Jull
Takaliuang
Super Women dari Sanggihe
KORAN Tempo edisi Agustus 2004 menjulukinya Erin Brockovich—tokoh film
Holywood yang dibintangi Julia Robert.
Erin Brockovich, pengangguran yang atas belas kasih seorang pengacara
dipekerjakan pada firma hukumnya.
Kepedulian dan rasa ingin tahu yang besar
pada Erin membawanya ia selaku tokoh utama gugatan class action pada perusahaan kimia raksasa
Pacific Gas & Electric Company. Perusahaan tersebut diam-diam berusaha
membeli sebidang area yang terkontaminasi oleh hexavalent
chromium, hasil limbah industri beracun dan berbahaya sehingga menyebabkan
para penduduk yang mendiami area keracunan.
Sebutan Erin Brockovich ini
seakan sebuah ramalan buat Jull Takaliuang. Perempuan Direktur Eksekutif
Yayasan Suara Nurani yang saat itu menjadi sorotan kuli tinta karena
keteguhannya turut serta membawa warga pantai teluk Buyat
ke Jakarta, karena diduga menjadi korban pencemaran yang dilakukan oleh PT
Newmont Minahasa Raya.
Bersama rekannya, dokter
Jane M. Pagemanan dari Yayasan Suara Perempuan, Jull—perempuan kelahiran Menggawa, Kecamatan Tamako, Kabupaten Sanggihe, 31 Juli
1969 itu— prihatin banyak warga sekitar Teluk Buyat menderita
gejala keracunan logam berat, kelumpuhan, bahkan terancam kematian.
Memang pada akhirnya,
PT NMR (Newmont Minahasa Raya) yang saham terbesarnya dikuasai Newmont
Mining Corp asal Amerika Serikat, ditutup pada 2004. Akan tetapi aktivitas
tambang yang berlangsung sejak 1996 ini
telah meluluhlantakkan lingkungan dan merusak kehidupan sosial ekonomi dan
kesehatan warga utamanya sekitar Teluk Buyat di pantai selatan Semenanjung Minahasa, Sulawesi Utara,
Setahun kemudian, 2005 Direktur Perkumpulan Kelola Rignolda
Jamaluddin digugat PT NMR atas tuduhan pencemaran nama baik. Rignolda dituduh
telah mengeluarkan pernyataan tentang gejala penyakit Minamata di sejumlah
media cetak dan elektronik, diantaranya di Kompas, dan Sinar
Harapan, edisi Juli 2004. Tergugat harus
membayar ganti rugi sebesar kurang lebih Rp 7 miliar dan diminta memasang iklan
permohonan maaf di televisi dengan durasi 30 detik selama 3 hari serta setengah
halaman di sejumlah media cetak lokal.
Kekalahan proses hukum yang dialami Rignolda
terjadi pada Erin Brockovich dan kemudian pada Jull Takaliuang.
Dalam film produksi tahun
2002—yang diangkat dari kisah nyata itu,
dan mengantarkan Julia Roberts menerima piala Oscar pemeran aktris terbaik
itu—Erin kalah dalam gugatan hukum terhadap seorang dokter sehubungan dengan
kecelakaan mobil yang menimpanya.
Sementara pada Jull
Takaliuang, kekalahan hukumnya bermula dari peristiwa pada 12 November 2006.
Saat itu, dua tahun selepas mendampingi warga Buyat “menggusur” PT NMR,
bersama-sama warga Teluk Rinondoran, menolak beroperasinya perusahaan tambang PT Meares Soputan Mining—anak perusahaan dari Australia melakukan eksploitasi
tambang di kawasan seluas 8,9 ribu hektar di Bitung dan Minahasa Utara.
Peristiwa dipicu
masuknya kapal tongkang ‘Bangka Karina’ yang dihadang ratusan nelayan karena
mengganggu mata pencahariannya. Pada Minggu siang itu, jumlah nelayan baik
lelaki maupun perempuan kian bertambah, dari Desa Rinondoran, Desa Ka-linaun
dan dari Kelurahan Ba-tuputih walau tongkang itu dikawal puluhan personel
polisi bersenjata lengkap.
Amarah masa tak bisa
dicegah. Terjadi perusakan yang konon dipicu aksi penodongan polisi pada
nelayan. Saat itulah, Jull Takaliuang, Direktur Yayasan Suara Nurani itu datang
bersama rombongan wartawan SCTV, Trans TV, TV7, dan Pacific TV. Peristiwa
perusakan dan pembakaran inilah yang membawa Jull duduk dikursi terdakwa.
Pada akhir Februari
2007, Jull didakwa polisi “Di muka umum
bersama-sama dengan sengaja menyuruh merusakkan barang bangunan berupa rumah
milik dari PT Meares Soputan Mining.”
