PESTA, PUISI, PUASA
Merayakan Terbitnya Buku Puisi Kelompok
Cager
S. Jai
SEBATANG ‘pohon jati’
dan selarik kalimat ‘dalam doa yang tak
pernah selesai’ disodorkannya pada saya. Lalu apa hubungan pohon jati dan
doa? Entah mengapa judul ini melambungkan
ingatan saya pada akhir setangkai sajak Sapardi Djoko Damono.
Judul
yang dinukil dari puisi (alm) Machali
ini mirip dengan kata Sapardi ‘aku mencintaimu itu sebabnya aku takkan
pernah selesai mendoakan keselamatanmu.’ Tak hanya itu, petikan puisi dua
penyair penting ini pun ternyata serupa dengan metafora Abizar Purnama ‘ditemani doamu yang tak kunjung mereda.’
Mungkin ada buhul keterkaitan antara para penyair
ini; Sapardi, Machali, Abizar. Bukan hal
mustahil. Barangkali jikapun bukan
perihal ideologi sastranya, setidaknya watak romantisisme—yang dalam sejarah
sastra kita memang sulit membebaskan
dirinya dari belit kelindan pengaruhnya. Betapa hampir semua penyair kita, bahkan yang
paling berdarah-darah pun Chairil Anwar atau Sutardji Calzoum Bachri masihlah menorehkan larik,
bait atau tubuh puisinya selaku pemuja perasaan mendalamnya ini.
Romantisisme bagaikan sebuah doa, memang. Begitu pun doa, seperti halnya puisi—tak kan pernah selesai
ditulis maupun dilantunkan atau dilakonkan dalam perbuatan sehari-hari. Lantas
mengapa dan ada apa dengan pohon jati? Gambaran
ini nyatanya tak sekonyong-konyong. Muncul dalam sajak Machali Seperti pohon jati makin meninggi/Walau
akaran tajam menghunjam. Ada sejumlah kata kunci dalam sajak Kuda
dan Pedati ini yang barangkali bisa
menjadi sasmita perihal kepribadian, personality, karakter: kesetiaan, tiada
keluh, dan gairah.
Kendati Ramadan
bukanlah satu-satunya alasan kuat untuk memperbanyak doa—dalam konteks
transendental sebagaimana watak puisi romantik, seperti halnya Ramadhan
bukanlah satu satunya musabab baik untuk mengirim, menulis, dan membacakan
puisi-puisi. Doa maupun puisi dalam
konteks romantisisme memiliki tataran yang sama dalam laku sehari-hari. Bahwa segalanya berpulang pada konsep
indiviudalisme dan subjektivitas masing-masing.
Jika pun ada istighotsah atau doa bersama, pembacaan puisi bersama atau antologi bersama
hanyalah soal cara. Subtansinya: orang yang tidak berdoa adalah dia yang paling
sombong (QS. Al Mukmin: 60). Orang yang tidak membaca atau menulis puisi
dialah yang tidak mengenal keindahan—Pikiran adalah puisi, pelaksanaannya seni,
tapi mana bisa sni tanpa puisi? Segala hal yang baik, yang luhur, yang keramat,
pendeknya segala yang indah di dalam hidup ini adalah puisi (Surat Kartini,
2 April 1900).
Segalanya kembali pada diri atau dalam bahasa
Rousseau bahwa diri merupakan sesuatu yang otonom dalam menentukan pilihannya. Persis pengertian doa dalam tradisi Budhisme—meditasi, sugesti, afirmasi—dengan
mengkondisikan perubahan diri sebagai objeknya, pemurnian pikiran, perkataan
dan perbuatan. Sementara dalam pengertian Islam doa seruan, panggilan, berserah
diri, pendekatan, penyatuan(?).
Puisi
kita mau tak mau adalah warisan—ada pencarian estetik tentu saja, ikhtiar
penyatuan atau pendekatan dengan sesuatu kehendak, hasrat, cita-cita, yang
diidealkan sudah barangtentu, baik dari soal-soal yang sakral maupun yang
profan. Boleh jadi puisi-puisi
transendental yang mengagungkan perasaan dalam buku ini seperti pada karya Machali,
Abizar dan penyair lain Irfan Akbar Prawiro, Sri Wahyuni, Dewi Musdalifah, Benny Lambang Sriaji adalah penekanan pada imajinasi sebagai pengalaman personal
yang pengungkapan bentuk kerinduan pada keindahan dari Yang Satu.
