Minggu, 23 Agustus 2020

SUMBANGAN SASTRA BAGI JURNALISTIK

S. Jai

Sejumlah penulis, sastrawan, pengarang, penyair, mereka sebelumnya adalah jurnalis, wartawan, atau masih aktif melakukan kegiatan jurnalis. Jika menulis adalah perihal yang tak terpisah dari kepribadian, maka sudah barangtentu kegiatan menulis sastra dan menulis jurnalistik setidaknya bagi mereka ibarat koin mata uang. Pada satu sisi menjadi inhern dengan sisi lainnya. Satu aktivitas mempengaruhi atau saling berpengaruh dengan aktivitas lainnya—menulis sastra dan menulis karya jurnalistik.

 Menyebut beberapa saja, kita bisa membaca karya-karya  Ahmad Tohari, Goenawan Mohamad, Pramoedya Ananta Toer, Idrus, Mochtar Lubis, Seno Gumira Ajidarma, Sindhunata, Ernest Hemingway, Gabriel Garzia Marquez, Anton Chekov, Solzhenitsyn dan lain-lain. Mereka adalah para jurnalis yang memberi sumbangan banyak terhadap sastra. Begitu juga sebaliknya, mereka adalah sastrawan yang amat penting bagi pencapaian tulisan-tulisan jurnalistik mereka. Bagi mereka sastra dan jurnalistik adalah dua hal yang sebagaimana tersebut di atas bagai keping mata uang logam.

 Sebagai suatu hubungan kepribadian dengan karyanya, memang menarik bila menelisik atau sekadar mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris apa hubungan penulis—sastrawan atau jurnalis—dengan karyanya; karya sastra dan karya jurnalistik. Tepatnya hubungan keterlibatannya, visi, misi, pandangan dunianya, ide-ide atau gagasan-gagasannya terhadap bentuk karyanya baik sastra maupun bentuk karya jurnalistik. Sehingga hasrat untuk menelisik, dan minat untuk mengetahui, serta keingintahuan kita guna menjawab pertanyaan-pertanyaan tadi mendorong kita untuk mula-mula mengerti bentuk-bentuk karya sastra maupun bentuk-bentuk karya jurnalistik.

 Pengetahuan ini amat penting memberikan gambaran banyak hal tentang sastra dan jurnalistik serta bagaimana keduanya saling memberikan sumbangan gagasan, spirit demi karya yang bermutu, baik dan penting. Sehingga diantara profesi keduanya saling mengetahui, saling mengerti, saling memahami bahkan saling memberi tawaran kemajuan baik bagi sastrawan, jurnalis maupun keduanya—sastrawan yang jurnalis maupun jurnalis yang sastrawan. Dengan kata lain, profesi yang satu tak menafikan yang lain sebagaimana yang lain tak mengabaikan yang satu. Pendeknya, betapa dalam dua dunia ini--sastra dan jurnalistik—adalah suatu keutuhan dunia kepenulisan, sebuah pengetahuan yang ada baiknya tak dikotak-kotakkan, tak diberi sekat-sekat untuk dikelompokkan dalam dua kutub; seakan sastrawan tak bisa belajar jurnalistik, atau jurnalis mustahil belajar sastra.

 Sekali lagi tidak demikian sepatutnya.

 Mengawali perkenalan bentuk-bentuk karya sastra dan karya jurnalis tak lain adalah upaya meluaskan cakrawala betapa sastra memberi sumbangan besar pada jurnalistik. Tentu pada saatnya nanti (barangkali di kesempatan lain) akan bisa dipaparkan bagaimana jurnalistik memberi sumbangan yang tak bisa diremehkan dalam karya sastra.

Sebagaimana kita tahu, sejumlah karya sastra yang kita kenal; novel, puisi, prosa liris, drama. Sementara itu bentuk-bentuk tulisan jurnalistik yang mesti kita kenali, secara umum ada dua hardnews dan softnews. Sedangkan secara khusus bisa disebut uraian dari dua bentuk tadi; ada  Berita (Straight News, Investigation News, Opinion News), Feature, Opini, Esai, Kolom, Profil, Resensi Buku). 

