Sabtu, 30 Mei 2015


Suara Lain Perempuan: Kritik dan Otokritik


Judul                :  Genduk Dukuh Seti
Penulis             :  Rohana Handaningrum
Penerbit           :  Pagan Press
Cetakan           :  Pertama, Nopember 2014
Tebal                 : 152 halaman
ISBN                 : 978-602-71603-3-0

Menulis teks sastra—suatu iktiar yang  sudah barangtentu sekaligus menghadirkan konteks di dalamnya—adalah sebuah kegiatan yang sangat personal. Bahkan meski kemudian berkembang sebagai ilmu pengetahuan, bisa bermula dari masalah yang sangat pribadi yang paling dekat dengan diri kita—milik kita.



Justru karena kita tahu, sebuah pengalaman pribadi bukan berarti yang benar-benar pribadi, atau tidak ada hal yang benar-benar pribadi. Pengalaman, teks pribadi, senantiasa berjalin kelindan dengan konteks di luar kepribadiannya. Dengan kata lain banyak teks-teks lain yang turut membentuk teks pengalaman pribadi tersebut. Semua itu adalah harus dilihat sebagai produk budaya pada kurun waktu tertentu.

Jadi selaku pribadi, sebenarnya kita bukanlah pribadi yang betul-betul mandiri, melainkan suatu objek yang  tersusun atas kekuatan-kekuatan di luar diri kita, misalnya kondisi sosial dan kondisi politik. Dengan kata lain, bila kita menyusun sebuah teks (berbagi pengalaman), pengalaman kita bukanlah satu-satunya yang sahih. Ada banyak teks lain yang memiliki konteks dengan teks itu sendiri.

Tersebab itulah sebagian besar para penulis perempuan menulis tentang persoalan-persoalan mereka sendiri. Atau setidaknya perihal masalah perempuan—yang dalam sejarah gerakan perempuan mengemuka sejak penghapusan hambatan-hambatan hukum dalam kesetaraan gender, hingga  isu pelbagai ketidakadilan dalam hukum, seksualitas, keluarga, tempat kerja, dan hak-hak reproduksi.

Dalam latar gagasan ideologis seperti itulah cerita-cerita Rohana Handaningrum itu lahir. Yakni ketika budaya patriarki di belahan bumi manapun, nyata-nyata menegaskan di satu sisi sentral laki-laki dan marginal perempuan, bahkan ternyata punya andil besar dalam (secara radikal) mempertentangkan tatanan sosio kultural berupa peran, perilaku, mentalitas, karakteristik perempuan dalam kerangka gender.

Prespektif Individual

Sebagai suatu cerita yang kemudian diterbitkan—sebagian diantaranya telah tayang di koran—yang menarik adalah dengan demikian Rohana menyampaikannya kepada publik. Apalagi sebagai sebuah karya cerpen yang secara subtansi tentu ia mengangkat ruang-ruang psikis dan bukan filosofis. Dengan demikian Rohana Handaningrum sebagai penulis ia tengah meneguhkan diri secara psikis pada wilayah publik. Betapa ia sedang berjuang merebut wilayah itu, dengan mengenali ruang-ruang psikis itu guna untuk kemudian digali demi meneguhkan eksistensi diri.

Pendeknya, cerpen-cerpen Rohana Handaningrum ini berangkat dari prespektif individual (boleh jadi ia sebagai ibu rumah tangga yang bergelut dan bergulat dengan wilayah domestik) atau tepatnya eksistensi sebagai suatu proyek pribadi. Khususnya lagi pribadi-pribadi yang soliter—yang sudi untuk menemukan identitas dirinya—juga yang marjinal. Artinya, bagi orang yang tidak siap menemukan identitas diri, dan yang tidak terbuka dalam hal itu tentu menjadi sulit. Tapi Rohana melakukan hal itu.

Menemukan identitas diri itu, bisa ditempuh dengan laku: kebebasan, keberanian, kesadaran dan juga aspirasi. Sementara kita bisa mengamini idiom yang sering kita dengar, bahwa  tak ada satupun laku manusia yang lebih dramatis dan menyakinkan ketimbang laku kita sendiri. Ini bukanlah bentuk narsisme, oleh karena kesadaran untuk membuka ruang psikis kita—pada konteks yang lebih luas—selanjutnya akan menumbuhkan sikap emansipasi: dibukanya ruang baru bagi rumah kemanusiaan.

Pada titik ini, dalam berbagi pengalaman, eksistensi dalam pengertian proyek pribadi bisa dikembangkan ke dalam—menurut Ben Anderson--“Komunitas-Komunitas yang Dibayangkan.” Atau dalam kata-kata terkenal Pramoedya Ananta Toer: Pengalaman seseorang bisa menjadi pengalaman suatu bangsa.  Bahwa seseorang dalam menciptakan teks, sebetulnya sedang berimajinasi dan menciptakan komunitas-komunitas. Semisal berimajinasi tentang keadilan, kebebasan dalam pengertian emansipasi oleh kelompok-kelompok atau individu-individu yang terasing dan termarjinalisasi.

Dua perangkat penting dalam mengekplorasi pengalaman pribadi guna meneguhkan eksistensi pribadi tersebut adalah ‘ingatan’ dan ‘pengetahuan’.  Inilah perlunya saya mengutip kata-kata terkenal dari Milan Kundera, perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan kelupaan. Sementara ‘pengetahuan’ langsung sebagai keseluruhan pengalaman indrawi kita sebagai pribadi sebagai warga-bangsa juga tak kalah pentingnya—sebagaimana dalam kosa kata Pramoedya di atas.

