(Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Edisi Juli 2012)
Prof. Dr. Muchammad Zaidun, SH., MH:
“Kalau Pemerintah
Gentle, Harusnya Punya Malu”
DASAR
hukum penetapan cagar budaya boleh dikata cukup tua (UU No 5 Tahun 1992), namun
pemerintah tak bisa digugat sekalipun dianggap lalai. Seperti apa yang terjadi
pada Pemkot Surabaya. Semangat Perda No 5 Tahun 2005 yang menyebut cagar budaya
merupakan “kekayaan budaya yang harus
dilestarikan demi pemupukan jati diri bangsa dan kepentingan nasional,”
disebut-sebut hampir tak tersentuh spiritnya.
Setidaknya kesan itu yang tertangkap dari perbincangan ALUR dengan Prof.
Dr. Muchammad Zaidun, SH. MH, Dekan
Fakultas Hukum Universitas Airlangga di kantornya Jl Dharmawangsa Dalam.
“Secara formal masyarakat
tidak bisa menggugat. Hanya bisa berupa sanksi moral saja,” tandas pria yang
juga Ketua organisasi sosial Putera Surabaya atau Pusura itu.
Yang bisa dilakukan sekadar
menuntut tanggungjawab moral sebagai
penguasa yang semestinya memberikan perlindungan dan pengembangan terhadap
peninggalan sejarah.
Dengan kata lain, hal itu tergantung pada sikap mental pemerintah.
Masyarakat, peneliti, budayawan, politisi, seniman yang memberikan reaksi, itu soal
biasa. Tapi dari segi hukum, kalau perda tidak dijalankan, pemerintah tidak ada
sanksi apapun. “Kalau pemerintah gentle,
tidak melakukan (perda) itu ya harusnya punya
malu,” tandas Prof. Zaidun.
Prof. Zaidun punya pengandaian yang menarik soal tanggungjawab pemerintah pada
peninggalan sejarah itu. Bahwa hal itu masalah perhatian saja. Ibarat perhatian
orangtua terhadap anaknya. Biarpun anak itu menuntut atau tidak, perhatian
orangtua tetap harus diberikan. “Itu
jika orangtua yang baik. Pemerintah yang bagus juga harus berbuat demikian,” imbuhnya.
Dasar hukum menurutnya penting, tapi bukan yang terpenting. Yang terpenting adalah demensi kesejarahannya.
Ia mencontohkan, pada masyarakat tradisional yang sifatnya spiritual,
punden-punden, cungkup di
kuburan-kuburan begitu ramai karena mereka punya kepercayaan.
“Jadi ini soal sense dari
pemerintah untuk punya perhatian pada peninggalan sejarah yang punya
nilai-nilai historis, bergantung juga pada persepsi pejabatnya. Pemerintah yang
tak punya penghargaan tinggi pada pahlawan dan seluruh aktivitas pergerakan
mereka, jelas semangatnya pun kecil juga,” ungkapnya.
Sulit dibayangkan, menurutnya, bagaimana bangsa-bangsa barat yang dulu
disebut penjajah pun ternyata kini lebih punya penghargaan yang tinggi pada
sejarah. Kurangnya penghargaan pemerintah kita pada nilai historis itu
menurutnya bisa juga oleh karena tidak ada yang membimbing, memberikan
penjelasan atau informasi.
“Harus jujur diakui, apresiasi kita kurang. Baik
terhadap gedung peninggalan dan juga nilai-nilai yang ada di situ. Yang paling
penting menurut saya, adalah nilainya itu,” tukas guru besar dalam
bidang Ilmu Hukum Investasi tersebut.
Sebagai Ketua Pusura, Prof Zaidun harus akui
bentuk perhatian pemerintah terhadap lembaganya pun sangat kurang. Lebih dari
itu, penghargaan masyarakat terhadap sejarah yang punya nilai yang sangat
esensial juga minim. Dirinya membayangkan Pusura sebagai cagar budaya seperti
patung Liberty di AS simbol
kemerdekaan yang memiliki makna yang sangat luas.