 

 

Bahasa

Jurnalistik

Hemat (singkat, padat)  dalam kata maupun kalimat

Jelas (lugas, komunikatif) dalam kata maupun kalimat

 

Tulisan 

Jurnalistik

Berita (Straight News, Hard News, Soft News, Investigation News, Opinion News)

 

Feature

 

Opini

 

Esai

 

Kolom

 

Resensi Buku

 

 

FIKSI

NON FIKSI

Realitas

Aktualitas

Dari imajinasi menjadi nyata

Menciptakan apa apa yang terjadi

Apa apa yang dapat terjadi

Yang benar-benar terjadi

 Sudah menjadi pengetahuan umum pula, berbeda dengan tulisan jurnalistik yang dikelompokkan ke dalam tulisan non fiksi, karya sastra digolongkan dalam jenis tulisan fiksi. Sebagai tulisan non fiksi tulisan jurnalistik bersifat aktualitas atau tulisan perihal suatu yang benar-benar terjadi. Sementara sastra sebagai tulisan fiksi berwatak realitas atau perihal suatu yang bisa terjadi atau tidak benar-benar terjadi. Pendeknya ada kata kunci imajinasi dalam fiksi atau karya sastra. Dari imajinasi menjadi nyata. Sedangkan kata kunci non fiksi, termasuk jurnalistik adalah; menciptakan apa-apa yang terjadi.

 Dengan memahami secara sederhana batasan-batasan pengertian, ciri dan syarat-syarat pelbagai bentuk tulisan baik sastra maupun jurnalistik, maka tidak sulit mencermati bagaimana dan sejauh mana sastra memberi sumbangsih pada jurnalistik. Yaitu utamanya pada permasalahan ragam bahasa dan gaya. Bermula dari kita cukup tahu bagaimana karya sastra adalah tulisan yang ‘indah,’ kompleks, berbahasa ambigu—kias, kreatif dan subjektif.  Yaitu, karya kreatif yang fiktif. Spiritnya ambiguitas dan kompleksitas.  Karnaval keragaman suara; permainan yang ramai antar pelbagai bahasa, pelbagai wacana, yang mempersoalkan realitas, memparodikan, menggugat, dan bahkan bermain-main terhadapnya. Ada kemungkinan, kejutan, ketakterdugaan: warna hidup yang tidak menuju pada suatu tujuan tertentu.

 Lantas, setelah mematutkan diri mengerti dan memahami batasan-batasan pengertian, ciri dan syarat pelbagai bentuk tulisan jurnalistik, maka tidak sulit menemukan titik simpul bentuk tulisan jurnalistik yang manakah yang sangat terbuka menerima sumbangan bahasa maupun gaya dari sastra. Yakni tulisan jurnalistik berbentuk feature dan esai. Kekayaan bahasa sastra, baik berupa metafora, metabahasa, maupun mitos bisa disumbangkan untuk keperluan penulisan feature dan esai. Demikian juga halnya kekayaan gaya, baik gaya dalam bahasa, maupun gaya kepenulisan atau ekspresi penulis bisa pula disumbangkan untuk keperluan yang sama.

 

Boleh dikata, feature sebagai tulisan ‘sisi lain’ dari berita wataknya adalah narasi dalam pengertian cerita, pengisahan. Tersebab itu bentuk tulisan jurnalistik ini lebih dekat dengan cerita pendek ketimbang dengan pakem berita (eksposisi/pemaparan/5W + 1 H) itu. Tersebab itu sebagai cerita wajar bila feature bersifat menghibur sebagaimana ‘menghibur’ adalah prinsip dasar sastra. Sebagian lain menyebut feature itu tulisan ringan, meski tak semua feature bisa dikatakan tulisan ringan. Namun demikian, memang benar adanya feature seringkali mengutamakan pertimbangan menggali aspek kemanusiaan alias human interest—hal yang seringkali sama-sama dikatakan sebagian besar orang; apa yang menjadi pengabdian bagi dunia sastra. 

 

Nah, buhul atau simpul pada segi kemanusiaan serta bahasa dan gaya pada kedua tulisan sastra dan feature inilah yang sukses melesakkan spiritnya ke dalam sukma bentuk tulisan feature sehingga menjadi lebih kaya, mendalam, abadi, dan tentu saja bermutu. Pada praktiknya, penulis feature bisa leluasa mengembangkan ke berbagai ranah dalam kerja jurnalistiknya. Selain dalam rangka mengebor sukma atas nama kemanusian dalam setiap kali tulisan-tulisan jurnalistik featurenya, penulis bisa masuk ke ranah sejarah tanpa terbebani sebagai tulisan sejarah. Bahkan penulis feature bisa memasuki sejarah dengan cara lain, yakni melalui penceritaan, sejarah sebagai narasi, sebagai sekadar cerita. Jurnalis juga bisa membuat tulisan jurnalistik berupa biografi yang lebih menarik, mengundang empati, dan mengangkat pergulatan kemanusiaan tokoh yang ditulisnya. Bisa pula dalam rangka memprofil sosok-sosok yang memikat dan menarik pikirannya, sepakterjangnya, pergulatannya, mimpinya dalam kesehariannya di dunia ini. Demikian pula manakala membuat catatan perjalanan atau petualangan lain yang indah, asyik, hidup, penuh semangat dan gairah hidup.

