Senin, 07 November 2011

catatan





















Ruang Ruang Korupsi
Teater “Skolah Skandal”

Oleh S.JAI*)



DRAMAWAN Akhudiat hingga usia 65 tahun masih membuktikan diri dengan karya teater terbarunya, Skolah Skanda. Kali ini bersama komunitas Sanggar Merah Putih. Drama berdurasi kurang lebih satu jam itu Kamis (3/11) malam tampil dalam ajang Festival Seni Surabaya di Taman Budaya Jawa Timur.

Akhudiat dramawan kelahiran Rogojampi, Banyuwangi 5 Mei 1946, pada 2010 lalu menulis monolog Dewa Mabuk yang kemudian dikumpulkan bersama beberapa karya dari dramawan lain oleh Dewan Kesenian Jawa Timur. Belakangan ia getol untuk mensosialisasikan dan menggali estetika drama-drama pendek (short drama) berdurasi 5-10 menit yang beberapa waktu lalu satu diantaranya ditampilkan di ruang merah putih Balai Pemuda Surabaya.

Short Drama, memang tengah menarik perhatian di panggung-panggung teater ruang publik cafetaria, bar, pub di Amerika dan sebagian Eropa. Jadi, jangan heran bila dalam beberapa tahun ke depan, Diat—begitu panggilan penulis dan sutradara yang sejak tigapuluh tahun lalu menjadi pelanggan pemenang sayembara drama Dewan Kesenian Jakarta—akan bergelut dengan gagasan short drama yang jelas baru di negeri ini.

Sepengetahuan saya, tahun 1993 Diat melakukan adaptasi novel Tobacco Road dari Erskine Caldwell (didramakan pula di teater Broadway oleh Jack Kirkland) ke dalam drama Jalan Tembakau dan dipentaskan oleh kelompok Bengkel Muda Surabaya. Sebelumnya, penyutradaraannya yang memikat pada drama Laboratorium Gila dari One Flew Over The Cuckoos Nest—Dale Wesserman Ken Kessey juga menyedot publik teater di negeri ini.

Skolah Skandal seperti kebanyakan drama-dramanya yang lain ditulis dan disutradarai sendiri oleh Diat. Meski dengan potensi-potensi ruang yang berbeda, akan tetapi kesan bahwa pertunjukkannya masih segaris dengan semisal dramanya yang lain Joko Tarub, masih mengemuka. Setidaknya dari pilihan bingkai pelbagai bentuk artistiknya.

Teater Tutur

Nafas yang jelas tertangkap serupa diantara keduanya adalah degup atau semangat sebagai teater tutur—meski antara keduanya memiliki konsekuensi tawaran ruang yang tidak sama persis. Hal itu dipertegas dengan ornamen musik dan dinamika sampakan kentrung (mengingatkan saya pada era Diat dengan kentrung rock yang diaransemen Naniel dkk). Pada pertunjukan kali ini musik kentrung bernuansa Banyuwangi dihadirkan dengan penata musik seniman musik tradisi Tri Broto dipadu gamelan Jawa dan terbang pesisiran.

Harus diakui, tantangan potensi ruang yang berbeda dari Skolah Skandal dengan Joko Tarub terang adalah pada kehadiran teks-teks dasar sebagai pemantik untuk menciptakan teks-teks baru teater ke dalam konteksnya. Jelas pada Joko Tarub ada ruang imajinasi dalam teater tutur yang sebelumnya dibangun oleh mitos. Sementara pada Skolah Skandal teks-teks awal dinukil dari satu peristiwa sosial (yang memang sangat penting) di pedalaman Bojonegoro. Tentu kita belum terlalu dilupakan dari peristiwa joki napi di sebuah Rumah Tahanan di wilayah pemerintahan Kabupaten Bojonegoro. Seorang napi kasus pupuk bersubsidi Kasiem (55), yang divonis tiga bulan 15 hari, menukar eksekusi dirinya dengan menyelundupkan ibu rumah tangga bernama Karni (50) ke bui. Skandal ini menyeret Kalapas dan Kajari Bojonegoro dan sudah barangtentu mencoreng hukum kita.