Di bulan
Kita
membayangkan Mesias
Terbahak
sekaligus berduka
Aku tidur di
lenganmu beribadah
(Kau Tak Bir?, Irfan Akbar)
Tuhan, ampuni aku
Bukalah segala indraku
‘Tuk merajut kepingan Alif-Mu yang dinistakan
(Alif-Mu, Benny Lambang Sriaji)
cahya layung-layung
terang terus meredup
kembali wajah-wajah
mendongak ke
langit
Sang Hyang Batara
Surya, sumuruplah dalam jagat raya
(Marak, Wahyu Lazuardi)
Asal tiada
kembali semula
Melewati kejap
rotasi halusinasi bermakna cinta
Oooh,
Allah
Darah yang
berbuncah
Detak yang
berdegup
Napas yang
mengembang
Hanyalah milik-Mu
semata
(Ikhlas, Sri Wahyuni)
Dengan demikian
pertanyaannya, mungkinkah puisi identik dengan doa, atau puisi berbentuk doa?
Jawabnya tidak ada yang mustahil dalam ekperimentasi puisi-sastra. Boleh
dicoba! Sebagai suatu doa kedudukan puisi-puisi ini serupa mantra, syiir, rapalan-rapalan
yang bergantung pada penghayatan personal penulis dan pembaca, pada titik
pengertian keikhlasan penyerahan diri pada kata. Kata menjadi media. Alat
sugesti psikologis. Dalam kesusastraan
kita, ini mengingatkan saya pada nujum Edgar Du
Peron—sastrawan Belanda keturunan Prancis Kelahiran Jatinegara perihal “Yang paling dibutuhkan sastra Indonesia
adalah bahasa Indonesia yang kaya akan daya ekspresi.” Dan
kredo Sutardji “Kata-kata bukanlah
alat untuk menyampaikan pengertian..”
Ramalan itu kemudian dapat
ditemukan pada ledakan visi dan ekspresi puisi-puisi Chairil Anwar.
Para penyair kita
generasi kiwari—termasuk yang dalam kumpulan puisi ini—mustahil mengalami
proses kreatif yang ‘berdarah-darah’ seperti dua penyair mata kiri dan mata kanan
ini. Namun proses kreatif adalah seperti doa yang tak kunjung usai dalam laku
sehari-hari. Buku ini adalah wujud pergulatan pencarian, eksplorasi, eksperimen
dengan semangat bermain selaku makluk kreatif dimana bahasa adalah medan
pemaknaannya.
Baiklah, untuk sementara dua nama ini kita simpan—terlebih
kelak di suatu hari Sutardji terkunci dengan kredonya sendiri “kata-kata
bukanlah alat.”
***
JIKA puisi
adalah teman bicara dan kata adalah teman bermain, apakah demikian sunyinya
kerja kepenyairan? Apakah penyair
betul-betul seorang pertapa, yang menghikmati sepinya sendiri? Apakah penyair
tak boleh berpesta pora?
Pesta penyair tentu saja adalah bersama
puisi. Meski demikian membaca puisi,
adalah membaca sejarah—entah itu sejarah yang melahirkan puisi maupun sejarah
puisi itu sendiri. Karena bukankah kata, juga pandangan dunia, bahasa tidak
betul betul ditentukan oleh diri kita sekalipun seorang penyair? Sebaliknya,
dalam kosa kata Foucault, bukan manusia yang menentukan ‘cara manusia menangkap, memandang dan memahami kenyataan, serta cara manusia membicarakan kenyataan.’ Melainkan sebaliknya; manusia
ditentukan olehnya.
Terbitnya buku ini musti dirayakan sebagai
suatu pesta—pesta penyair dengan puisi-puisi terpilihnya, puisi yang ditulis dengan
perjuangan menemukan momen puitik yang tidak sembarangan. Suatu pengalaman yang
sangat personal, meski setiap personal memiliki sejarah mental yang khusus,
sekalipun di luar pagar personalitas itu mereka berada dalam kawah candradimuka
kelompok Cager.
Saya sendiri memiliki catatan penting
terkait hubungan personal dalam sebuah komunitas seni dan kemudian sudah
barangtentu berhubungan dengan komunitas-komunitas di luarnya. Bahwa betapa komunitas seni menjadi sangat
krusial dalam membangun proses kreatif,
dalam konteks ini kepenyairan—militansi, tradisi, ideologi, dan tentu saja proses kreatif dalam
meneroka, mengeksplorasi kemungkinan kemungkinan estetika puisi. Bahwa komunitas sangat efektif.
