Rabu, 12 Juli 2017


PESTA, PUISI, PUASA
Merayakan Terbitnya Buku Puisi Kelompok Cager

S. Jai


SEBATANG ‘pohon jati’ dan selarik kalimat ‘dalam doa yang tak pernah selesai’ disodorkannya pada saya. Lalu apa hubungan pohon jati dan doa?  Entah mengapa judul ini melambungkan ingatan saya pada akhir setangkai sajak Sapardi Djoko Damono.

Judul  yang dinukil dari puisi  (alm) Machali ini  mirip dengan kata Sapardi ‘aku mencintaimu itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.’ Tak hanya itu, petikan puisi dua penyair penting ini pun ternyata serupa dengan metafora Abizar Purnama ‘ditemani doamu yang tak kunjung mereda.’  



Mungkin ada buhul keterkaitan antara para penyair ini; Sapardi, Machali, Abizar.  Bukan hal mustahil.  Barangkali jikapun bukan perihal ideologi sastranya, setidaknya watak romantisisme—yang dalam sejarah sastra kita memang sulit  membebaskan dirinya dari belit kelindan pengaruhnya.  Betapa hampir semua penyair kita, bahkan yang paling berdarah-darah pun Chairil Anwar atau Sutardji  Calzoum Bachri masihlah menorehkan larik, bait atau tubuh puisinya selaku pemuja perasaan mendalamnya ini.

Romantisisme bagaikan sebuah doa, memang.  Begitu pun doa,  seperti halnya puisi—tak kan pernah selesai ditulis maupun dilantunkan atau dilakonkan dalam perbuatan sehari-hari. Lantas mengapa dan ada apa dengan pohon jati?  Gambaran ini nyatanya tak sekonyong-konyong. Muncul dalam sajak Machali Seperti pohon jati makin meninggi/Walau akaran tajam menghunjam.  Ada sejumlah kata kunci dalam sajak Kuda dan Pedati  ini yang barangkali bisa menjadi sasmita perihal kepribadian, personality, karakter: kesetiaan, tiada keluh, dan gairah.

Kendati Ramadan bukanlah satu-satunya alasan kuat untuk memperbanyak doa—dalam konteks transendental sebagaimana watak puisi romantik, seperti halnya Ramadhan bukanlah satu satunya musabab baik untuk mengirim, menulis, dan membacakan puisi-puisi.  Doa maupun puisi dalam konteks romantisisme memiliki tataran yang sama dalam laku sehari-hari.  Bahwa segalanya berpulang pada konsep indiviudalisme dan subjektivitas masing-masing.  Jika pun ada istighotsah atau doa bersama,  pembacaan puisi bersama atau antologi bersama hanyalah soal cara. Subtansinya: orang yang tidak berdoa adalah dia yang paling sombong  (QS. Al Mukmin: 60).  Orang yang tidak membaca atau menulis puisi dialah yang tidak mengenal keindahan—Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni, tapi mana bisa sni tanpa puisi? Segala hal yang baik, yang luhur, yang keramat, pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi (Surat Kartini, 2 April 1900).

Segalanya kembali pada diri atau dalam bahasa Rousseau bahwa diri merupakan sesuatu yang otonom dalam menentukan pilihannya.  Persis pengertian  doa dalam tradisi Budhisme—meditasi, sugesti, afirmasi—dengan mengkondisikan perubahan diri sebagai objeknya, pemurnian pikiran, perkataan dan perbuatan. Sementara dalam pengertian Islam doa seruan, panggilan, berserah diri, pendekatan, penyatuan(?).

Puisi kita mau tak mau adalah warisan—ada pencarian estetik tentu saja, ikhtiar penyatuan atau pendekatan dengan sesuatu kehendak, hasrat, cita-cita, yang diidealkan sudah barangtentu, baik dari soal-soal yang sakral maupun yang profan.  Boleh jadi puisi-puisi transendental yang mengagungkan perasaan dalam buku ini seperti pada karya Machali, Abizar dan penyair lain Irfan Akbar Prawiro, Sri Wahyuni, Dewi Musdalifah, Benny Lambang Sriaji adalah penekanan pada imajinasi sebagai pengalaman personal yang pengungkapan bentuk kerinduan pada keindahan dari Yang Satu.