Teks yang lain adalah semacam psikologi sosial dari masyarakat pesisir pantai utara Jawa.

Hadirnya teks sejak perbedaan teks dari Joko Tarub menuju Skolah Skandal, terlebih dalam suasana tingkatan-tingkatan realitas yang kompleks, rumit bahkan berkat kemajuan teknologi informasi masa kini sehingga bisa diakses siapapun, tentu bukanlah penghalang bagi proses teater tutur. Utamanya bagi Diat yang piawai dan brilian menafsir narasi-narasi sastra baik yang tetap dituliskannya dalam sastra maupun yang kemudian diadaptasi ke dalam drama.

Kesadaran pada tingkatan-tingkatan ruang ini tentu hanya bisa taklukkan oleh sutradara yang punya konsentrasi tinggi pada teater tutur. Sebagaimana pada media film, ruang-ruang berlapis sangat bagus tergambar dalam film Inseption garapan sutradara Christopher Nolan. Pada teater Akhudiat, hadirnya Sang Dalang yang diperankan secara apik dan energik oleh seniman Lenon Machali boleh dikata sebagai salah satu kunci sukses teater tutur ini. Dalang membagi ruang sekaligus menciptakan ruang imajinasi dari panggung pada penonton. Kepiawaian aktor dalam hal ini sebanding dengan kemampuan menciptakan panggung-panggung dalam imajinasi penonton.

Bangunan imajinasi yang serupa pada penonton terkesan kuat manakala teks-teks yang disampaikan oleh aktor dan aktris yang jumlahnya mencapai belasan itu mengandung narasi, cerita, pengalaman dan bukan peristiwa. Inilah kiranya memang cukup memiliki paradigmatik pada teater tutur. Peristiwa-peristiwa boleh jadi ala kadarnya saja, terjadi pada aktor-aktor di atas panggung. Hanya saja pada saat aktor menampilkan kisah, pengalaman, cerita mungkin juga basa-basi atau lanturan, sadar diri kembali pada kekuatan teater tutur merupakan kunci. Dalam hal ini, tentu kita musti menaruh hormat pada guru-guru besar teater tutur kita seperti Asmuni, Kartolo, Markeso dan lain sebagainya.

Boleh jadi peristiwa-peristwa yang terjadi di panggung sebagai sesuatu yang ala kadarnya saja yang secara ekstrem dilakoni Markeso dalam ludruk garingan, musti ditangkap oleh penata artistik dan penata lampu atas nama kesadaran pada lapisan ruang dan daya cipta ruang-ruang tersebut. Jadi selain ruang yang dibagi dan ciptakan pada imajinasi penonton, ruang yang lebih banyak pun bisa diciptakan di atas pentas, baik ruang panggung maupun ruang imajinasi yang tercipta di atas panggung.

Dalam konteks teater tutur, ruang-ruang yang tercipta di atas pentas menjadi semacam latar sosial dan psikologi bagi aktor untuk menemukan kembali manusia dalam strategi pemeranan. Strategi pemeranan ini tentunya adalah tantangan yang bukan sepele pada teater masa kini—yakni terlebih pada saat sekarang publik hampir kehilangan kepercayaan, masihkah ada aktor pada teater kita? Kini teater, dimana aktor yang memainkan peran menghadapi tantangan yang jauh lebih besar ketimbang teater yang memerankan dirinya sendiri. Itulah sebabnya Teater Garasi dalam Tubuh Ketiga melakukan riset mendalam di sekitar pesisir Indramayu, sebuah strategi pemeranan yang berbeda dibanding teater Rembulan di atas Kremil Zaenuri yang mengeksplorasi para pekerja seks komersil dan Rasanya Baru Kemarin yang dilakonkan para napi Rutan Medaeng.

