanja. Apalagi hanya memasak. Saya lakukan
sendiri. Ketemu jodoh pun, di sini, saya lakukan sendiri, kan tentunya,”
kenangnya penuh canda.
Sekembali dari AS,
Risna lebih memperlihatkan lagi spiritnya untuk penguatan difable. Ia
mendirikan UCP Roda untuk Kemanusiaan Indonesia—organisasi yang hingga kini
berkembang di 10 provinsi dan berjejaring dengan 50an organisasi. Risna selaku
direkturnya.
Bahkan kegigihan
Risna, sepulang dari AS itu, membuahkan keberhasilannya membuat konsorsium
nasional dan selama setahun berhasil membuat kebijakan pro-difable yang
menggandeng Komnas HAM, Komnas Anak, dan juga Kementerian Sosial dan pihak
lain, akademisi, lembaga agama dan lain-lain.
Konsorsium ini
memperjuangkan hak-hak difable antara lain hak kesehatan
reproduksikarena banyak kaun difable yang mendapatkan pelecehan seksual, hak
pelayanan publik, hak pendidikan,
politik.
“Sama seperti pada
konvensi Cedaw, Ecosoc dari konvensi internasional. Hak-hak difable nantinya harus dilaporkan juga pada
PBB,” tandas Risna.
Kegigihan,
konsistensi dan ketekunan Risna memperjuangkan hak diffable sedikit banyak
terungkap dalam salah satu tulisan pada buku Meretas Siklus Kecacatan,
Realitas YangTerabaikan, diterbitkan
penerbit Yayasan Talenta, 2004. Juga tertuang dalam buku yang diterbitkan
kerjasama UCP Roda untuk Kemanusiaan Indonesia dan Sigab, Difabilitas, Antara Mimpi dan
Kenyataan, Agustus 2010.
Saya mendapatkan buku
yang terakhir itu langsung dari tangan Risna. Sambil tentu saja memberikan
kemurahan senyumnya—yang seakan menyindir kita semua yang belum melakukan
apapun untuk kemanusiaan ini. Kisah ini sebagian saya nukil dari sana. Ya,
bukan saya saja yang dititipi buku, tapi ada sekian banyak orang menerima hal
yang sama.
“Perempuan difable masih
inferior. Titip kita untuk solidaritas, ya Mas, Mbak,” tutur Risna.(s. jai)