Kamis, 27 September 2012

profil

(Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Edisi Juli 2012)

Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH., MH:




“Kalau Pemerintah Gentle, Harusnya Punya Malu”



DASAR hukum penetapan cagar budaya boleh dikata cukup tua (UU No 5 Tahun 1992), namun pemerintah tak bisa digugat sekalipun dianggap lalai. Seperti apa yang terjadi pada Pemkot Surabaya. Semangat Perda No 5 Tahun 2005 yang menyebut cagar budaya merupakan “kekayaan budaya yang harus dilestarikan demi pemupukan jati diri bangsa dan kepentingan nasional,” disebut-sebut hampir tak tersentuh spiritnya.

Setidaknya kesan itu yang tertangkap dari perbincangan ALUR dengan Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH. MH, Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga di kantornya Jl Dharmawangsa Dalam.

“Secara formal masyarakat tidak bisa menggugat. Hanya bisa berupa sanksi moral saja,” tandas pria yang juga Ketua organisasi sosial Putera Surabaya atau Pusura itu.

Yang bisa dilakukan sekadar menuntut tanggungjawab moral sebagai penguasa yang semestinya memberikan perlindungan dan pengembangan terhadap peninggalan sejarah.

Dengan kata lain, hal itu tergantung pada sikap mental pemerintah. Masyarakat, peneliti, budayawan, politisi, seniman yang memberikan reaksi, itu soal biasa. Tapi dari segi hukum, kalau perda tidak dijalankan, pemerintah tidak ada sanksi apapun. “Kalau pemerintah gentle,  tidak melakukan (perda) itu ya harusnya punya malu,” tandas Prof. Zaidun.

Prof. Zaidun punya pengandaian yang menarik soal tanggungjawab pemerintah pada peninggalan sejarah itu. Bahwa hal itu masalah perhatian saja. Ibarat perhatian orangtua terhadap anaknya. Biarpun anak itu menuntut atau tidak, perhatian orangtua tetap harus diberikan.  “Itu jika orangtua yang baik. Pemerintah yang bagus juga harus berbuat demikian,” imbuhnya.

Dasar hukum menurutnya penting, tapi bukan yang terpenting.  Yang terpenting adalah demensi kesejarahannya. Ia mencontohkan, pada masyarakat tradisional yang sifatnya spiritual, punden-punden, cungkup di kuburan-kuburan begitu ramai karena mereka punya kepercayaan.

“Jadi ini soal sense dari pemerintah untuk punya perhatian pada peninggalan sejarah yang punya nilai-nilai historis, bergantung juga pada persepsi pejabatnya. Pemerintah yang tak punya penghargaan tinggi pada pahlawan dan seluruh aktivitas pergerakan mereka, jelas semangatnya pun kecil juga,” ungkapnya.

Sulit dibayangkan, menurutnya, bagaimana bangsa-bangsa barat yang dulu disebut penjajah pun ternyata kini lebih punya penghargaan yang tinggi pada sejarah. Kurangnya penghargaan pemerintah kita pada nilai historis itu menurutnya bisa juga oleh karena tidak ada yang membimbing, memberikan penjelasan atau informasi.

“Harus jujur diakui, apresiasi kita kurang. Baik terhadap gedung peninggalan dan juga nilai-nilai yang ada di situ. Yang paling penting menurut saya, adalah nilainya itu,” tukas guru besar dalam bidang Ilmu Hukum Investasi tersebut.

Sebagai Ketua Pusura, Prof Zaidun harus akui bentuk perhatian pemerintah terhadap lembaganya pun sangat kurang. Lebih dari itu, penghargaan masyarakat terhadap sejarah yang punya nilai yang sangat esensial juga minim. Dirinya membayangkan Pusura sebagai cagar budaya seperti patung Liberty di AS simbol kemerdekaan yang memiliki makna yang sangat luas.

