Minggu, 23 Agustus 2020


PERIHAL KERINDUAN (Tentang Buku Cerita Lelaki Pemetik Embun, 

Karya Iva Titin Shovia)

 

KETIKA hendak merayakan terbitnya buku ini, sayup-sayup saya berusaha mengingat kembali suara penyair Anwar dalam orasinya yang terkenal itu. Saya memanggil suara itu atas nama suatu cerita: “Sebuah cerita yang menjadi adalah sebuah dunia.”



Bukan saja karena setiap lahirnya buku—seperti halnya sajak atau cerita—musti dirayakan sebagai karnaval keragaman suara (bahasa, tanda, wacana) melainkan juga lantaran buku ini adalah karya cipta, ciptaan.

Juga karena saya membutuhkan semacam iktiar menempatkan karya cipta cerita dalam buku ini benar-benar sebagaimana cerita dan bukan berita. Suatu realitas dan bukan aktualitas. Suatu cerita yang dilahirkan sebagai saudara kandung sajak, dan mungkin saudara tiri dari berita.

Sebuah cerita yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si pencerita, dibentuk dari materi, rohani, keadaan alam dan penghidupan sekelilingnya serta tetek mbengek jiwa dan segala daya kreativitas menjadi suatu dunia baru yang utuh. Dengan kata lain, dunia ciptaan—suatu cerita—yang tidak pernah selesai dibaca. Atau tepatnya suatu dunia yang menolak untuk diselesaikannya. Oleh karena suatu cerita adalah medium yang memang ditakdirkan sebagai tempat berlabuhnya segala kerinduan pembaca pada apa saja.

Pendeknya, sebagai suatu cerita buku ini berpusar pada perihal kerinduan-kerinduan. Pertanyaan yang musti dijawab, atau setidaknya direnungkan pembaca adalah kerinduan terhadap apa? Nah, dalam konteks ini saya menduga pengantar ini tidak menjadi hal yang penting. Jika pun penting, saya kira oleh karena sebagai pembaca pun saya tak henti mencari, menemukan, dan merenungi kerinduan yang sama atas nama diri saya sendiri.

Memang, salah satu simpul pencarian saya adalah betapa sebanyak 38 cerita dalam buku ini memperlihatkan kesungguhan pencerita dalam menciptakan realitas dan bukanlah sekadar menampilkan aktualitas belaka. Betapa pencerita adalah dia yang memahami dan menggambarkan suatu pengalaman individual sembari melestarikan keunikan dan kehidupannya. Betapa pencerita buku ini tidak merusak atau melumpuhkan pengalaman kemanusiaannya, melainkan mempercantiknya, mengindahkannya.

Kerinduan-kerinduan yang diterbitkan pencerita dalam buku ini terhampar baik diurai secara sederhana maupun dalam kompleksitasnya. Barangkali kesederhanaan itu terwakili sebagai cerita mini. Namun, tentu sebagai semacam karnaval, bilamana semakin kompleks, semakin pelik, rumit dan berbelit bisa menjadi daya tarik yang memukau.

Sebagian besar kerinduan itu jalin kelindan dengan persoalan cinta, keluarga, emansipasi. Menyebut beberapa saja, ada soal perdukunan dalam keluarga, pilihan hidup di dunia seni, perihal kenangan, cemburu, laki-laki yang operasi kelamin jadi perempuan, kepelikan memilih suami diantara dua orang lelaki, Lelaki yang ingin terkenal dengan memanfaatkan media sosial, lelaki yang ditolak cintanya dan lain sebagainya.

Menariknya, cerita mini tak lantas membuat pencerita sepenuhnya bersetuju dengan tujuan cerita—atau cerita yang bertujuan. Katakanlah, semisal nasihat, dakwah, perintah, terlebih dogma dan sejenisnya. Sebaliknya, kelucuan, kenakalan, kejutan bisa malah diketengahkan pencerita dari balik kesederhanaan peristiwa, bahasa, maupun pengalaman estetik pencerita. Saya sendiri sangat terkesan dengan kompleksitas yang memukau; kisah tentang kehidupan para penari, dalam cerita Penari-Penari. Perihal percintaan, keluarga, masa lalu, dan juga termasuk perilaku lesbian.

Sampai di sini saya ingin katakan, bahwa tutur kalimat saya boleh jadi tidak penting. Sebaliknya, buku inilah yang penting. Penting keberadaannya. Penting dibaca. Penting dikaji. Oleh karena setiap cerita bagi pencerita yang bersungguh-sungguh menciptakan dunianya—bahwa cerita yang menjadi adalah sebuah dunia—tak lain menampilkan kejujuran-kejujuran dalam proses penciptaannya.

Proses penciptaan adalah pencarian, pertemuan, penemuan serta kematangannya dalam berbahasa di dunia barunya tersebut. Kejujurannya, kesungguhannya, ketenangannya dalam mencipta boleh dikata adalah nyawa pencerita. Ambisi, emosi, tujuan praktis bukanlah darah pencerita.  Karena bukankah proses yang tidak bernafsu untuk mencapai tujuan tertentu secara emosional dalam penulisan sastra adalah yang tertinggi dalam bersastra? 

Buku ini membuat saya menyadari kembali, atau semacam refleksi bahwa dunia baru ciptaan pencerita adalah citra pikiran penulisnya. Baik citraan dari pikiran yang pasif maupun yang aktif. Baik pemikiran-pemikiran pencerita yang merefleksikan dunia luar dari cerita-ceritanya, maupun pemikiran yang benar-benar baru yang memancarkan cahaya penulisnya sendiri. 

Pada saat saya merefleksikan hal demikian, dalam benak saya terlintas dengan apa yang pernah ditulis oleh pengarang Budi Darma. Katanya, sebetulnya menulis merupakan ujicoba setiap penulis terhadap kepribadiannya sendiri, yang hakikatnya suatu percakapan dengan dirinya sendiri. Bagi saya kalimat ini bukanlah suatu jalan untuk menemukan jawaban. Melainkan, melalui membaca buku ini pada satu sisi saya merasa semakin mengenal penulisnya. Namun pada sisi lain, justru saya makin sulit menjangkau alam pikiran, misi maupun visinya sebagai pencipta suatu dunia yang baru ini.[]

 

 

Tabik

S. Jai