A Basuki Babussalam:
“Menggadaikan Surat Rumah”
Sumber:
Majalah Seni Budaya Alur, Edisi Juli 2012
TERLIBAT dalam kepanitiaan
perhelatan Festival Seni Surabaya (FSS) sejak 1996, A Basuki Babussalam tidak
menampik disebut memiliki pengalaman buruk. Terlebih wakil rakyat di lembaga
legislatif Jawa Timur ini mengaku turut menangani FSS sejak dari level rendah
hingga duduk sebagai ketua panitia. Cak
Bas—panggilan akrabnya—berawal dari menjadi reporter majalah Festival, duduk selaku Ketua Umum
Panitia FSS pada 2010 dan 2011.
“Memang terkadang ada ketidaksempurnaan dalam rangkaian
proses penyelenggaraan festival. Jika ada yang hanya melihat sisi negatifnya
saja, saya selalu mencoba memahaminya dalam banyak sisi. Bahwa banyak peristiwa
yang menyertai sebuah proses,” tutur mantan staf kajian
dan pengembangan Yayasan Insan Mulia Surabaya ini kepada ALUR beberapa waktu lalu.
Karena itu,
dalam setiap proses, apapun yang terjadi, Cak Bas tak pernah melihatnya sebagai
pengalaman buruk. Jadi, pengalaman buruk itu tergantung dari sudut pandang mana
kita melihat dan merasakan. Ketika sebuah proses itu sudah diihktiari dengan
sungguh-sungguh, maka apapun jadinya itulah yang terbaik. “Ada yang kurang atau
tidak puas, ya itulah realitas. Tapi realitas apapun yang berangkat dari sebuah
kesadaran dan niat baik yang sungguh-sungguh untuk memberikan kontribusi
terhadap kehidupan kota, saya lihat itu sebuah kemuliaan,” ungkap Cak Bas.
Selaku
Ketua Umum FSS, Cak Bas tahu sisik melik
permasalahan bahkan hingga yang paling renik. Ia mencontohkan, ada volunteer
yang harus dirawat hampir satu bulan karena menabrak tiang listrik akibat
bekerja untuk festival hingga dini hari. Atau ada panitia festival yang hampir
mati tergeletak di rumah sakit karena kerja berlebihan pagi hingga dini hari.
Dia sebatangkara di kota besar Surabaya, jauh dari keluarga. Panitia festival
tak mampu mengcover biaya perawatan atas sahabat yang sakit ini.
Atau
ada yang diputus sama calon suami karena over dosis kerja di festival. Jadi
sangat dinamis. Kadang kita hanya tertegun melihat realita yang ada. Pernah
juga, dirinya harus dikekar-kejar satpam mall terbesar di Surabaya karena ada
penyaji seni instalasi yang membawa sampah keliling mall. Pernah ada materi
pameran yang diangkut Satpol PP. Pernah ada penyaji yang minta satu set alat
pentas yang sangat sulit didapat. Lalu mengancam batal manggung. Semua itu
dinamika dan tergantung bagaimana menyikapi.
“Ada
yang melihat itu sebuah kegetiran. Tapi ada juga yang melihat itu dinamika yang
menggairahkan. Kekurangan apapun dalam sebuah momentum festival saya lihat
dari sudut pandang yang komprehensif. Toh, festival adalah peristiwa budaya.
Ada dinamika dan warna kehidupan itu sebagai sesuatu yang sangat natural,”
tandas Cak Bas.
Seperti Taman Besar
MESKI lahir di sebuah desa di lereng Gunung
Lawu, 39 tahun yang lalu, Cak Bas besar
dan tumbuh di kota Surabaya. Oleh karena itu pandangannya perihal festival juga
tak luput dari masalah kota. Menurutnya FSS adalah peristiwa kota. FSS digagas
oleh seniman-seniman kota Surabaya, kreasi dari
tokoh-tokoh seni yang memiliki kepedulian dengan kehidupan kotanya.
“Saya
lihat dinamika selama proses festival selalu menarik. Memang kadang sangat
ekstrim. Tapi namanya sebuah dinamika, tentu wajar saja. Yang penting kreasi
itu sebagai tanda cintanya terhadap kota Surabaya,” ungkap penulis buku Melejitkan
Potensi Anak yang diterbitkan Mizan, 2005 lalu itu.
Cak Bas
menegaskan selain sebagai peristiwa kota, FSS juga adalah peristiwa kesenian.
Maka tantangan terberat adalah menyatukan harap dan mewujudkan harap itu. Dalam
konteks ide, menyatukan ide dalam sebuah festival itu sebuah pekerjaan
tersendiri. Belum lagi soal teknis. “Kendala paling berat tentu saja salah
satunya pendanaan. Karena kita punya beban berat untuk bekerja kalau belum ada
dana,” tandasnya.