Bolak Balik Minta Diskon

PUSURA (dahulu Poesoera)  adalah sebuah organisasi sosial yang lahir pada 26 September 1936. Para pendiri organisasi ini umumnya tokoh masyarakat berlatarbelakang politisi, cendekiawan, pendidik dan ulama. Tercatat sederet nama pendiri yakni: Dr.Sutomo, Dr.Soewandi, Dr.Yahya dan Dr.Samsi. Beberapa ulama ada KH Mas Mansur, H.Nawawi Amin, Koesnan Effendi, H.Manan Edris dan H.Hoesein.

“Gedung Pusura dulu tempat berkumpulnya para pahlawan kita, aktivis yang menggagas suatu perubahan. Itu sangat penting. Karena itu, gedung-gedung seperti itu dengan isi semangat seperti itu di dalamnya harus dijaga,” tegas Zaidun.

Bukan hanya gedung Pusura, Zaidun juga membayangkan andai akses Tugu Pahlawan bisa dibuka lebih leluasa dan tidak hanya berfungsi untuk kegiatan upacara saja. “Tugu Pahlawan, sekali waktu mbok nggak usah pakai karcis masuk, untuk guru-guru sejarah mengapresiasi bersama anak-anak SD.  Kelihatannya rugi kalau semua orang masuk nggak bayar, tetapi nilainya itu tak bisa hargai berapapun.”

Hal yang sama juga bisa terjadi pada Kebun Binatang Surabaya. Kelihatannya sepele, tapi sejarah ilmu pengetahuan yang dicanangkan Belanda waktu mendirikan, tentu bukan sembarangan. “Bila orang ekologi yang menjelaskan kepada muridnya di Kebun Binatang, tentu nilainya luarbiasa,” imbuhnya.

Demikian pula dengan keberadaan rumah Bung Karno (di Pandean Gang IV, Kelurahan Peneleh Kecamatan Genteng), hal itu bisa menyingkap hubungan yang indah antara Soekarno dan HOS Tjokroaminoto. Rumahnya kecil dan di tengah kampung dan ditempati oleh dua orang begitu besar nama dan brilian pikirannya.

Dengan melestarikan nilai-nilai, menjadi tahu dialog Tjokroaminoto yang tokoh Islam, Bung Karno tokoh Nasionalis. Ternyata Tjokro yang Islamis pun menjadi Nasionalis. Soekarno yang Nasionalis juga Islamis.  Sehingga buku sejarah tidak perlu terlalu banyak menerangkan etos Bung Karno sebagai seorang pahlawan. Cukup dengan budi pekerti bisa menjadi orang besar. Belajarnya dari orang yang sederhana seperti Tjokroaminoto.

Jadi bentuk perhatian yang mesti diberikan pemerintah pada cagar budaya adalah secara teknis perawatan gedung. Berikutnya, mendorong apresiasi pelaku sejarah dan sejarah yang dibentuk agar memberi inspirasi generasi muda selanjutnya atau generasi tua yang belum tahu. “Semangatnya ditujukan orang muda supaya belajar secara ideologis terhadap persepsi sejarah yang berkembang pada saat itu,” tukasnya.

Gedung Pusura sudah sejak kepemimpinan H Kadaruslan diajukan oleh Tim Cagar Budaya, dan baru beberapa minggu belakangan pengajuan itu diluluskan. Selama beberapa tahun pula musti minta diskon pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang jumlahnya mencapai lebih dari puluhan juta itu.

Berdasar penjelasan pasal 35 Perda Pelestarian Bangunan/Lingkungan Cagar Budaya, yang dimaksud insentif bagi pemilik benda cagar budaya dapat berupa pengurangan atau penghapusan pajak/retribusi atau bantuan biaya pemiliharaan.

“Jadi ada kemungkinan keringanan PBB. Kami harapkan dengan cagar budaya itu (Pusura) sudah tidak lagi bolak-balik minta diskon,” ungkap Zaidun.

