Jumat, 21 September 2012

profil

A Basuki Babussalam:
“Menggadaikan Surat Rumah”

Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Edisi Juli 2012



TERLIBAT dalam kepanitiaan perhelatan Festival Seni Surabaya (FSS) sejak 1996, A Basuki Babussalam tidak menampik disebut memiliki pengalaman buruk. Terlebih wakil rakyat di lembaga legislatif Jawa Timur ini mengaku turut menangani FSS sejak dari level rendah hingga duduk sebagai ketua panitia.  Cak Bas—panggilan akrabnya—berawal dari menjadi reporter majalah Festival, duduk selaku Ketua Umum Panitia FSS pada 2010 dan 2011.

“Memang terkadang ada ketidaksempurnaan dalam rangkaian proses penyelenggaraan festival. Jika ada yang hanya melihat sisi negatifnya saja, saya selalu mencoba memahaminya dalam banyak sisi. Bahwa banyak peristiwa yang menyertai sebuah proses,” tutur mantan staf kajian dan pengembangan Yayasan Insan Mulia Surabaya ini kepada ALUR beberapa waktu lalu.

Karena itu, dalam setiap proses, apapun yang terjadi, Cak Bas tak pernah melihatnya sebagai pengalaman buruk. Jadi, pengalaman buruk itu tergantung dari sudut pandang mana kita melihat dan merasakan. Ketika sebuah proses itu sudah diihktiari dengan sungguh-sungguh, maka apapun jadinya itulah yang terbaik. “Ada yang kurang atau tidak puas, ya itulah realitas. Tapi realitas apapun yang berangkat dari sebuah kesadaran dan niat baik yang sungguh-sungguh untuk memberikan kontribusi terhadap kehidupan kota, saya lihat itu sebuah kemuliaan,” ungkap Cak Bas.

Selaku Ketua Umum FSS, Cak Bas tahu sisik melik permasalahan bahkan hingga yang paling renik. Ia mencontohkan, ada volunteer yang harus dirawat hampir satu bulan karena menabrak tiang listrik akibat bekerja untuk festival hingga dini hari. Atau ada panitia festival yang hampir mati tergeletak di rumah sakit karena kerja berlebihan pagi hingga dini hari. Dia sebatangkara di kota besar Surabaya, jauh dari keluarga. Panitia festival tak mampu mengcover biaya perawatan atas sahabat yang sakit ini. 

Atau ada yang diputus sama calon suami karena over dosis kerja di festival. Jadi sangat dinamis. Kadang kita hanya tertegun melihat realita yang ada.  Pernah juga, dirinya harus dikekar-kejar satpam mall terbesar di Surabaya karena ada penyaji seni instalasi yang membawa sampah keliling mall. Pernah ada materi pameran yang diangkut Satpol PP. Pernah ada penyaji yang minta satu set alat pentas yang sangat sulit didapat. Lalu mengancam batal manggung. Semua itu dinamika dan tergantung bagaimana menyikapi.

“Ada yang melihat itu sebuah kegetiran. Tapi ada juga yang melihat itu dinamika yang menggairahkan. Kekurangan apapun dalam sebuah momentum festival saya lihat dari sudut pandang yang komprehensif. Toh, festival adalah peristiwa budaya. Ada dinamika dan warna kehidupan itu sebagai sesuatu yang sangat natural,” tandas Cak Bas.

Seperti Taman Besar

MESKI  lahir di sebuah desa di lereng Gunung Lawu,  39 tahun yang lalu, Cak Bas besar dan tumbuh di kota Surabaya. Oleh karena itu pandangannya perihal festival juga tak luput dari masalah kota. Menurutnya FSS adalah peristiwa kota. FSS digagas oleh seniman-seniman kota Surabaya, kreasi dari tokoh-tokoh seni yang memiliki kepedulian dengan kehidupan kotanya.

“Saya lihat dinamika selama proses festival selalu menarik. Memang kadang sangat ekstrim. Tapi namanya sebuah dinamika, tentu wajar saja. Yang penting kreasi itu sebagai tanda cintanya terhadap kota Surabaya,” ungkap penulis buku Melejitkan Potensi Anak yang diterbitkan Mizan, 2005 lalu itu.

Cak Bas menegaskan selain sebagai peristiwa kota, FSS juga adalah peristiwa kesenian. Maka tantangan terberat adalah menyatukan harap dan mewujudkan harap itu. Dalam konteks ide, menyatukan ide dalam sebuah festival itu sebuah pekerjaan tersendiri. Belum lagi soal teknis. “Kendala paling berat tentu saja salah satunya pendanaan. Karena kita punya beban berat untuk bekerja kalau belum ada dana,” tandasnya.