 Begitulah, betapa pentingnya feature karena tak cuma sebagai ‘sisi lain’ dari berita, melainkan karena betapa hampir seluruh potensi sastra bisa disumbangkan padanya. Seluruh potensi sastra yang dimaksudkan adalah; selain termaktub dalam bahaya dan gaya, namun juga intuisi (insting), interpretasi (tafsir), persepsi (keyakinan), bahkan imajinasi (abstraksi gagasan, obsesi, ide). Sebagian besar orang barangkali ragu melibatkan imajinasi dalam tulisan feature. Akan tetapi sepanjang imaji yang terkait gagasan, obsesi, ide bisa dijelaskan sebagai suatu kenyataan feature maka feature menjadi lebih indah. Sejumlah feature berhasil demikian tanpa harus mengartikan imajinasi sebagai fantasi dan mimpi.

 

CONTOH LEAD (PEMBUKAAN)

 

Berita:

       Bandar narkoba jaringan internasional, Malaysia-Indonesia, tewas tertembak petugas BNN di Pantai Bidari, Aceh Timur, Aceh, ketika berupaya melarikan diri. Bandar narkoba itu bekerja sama dengan sipir Lapas Langsa. (Kompas)

 

Opini:

Pendidikan adalah proses pemberdayaan yang bernilai tambah, yang memampukan individu untuk lebih berkarya mencapai tingkat kehidupan yang lebih baik. Dengan pemahaman tersebut, masa depan individu sangat ditentukan oleh pendidikan yang ditempuhnya. (Satryo Soemantri Brodjonegoro)

 

Feature:

Nyala dian itu tiba-tiba tak tampak oleh matanya. Padahal sore harinya ia masih bermain kejar-kejaran bersama teman-temannya.  Dalam kebingungan ia meraba ke sana kemari.  Ayahnya segera menggendongnya keluar.  Pelataran sedang terang bulan. Ayahnya menyuruh ia menatap bulan.  Namun, matanya hanya merasakan kegelapan.  Ia sudah buta!

Itulah kisah Mbok Tukinem ketika ia masih berusia sebelas tahun…..

(Sindhunata)

 

Cerpen:

Kiplik sungguh mengerti, betapapun semua itu tentunya hanya dongeng.

         “Mana ada orang bisa berjalan di atas air,” pikirnya.

 Namun, ia memang berpendapat bahwa jika seseorang ingin membaca doa, maka ia harus belajar membaca doa secara benar

”Bagaimana mungkin doanya sampai jika kata-katanya salah,” pikir Kiplik, ”karena jika kata-katanya salah, tentu maknanya berbeda, bahkan jangan-jangan bertentangan. Bukankah buku Cara Berdoa yang Benar memang dijual di mana-mana?”

(Seno Gumira Ajidarma)

 

Esai:

Kartasura, menjelang pertengahan abad ke-17.

         Sebuah iring-iringan pengantin bangsawan lewat sore itu.  Tapi bila para wanita yang menonton di tepi jalan pada berbisik atau mendesah, itu bukanlah karena keindahan prosesi. Sesuatu yang lain memukau mereka: di depan iringan itu, di atas kuda yang ranggi, seorang pemuda tegak rupawan…

        Syahdan. Diantara penonton itu diam-diam menyelinap putra mahkota, Pangeran Adipati Anom.  (Goenawan Mohamad)

Petruk duduk termenung. Dihadapannya terbentang sebuah dataran.  Dulu dataran itu adalah hutan lebat dan ada singanya.  Kini hutan itu gundul dan singanya musnah.  Pikiran petruk melayang ke mana-mana.  Ia tertawa, mengenang kisahnya ketika ia menjadi raja di Kerajaan Lojitenggara.

Waktu Petruk menjadi raja, banyak orang menertawakannya.

(Sindhunata)

 

Hal yang serupa juga terjadi pada jenis esai. Percepatan perkembangan esai yang disupport oleh spirit sastra melalui bahasa, gaya serta hampir seluruh potensi sastra padanya, menyebabkan sebagian orang tak ragu mengkategorikan esai sebagai tulisan sastra ketimbang tulisan jurnalistik. Tak terkecuali peran imajinasi dalam esai sebagaimana serupa pada feature di atas.  Meski demikian tak sedikit yang ragu atau keberatan melibatkan imajinasi dalam esai sehingga tetap bersikukuh mengkategorikan esai sebagai tulisan jurnalistik.