Koordinasi Semua Pihak

KONSEKUENSI  dari penetapan itu, semestinya tak cuma soal insentif,  harus pula menimbang nilai bagi pertumbuhan karakter bangsa. Terlebih Pusura, yang berdiri sejak sebelum kemerdekaan tetap hidup hingga sekarang. “Bergerak bidang pendidikan dan sosial. Bermula dari kegiatan sinoman yang  sepele--memperhatikan orang lahir, mati, ngumpul bareng, secara sederhana ala kampung.”

Menurut Zaidun, mempertahankan cagar budaya itu biayanya tidaklah terlalu besar, jika dibandingkan dengan nilai yang ada di situ. Kesadaran seperti itu tidak bisa dibeli. Dirinya menjadi Ketua Pusura juga karena penghargaan pada nilai-nilai. Konkretnya untuk membangun nilai-nilai itu, pemerintah tidak boleh hanya mencat bagus bangunan cagar budayanya saja. Melainkan juga, menjadikan pembelajaran semua warga.

“Pemerintah harus memperhatikan lembaga-lembaga yang menempati atau mengelola cagar budaya itu masih aktif atau tidak. Kalau ada aktivitasnya apa? Coba didorong lagi aktivitas itu selain yang dikerjakan selama ini, berilah misi yang lain—menghidupkan peninggalan sejarah itu. Menuliskan sejarahnya, memvisualkan audio visual, kenangan tertentu sebagai penanda, menjadikan inspirasi semua orang, menjadi objek wisata,” paparnya.

Prof. Zaidun mencontohkan Singapura saat membendung selat kecil untuk jadi penampung air tawar. Ceritanya dan visualisasinya luar biasa, menggali, membuang lumpur, mengganti air laut menjadi air tawar dan manfaatnya begitu besar. Bandingkan, pada Surabaya yang punya sungai begitu banyak, saat Pusura era Toha Naim, mengusulkan tiap satu kilometer agar dibuat palung dalam 5-10 meter, panjang 100 meter. Pemkot tak menggubris. Padahal, jika itu terwujud, lumpur nggak usah tiap hari digali, malah bisa dibersihkan di palung itu setahun atau syukur bila dua bulan sekali.

“Selanjutnya, berilah Pusura kewenangan mengelola kali. Kita tentu berharap seperti Singapura jadi objek, Bangkok juga jadi objek. Saya menyusuri kali di Bangkok dengan kapal pesiar, dan itu bayar mahal,” kenangnya.

Ada hasil studi banding Prof. Zaidun yang menarik dicermati, dan diaplikasikan untuk pengelolaan cagar budaya. Yaitu, pada sekitar sungai Henry di Canada. Pemerintah setempat mengelola kali yang dekat pabrik, dengan memindahkan pabriknya lalu menjadikan bekas pabriknya dan kalinya itu objek wisata.

“Kuncinya koordinasi semua pihak—pemerintah, swasta, masyarakat, dinas pengairan, bank, perindustrian, pendidikan, serikat buruh,”

Saat pemindahan buruh pabrik, mereka ditempatkan di apartemen. Lalu pabrik yang pindah difasilitasi sewa tanpa bayar. Saat mendatangkan teknologi tidak kena pajak dan seterusnya. Semestinya demikian pula dengan cagar budaya di pemerintahan kita.

“Faktanya, di Denpasar saja, saya pernah tahu bagaimana raja-raja di sana ngenes karena merawat keratonnya tiap hari dengan biaya sendiri dan mahal. Sementara pemerintahnya diam saja,”

Terlepas dari harapan itu, bagaimana pun selaku Ketua Pusura, Prof Zaidun menilai bagus dan berterimakasih atas penetapan cagar budaya tersebut.  Walau yang lebih penting adalah menjaga ke masa depannya. Ke depan, menurutnya, mesti dilihat nilai strategis, menulis semangat sejarah, mendokumentasikannya.

“Orang Surabaya kalau rapat dulu kayak apa sih?  Egaliter atau feodal? Dan kami melestarikan nilai itu dari hal kecil, di perkumpulan atau keluarga besar Pusura dengan membiasakan bicara coro Jowo, karakter Surabaya. Biar pun kepada seorang profesor seperti saya,” demikian tuturnya. (S Jai)