Ketika ditanya masalah manajemen festival berkait dengan keterlibatan bisnis para birokrat, event organizer dan seniman, pendapat Cak Bas, karena festival itu peristiwa kota, maka keterlibatan semua pihak dalam ranah masing-masing menjadi dambaan. Asal jelas posisi dan komposisi peran sertanya.  “Biar festival ini bukan hanya seperti lolongan di ruang sunyi,” tandasnya.

Sebab itulah,  lanjut Cak Bas, semua harus diajak berperan serta aktif dalam koridor masing-masing. Ada ruang penjaga nilai, ada ruang kreatif, ada ruang yang mengisi kekosongan pada sisi yang lain. Jadi bisa lengkap. Budayawan dan seniman bisa mengeksplorasi diri pada nilai dan kreatifitas, lantas masyarakat luas, termasuk bisnisman dan tokoh masyarakat kota, bisa berkontribusi, misalnya pada eksplorasi kebutuhan kreatif.

“Jadi semua saling melengkapi. Semua saling memiliki. Semua saling mengisi. Kalau semua bisa bergerak bersama, saya kira bisa diarahkan pada tataran ideal yang kita harapkan,” tukas suami dari Retno Eni Sulistyo itu.

Demikian pula berkait dengan pesan festival bagi dunia pariwisata, menurut Cak Bas, festival itu seperti taman besar. Semua bisa masuk dan menikmati sesuai dengan hasrat masing-masing tanpa boleh saling merusak. Semua diberi kesempatan tumbuh, namun ditata dan dikelola sehingga melahirkan kekuatan baru yang menjadi puncak dari kekuatan-kekuatan yang ada.

“Festival adalah puncak-puncak peristiwa kota. Keberadaannya bisa menjawab harapan seluruh warga kota. Masyarakat bisa mendapatkan oase kehidupan di tengah derik ritmis kehidupan kesehariannya,” tandasnya.

Selebihnya, di sana kesenian pun berkembang sehat dan subur karena semua mendapatkan peran berapresiasi dalam kehidupan kotanya. Walhasil, kehidupan kota, termasuk pariwisata, bisa lahir dengan semangat dan suasana baru berkat festival. 

Menghitung Uang Receh

KARENA itulah, Cak Bas mengingatkan agar tidak melihat festival sebagai proses secara sepotong-sepotong.  Artinya kalau mau lihat kekurangan, maka setiap penyelenggaraan festival pasti ada kekurangan. Sebaliknya, kalau mau dipakai alat pemoles muka, maka semua dilihat sisi yang menyenangkan saja. Semua itu tergantung sudut pandang mana kita melihat. Sebaliknya, jika festival ini dilihat secara utuh, kita akan melihat rangkaian penyelenggaraan festival telah mampu menghadirkan peristiwa kota di Surabaya.

“Walau kadang ada kegetiran, semisal, untuk menutup biaya festival, panitia harus berkali-kali menggadaikan surat rumah. Ada yang dikejar-kejar pemilik rental dan kawan-kawan di lapangan karena sampai penutupan belum mampu membayar. Pernah ada pengalaman, untuk membayar penyaji itu kita harus menghitung uang receh karcis. Itupun akhirnya baru bisa terbayar sebagian sampai penyajinya pulang, dan akhirnya tetap harus hutang,” terang Cak Bas.

Namun demikian, di luar kegetiran itu, lanjut Cak Bas,  kita juga pernah menyaksikan pada festival telah hadir ratusan penyaji dari luar negeri hadir di tengah masyarakat Surabaya. Lalu, ada ribuan seniman pernah tampil dalam rangkaian acara ini dan hampir semua seniman surabaya pernah terlibat, walau hanya sebagai penonton, berinteraksi dalam rangkaian acara ini.

Festival seringkali juga memberikan hentakan penyadaran nilai di tengah kehidupan masyarakat kota yang penat dengan aktifitas keseharian. Festival telah hadir di kota Surabaya dalam aneka warna luar biasa.

“Peristiwa ini hadir memberi denyut aktivitas kebudayaan yang saya kira tidak sederhana. Karena itu agak sulit kalau kita mengatakan panitia itu subjek atau obyek. Karena yang terjadi adalah sebuah peristiwa, dan peristiwa itu dinamis tergantung sudut pandang kita,” tepisnya.

Festival yang baik itu menurut Cak Bas adalah festival yang bisa mewujudkan visi ideal yang ingin dicapai melalui penyelenggaraan acara itu. Karena festival itu juga bermacam-macam. Untuk Festival Seni Surabaya, misalnya, semestinya bisa merepresentasikan niat hakiki keluarga besar seniman Surabaya untuk berkontribusi dalam peradaban kotanya.

“Harus muncul dari kegelisahaan, dan kemudian dicarikan jawabnya melalui festival yang ada, dan harus bisa mereprentasikan kegairahan kota. Sehingga festival menjadi denyut nadi mayoritas warga kota, menjadi harapan sekaligus jawaban atas peristiwa kehidupan kota,” papar penulis buku Membangun Rumah Tuhan ini berfilosofi.  (s.jai)