Minggu, 23 Agustus 2020

MENCINTAI BAHASA MENCINTAI KEUTUHAN BUDAYA

 S. Jai 


Jika kita percaya pepatah lama ‘buku adalah jendela dunia,’ maka setiap yang sudah ada dalam dunia ini tak ada salah-nya memulai untuk menyakini bahwa ‘bahasa adalah pintu suatu kebudayaan.’


Melihat sejarah bahasa (dan sastra, juga kebudayaan) kita yang cukup panjang, maka tak ada alasan untuk tidak mencintai bahasa. Bahkan kita telah tahu; bukan hanya ‘kita’ yang turut andil besar dalam pembentukan bahasa. Tak cuma masyarakat pengguna Jawa Kuna, bangsa Melayu, lalu para ahli bahasa dan sejarah seperti Hamzah Fansuri,  Abdul Kadir Munsyi, Raja Ali Haji saja, tapi juga arsitek bahasa dari asing; seperti Melchior Leijdecker, H.C. Klinkert, selain peran para sastrawan peranakan baik Cina maupun Eropa yang tak boleh kita lupakan.

 Singkat kata,  betapa bahasa adalah denyut jantung, gerak, medan perjuangan, pertaruhan, pertarungan masyarakat. Bahasalah yang terlibat begitu aktif dan masif atas bagaimana seseorang, individu maupun masyarakat hidup bersama, memandang, menangkap dan membicarakan kenyataan. Rasanya bagi setiap yang dalam keseharian bergulat dengan bahasa, tidaklah cukup sekadar menyakini bahasa adalah pintu suatu kebudayaan. Dengan kata lain; bahasa adalah kebudayaan itu sendiri yang di dalamnya termaktub kesepakatan-kesepakatan, ketegangan-ketegangan, bahkan kesewenang-wenangan.

 Maka mencintai bahasa mengandung pengertian mencintai keutuhan budayanya. Utamanya perihal perbedaan. Ini mengingatkan saya pada ungkapan Saussure  ‘dalam bahasa hanya ada perbedaan-perbedaan dimana identitas kata dibentuk oleh dari melakukan perbedaan-perbedaan di dalamnya.’ Betapa setiap yang mencintai bahasa, doktrin utamanya adalah dia yang sungguh-sungguh mencintai perbedaan. Inilah saya kira tingkat keilmuan yang istimewa di ranah budaya. Kenyataan budaya  sekecil apapun, selembut bagaimanapun menjadi penting dan bermakna. Apalagi di sebalik perihal kuliner, perilaku, religi, teknologi, wisata, ritus-ritus sejarah dan lain sebagainya.

 Pada titik inilah, meski bukan satu-satunya, cara mencintai bahasa yang ditempuh Bu Laili Rusmawaty ini terbilang unik: seorang guru bahasa Indonesia yang “terjun” ke dunia jurnalistik—salah sebuah lorong penting sejarah (penggunaan/perjuangan) berbahasa. Di negeri kita menyebut beberapa yang paling mutakhir telah dirumuskan oleh diantaranya;  Ahmad Tohari, Goenawan Mohamad, Pramoedya Ananta Toer, Idrus, Mochtar Lubis, Seno Gumira Ajidarma, Sindhunata. Sekali lagi hanya menyebut paling mutakhir. Belum lagi jasa-jasa jurnalis zaman Hindia Belanda, boleh juga ditambah para pencatat hikayat, babad dan sejenisnya.

 Memang yang paling popular adalah apa yang dirumuskan Goenawan Mohamad dengan bahasa yang hemat (singkat, padat)  dalam kata maupun kalimat dan jelas (lugas, komunikatif) dalam kata maupun kalimat.  Ada baiknya pula setiap yang terlibat dalam jurnalistik mengenali semua kecenderungan atau rumusan kerja jurnalistik beberapa tokoh jurnalistik kita tersebut di atas.

 Bagi saya keunikan ikhtiar penulis buku ini tak lain karena mengingatkan saya pada apa yang disebut masyarakat pembelajar. Yaitu sebuah masyarakat yang kiranya tak lain kepanjangan dari masyarakat komunikatifnya Jurgen Habermas.

 Sederhananya begini;  Bu Laili Rusmawaty, pengajar bahasa Indonesia tidak hanya "mengajar" pada siswanya. Lebih dari itu Bu Laili juga "belajar"—pada segala kemungkinan sumber pengetahuan; pada siswanya, lingkungannya, dan di mana saja di luar keduanya dan di luar sekolah pula. Dengan kata lain, proses belajar mengajar tidak hanya terjadi di dalam ruang kelas terlebih yang bersifat searah.

 Konkretnya jurnalistik memberi syarat tak cuma bekerja di dalam tetapi musti juga terjun ke lapangan—melatih kepekaan, menajamkan penglihatan, mengasah naluri, menguji keberanian, mengelola objek dan lain sebagainya pendeknya segala persepsi, intepretasi, intuisi. Terpenting, pengajar yang meraih berbagai penghargaan dan aktif menulis ini, tak cuma memberi ‘pelajaran’ atau ‘mengajari’ siswanya perihal jurnalistik, namun demikian dirinya sendiri tak kalah giatnya dalam belajar.

 Aktivitas proses belajar-mengajar yang tampaknya (dan memang sebagaimana saya perlihatkan) sederhana ini, bila dirumuskan kira-kira begini jadinya; Proses belajar mengajar sebagai yang berfungsi mendidik. Suatu proses pendidikan yang diperuntukan bagi seluruh peserta didik (masyarakat) dalam interaksi keseharian. Yaitu suatu masyarakat yang memiliki semangat, kesadaran dan tradisi untuk terus men-cari, menemukan dan menciptakan pengetahuan.

 Dengan kata lain; kebersamaan, inklusif, keikutsertaan serta sebagaimana syarat Habermas sadar akan penguasan media komunikasi—koran harian Surya dalam hal ini.  Sebuah masyarakat yang menjunjung tinggi etika perlakuan terhadap sesama, komitmen terhadap nilai-nilai (idealisme), kepekaan terhadap kebutuhan orang lain (empati), mengembangkan potensi kemanusiaan, sabar, tekun.

 Satu hal lagi saya pribadi berharap dan setuju dengan apa yang dikatakan oleh Mohammad Diponegoro seorang penulis, jurnalis, serta cerpenis tangguh di zamannya. Katanya; menjadi wartawan, pengalaman wawancara, mengetahui watak manusia, kemampuan mencatat peristiwa, menangkap suasana, ketangguhan memeras otak untuk selektif memilih data yang menarik, berhemat dan ringkas dalam berbahasa adalah sekolah yang paling bagus bagi cerpenis.

 Lebih dari itu, boleh jadi jurnalisme tak cuma sekolah paling bagus bagi cerpenis.