Sudah barang tentu Skolah Skandal membutuhkan riset mendalam di sepanjang pesisir pantai utara Jawa dengan problem-problem sosial psikologis mereka. Walaupun ruang-ruang dan narasi serta pengalaman dan peristiwa teater Skolah Skandal tidak saja mungkin melompat dari Lapas di Bojonegoro hadir di Surabaya atau pantai utara, melainkan bukan mustahil terjadi di belahan negeri kita atau bumi mana saja.

Perempuan dan Skandal Peradilan

Saya pribadi sangat terpikat pada tema kegigihan para perempuan di pesisir pantai utara Jawa. Permainan gemilang ditunjukkan pemeran Nyik Girah Tamsil yang identik betul dengan karakter orang pesisir: kritis, terbuka dan dinamis. Juga penataan artistik pohon kerontang dengan sebilah layangan nyangkut di sisa rantingnya. Terkadang saya tidak pedulikan dialog para pemain yang bolak-balik mendorong kursi agung, karena dengan demikian adegan ini mengingatkan saya pada film The King’s Speach, arahan Tom Hooper, pada saat di depan kursi raja Inggris, putra mahkota yang gagap diminta latihan pidato. Di tangan seorang psikiater yang pintar, sang putra mahkota akhirnya mampu mengeksplorasi diri dengan baik.

Bagaimana sebetulnya mereka selaku kepala keluarga, yang bertanggungjawab penuh pada kelangsungan hidup juga pendidikan anak-anak mereka. Para perempuanlah para penjaga keseimbangan dan kematangan hidup sepanjang hari di daratan, sementara suami-suami mereka pergi ke lautan selaku nelayan-nelayan yang terbelit suatu sistem yang entah mengapa menempatkan keluarga mereka dalam kemiskinan struktural. (Kusnadi, Akar Kemiskinan Nelayan, LkiS 2003)

Tokoh Wak Ayam Camik (Wina Bojonegoro), lintah darat, pengelola jasa pegadaian partikelir serta pengijon yang licin menjadi pembuka ruang-ruang koruptif masyarakat jaring mata rantai ekonominya. Kelihaian Wak Ayam Camik dalam bermain atas dan bermain bawah dalam suatu sistem atau ruang-ruang koruptif masyarakat tersebut ketika terkena pasal kriminal, akhirnya menyeret Kepala Penjara Alsiponsi (Desemba), Kepala Kejaksaan Dimas Yahwe (Nanang Ariyono), Pengacara Mr Mamok (Aming Aminuddin) dan Mimin (Deny Tri Aryanti) yang turut terlibat merekayasa peristiwa. Sebuah peristiwa yang sangat mengejutkan dunia hukum di negeri siapapun tentunya: perjokian narapidana.

Konteks peristiwa dalam dunia hukum kita yang mengejutkan, melalui teater, tentunya kita berharap akan mengunduh ruang-ruang yang luang terjadinya tindak koruptif dari peristiwa baru teater. Dan sudah barangtentu untuk mengidentifikasi pencegahan diri. Dengan kata lain, seluruh dari kompleksitas ruang-ruang tersebut sejak ruang kosong, ruang imajinatif maupun ruang-ruang estetis maupun artistik, terlebih ruang dari dunia keseharian kita yang tercermin dari Skolah Skandal semuanya tersedia bagi setiap perilaku koruptif. Bukan hanya harta benda, harkat martabat, nyawa yang digadaikan (disekolahkan) melainkan juga persamaan hak dan kewajiban di depan hukum.

Pada teater Skolah Skandal Wak Ayam Cawik membayar joki napi Rp 10 Juta atas kasusnya untuk menghindari penjara sebagai tebusan alias “sekolah” dirinya pada sistem peradilan dan hukum negeri Boh. Sebagaimana umumnya teater tutur, pertunjukkan ini ditutup dengan pelbagai pesan moral biarpun barangkali agak absurd untuk ditangkap benarkah mereka bicara moral. Terlebih lagi, pelbagai pesan itu justru disampaikan tokoh-tokoh dalam teater mereka sendiri.[]


*) Penulis adalah peminat teater, tinggal di Lamongan.