“Suara Lain” Feminisme
Oleh S.JAI
Judul Buku : Posfeminisme & Cultural Studies, Sebuah
Pengantar Paling Komprehensif
Penulis : Ann BrooksPenerjemah : S Kunto Adi Wibowo
Penerbit : Jalasutra, 2011
Halaman : xviii + 365 halaman; 15 x 21 cm
ISBN : 979-3684-28-3
POSFEMINISME atau sering disebut sebagai feminisme
postmodern diharapkan mengukuhkan paradigma feminisme “gelombang ketiga.”
Karena memang wacana ini muncul berkat persilangan feminisme dengan
postmodernism.
Kita ketahui feminisme “gelombang kedua” muncul di Amerika Serikat sekitar
periode 1960-an awal hingga akhir tahun 1980-an akhir mengangkat isu pelbagai
ketidakadilan; ketidakadilan dalam hukum, seksualitas, keluarga, tempat kerja,
dan hak-hak reproduksi. Sementara gerakan feminisme “gelombang pertama”
bergerak terutama di bidang penghapusan hambatan-hambatan hukum dalam
kesetaraan gender (misalnya hak suara dan hak milik).
Paradigma pemikiran posfeminisme terang-terangan dimaksudkan untuk menantang
feminisme “gelombang kedua” yang dianggapnya justru terlampau jauh menyimpang.
Yaitu pada saat, tatanan sosio kultural berupa peran, perilaku, mentalitas,
karakteristik perempuan terus dipertentangkan dalam kerangka gender. Akan
tetapi budaya patriarki yang di belahan bumi manapun, nyata-nyata menegaskan di
satu sisi sentral laki-laki dan marginal perempuan.
Kesetaraan gender yang tak lain
hanyalah suatu relativitas, semestinya membuahkan dorongan perempuan untuk
mengembangkan potensi-potensi dirinya sebagai perempuan, dan menjadi unggul
dengan kemampuan dirinya sebagai seorang perempuan. Yakni kemampuan perempuan
untuk menulis “sejarah”-nya sendiri, “bahasa”-nya sesuai sosio kultur dimana
mereka hidup dan berkembang.
Sebagaimana dalam bahasa Idy Subandy
Ibrahim, seorang peneliti sosial, dalam pengantar buku ini, mengatakan penulis
buku ini ingin menunjukkan bahwa posfeminisme adalah semacam “jalan baru” baru
bagi upaya sebagian perempuan untuk melakukan kritik dan otokritik dari dalam
dan dari luar gerakan feminis yang memberikan “suara lain” bagi gerakan
perempuan untuk memperbaiki kehidupannya, baik dalam lingkungan kerja maupun
keluarga, baik dunia pemikiran maupun dunia aktivis, baik dalam lingkungan real
maupun lingkungan simbolik, dan baik dunia sosial maupun dunia media.
Jalan Baru dan Suara Lain
Dengan
kata lain, melalui paradigma posfeminisme, Ann Brooks, dosen Senior Sosiologi,
Universitas Massey Selandia Baru telah berusaha keras mendudukkan kembali titik
persoalan mengenai kesalahpahaman sebagaian kalangan terhadap gerakan dan
wacana posfeminisme. Artinya, posfemisme mengembalikan perempuan pada ruh
gerakan perempuan atau feminisme—tanpa perlu terjatuh pada adagium
“dekonstruksi” atau “perbedaan” yang seringkali terdengar menakutkan, bahkan
bagi gerakan kaum perempuan sendiri (halaman
xviii).
Bagi Ann Brooks, posfeminisme tidak
antifeminisme dan posfeminisme hanya menantang asumsi-asumsi hegemonik yang
dipegang oleh epistemologi feminis gelombang kedua yang menganggap bahwa
penindasan patriarkhi dan imperialis adalah pengalaman penindasan yang
universal. Karena dalam kenyataannya, perempuan sendiri tersebar dalam berbagai
kelas sosial, pengelompokan rasial dan etnis, komunitas seksual, subkultur, dan
agama yang berarti pula tiap perempuan akan merasakan pengalaman sosial dan
kesadaran personal yang berbeda.
Tetapi secara tegas, Ann Brooks
membuat garis tebal bahwa posfeminisme sebagai dalam prespektif ini adalah
tentang pergeseran konseptual di dalam feminisme, dari debat sekitar persamaan
ke debat yang lebih difokuskan pada perbedaan. Hal ini bersifat mendasar, bukan
perihal depolitisasi feminisme, melainkan pergeseran politis dalam agenda
konseptual dan teoritis feminisme (halaman
6).
Posfeminisme, sebagaimana didiskusikan
di dalam bab-bab buku ini adalah mengenai berbagai tantangan yang ditujukan
pada apa yang telah diidentifikasi sebagai feminisme “hegemonik” yang akarnya
jelas berada dalam pengaruh Anglo-Amerika yang begitu kuatnya mempengaruhi
konseptualisasi feminisme gelombang kedua.
Yang disebut sebagai “suara teori feminis yang dominan dan
menjajah melalui penerbitan dan pengaruh akademik” (halaman 6). Secara
umum ada tiga bagian dalam buku ini. Pertama, menatang dan memecah
konsensus “gelombang kedua”, yang tentu saja mendasari pemahaman
akan paradigma pemikiarn posfeminisme. Kedua, “menikung ke budaya”
feminisme—pergeseran paradigma dalam pembentukan teori feminis? yang mencoba menguatkan wacana dalam
hubungannya dengan pemikir Foucoult dan teori psikoanalisis dan semiologi. Ketiga,
feminisme dan bentuk kebudayaan, yang mengupas kaitan politik
kebudayaan dengan pelbagai varian dalam budaya pop, film dan media serta bab
khusus seksualitas dan perihal identitas perempuan.
Melalui pembacaan buku ini, kepada
para pembaca diharapkan, meski secara epistemologis, posfeminis belumlah
memiliki akar yang kuat, namun secara perlahan menyakini bakal mengarah pada
paradigma pemikiran yang sanggup menggerakan atau mengganti feminisme
“gelombang kedua” menuju “gelombang ketiga”.
Atau setidak-tidaknya Ann Brook telah berupaya untuk memperlihatkan tiga ranah
penting arah “pergeseran paradigma” dalam buku penting ini. Pertama,
di dalam tantangan yang diajukan oleh posfeminisme kepada fondasionalisme
epistemologis feminisme. Kedua, di dalam pergeseran
posfeminisme jauh dari batasan-batasan yang specifik. Ketiga,
di dalam penolakan posfeminisme untuk dibatasi oleh kendala-kendala
representasi. []