Watak Dialektika Sebagai Seni
(Perihal Buku Dari Jagad Wayang Hingga Perahu Lalotang,
Esai Esai Tjahjono Widianto)
SETIAP karya seni pada dasarnya adalah sebuah poisies--puisi, kata pemikir Martin Heidegger. Lalu apa yang terbayang di benak kita manakala sebuah karya seni—tepatnya seni menulis—ditulis oleh seorang pemuisi, penyair?
Dalam
sejarah estetika, pemikiran Heidegger ini lantas ditelisik kembali oleh seorang
filosof yang konon dia tak memiliki karya dalam bentuk buku, namun percikan
pikiran-pikirannya disebut mewarnai jagad konsep estetika di era kontemporer.
Dialah Giorgio Agamben.
Yang
mengejutkan, konsep estetika yang digagasnya tak lain adalah; melawan estetika.
Semacam menemukan jalan keluar nihilisme yang diketengahkan Heidegger. Kita
tahu kaum nihilis telah begitu masif menafikan, melakukan penyangkalan atas
segala pengetahuan; ilusi, tak bermanfaat, tak berarti, nisbi dan tentu saja
tak bermakna.
Agamben
memaknai secara baru dalam karya seni, apa itu ritme—suatu pola yang tersirat
dari konsep waktu. Ringkasnya, dalam konsep keindahannya, sublimasi karya seni
yang estetis adalah yang bercorak temporal-eksistensial. Dengan kata lain,
ketika kita menikmati sebuah karya seni yang sublim, yang mencengangkan, pada
saat itulah waktu yang berjalan dalam detik jam dan zaman seakan berhenti sesaat.
Bagi Agamben, pengalaman berhadapan
dengan karya seni adalah pengalaman paling asali, seperti seorang anak kecil yang memandang
seluruh kenyataan dengan ketakjuban artistik. Perlawanan Agamben tak lain
dengan cenderung mengartikan segala seni sebagai poiesis sebagai gerak keluar eksistensial yang paling mendasar—sebelum
dikonstruksi oleh estetika.
Keindahan
terang saja akan memiliki maknanya yang mendalam pada saat itu. Bukan saja
dalam strukturnya yang indah melainkan juga dunia dalamnya—estetikanya dalam
pengertian poiesis sebagai ‘pengetahuan’
tertinggi.
Tjahjono
Widijanto, sastrawan kelahiran Ngawi, 18 April 1969 ini menyusun karya seni
menulis esai dalam Segugus Esai Budaya
di buku ini, sekaligus mengusik pertanyaan yang belakangan ngendon di benak
saya; apakah sebuah kritik bisa disampaikan dalam bentuk esai?
Dia
menuliskannya senantiasa dalam suasana—menukil bahasa Iqnas Kleden—“penghormatan
pada kegembiraan hidup” dengan pelbagai profesinya, penyair, guru, kritikus,
dan sudah barangtentu segala itu meneguhkan dirinya budayawan. Sebagai karya
seni, esai-esainya kukuh sebagai tulisan sastra yang mempertimbangan
sungguh perkembangan dan pertumbuhan
bahasa.
Maka,
boleh dikata disinilah semacam gang kecil untuk mencari jawab atas pertanyaan,
seberapa menarik bila esai ditulis oleh seorang penyair. Seorang penyair adalah
penyaksi dari tulisan-tulisan esainya, betapa bahasanya seperti manusia juga,
hidup, dinamis, penuh kejutan, sepi yang mencari, menemui dan menemukan
kegembiraannya sendiri. Tak terkecuali pertemuan antara kritik dan esai, dalam
tulisan-tulisan di buku ini adalah perjumpaan pikiran dan perasaan yang
berwarna-warni.
Dan,
satu hal lagi selain kegembiraan--dan tentu saja harapan--tulisan-tulisan dalam
buku ini sebagai gugusan esai menghamparkan begitu banyak dialog. Atau dalam
kosa kata penulis yang cukup banyak digunakan dalam buku ini; dialektika.
Sebuah kosa kata yang di dalamnya inhern adanya kontradiksi, dilemma, paradoks,
yang dalam sejarah pemikiran terhitung paling tua sejak Zeno, Socrates, Plato
meski tetap aktual dan masih sering dikonfrontasikan dengan demonstrasi itu.
Dahulu kala, dahulu sekali konon dialektika dituduh sebagai biang dari
memamerkan dosa kesombongan manusia. Sekarang? Entah.
Pendeknya,
esai-esai peraih penghargaan kritik sastra sebanyak tiga kali dari Dewan Kesenian Jakarta menempatkan watak dialektika sebagai seni
pula. Yakni, seni yang tidak mengizinkan seseorang—siapapun, pembaca—membiarkan
sesuatu hal tidak dipersoalkan. Dalam bahasa kesusastraan; seni untuk
mengajukan pertanyaan, menggugat, menyoal, memparodikan, bahkan bermain-main
terhadap sesuatu hal kenyataan. Prinsipnya seni untuk menjadikan sesuatu
pengetahuan; menjadi masalah.
Barangkali,
dialektika dalam ranah kritik ada semacam ikhtiar untuk menemukan atau menjawab
pertanyaan-pertanyaan sekalipun jawaban kecil. Atau dalam bahasa klise yang
diperkenalkan pemikir Johann
Gotlieb Fichte; ada tesis,
ada anti-tesis ada pula sintesis. Apapun itu, saya kira kita bersetuju dengan
Plato bahwa dialektika adalah metode metafisika dan mendatangkan atau untuk
menghasilkan pengetahuan tertinggi.
Sebanyak
27 esai dalam buku ini sebagian besar telah dipublikasikan di koran rentang
waktu sepuluh tahun (masa jaya koran hingga senjakala media cetak). Sebagian
kecil lainnya ada yang sempat termuat dalam buku yang diterbitkan sebelumnya,
dan sedikit tulisan dari buku ini "nasibnya' belum terpublikasi dimana pun
dan selama ini masih mendekam di file computer penulis.
Demikianlah,
segugus esai dalam buku ini banyak berikhtiar menakik pengetahuan tertinggi
dari pergulatan dialektika dalam pelbagai ranah budaya; politik, kekuasaan,
seks, sastra, sejarah, perdagangan, seni pertunjukan. Juga tradisi, mitologi,
ideologi, kebinekaan. Singkat kata pelbagai dialektika budaya kita—lintas
budaya, silang waktu budaya—masa silam, masa kini dan teks budaya masa yang
akan datang.
Pendeknya
dialektika segala praktik budaya sebagai konvensi sosial— sebagaimana Roland Barthes katakan—dialektika
dalam segugus esai Tjahjono Widijanto, dan tentu saja dengan penerbitan buku
ini tak lain adalah dalam rangka ambil bagian di ruang dan waktu pertarungan
ideologi. Semoga.[]
S. Jai