Rabu, 12 Juli 2017


Tak Ada Dewi dalam ‘Kembara’
(Jalan Sunyi Penyair dan Takdir Puisi)

S. Jai


MENGAPA Dewi menulis puisi?  Mengapa ia tak memilih percaya bahwa penyair hanyalah pemuja lembah khayal dan yang mengatakan sesuatu yang mereka sendiri tidak kerjakan?

Barangkali Dewi tak bisa menjawab. Atau bahkan ada banyak jawaban yang boleh jadi tak kita percaya, bahkan membuat kita jengkel, marah. Mungkin juga penyair ini bisa menyakinkan kita, dengan bahasa konseptual yang canggih tentang alasannya menulis puisi—yang hanya bisa dimengerti oleh kritikus, akademi. Bahwa menjadi penyair harus memiliki kesadaran yang tinggi akan visi dan ekspresinya, dengan pergulatan pencarian bahasa puitik yang sungguh-sungguh. Baru inilah disebut sebagai penyair.  



Tapi Dewi adalah seorang otodidak yang tak peduli betul apakah dirinya penyair atau bukan. Setidaknya inilah yang terungkap dalam perbincangan. Ia menulis puisi dengan menggerakkan seluruh energi kreatifnya—yang sudah barangtentu pada titik ini kejujuranlah panglimanya. Terang, ini sikap yang mahal lagi menarik. Dengan kata lain Dewi adalah penyair dengan perkecualian--‘Mereka yang percaya dan mengerjakan kebaikan’

Membaca puisi-puisi Dewi, puisinya menyiratkan kepercayaan dirinya dalam memilih jalan sunyi. Ia khusyuk  mengkonkretkan yang abstrak--yang konseptual--tentang ketuhanan, cinta dan nikmat hayat, yang tentu saja sangat personal.  Puisi adalah nyanyian di jalan sunyinya.  Penyair lebur dengan alam, laut, pantai, karang, gelombang, dedaunan, angin, rerumputan dan merenggut energi kreatif-estetis-pembebasannya sebagai semacam hikmat bertasbih, syukur dan tadabur. Ia bukan penyair yang memainkan kata, melainkan seorang pecinta yang menyanyikan bahasa kalbunya--sebagai buah dari pengalaman batinnya yang sekali waktu terdengar bagai senandung, atau bahkan ratapan.

***
Aku mencintaimu karena kau lelaki tanpa kata

Bicaramu pelukan dan tatap mata
Rayuanmu ada di debur jantung
Janji kau titipkan pada jari yang menelusuri tubuh lelahku
Aku tinggalkan ratusan kata
Memilih rumah dalam dadamu
Menjadi tulang rusuk yang melindungi jantungmu


Penyair bukanlah nabi dan puisi bukanlah wahyu yang jatuh dari kemurahan langit. Tersebab itulah—meskipun puisi tak lain adalah sejarah mental penyairnya, sejarah ide penulisnya, pengalaman batin penyairnya—setiap kali membaca puisi saya senantiasa meniadakan penyairnya. Oleh karena saya selalu menjaga kesadaran agar tak sia-sia bahwa puisi ditulis tak lain untuk penghilangan diri penyairnya. Penyair adalah seorang pecinta kata—bahkan ia lebih mencintai kata ketimbang pada diri dan keadaannya sendiri.

Keindahan puisi Nol Derajat (hal 62) di atas tak lain terletak pada upaya saya menghapus aku lirik. Dengan demikian, cinta menjadi melambung begitu tinggi, kata-kata menjadi begitu hidup mencari bentuk tubuhnya. Sementara tubuh sendiri justru membangun dirinya sebagai rumah. Tak ada manusia dalam puisi Nol Derajat, apalagi hanya seonggok daging bernama Dewi.

“Mustahil menangkap realitas, karena realitas bergantung pada kata.” Sebagai pembaca puisi saya tak ingin merugi dan oleh sebab itu sepenuhnya bergantung pada kata. Saya tak mau mencemburui Dewi. Keasyikkan saya tak lain justru ketika mengasingkan diri Dewi, untuk mengembara lebih jauh meninggalkan puisinya. Aku tinggalkan ratusan kata/memilih rumah dalam dadamu/menjadi tulang rusuk yang melindungi jantungmu

Saya sudah tak peduli Dewi. Entah sudah mendekatkan diri pada Tuhan ataukah sebenarnya memang dia tak ada, karena saya berhasil melenyapkannya. Saya hanya jatuh cinta pada puisi, pada kata yang daya pukaunya pada akhirnya juga melenyapkan diri saya sendiri—menyadari, saya pun sesungguhnya tak ada. Bahwa segala yang muncul di hadapan indrawi dan batin manusia hanyalah penampakan sifat-sifat Tuhan. Manusia terbatas hanya sampai pada menangkap tamsilan-tamsilan. Saya menyadari kemustahilan untuk menangkap dan menyingkap pengetahuan tentang Tuhan. Menyadari juga ketidakmampuan untuk melakukan penyatuan dengan diri dengan Tuhan.