Sakit Asma di Pengadilan
“PROSES peradilan itu sangat
jahat. Karena kalau kita jadi terdakwa, pasti hak-hak asasi kita akan hilang.
Dibentak-bentak dan sebagainya. Proses itu sendiri adalah karena akibat dari
konspirasi antara perusahaan dengan polisi dan sudah memanfaatkan kejaksaan sampai
pada hakim,” kenang Jull.
Pada saat itu, masih menurut Jull, sebagai
perempuan yang punya kasus untuk mendampingi masyarakat, harus kuat. Karena
yang hadir di pengadilan itu ibu-ibu semua bawa makanan, bawa rantang, bawa
minuman. “Kalau saya menangis, mereka bisa berbuat macam-macam,” katanya beberapa
waktu lalu saat menghadiri undangan LSM Women
and Youth Development Institute of Indonesia di Novotel Surabaya.
Proses peradilan itu menurut pengakuannya
sangatlah menyakitkan buatnya. Walau telah membangun koalisi dengan pergi ke
Komnas Perempuan, Komnas HAM, mendapat dukungan
teman-teman nasional sampai internasional, namun menghadapi proses institusi
penegak hukum di negeri kita yang seperti ini membutuhkan spirit kemampuan
mental yang lebih dari yang harus dipunyai seorang perempuan.
“Saya yang punya sakit asma, nggak boleh membawa surat dokter. Saya
tetap diharuskan datang. Jika tidak datang, saya dipindahkan ke penjara,” tutur
Jull.
Dituturkannya pula, bagaimana dirinya
menghadapi pilihan yang sulit. Ketika berkas pemeriksaannya telah kelar (p21)
dan diserahkan polisi pada kejaksaan, saat itu ternyata perusahaan telah
melakukan banyak hal.
“Saya harus masuk tahanan. Saya diminta
membayar Rp 5 juta. Saya tidak punya uang sebesar itu. Waktu itu suami saya
hanya punya uang Rp 1 juta,” tutur Jull.
Itu artinya, bagi Jull tidak ada pilihan lain
dan harus masuk. Tak ada jalan lain kecuali inisiatif suaminya dengan melakukan
gerakan yang namanya MAM (Mafia anti Mafia). Suaminya mengumpulkan semua
saudara-saudaranya dan melakukan suatu hal. Hasilnya, dengan Rp 1 juta,
akhirnya saya mendapat kompromi tahanan
rumah, dan itu sudah maksimal dilakukan oleh jaksa dan diperpanjang oleh hakim.
Dikatakan
Jull, pada proses pengadilan itu, pengadilan bukan lagi mengadili. Tapi sudah
menghukum. Jull merasa sudah dihukum sejak pada saat mulai proses pengadilan.
Hasil akhirnya adalah, Jull menanyakan ke
pangacaranya.
“Saya tidak mau masuk penjara, apa yang bisa
anda perbuat sebagai lawyer saya?” tanya Jull.
“Tidak ada jalan lain, kita harus membayar.
Hakim meminta Rp 15 juta,” jawab pengacaranya.
Walau Jull membawa bukti kuat, rekaman SCTV,
Trans TV, karena saat datang ke
lokasi dirinya dengan media, dan mereka melihat
fakta dengan sebenarnya, setelah diputar di persidangan, tapi mereka tidak
percaya karena kekuatan uang.
“Saya sampai menangis. Saya bila perlu minta
ibu-ibu yang datang dari kampung-kampung ini Rp 15 juta. Karena saya
memperjuangkan hak mereka atas hak mereka sumber daya ibu-ibu nelayan. Saya
berusaha karena saya tidak mau dipenjara dan harus di luar. Berarti saya harus
melakukan satu hal yang namanya menyuap. Tapi itu pilihan, dan saya tidak mau
memilih dipenjara. Saya juga punya di rumah,” tutur Jull yang lulusan Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sam
Ratulangi, Manado itu.
Tahu nggak? Lanjut Jull, uang Rp 15 juta itu hanya untuk menghapus dua kata
di dalam satu kalimat putusan hakim. Jadi putusannya berbunyi; terdakwa dihukum satu tahun enam bulan
penjara dan tidak ditahan. Jadi “tidak
ditahan” ini yang dihapus dengan Rp 15 juta.
Diakui Jull, terjadi pergolakan batin yang
luar biasa saat memilih jalan itu. Tetapi kemudian dirinya membuat
pembelajaran, setiap ada sidang dibuatlah
rekaman, apapun gerak-gerik hakim, ketika menemukan banyak pelanggaran yang
dilakukan, semisal saat sidang menelepon, jalan keluar, tidak mendengarkan materi
sidang, lalu hasilnya dilaporkan ke Mahkamah Agung.
“Hasilnya, ternyata hakim tersebut ditegur
dan dijadikan hakim non palu,” ungkap Jull.