Diskusi-diskusi lebih tajam dan menggugah, baik sesama individu, antar individu
maupun kemudian berkembang dalam rivalitas antar komunitas.
Dengan kata lain, komunitas menjadi tempat
penyair mempertajam visi dan ekspresi kepenyairannya. Posisi penyair adalah intelektual
atau cendekiawan yang memantik perkembangan ilmu pengetahuan dengan ide-ide
gagasan barunya di bidang sastra. Bagi banyak penulis istilah intelektual dan
intelegensia mengesankan sebagai pemikir yang kritis, progresif, ditambah dalam
bahasa Karl Menhaim “terasing dan terpisah dari masyarakat.”
Apakah
puisi juga demikian? Bisa ya bisa juga tidak. Sejarah puisi kita demikian.
Saya
ingat komunitas di sekitar
Chairil Anwar yang mempertegas konsepsi internasionalismenya
sebagai identifikasi estetika modernis Eropa. Pengertian yang terkandung di dalamnya,
bahwa kerangka “internasional” itu
meletakkan tanggungjawab penuh integritas seniman/intelektual secara individual
sebagai “pembangun budaya”. Nasionalisme Budaya dicampakkan sebab mengaburkan
tanggungjawab individual. Yang dibutuhkan adalah tanggungjawab pribadi.
Integritas
individu menjadi kata kuncinya. Apakah masih relevan? Coba hubungkan dengan
laku penghayatan yang dalam bahasa Budi Darma soliloqui. Semua akan tercermin pada sikap, akhlak berkesenian, dan
pada akhirnya teks-teks yang dihasilkan, imajinasi, persepsi, interpretasi,
intuisi.
Beberapa waktu lalu
saya membaca puisi-puisi Dewi
Musdalifah. Saya katakan, dengan intuisi memungkinkan banyak tumbuh suburnya
kepercayaan-kepercayaan diri individu berhadapan dengan modernitas. Saya
sendiri masih sangat mempercayai bahwa salah satu tugas penulis adalah
mengembangkan “ruang-ruang kosong” atau “ketidaktahuan” ini ke arah penciptaan
kemungkinan baru. Karena hanya dengan demikian, puisi setidaknya adalah
kemungkinan jika pun belum sebagai penghancur konvensi sosial, pembongkar aturan-aturan
atau kode-kode di balik mitos.
Pada titik ini
boleh jadi saya pikir ‘sadar intuisi’ pada adalah terkait erat dengan
pembentukan kharakter: Mengandung pengertian
refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan
menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ’ideologi.’
Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau
pendewasaan.
Dunia dalam, ungkapan
perasaan agung yang bahkan boleh jadi perlawanan terhadap rasionalitas,
ditunjukkan melalui puisi-puisi romantis Dewi Musdalifah perihal keindahan
alam, pemujaan yang eksotis. Bukan tak mungkin puisi-puisi Dewi sebetulnya
adalah pilihan keseimbangan antara yang profan dan yang sakral. Puisi-puisi yang cukup memikat dengan warna
eksotisme alam yang lain diperlihatkan Ayuning Tyas Muji Rahayu. Puisi lukisan alam Bima Arya Sena semacam
usaha memberi semangat baru, menemukan konteks zaman yang berbeda dari
romantisme era Pujangga Baru. Saya kira sah.
tidurlah kalbu
malam ini berhak istirahat
tidak perlu
bertahan lagi
Tuhan menjaga jutaan bintang
Kau harus baik-baik saja
merawat keindahan langit
kabut datang
keseimbangan
istirahatlah.
(Kosong,
Dewi Musdalifah)
Perahuku mengapa?
Ombak dan angin sedang baik
Tekad dan niat sudah terlebih dulu berangkat
untuk pulang pada kenyamanan
(Perahu,
Ayuning Tyas Muji Rahayu)
Kini, kudapati udara kering
Bersama dedaunan yang kian menguning
Entah kapan lagi dapat terlihat
Alamku bernyanyi
(Alamku
Bernyanyi, Bima Arya Sena)
Dengan demikian pilihan
tema dan prespektif yang menjadi fokusnya.