 Pada satu sisi di aras definisi, pengertian dan bentuk barangkali hal ini menjadi masalah. Akan tetapi pada tahap perkembangan, proses dan tentu saja terkait isi dalam esai, boleh jadi perdebatan demikian tidaklah sungguh-sungguh menjadi soal. Tergantung pada kepribadian, minat, juga kemampuan, serta pandangan dunia penulisnya. Bahwa semangat esai adalah tulisan yang memuat hal-hal yang surprise, kejutan. Nah di sinilah titik temu antara sastra dan esai. Utamanya cerpen dan mungkin puisi-naratif. Kekuatan esai bukan terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran-pikiran dan gagasan. Esai tidak berpretensi mengajukan satu pemikiran yang kokoh dan keras, melainkan suatu obrolan yang cerdas dan memikat.

 Di sinilah pentingnya perhatian khusus pada esai pada saat para penulis esai melibatkan spirit sastra baik bahasa, gaya maupun hampir seluruh potensi sastra. Atau dengan kata lain, ketika bentuk tulisan esai mendapat begitu banyak sumbangan elemen-elemen sastra, maka esai lebih dekat pada sastra ketimbang sebagai tulisan jurnalistik. Bahkan, esai yang baik boleh dikategorikan tulisan sastra ketimbang bentuk karya jurnalistik.

 Pertanyaanya kemudian adalah, seperti apakah atau bagaimanakah esai yang baik, esai yang memenuhi pertimbangan nilai dan estetika sebagai tulisan sastra—yang sudah barangtentu berbeda dengan tulisan filsafat atau ilmu pengetahuan lain?

 

NO

FILSAFAT

ILMU

ESAI

1

Diskursus

Analisa

Dialog

2

Bekerja dengan otak

Mengolah pengamatan

Bercanda dengan imajinasinya. Bermain dalam tulisan.

3

Mencapai kecanggihan spekulatif

Berjuang menuju kesempurnaan deskriptif

Memamerkan ketangkasan ekspresif

4

Mengundang reflektif

Mengharuskan pengujian

Menggedor impresi

5

Mencapai kematangan orang dewasa

Mempertahankan innocentia masa kanak-kanak

6

Tertib dan disiplin

Nakal dan kocak

7

Runtut dan beralur

Meloncat-loncat dan jenaka

8

Berpedoman pada rasionalitas manusia

Berpedoman pada kebebasan manusia

9

Bagus karena bisa diramalkan

Mengolah kebetulan-kebetulan

10

Tujuannya berbakti pada kebenaran

Penghormatan pada kegembiraan hidup

11

Demi tujuannya, berjarak dari alam

Cukup mengapresiasi dan menikmati alam

12

Dokumen tentang usaha manusia mencapai kebenaran melalui pengetahuan dan pengertian

Catatan tentang berbagai kebingungan dan kekeliruan sebagai resiko kemerdekaan

13

Kebenaran dianggap sempura, keberhasilan hanyalah pencapai sementara.

 

Kebenaran lebih mirip berkas cahaya yang sangat tergantung pada letak matahari, setiap pencapaian adalah keberuntungan melalui rahmat

14

Penelitian kritis

Kesaksian yang simpatik

15

Mempertajam pengertian

Menguji pengetahuan

Mengundang intensitas keterlibatan

16

Menyingkirkan kesalahan dan kontradiksi

Banyak kesalahan dapat dimaafkan dan kontradiksi dapat menjadi unsure yang menyegarkan

17

Mendefinisikan manusia sebagai makluk pencari kebenaran

Mendefinisikan manusia sebagai makluk pemburu kebahagiaan

18

Berdiri di atas asas ketegaran pikiran

 

Berdiri di atas asas keleluasan jiwa

19

Tokoh dalam ilmu dan filsafat adalah manusia yang tahu dan tidak tahu

Tokoh dalam esai adalah manusia yang tenang atau gelisah

20

 

Jenis kesusastraan—arti penting untuk perkembangan dan pertumbuhan bahasa

21

Bahasa ditakulukkan, kata-kata dijinakkan untuk menjaga pengertian pengertian yang sudah disepakati

 

22

 

Bahasa dilepaskan dari kungkungan formalism. Kata-kata dibebaskan dari kewajibannya menjadi komponen sebuah konsep, dan dibiarkan terbang dan tumbuh dengan kekuatannya sendiri seperti elang liar atau cempaka yang tumbuh di hutan.