Pilihan bentuk cerita pendek sangat efektif dalam membungkus pesan atau ‘muatan ideologis’ seorang pribadi. Dan kita menjadi tidak perlu alergi pada kata-kata ideologis oleh karena segala sesuatu sangat potensial dalam hal itu. Bukan manusia yang menentukan ideologis melainkan sebaliknya. Bahwa kita sejak lahir pun telah berbaju ideologi. Persoalannya adalah bagaimana hal itu efektif untuk membebaskan ‘kekuatan’ sudah berurat berakar dalam diri kita. 

Melihat Realitas dengan Realistis

Cerita-cerita Rohana ini serius dalam arti ia mengajak melihat realitas dengan realistis, yang paling dekat dengan pengalaman kita sendiri. Ada moralitas, yang membawa pesan masalah-masalah etis masyarakat pada zamannya. Pendeknya, bagaimana masalah etika sebagai tanggungjawab intelektual terintegrasi dengan pengalaman-pengalaman baru seseorang yang paling dekat dengan dirinya. Atau dalam bahasa Franz Magnis Suseno “Sebagai makluk yang berpikir rasional, dapat mempertanggung-jawabkan sikap-sikapnya terhadap perngalaman-pengalaman baru."

Cerpen Prasangka menyingkap permasalahan tanggungjawab seorang ibu yang besar terhadap keluarga. Ia pilih meninggalkan karir untuk itu. Sampai Bu Santi, tokoh cerita ini digambarkan kuatir berlebihan terhadap moralitas anak-anaknya. Demikian pula cerpen Pemberontakan Sepi, yang mengungkap hasrat perempuan untuk tidak saja bergelut dengan kepentingan domestik—macak, manak, dan masak.

Cerpen Perawan Tua, membeberkan mitos dan kepercayaan yang membelit perempuan, bahwa perempuan yang berani menolak lamaran laki-laki pertama, ia bakal jadi perawan tua seumur hidupnya. Cerpen Rindu Ibu, melukiskan kerinduan seorang anak yang dibuang orangtuanya di panti asuhan. Kerinduan pada ibunya adalah gambaran dari kehormatannya pada perjuangan perempuan untuk generasi penerusnya. Tokoh ini yakin dirinya dibuang untuk kelangsungan hidupnya.

Cerpen Genduk Dukuh Seti, menggambarkan dunia batin seorang anak, putri mantan penari tayub. Disamping kekaguman pada sosok ibu, ada mitos, cerita rakyat, sejarah ditelisik di sini. Lalu cerpen Ahli Waris memotret dunia batin Kantil,  ada misteri, mitos, cerita rakyat dan sejarah pula di kisah ini.

Dua cerpen yang agak berbeda dalam kumpulan cerpen ini Calon Pengantin dan Perang dan Damai. Ada balutan agama pada keduanya, walau pada Perang dan Damai mencoba menelisik spirit ibu dengan cara berbeda. Cerpen ini menyampaikan pesan semua perempuan adalah ibu, tapi tidak semua perempuan mau dan mampu dengan segala ketulusan menjadi ibu bagi anak-anak yang tidak lahir dari rahimnya. Secara ekstrem digambarkan anak-anak ini berbeda agama. Sedangkan Calon Pengantin, menceritakan persahabatan tokoh aku, James dan Olive. Olive adalah perempuan anggota kelompok diskusi komunitas berjenggot yang semua laki-laki.

Secara pribadi manusia harus bertanggungjawab dan refleksi diri terutama mengenai dirinya sendiri atau juga perihal orang lain. Tanggungjawab pribadi atas nilai moral lebih didasari karena manusia berhadapan dengan kebebasan orang lain,  juga ketakutan-ketakutannya, keterbatasan-keterbatasannya terhadap sesama, lingkungan sebagai akibat dari ketidakmampuannya untuk hidup sendiri.

Inilah modal utama mengenal diri dan eksistensi dirinya. Karena dengan mengenal diri dan eksistensinya secara pribadi ia sadar pada masa lalu, hari ini dan hasrat kemajuan di masa mendatang. Manusia dituntut memberikan penjelasan tentang keberadaannya, perbuatannya, eksistensinya di hadapan pribadi, masyarakat maupun pada Tuhannya. Inilah tanggungjawab.

Sebagai sebuah cerita, cerpen-cerpen Rohana ini tentu punya visi membuka ruang baru. Setidaknya buat kaum perempuan sendiri, mendorongan perempuan untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya sebagai perempuan, dan menjadi unggul dengan kemampuan dirinya sebagai seorang perempuan. Yakni kemampuan perempuan untuk menulis “sejarah”-nya sendiri, “bahasa”-nya sesuai sosio kultur dimana mereka hidup dan berkembang.

Sebagai sebuah cerita, tulisan-tulisan Rohana Handaningrum ini tak sekadar ‘proyek politik yang memperjuangkan suara atau hak milik perempuan.’ Apalagi: Bukanlah alat mempertentangkan tatanan sosiol kultural dalam latar perbagai ketidakadilan laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, cerita-cerita Rohana Handaningrum adalah kemungkinan-kemungkinan ruang kosong, mungkin juga suara lain utamanya bagi perempuan dalam hal kritik dan otokritik atas nama kehidupan yang lebih baik dalam pelbagai ranah kenyataan maupun simbolik, sosial maupun personal.[S.Jai]