Di bulan
Kita membayangkan Mesias
Terbahak sekaligus berduka
Aku tidur di lenganmu beribadah

(Kau Tak Bir?, Irfan Akbar)

Tuhan, ampuni aku
Bukalah segala indraku
‘Tuk merajut kepingan Alif-Mu yang dinistakan

(Alif-Mu, Benny Lambang Sriaji)

cahya layung-layung terang terus meredup
kembali wajah-wajah
mendongak ke langit

Sang Hyang Batara Surya, sumuruplah dalam jagat raya

(Marak, Wahyu Lazuardi)


Asal tiada kembali semula
Melewati kejap rotasi halusinasi bermakna cinta
Oooh, Allah
Darah yang berbuncah
Detak yang berdegup
Napas yang mengembang
Hanyalah milik-Mu semata

(Ikhlas, Sri Wahyuni)


Dengan demikian pertanyaannya, mungkinkah puisi identik dengan doa, atau puisi berbentuk doa? Jawabnya tidak ada yang mustahil dalam ekperimentasi puisi-sastra. Boleh dicoba! Sebagai suatu doa kedudukan puisi-puisi ini serupa mantra, syiir, rapalan-rapalan yang bergantung pada penghayatan personal penulis dan pembaca, pada titik pengertian keikhlasan penyerahan diri pada kata. Kata menjadi media. Alat sugesti psikologis.  Dalam kesusastraan kita, ini mengingatkan saya pada nujum Edgar Du Peron—sastrawan Belanda keturunan Prancis Kelahiran Jatinegara perihal “Yang paling dibutuhkan sastra Indonesia adalah bahasa Indonesia yang kaya akan daya ekspresi.”  Dan kredo Sutardji “Kata-kata bukanlah alat untuk menyampaikan pengertian..”  Ramalan itu kemudian dapat ditemukan pada ledakan visi dan ekspresi puisi-puisi Chairil Anwar. 

Para penyair kita generasi kiwari—termasuk yang dalam kumpulan puisi ini—mustahil mengalami proses kreatif yang ‘berdarah-darah’ seperti dua penyair mata kiri dan mata kanan ini. Namun proses kreatif adalah seperti doa yang tak kunjung usai dalam laku sehari-hari. Buku ini adalah wujud pergulatan pencarian, eksplorasi, eksperimen dengan semangat bermain selaku makluk kreatif dimana bahasa adalah medan pemaknaannya.

Baiklah, untuk sementara dua nama ini kita simpan—terlebih kelak di suatu hari Sutardji terkunci dengan kredonya sendiri “kata-kata bukanlah alat.”

***

JIKA puisi adalah teman bicara dan kata adalah teman bermain, apakah demikian sunyinya kerja kepenyairan?  Apakah penyair betul-betul seorang pertapa, yang menghikmati sepinya sendiri? Apakah penyair tak boleh berpesta pora?

Pesta penyair tentu saja adalah bersama puisi.  Meski demikian membaca puisi, adalah membaca sejarah—entah itu sejarah yang melahirkan puisi maupun sejarah puisi itu sendiri. Karena bukankah kata, juga pandangan dunia, bahasa tidak betul betul ditentukan oleh diri kita sekalipun seorang penyair? Sebaliknya, dalam kosa kata Foucault, bukan manusia yang menentukan  cara manusia menangkap, memandang dan memahami kenyataan, serta cara manusia membicarakan kenyataan.’ Melainkan sebaliknya; manusia ditentukan olehnya.

Terbitnya buku ini musti dirayakan sebagai suatu pesta—pesta penyair dengan puisi-puisi terpilihnya, puisi yang ditulis dengan perjuangan menemukan momen puitik yang tidak sembarangan. Suatu pengalaman yang sangat personal, meski setiap personal memiliki sejarah mental yang khusus, sekalipun di luar pagar personalitas itu mereka berada dalam kawah candradimuka kelompok Cager.

Saya sendiri memiliki catatan penting terkait hubungan personal dalam sebuah komunitas seni dan kemudian sudah barangtentu berhubungan dengan komunitas-komunitas di luarnya.  Bahwa betapa komunitas seni menjadi sangat krusial dalam membangun proses kreatif,  dalam konteks ini kepenyairan—militansi, tradisi,  ideologi, dan tentu saja proses kreatif dalam meneroka, mengeksplorasi kemungkinan kemungkinan estetika puisi.  Bahwa komunitas sangat efektif. Diskusi-diskusi lebih tajam dan menggugah, baik sesama individu, antar individu maupun kemudian berkembang dalam rivalitas antar komunitas.