23

Menulis adalah melakukan organisasi dan reorganisasi susunan vas atau bentuk taman.

Merangkai kembang liar yang dipetik sediri di lereng bukit atau diambil dari tengah semak-semak belukar

24

 

Esai adalah kesaksian bahwa bahasa yang diciptakan manusia pada akhirnya akan hidup sebagai dunia tersendiri. Dengan dinamika yang tak selalu dapat diduga, apalagi dikuasai. Esai adalah pembebasan bahasa dari penjajahan konseptual

25

Bahasa menghubungkan ide dengan ide dan menjadikannya sebuah konstruksi.

Bahasa menghubungkan ide dengan empiri dan menjadikannya sebuah operasi

Bahasa menghubungkan ide dengan imaji dan menjadikannya sebuah kanvas lukisan.

26

Memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang pikiran.

Memperlakukan ide sebagai refleksi pikiran tentang kenyataan empiris

Memperlakukan ide sebagai ekspresi spontanitas subjektif melalui pikiran

27

Bahasa filsafat mempertanyakan

Bahasa ilmu bersifat menjelaskan

Bahasa esai bersifat melukiskan.

28

 

Menulis esai adalah memberikan sapuan warna-warni kepada pikiran dan perasaan

29

Menguji ide berdasarkan rasionalitas

Menguji ide berdasarkan objektivitas

Menguji ide berdasarkan orisinalitas

30

 

Teks esai adalah sebuah permainan. Para pembaca atau calon pembaca harus merasa terpikat untuk turut bermain di sana, tanpa harus berkorban terlalu banyak.

31

Konstruksi memang harus dipelajari

Sebuah operasi harus dilaksanakan

Sebuah lukisan hadir untuk dinikmati

32

Filsafat dapat menajamkan akal

Ilmu dapat mengatur pengetahuan

Esai untuk mempertahankan harapan

 

 

Tentu saja diskusi lebih lanjut penting untuk menimbang estetika sastra di dalam membaca, memaknai karya-karya tulisan berbentuk esai untuk selanjutnya guna mengukur seberapa besar sumbangan sastra pada jurnalistik, pada kontek ini; esai. Semakin tinggi estetika sastra yang terkandung pada esai, baik kualitas bahasa, ekspresi, gaya, abstraksi lukisan pikiran penulisnya dan lain sebagainya tentu menjadikan esai lebih menarik. Tegasnya, dapat dikatakan esai adalah tulisan yang lebih mengutamakan daya tarik ketimbang pendapat, statement, simpulan dan sejenisnya. Inilah yang membedakan esai dengan opini. Singkat kata, esai bukanlah opini—sebagaimana pemahaman umum selama ini.  

 Demikianlah, memang dalam hal percobaan-percobaan dalam menulis, di luar apa yang dibicarakan terkait sumbangan sastra pada tulisan jurnalistik, ada kemungkinan-kemungkinan lain. Yakni saling terpengaruh. Dalam arti, mungkin juga dalam menulis opini sebagai tulisan jurnalistik bisa meminjam atau mengadopsi gaya esai. Atau sebaliknya pada saat menulis esai pada praktiknya penulis dapat atau mungkin terpengaruh untuk menyampaikan opini-opini di dalamnya. Namun demikian, hal ini sebagai percobaan-percobaan dalam menulis tentu sangat mungkin terjadi. Untuk selanjutnya bergantung pada proses pribadi penulis dalam ‘menjadikan’ itu sebagai karya tulis.

 Untuk ini, ada satu kutipan terkait kepribadian dalam menulis, yang kiranya dimaksudkan untuk tak menempatkan tulisan sastra atau jurnalistik dalam tulisan ini adalah superior dari satu dengan lainnya. Yakni apa yang pernah direfleksikan oleh seorang ahli sastra Budi Darma. Katanya, sebetulnya menulis merupakan ujicoba setiap penulis terhadap kepribadiannya sendiri, yang hakikatnya suatu percakapan dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain, dalam tulisan apapun baik sastra maupun jurnalistik, feature maupun esai, di sana terkandung daya pikat. Daya-tariknya muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana.[]

 

_______________

Catatan;  Tulisan ini diilhami sejumlah buku-buku karya Ignas Kleden, Budi Darma, Linda Kristanty, Seno Gumira Ajidarma, Goenawan Mohamad, Umar Kayam, Sindhunata, Gorys Keraf, Pramoedya Ananta Toer, Robert Stanton

 

Ngimbang, 17 Maret 2020