Sebagaimana pilihan tema kematian Bambang Hermanto dalam puisi Selamat Datang, Kematian. Ikhtiar Bambang terlihat pada penciptaan
teks dari konteks di sekitarnya—yang sudah barang tentu berbeda dari tema
kematian Subagio Sastro Wardoyo maupun Sapardi Djoko Damono. Terus terang saya masih bersyukur betapa
keindahan romantik masih berparade di pesta penyair dalam buku ini, mengingat
dalam metafora Bambang Hermanto Kota yang kurindu/Tak
ada kata/Tak
ada makna. Atau dalam puisi Jurir Sururi; yang
dikata tak ‘kan pernah sempurna/terbuih di dalam cinta yang sesungguhnya/tak
nyata. Cukup memukau usaha
memperindah bahasa dalam bentuk personifikasi, mengaduknya dengan ironi atau
sebuah sinisme (?). Jika kematian adalah ‘tabungan’
(Sutardji), yang ini kematian adalah seperti karib di warung kopi pada puisi
ini
"Selamat
datang, Kematian!"
Pabrik raksasa
itu mulai mengepung kotaku
Orang-orang tak
berdaya menandai kelahiran kota baru
Kelahiran tanpa
nama dari seorang ibu
"Ibu, masihkah kau di situ?"
Ketika anakmu
yang kau rindu wajahnya malih rupa
menjadi sirene pabrik kimia
(Selamat Datang, Kematian, Bambang Hermanto)
Setengah 3 Angin Muncul
puisi Faiz Maulana, salah satu yang
berpotensi bermain dalam kata seperti menderetkan kata-kata serius yang
justru bisa menuai hal yang sebaliknya. Ada prinsip bermain di sana. Menggubah sajak
di balik putaran angin/Membalas senyuman yang mencekik/Anginnya memasuki ronggaku. Hal senada tampaknya juga dilakukan Ario Aldi Lesmana /selalu seperti
bukan hal nyata/yang dirasa hanyut pada aliran jalan setapak
hening dan menenangkan/. Bila Faiz bermain dengan
metafora angin, dan Ario dengan idiom
malam sebagai judul apakah dimaksudkan
sebagai sajak gelap?
Puisi Suef Kisah Hujan berpotensi mengangkat persoalan
sederhana yang paling dekat dengan dirinya, bahkan dengan metafora yang
sederhana pula. Mirip sebuah prosa kecil yang bertutur dingin, tanpa
menggebu-gebu atau berpretensi sebagai cerita besar. Meski demikian
memperlihatkan kepiawaian dalam memperkaya penginderaan dalam puisinya. Di
sinilah potensi keindahan bahasa yang dianggitnya Di jemuran miring sedikit melengkung/ payung dan jas hujan disangkutkan. Sisa air perasan menitik/ luruh, mengulang kisah sebelumnya.
Demikianlah, setiap pesta pasti usai. Akan tetapi doa
dan proses kreatif akan terus berlanjut. Saya akan menutup tulisan ini--yang
saya maksudkan sebagai rasa hormat saya pada kawan-kawan penyair dalam buku ini–dengan
puisi Woeryantini. Puisi ini seakan
menyadarkan saya pada keseluruhan gurauan dan hasrat bermain saya dalam tulisan
ini. Bahwa segalanya berpulang pada sikap mental pribadi kita , aklak
berkesenian, dan pada akhirnya puisi-puisi yang kita tulis. Sekaligus puisi Woeryantini ini seakan
menjadi titik simpul apa yang saya kemukakan di atas antara doa, pribadi, dan
pencarian yang tak selesai. Woernyantini
sadar hanya menangkap dan mengekplorasi pengalaman pribadinya guna meneguhkan diri. Seakan memberi pesan pada kita, bahwa manusia
dituntut memberikan penjelasan tentang keberadaannya, perbuatannya,
eksistensinya di hadapan pribadi, masyarakat maupun pada Tuhannya. Manusia bukanlah puisi karena puisi lebih abadi. Akan tetapi ucapan,
pikiran,dan tindakan—buah karya manusia adalah doa.
Anakku
Anakku, apa yang dikirim matahari bersama pelangi usai hujan siang ini
Belalang di sekitar rumah kita ramai membaca
Burung pun diam sejenak mencari terjemah
Anakku, teritis siang ini sedikit basah
Menuai berita kuno yang mungkin kembali singgah
Mari merunut jejak dengan doa
Semoga hujan siang hari membawa kabar baik untuk kita●
Surabaya, 8 Juni 2017