Dengan kata lain, komunitas menjadi tempat penyair mempertajam visi dan ekspresi kepenyairannya. Posisi penyair adalah intelektual atau cendekiawan yang memantik perkembangan ilmu pengetahuan dengan ide-ide gagasan barunya di bidang sastra. Bagi banyak penulis istilah intelektual dan intelegensia mengesankan sebagai pemikir yang kritis, progresif, ditambah dalam bahasa Karl Menhaim “terasing dan terpisah dari masyarakat.” 

Apakah puisi juga demikian? Bisa ya bisa juga tidak. Sejarah puisi kita demikian.

Saya ingat  komunitas  di sekitar  Chairil Anwar yang mempertegas konsepsi internasionalismenya sebagai  identifikasi estetika modernis  Eropa. Pengertian yang terkandung di dalamnya, bahwa kerangka “internasional”  itu meletakkan tanggungjawab penuh integritas seniman/intelektual secara individual sebagai “pembangun budaya”. Nasionalisme Budaya dicampakkan sebab mengaburkan tanggungjawab individual. Yang dibutuhkan adalah tanggungjawab pribadi.

Integritas individu menjadi kata kuncinya. Apakah masih relevan? Coba hubungkan dengan laku penghayatan yang dalam bahasa Budi Darma soliloqui. Semua akan tercermin pada sikap, akhlak berkesenian, dan pada akhirnya teks-teks yang dihasilkan, imajinasi, persepsi, interpretasi, intuisi.

Beberapa waktu lalu saya membaca  puisi-puisi Dewi Musdalifah. Saya katakan, dengan intuisi memungkinkan banyak tumbuh suburnya kepercayaan-kepercayaan diri individu berhadapan dengan modernitas. Saya sendiri masih sangat mempercayai bahwa salah satu tugas penulis adalah mengembangkan “ruang-ruang kosong” atau “ketidaktahuan” ini ke arah penciptaan kemungkinan baru. Karena hanya dengan demikian, puisi setidaknya adalah kemungkinan jika pun belum sebagai penghancur konvensi sosial,  pembongkar aturan-aturan atau kode-kode di balik mitos.

Pada titik ini boleh jadi saya pikir ‘sadar intuisi’ pada adalah terkait erat dengan pembentukan kharakter: Mengandung pengertian refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ’ideologi.’ Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan.

Dunia dalam, ungkapan perasaan agung yang bahkan boleh jadi perlawanan terhadap rasionalitas, ditunjukkan melalui puisi-puisi romantis Dewi Musdalifah perihal keindahan alam, pemujaan yang eksotis. Bukan tak mungkin puisi-puisi Dewi sebetulnya adalah pilihan keseimbangan antara yang profan dan yang sakral.  Puisi-puisi yang cukup memikat dengan warna eksotisme alam yang lain diperlihatkan Ayuning Tyas Muji Rahayu.  Puisi lukisan alam Bima Arya Sena semacam usaha memberi semangat baru, menemukan konteks zaman yang berbeda dari romantisme era Pujangga Baru. Saya kira sah.


tidurlah kalbu
malam ini berhak istirahat
tidak perlu bertahan lagi

Tuhan menjaga jutaan bintang
Kau harus baik-baik saja
merawat keindahan langit
kabut datang
keseimbangan
istirahatlah.

(Kosong,  Dewi Musdalifah)


Perahuku mengapa?
Ombak dan angin sedang baik
Tekad dan niat sudah terlebih dulu berangkat
untuk pulang pada kenyamanan

(Perahu,  Ayuning Tyas Muji Rahayu)


Kini, kudapati udara kering
Bersama dedaunan yang kian menguning
Entah kapan lagi dapat terlihat
Alamku bernyanyi

(Alamku  Bernyanyi, Bima Arya Sena)


