Tak Ada Dewi dalam ‘Kembara’
(Jalan Sunyi Penyair dan Takdir Puisi)
S. Jai
MENGAPA Dewi
menulis puisi? Mengapa ia tak memilih
percaya bahwa penyair hanyalah pemuja lembah khayal dan yang mengatakan sesuatu yang mereka sendiri
tidak kerjakan?
Barangkali Dewi tak bisa menjawab. Atau bahkan ada banyak
jawaban yang boleh jadi tak kita percaya, bahkan membuat kita jengkel, marah.
Mungkin juga penyair ini bisa menyakinkan kita, dengan bahasa konseptual yang
canggih tentang alasannya menulis puisi—yang hanya bisa dimengerti oleh
kritikus, akademi. Bahwa menjadi penyair harus memiliki kesadaran yang tinggi
akan visi dan ekspresinya, dengan pergulatan pencarian bahasa puitik yang
sungguh-sungguh. Baru inilah disebut sebagai penyair.
Tapi Dewi adalah seorang otodidak yang tak peduli betul apakah
dirinya penyair atau bukan. Setidaknya inilah yang terungkap dalam
perbincangan. Ia menulis puisi dengan menggerakkan seluruh energi
kreatifnya—yang sudah barangtentu pada titik ini kejujuranlah panglimanya. Terang,
ini sikap yang mahal lagi menarik. Dengan kata lain Dewi adalah penyair dengan
perkecualian--‘Mereka yang percaya dan mengerjakan kebaikan’
Membaca
puisi-puisi Dewi, puisinya menyiratkan kepercayaan dirinya dalam memilih jalan
sunyi. Ia khusyuk mengkonkretkan yang
abstrak--yang konseptual--tentang ketuhanan, cinta dan nikmat hayat, yang tentu
saja sangat personal. Puisi adalah
nyanyian di jalan sunyinya. Penyair
lebur dengan alam, laut, pantai, karang, gelombang, dedaunan, angin, rerumputan
dan merenggut energi kreatif-estetis-pembebasannya sebagai semacam hikmat
bertasbih, syukur dan tadabur. Ia bukan penyair yang memainkan kata, melainkan
seorang pecinta yang menyanyikan bahasa kalbunya--sebagai buah dari pengalaman
batinnya yang sekali waktu terdengar bagai senandung, atau bahkan ratapan.
***
Aku mencintaimu
karena kau lelaki tanpa kata
Bicaramu pelukan dan tatap mata
Rayuanmu ada di debur jantung
Janji kau titipkan pada jari yang menelusuri tubuh lelahku
Aku tinggalkan ratusan kata
Memilih rumah dalam dadamu
Menjadi tulang rusuk yang melindungi jantungmu
Penyair bukanlah nabi
dan puisi bukanlah wahyu yang jatuh dari kemurahan langit. Tersebab itulah—meskipun
puisi tak lain adalah sejarah mental penyairnya, sejarah ide penulisnya,
pengalaman batin penyairnya—setiap kali membaca puisi saya senantiasa
meniadakan penyairnya. Oleh karena saya selalu menjaga kesadaran agar tak
sia-sia bahwa puisi ditulis tak lain untuk penghilangan diri penyairnya.
Penyair adalah seorang pecinta kata—bahkan ia lebih mencintai kata ketimbang
pada diri dan keadaannya sendiri.
Keindahan puisi Nol
Derajat (hal 62) di atas tak lain terletak pada upaya saya menghapus aku
lirik. Dengan demikian, cinta menjadi melambung begitu tinggi, kata-kata
menjadi begitu hidup mencari bentuk tubuhnya. Sementara tubuh sendiri justru
membangun dirinya sebagai rumah. Tak ada manusia dalam puisi Nol Derajat, apalagi hanya seonggok
daging bernama Dewi.
“Mustahil menangkap realitas, karena realitas
bergantung pada kata.” Sebagai pembaca puisi saya tak ingin merugi dan oleh
sebab itu sepenuhnya bergantung pada kata. Saya tak mau mencemburui Dewi.
Keasyikkan saya tak lain justru ketika mengasingkan diri Dewi, untuk mengembara
lebih jauh meninggalkan puisinya. Aku
tinggalkan ratusan kata/memilih rumah dalam dadamu/menjadi tulang rusuk yang
melindungi jantungmu
Saya sudah tak peduli Dewi. Entah sudah mendekatkan diri
pada Tuhan ataukah sebenarnya memang dia tak ada, karena saya berhasil
melenyapkannya. Saya hanya jatuh cinta pada puisi, pada kata yang daya pukaunya
pada akhirnya juga melenyapkan diri saya sendiri—menyadari, saya pun
sesungguhnya tak ada. Bahwa segala yang muncul di
hadapan indrawi dan batin manusia hanyalah penampakan sifat-sifat Tuhan.
Manusia terbatas hanya sampai pada menangkap tamsilan-tamsilan. Saya menyadari kemustahilan untuk menangkap dan menyingkap
pengetahuan tentang Tuhan. Menyadari juga ketidakmampuan untuk melakukan
penyatuan dengan diri dengan Tuhan.