Ketika
ditanya masalah manajemen festival
berkait dengan keterlibatan bisnis para birokrat, event organizer dan seniman, pendapat Cak Bas, karena festival
itu peristiwa kota, maka keterlibatan semua pihak dalam ranah masing-masing
menjadi dambaan. Asal jelas posisi dan komposisi peran sertanya. “Biar festival ini bukan hanya seperti
lolongan di ruang sunyi,” tandasnya.
Sebab
itulah, lanjut Cak Bas, semua harus
diajak berperan serta aktif dalam koridor masing-masing. Ada ruang penjaga
nilai, ada ruang kreatif, ada ruang yang mengisi kekosongan pada sisi yang
lain. Jadi bisa lengkap. Budayawan dan seniman bisa mengeksplorasi diri pada
nilai dan kreatifitas, lantas masyarakat luas, termasuk bisnisman dan tokoh
masyarakat kota, bisa berkontribusi, misalnya pada eksplorasi kebutuhan
kreatif.
“Jadi
semua saling melengkapi. Semua saling memiliki. Semua saling mengisi. Kalau
semua bisa bergerak bersama, saya kira bisa diarahkan pada tataran ideal yang
kita harapkan,” tukas suami dari Retno Eni
Sulistyo itu.
Demikian
pula berkait dengan pesan festival bagi dunia pariwisata, menurut Cak Bas,
festival itu seperti taman besar. Semua bisa masuk dan menikmati sesuai dengan
hasrat masing-masing tanpa boleh saling merusak. Semua diberi kesempatan
tumbuh, namun ditata dan dikelola sehingga melahirkan kekuatan baru yang
menjadi puncak dari kekuatan-kekuatan yang ada.
“Festival
adalah puncak-puncak peristiwa kota. Keberadaannya bisa menjawab harapan
seluruh warga kota. Masyarakat bisa mendapatkan oase kehidupan di tengah derik
ritmis kehidupan kesehariannya,” tandasnya.
Selebihnya,
di sana kesenian pun berkembang sehat dan subur karena semua mendapatkan peran
berapresiasi dalam kehidupan kotanya. Walhasil, kehidupan kota, termasuk
pariwisata, bisa lahir dengan semangat dan suasana baru berkat festival.
Menghitung Uang Receh
KARENA itulah,
Cak Bas mengingatkan agar tidak melihat festival sebagai proses secara
sepotong-sepotong. Artinya kalau mau
lihat kekurangan, maka setiap penyelenggaraan festival pasti ada kekurangan.
Sebaliknya, kalau mau dipakai alat pemoles muka, maka semua dilihat sisi yang
menyenangkan saja. Semua itu tergantung sudut pandang mana kita melihat.
Sebaliknya, jika festival ini dilihat secara utuh, kita akan melihat rangkaian
penyelenggaraan festival telah mampu menghadirkan peristiwa kota di Surabaya.
“Walau
kadang ada kegetiran, semisal, untuk menutup biaya festival, panitia harus
berkali-kali menggadaikan surat rumah. Ada yang dikejar-kejar pemilik rental
dan kawan-kawan di lapangan karena sampai penutupan belum mampu membayar.
Pernah ada pengalaman, untuk membayar penyaji itu kita harus menghitung uang
receh karcis. Itupun akhirnya baru bisa terbayar sebagian sampai penyajinya
pulang, dan akhirnya tetap harus hutang,” terang Cak Bas.
Namun
demikian, di luar kegetiran itu, lanjut Cak Bas, kita juga pernah menyaksikan pada festival
telah hadir ratusan penyaji dari luar negeri hadir di tengah masyarakat
Surabaya. Lalu, ada ribuan seniman pernah tampil dalam rangkaian acara ini dan
hampir semua seniman surabaya pernah terlibat, walau hanya sebagai penonton,
berinteraksi dalam rangkaian acara ini.
Festival
seringkali juga memberikan hentakan penyadaran nilai di tengah kehidupan
masyarakat kota yang penat dengan aktifitas keseharian. Festival telah
hadir di kota Surabaya dalam aneka warna luar biasa.
“Peristiwa
ini hadir memberi denyut aktivitas kebudayaan yang saya kira tidak sederhana.
Karena itu agak sulit kalau kita mengatakan panitia itu subjek atau obyek.
Karena yang terjadi adalah sebuah peristiwa, dan peristiwa itu dinamis
tergantung sudut pandang kita,” tepisnya.
Festival
yang baik itu menurut Cak Bas adalah festival yang bisa mewujudkan visi ideal
yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan acara itu. Karena festival itu juga
bermacam-macam. Untuk Festival Seni Surabaya, misalnya, semestinya bisa
merepresentasikan niat hakiki keluarga besar seniman Surabaya untuk
berkontribusi dalam peradaban kotanya.
“Harus
muncul dari kegelisahaan, dan kemudian dicarikan jawabnya melalui festival yang
ada, dan harus bisa mereprentasikan kegairahan kota. Sehingga festival menjadi
denyut nadi mayoritas warga kota, menjadi harapan sekaligus jawaban atas
peristiwa kehidupan kota,” papar penulis buku Membangun Rumah Tuhan ini berfilosofi. (s.jai)