Itulah pembelajaran yang didapat Jull. Bagi
perempuan, saat dihadapkan pada situasi sulit seperti itu biasanya perempuan
menyerah dan menerima apa yang terjadi, sementara kita memperjuangkan goal dari
kepentingan yang jauh lebih besar bahwa ada perempuan yang akan kehilangan
tanahnya, yang tidak bisa mengakses lagi ikan di laut, kehidupan semakin
miskin, ancaman pencemaran lingkungan semakin besar.
“Itulah sebabnya, perempuan harus menjadi super women,” tandasnya.
Pemerintah Tidak Menggubris
PERJUANGAN Jull Takaliuang bukan tanpa batu sandungan. Sebuah
buku, Masihkah Indonesia, yang dieditori A Budi
Susanto, Kanisius oleh penulisnya Ahmad Alheid menyebut nama Aryanti
Baramuli, putri tokoh Golkar AA Baramuli yang banyak terlibat untuk mendonasi
kegiatan warga yang menentang PT NMR baik yang berasal dari Buyat Pante maupun
yang di desa Buyat. Dia juga merupakan donatur Aliansi Masyarakat Menolak
Limbah Tambang (Anmalta) yang diorganisir oleh Jull Takaliuang, yang menentang
PT Meares Soputan Mining
Dari sebuah situs di dunia maya
mencatat, PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN)
juga anak perusahaan Aurora dari Australia yang melakukan eksploitasi
tambang di kawasan seluas 30,2 ribu hektar di Minahasa Utara.
Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral Nomor 42.K/30/DJB/2008 tertanggal 6 Maret 2008 menjadi restu bagi
PT MSM untuk memperpanjang izin konstruksi. Adapun SK Menteri ESDM Nomor
44.K/30/DJB/2008 tertanggal 11 Maret 2008 restu lain yang diperoleh PT TTN
untuk memulai konstruksi seperti ”rekannya”, PT MSM, supaya secepatnya
berproduksi alias mengeruk emas di dalam perut bumi Toka Tindung
Apapun kata orang, Jull Takaliuang—perempuan
yang sempat menekuni profesi wartawan di Manado Pos, Suluh Merdeka,
dan Bitung Pos itu—hingga kini masih
terus bekerja dengan masyarakat di kampung-kampung sekitar areal pertambangan
termasuk Rinondoran, Buyat.
“Masyarakat sudah melihat langsung dampak
buruk pertambangan di Buyat. Hanya penderitaan (gangguan kesehatan yang serius)
dan kemiskinan. Kekawatiran hancurnya lingkungan, keterpurukan ekonomi nelayan
dan petani, sosial budaya dan lain-lain. Karenanya masyarakat menolak tegas
perusahaan tambang PT MSM dan PT TTN di wilayah kehidupan mereka. Tapi pemerintah
tidak menggubris. Saat ini masyarakat sudah mulai merasakan dampak tersebut.
Nelayan tidak lagi dapat ikan, kelapa-kelapa dan tanaman lain mulai kena hama
karena air sungai tidak bisa dipakai lagi karena langsung berakibat gatal-gatal
di tubuh dan lain-lain,” pesannya melalui ponsel saya.
Kini pertambangan
masih terus terjadi, padahal delapan tahun lalu, saat menghadapi PT NMR Jull
pun gencar menyebarkan informasi melalui seluruh jejaring yang bisa
diaksesnya, Jull menulis: “..Yang
membuat saya semakin sedih, ternyata selain warga Buyat Pante yang secara kasat
mata terlihat mengalami gangguan kesehatan, saat ini di Buyat Kampung , 1 km ke
darat dari Buyat Pante, yang dihuni
sekitar 3000 lebih jiwa, juga diduga mengalami penyakit yang sama. Sampai saat
ini sekitar lebih dari 100 orang.”
Menurut Jull kampung
Buyat lebih dekat dengan PT NMR yang menggunakan air minum bersumber dari air
sungai (sumur dekat sungai), debu yang mengandung bahan-bahan kimia yang keluar
dari cerobong pabrik terbang ke tetanaman penduduk, air sungai yang digunakan
untuk mengairi sawah juga berasal dari sungai yang dialiri oleh bahan beracun
dari galian buangan PT NMR.
Bahkan menteri Negara
Lingkungan Hidup kala itu, Nabiel Makariem, pada 31 Agustus 2004 dengan
terbata-bata mengumumkan Teluk Buyat tercemar limbah logam berat berbahaya dan
PT NMR melanggar standar baku mutu lingkungan dan limbah khususnya pada
parameter arsenik, mercury dan sianida.
Tampaknya tiga alenia
terakhir tulisan ini tidak banyak berguna di sana. Atau barangkali justru
terlalu banyak yang bermain kata dan kalimat disana? [s.jai]