Pengembaraan cinta menjadi tak terukur,
tak terjangkau maha luasnya. Membaca puisi bagi saya seperti salat seperti juga
bercinta. Bahwa salatnya orang yang bercinta adalah dengan meniadakan diri—khusyuk. Ketika
keberadaan manusia dipastikan keraguannya, ketiadaannya tanpa terkecuali
terhadap seluruh pencitraannya, perasaannya, hatinya, imajinasinya, alam
citanya, maka puisi tetap sendiri dengan keindahannya yang menyendiri pula
sebagaimana takdirnya. Mungkin puisi sedang melakoni kejahatannya. Barangkali
lagi menebus kehormatannya. Tidak ada yang tahu.
***
aku tahu kamu tak mau melukis kembali
pelangi di kanvas cakrawala
padahal kita belum selesai mewarnai langit
tolong, jangan pergi
tengoklah sejenak hati yang tertinggal di sini
masih kubawa selalu rindu dalam setiap perjalanan
masih aku temukan namamu di ujung daun
sepanjang taman yang aku telusuri
masih bisakah berbagi hati
Harmoni puisi lahir dari disharmoni, kata Octavio Paz. Bagi saya
ini semacam cara pembacaan puisi yang bersahaja terhadap kata sebagai subtansi
puisi yang tak sederhana. Karena dengan demikian saya bekerja keras dalam
tataran kerja kreatif pembacaan puisi. Keindahan tercipta melalui
pertentangan-pertentangan antar makna. Bahkan etika—dataran religi—dihapuskan
untuk memenuhi dataran estetika. Inilah saya kira takdir puisi. Dia harus lahir
dari penyair yang entah percaya diri sebagai penyair yang enggan disebut
penyair ataukah yang sekadar makhluk jadi-jadian penyair. Dia mengobarkan kata tidak untuk menjadi
kalimat. Tidak ada cerita dalam puisi. Tidak ada puisi dalam cerita.
Masih kubawa
selalu rindu dalam setiap perjalanan/masih aku temukan namamu di ujung daun. Dan setiap puisi yang berhasil senantiasa mengetengahkan
kerinduan. Yang dalam kosa kata Ibnu Khaldun “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra
realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal
mendatang yang ia rindukan.”
Bagi saya menarik melakukan pembacaan “harmoni-disharmoni”
dengan “kerinduan” pada puisi berjudul Nama
di Ujung Daun (hal 20) tersebut. Bahwa puisi adalah puisi. Dia lahir
dari—bahasa populernya—pengalaman religious penyair. Bagi saya yang bukan penyair—tepatnya pembaca yang nakal terhadap syair—menyakini
bahwa takdir puisi memang harus ditulis
atau dimantrakan. Takdir puisi tidak kuasa untuk dipindahtangankan,
dipindahpikirkan, dipindahrasakan. Tapi kerinduan yang ada pada puisi sanggup
memperkaya jiwa pembaca dan ini hanya bisa diraih dengan melihat puisi
sederhana sebagai sesuatu yang tak sederhana. Bahwa keindahannya terletak pada
ketidakpercayaannya, bahkan pada dirinya sendiri. Karya
sastra akan semakin berhasil—memesona dan menakjubkan—bila mampu membongkar, mempertanyakan kepastian sekaligus meluruhkan
paradigma ideologisnya. Sastra hadir untuk membuktikan kerapuhan setiap ikatan.
Puisi yang gagal—dan ini takdir sial
puisi—adalah ketika banyak sekali “misteri” yang hanya
berpindah-pindah saja ketika puisi ditulis dan kemudian dibacakan. Apalagi oleh
sang penyairnya sendiri. Tak jarang ketika puisi tengah dibacakan, bahkan oleh
penyairnya sendiri, sang penyair seringkali membunuh puisinya sendiri. Saya
sendiri sebagai pembaca, juga pecinta kata, sangat percaya kata, puisi punya ruh yang murni, ruang rohani
yang keadaannya tak bisa sepenuhnya diungkap, disingkap. Puisi tetap menjadi
misteri. Terkadang saya lebih suka mengatakan daya tarik puisi terletak pada kegelapannya bagi
orang lain karena takdir puisi yang demikian.
Bagi saya, hal lain yang menarik dari buku
puisi ini adalah visi penyair pada ‘sadar intuisi’ (hal vi). Intuisi yang
dalam bahasa Habermas sebagai prasangka pribadi, refleksi diri adalah salah
satu kekuatan fundamen dalam mengembangkan emansipasi—di samping penilaian
moral, agama, kebudayaan. Dengan intuisi memungkinkan banyak tumbuh suburnya
kepercayaan-kepercayaan diri individu berhadapan dengan modernitas. Saya
sendiri masih sangat mempercayai bahwa salah satu tugas penulis adalah
mengembangkan “ruang-ruang kosong” atau “ketidaktahuan” ini ke arah penciptaan
kemungkinan baru. Karena hanya dengan demikian, puisi setidaknya adalah
kemungkinan jika pun belum sebagai penghancur konvensi sosial, pembongkar aturan-aturan
atau kode-kode di balik mitos.
Pada titik ini
boleh jadi saya pikir ‘sadar intuisi’ pada adalah terkait erat dengan
pembentukan kharakter: Mengandung pengertian refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga
akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ’ideologi.’
Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau
pendewasaan.●
Penulis adalah penikmat puisi