Dengan demikian pilihan tema dan prespektif yang menjadi fokusnya.  Sebagaimana pilihan tema kematian Bambang Hermanto dalam puisi Selamat Datang, Kematian. Ikhtiar Bambang terlihat pada penciptaan teks dari konteks di sekitarnya—yang sudah barang tentu berbeda dari tema kematian Subagio Sastro Wardoyo maupun Sapardi Djoko Damono.  Terus terang saya masih bersyukur betapa keindahan romantik masih berparade di pesta penyair dalam buku ini, mengingat dalam metafora Bambang Hermanto Kota yang kurindu/Tak ada kata/Tak ada makna. Atau dalam puisi Jurir Sururi; yang dikata tak ‘kan pernah sempurna/terbuih di dalam cinta yang sesungguhnya/tak nyata. Cukup memukau  usaha memperindah bahasa dalam bentuk personifikasi, mengaduknya dengan ironi atau sebuah sinisme (?). Jika kematian adalah ‘tabungan’ (Sutardji), yang ini kematian adalah seperti karib di warung kopi pada puisi ini

"Selamat datang, Kematian!"
Pabrik raksasa itu mulai mengepung kotaku
Orang-orang tak berdaya menandai kelahiran kota baru
Kelahiran tanpa nama dari seorang ibu
"Ibu, masihkah kau di situ?"
Ketika anakmu yang kau rindu wajahnya malih rupa
menjadi sirene pabrik kimia

(Selamat Datang, Kematian, Bambang Hermanto)


Setengah 3 Angin Muncul  puisi Faiz Maulana, salah satu yang  berpotensi bermain dalam kata seperti menderetkan kata-kata serius yang justru bisa menuai hal yang sebaliknya. Ada prinsip bermain di sana. Menggubah sajak di balik putaran angin/Membalas senyuman yang mencekik/Anginnya memasuki ronggaku. Hal senada tampaknya juga dilakukan Ario Aldi Lesmana /selalu seperti bukan hal nyata/yang dirasa hanyut pada aliran jalan setapak hening dan menenangkan/.  Bila Faiz bermain dengan metafora angin, dan Ario dengan idiom malam sebagai judul apakah dimaksudkan sebagai sajak gelap?
Puisi Suef Kisah Hujan berpotensi mengangkat persoalan sederhana yang paling dekat dengan dirinya, bahkan dengan metafora yang sederhana pula. Mirip sebuah prosa kecil yang bertutur dingin, tanpa menggebu-gebu atau berpretensi sebagai cerita besar. Meski demikian memperlihatkan kepiawaian dalam memperkaya penginderaan dalam puisinya. Di sinilah potensi keindahan bahasa yang dianggitnya Di jemuran miring sedikit melengkung/ payung dan jas hujan disangkutkan. Sisa air perasan menitik/ luruh, mengulang kisah sebelumnya.
Demikianlah, setiap pesta pasti usai. Akan tetapi doa dan proses kreatif akan terus berlanjut. Saya akan menutup tulisan ini--yang saya maksudkan sebagai rasa hormat saya pada kawan-kawan penyair dalam buku ini–dengan puisi Woeryantini.  Puisi ini seakan menyadarkan saya pada keseluruhan gurauan dan hasrat bermain saya dalam tulisan ini. Bahwa segalanya berpulang pada sikap mental pribadi kita , aklak berkesenian, dan pada akhirnya puisi-puisi yang kita tulis.  Sekaligus puisi Woeryantini ini seakan menjadi titik simpul apa yang saya kemukakan di atas antara doa, pribadi, dan pencarian yang tak selesai.  Woernyantini sadar hanya menangkap dan mengekplorasi pengalaman pribadinya  guna meneguhkan diri. Seakan memberi pesan pada kita, bahwa manusia dituntut memberikan penjelasan tentang keberadaannya, perbuatannya, eksistensinya di hadapan pribadi, masyarakat maupun pada Tuhannya. Manusia bukanlah puisi karena puisi lebih abadi. Akan tetapi ucapan, pikiran,dan tindakan—buah karya manusia adalah doa.

Anakku

Anakku, apa yang dikirim matahari bersama pelangi usai hujan siang ini
Belalang di sekitar rumah kita ramai membaca
Burung pun diam sejenak mencari terjemah
Anakku, teritis siang ini sedikit basah
Menuai berita kuno yang mungkin kembali singgah

Mari merunut jejak dengan doa
Semoga hujan siang hari membawa kabar baik untuk kita●




Surabaya, 8 Juni 2017