Minggu, 23 Agustus 2020

Watak Dialektika Sebagai Seni

(Perihal Buku Dari Jagad Wayang Hingga Perahu Lalotang, 

Esai Esai Tjahjono Widianto)

  

SETIAP karya seni pada dasarnya adalah sebuah poisies--puisi, kata pemikir Martin Heidegger. Lalu apa yang terbayang di benak kita manakala sebuah karya seni—tepatnya seni menulis—ditulis oleh seorang pemuisi, penyair?


Dalam sejarah estetika, pemikiran Heidegger ini lantas ditelisik kembali oleh seorang filosof yang konon dia tak memiliki karya dalam bentuk buku, namun percikan pikiran-pikirannya disebut mewarnai jagad konsep estetika di era kontemporer. Dialah Giorgio Agamben.

Yang mengejutkan, konsep estetika yang digagasnya tak lain adalah; melawan estetika. Semacam menemukan jalan keluar nihilisme yang diketengahkan Heidegger. Kita tahu kaum nihilis telah begitu masif menafikan, melakukan penyangkalan atas segala pengetahuan; ilusi, tak bermanfaat, tak berarti, nisbi dan tentu saja tak bermakna.

Agamben memaknai secara baru dalam karya seni, apa itu ritme—suatu pola yang tersirat dari konsep waktu. Ringkasnya, dalam konsep keindahannya, sublimasi karya seni yang estetis adalah yang bercorak temporal-eksistensial. Dengan kata lain, ketika kita menikmati sebuah karya seni yang sublim, yang mencengangkan, pada saat itulah waktu yang berjalan dalam detik jam dan zaman seakan berhenti sesaat. Bagi Agamben,  pengalaman berhadapan dengan karya seni adalah pengalaman paling asali,  seperti seorang anak kecil yang memandang seluruh kenyataan dengan ketakjuban artistik. Perlawanan Agamben tak lain dengan cenderung mengartikan segala seni sebagai poiesis sebagai gerak keluar eksistensial yang paling mendasar—sebelum dikonstruksi oleh estetika.

Keindahan terang saja akan memiliki maknanya yang mendalam pada saat itu. Bukan saja dalam strukturnya yang indah melainkan juga dunia dalamnya—estetikanya dalam pengertian poiesis sebagai ‘pengetahuan’ tertinggi.

Tjahjono Widijanto, sastrawan kelahiran Ngawi, 18 April 1969 ini menyusun karya seni menulis esai dalam Segugus Esai Budaya di buku ini, sekaligus mengusik pertanyaan yang belakangan ngendon di benak saya; apakah sebuah kritik bisa disampaikan dalam bentuk esai?

Dia menuliskannya senantiasa dalam suasana—menukil bahasa Iqnas Kleden—“penghormatan pada kegembiraan hidup” dengan pelbagai profesinya, penyair, guru, kritikus, dan sudah barangtentu segala itu meneguhkan dirinya budayawan. Sebagai karya seni, esai-esainya kukuh sebagai tulisan sastra yang mempertimbangan sungguh  perkembangan dan pertumbuhan bahasa.

Maka, boleh dikata disinilah semacam gang kecil untuk mencari jawab atas pertanyaan, seberapa menarik bila esai ditulis oleh seorang penyair. Seorang penyair adalah penyaksi dari tulisan-tulisan esainya, betapa bahasanya seperti manusia juga, hidup, dinamis, penuh kejutan, sepi yang mencari, menemui dan menemukan kegembiraannya sendiri. Tak terkecuali pertemuan antara kritik dan esai, dalam tulisan-tulisan di buku ini adalah perjumpaan pikiran dan perasaan yang berwarna-warni.

Dan, satu hal lagi selain kegembiraan--dan tentu saja harapan--tulisan-tulisan dalam buku ini sebagai gugusan esai menghamparkan begitu banyak dialog. Atau dalam kosa kata penulis yang cukup banyak digunakan dalam buku ini; dialektika. Sebuah kosa kata yang di dalamnya inhern adanya kontradiksi, dilemma, paradoks, yang dalam sejarah pemikiran terhitung paling tua sejak Zeno, Socrates, Plato meski tetap aktual dan masih sering dikonfrontasikan dengan demonstrasi itu. Dahulu kala, dahulu sekali konon dialektika dituduh sebagai biang dari memamerkan dosa kesombongan manusia. Sekarang? Entah.

Pendeknya, esai-esai peraih penghargaan kritik sastra sebanyak tiga kali dari Dewan Kesenian Jakarta  menempatkan watak dialektika sebagai seni pula. Yakni, seni yang tidak mengizinkan seseorang—siapapun, pembaca—membiarkan sesuatu hal tidak dipersoalkan. Dalam bahasa kesusastraan; seni untuk mengajukan pertanyaan, menggugat, menyoal, memparodikan, bahkan bermain-main terhadap sesuatu hal kenyataan. Prinsipnya seni untuk menjadikan sesuatu pengetahuan; menjadi masalah.

Barangkali, dialektika dalam ranah kritik ada semacam ikhtiar untuk menemukan atau menjawab pertanyaan-pertanyaan sekalipun jawaban kecil. Atau dalam bahasa klise yang diperkenalkan pemikir Johann Gotlieb Fichte;  ada tesis, ada anti-tesis ada pula sintesis. Apapun itu, saya kira kita bersetuju dengan Plato bahwa dialektika adalah metode metafisika dan mendatangkan atau untuk menghasilkan pengetahuan tertinggi.

Sebanyak 27 esai dalam buku ini sebagian besar telah dipublikasikan di koran rentang waktu sepuluh tahun (masa jaya koran hingga senjakala media cetak). Sebagian kecil lainnya ada yang sempat termuat dalam buku yang diterbitkan sebelumnya, dan sedikit tulisan dari buku ini "nasibnya' belum terpublikasi dimana pun dan selama ini masih mendekam di file computer penulis.

Demikianlah, segugus esai dalam buku ini banyak berikhtiar menakik pengetahuan tertinggi dari pergulatan dialektika dalam pelbagai ranah budaya; politik, kekuasaan, seks, sastra, sejarah, perdagangan, seni pertunjukan. Juga tradisi, mitologi, ideologi, kebinekaan. Singkat kata pelbagai dialektika budaya kita—lintas budaya, silang waktu budaya—masa silam, masa kini dan teks budaya masa yang akan datang.

Pendeknya dialektika segala praktik budaya sebagai konvensi sosial— sebagaimana Roland Barthes katakan—dialektika dalam segugus esai Tjahjono Widijanto, dan tentu saja dengan penerbitan buku ini tak lain adalah dalam rangka ambil bagian di ruang dan waktu pertarungan ideologi. Semoga.[]

 

 

S. Jai