Pengembaraan cinta menjadi tak terukur, tak terjangkau maha luasnya. Membaca puisi bagi saya seperti salat seperti juga bercinta. Bahwa salatnya orang yang bercinta adalah dengan meniadakan diri—khusyuk.  Ketika keberadaan manusia dipastikan keraguannya, ketiadaannya tanpa terkecuali terhadap seluruh pencitraannya, perasaannya, hatinya, imajinasinya, alam citanya, maka puisi tetap sendiri dengan keindahannya yang menyendiri pula sebagaimana takdirnya. Mungkin puisi sedang melakoni kejahatannya. Barangkali lagi menebus kehormatannya. Tidak ada yang tahu.

***
aku tahu kamu tak mau melukis kembali
pelangi di kanvas cakrawala

padahal kita belum selesai mewarnai langit
tolong, jangan pergi
tengoklah sejenak hati yang tertinggal di sini
masih kubawa selalu rindu dalam setiap perjalanan
masih aku temukan namamu di ujung daun
sepanjang taman yang aku telusuri
masih bisakah berbagi hati


Harmoni puisi lahir dari disharmoni, kata Octavio Paz. Bagi saya ini semacam cara pembacaan puisi yang bersahaja terhadap kata sebagai subtansi puisi yang tak sederhana. Karena dengan demikian saya bekerja keras dalam tataran kerja kreatif pembacaan puisi. Keindahan tercipta melalui pertentangan-pertentangan antar makna. Bahkan etika—dataran religi—dihapuskan untuk memenuhi dataran estetika. Inilah saya kira takdir puisi. Dia harus lahir dari penyair yang entah percaya diri sebagai penyair yang enggan disebut penyair ataukah yang sekadar makhluk jadi-jadian penyair.  Dia mengobarkan kata tidak untuk menjadi kalimat. Tidak ada cerita dalam puisi. Tidak ada puisi dalam cerita.

Masih kubawa selalu rindu dalam setiap perjalanan/masih aku temukan namamu di ujung daun.  Dan setiap puisi yang berhasil senantiasa mengetengahkan kerinduan. Yang dalam kosa kata Ibnu Khaldun “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”

Bagi saya menarik melakukan pembacaan “harmoni-disharmoni” dengan “kerinduan” pada puisi berjudul Nama di Ujung Daun (hal 20) tersebut. Bahwa puisi adalah puisi. Dia lahir dari—bahasa populernya—pengalaman religious penyair.  Bagi saya yang bukan penyair—tepatnya pembaca yang nakal terhadap syair—menyakini bahwa takdir puisi memang harus ditulis atau dimantrakan. Takdir puisi tidak kuasa untuk dipindahtangankan, dipindahpikirkan, dipindahrasakan. Tapi kerinduan yang ada pada puisi sanggup memperkaya jiwa pembaca dan ini hanya bisa diraih dengan melihat puisi sederhana sebagai sesuatu yang tak sederhana. Bahwa keindahannya terletak pada ketidakpercayaannya, bahkan pada dirinya sendiri. Karya sastra akan semakin berhasil—memesona dan menakjubkan—bila mampu membongkar,  mempertanyakan kepastian sekaligus meluruhkan paradigma ideologisnya. Sastra hadir untuk membuktikan kerapuhan setiap ikatan.

Puisi yang gagal—dan ini takdir sial puisi—adalah ketika banyak sekali misteri yang hanya berpindah-pindah saja ketika puisi ditulis dan kemudian dibacakan. Apalagi oleh sang penyairnya sendiri. Tak jarang ketika puisi tengah dibacakan, bahkan oleh penyairnya sendiri, sang penyair seringkali membunuh puisinya sendiri. Saya sendiri sebagai pembaca, juga pecinta kata, sangat percaya  kata, puisi punya ruh yang murni, ruang rohani yang keadaannya tak bisa sepenuhnya diungkap, disingkap. Puisi tetap menjadi misteri. Terkadang saya lebih suka mengatakan daya tarik puisi terletak pada kegelapannya bagi orang lain karena takdir puisi yang demikian.

Bagi saya, hal lain yang menarik dari buku puisi ini adalah visi penyair pada ‘sadar intuisi’ (hal vi). Intuisi yang dalam bahasa Habermas sebagai prasangka pribadi, refleksi diri adalah salah satu kekuatan fundamen dalam mengembangkan emansipasi—di samping penilaian moral, agama, kebudayaan. Dengan intuisi memungkinkan banyak tumbuh suburnya kepercayaan-kepercayaan diri individu berhadapan dengan modernitas. Saya sendiri masih sangat mempercayai bahwa salah satu tugas penulis adalah mengembangkan “ruang-ruang kosong” atau “ketidaktahuan” ini ke arah penciptaan kemungkinan baru. Karena hanya dengan demikian, puisi setidaknya adalah kemungkinan jika pun belum sebagai penghancur konvensi sosial,  pembongkar aturan-aturan atau kode-kode di balik mitos.

Pada titik ini boleh jadi saya pikir ‘sadar intuisi’ pada adalah terkait erat dengan pembentukan kharakter: Mengandung pengertian refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ’ideologi.’ Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan.●


Penulis adalah penikmat puisi