Bolak Balik Minta Diskon
PUSURA (dahulu Poesoera) adalah sebuah organisasi sosial yang lahir
pada 26 September 1936. Para pendiri organisasi ini umumnya tokoh masyarakat
berlatarbelakang politisi, cendekiawan, pendidik dan ulama. Tercatat sederet
nama pendiri yakni: Dr.Sutomo, Dr.Soewandi, Dr.Yahya dan Dr.Samsi. Beberapa
ulama ada KH Mas Mansur, H.Nawawi Amin, Koesnan Effendi, H.Manan Edris dan
H.Hoesein.
“Gedung Pusura dulu tempat berkumpulnya para
pahlawan kita, aktivis yang menggagas suatu perubahan. Itu sangat penting.
Karena itu, gedung-gedung seperti itu dengan isi semangat seperti itu di
dalamnya harus dijaga,” tegas Zaidun.
Bukan hanya gedung Pusura, Zaidun juga
membayangkan andai akses Tugu Pahlawan bisa dibuka lebih leluasa dan tidak
hanya berfungsi untuk kegiatan upacara saja. “Tugu Pahlawan, sekali waktu mbok nggak usah pakai karcis masuk,
untuk guru-guru sejarah mengapresiasi bersama anak-anak SD. Kelihatannya rugi kalau semua orang masuk
nggak bayar, tetapi nilainya itu tak bisa hargai berapapun.”
Hal yang sama juga bisa terjadi pada Kebun Binatang Surabaya. Kelihatannya
sepele, tapi sejarah ilmu pengetahuan yang dicanangkan Belanda waktu
mendirikan, tentu bukan sembarangan. “Bila orang ekologi yang menjelaskan
kepada muridnya di Kebun Binatang, tentu nilainya luarbiasa,” imbuhnya.
Demikian pula dengan keberadaan rumah Bung Karno (di Pandean Gang IV,
Kelurahan Peneleh Kecamatan Genteng), hal itu bisa menyingkap hubungan yang indah antara Soekarno dan HOS
Tjokroaminoto. Rumahnya kecil dan di tengah kampung dan ditempati oleh dua
orang begitu besar nama dan brilian pikirannya.
Dengan melestarikan nilai-nilai, menjadi tahu
dialog Tjokroaminoto yang tokoh Islam, Bung Karno tokoh Nasionalis. Ternyata
Tjokro yang Islamis pun menjadi Nasionalis. Soekarno yang Nasionalis juga
Islamis. Sehingga buku sejarah tidak
perlu terlalu banyak menerangkan etos Bung Karno sebagai seorang pahlawan.
Cukup dengan budi pekerti bisa menjadi orang besar. Belajarnya dari orang yang
sederhana seperti Tjokroaminoto.
Jadi bentuk perhatian yang mesti diberikan
pemerintah pada cagar budaya adalah secara teknis perawatan gedung. Berikutnya,
mendorong apresiasi pelaku sejarah dan sejarah yang dibentuk agar memberi
inspirasi generasi muda selanjutnya atau generasi tua yang belum tahu. “Semangatnya
ditujukan orang muda supaya belajar secara ideologis terhadap persepsi sejarah
yang berkembang pada saat itu,” tukasnya.
Gedung Pusura sudah sejak kepemimpinan H
Kadaruslan diajukan oleh Tim Cagar Budaya, dan baru beberapa minggu belakangan
pengajuan itu diluluskan. Selama beberapa tahun pula musti minta diskon
pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan yang jumlahnya mencapai lebih dari puluhan
juta itu.
Berdasar penjelasan pasal 35 Perda Pelestarian
Bangunan/Lingkungan Cagar Budaya, yang dimaksud insentif bagi pemilik benda
cagar budaya dapat berupa pengurangan atau penghapusan pajak/retribusi atau
bantuan biaya pemiliharaan.
“Jadi ada kemungkinan keringanan PBB. Kami harapkan
dengan cagar budaya itu (Pusura) sudah tidak lagi bolak-balik minta diskon,”
ungkap Zaidun.
Koordinasi Semua Pihak
KONSEKUENSI dari penetapan itu, semestinya tak cuma soal
insentif, harus pula menimbang nilai
bagi pertumbuhan karakter bangsa. Terlebih Pusura, yang berdiri sejak sebelum
kemerdekaan tetap hidup hingga sekarang. “Bergerak bidang pendidikan dan sosial.
Bermula dari kegiatan sinoman yang sepele--memperhatikan orang lahir, mati,
ngumpul bareng, secara sederhana ala kampung.”
Menurut Zaidun, mempertahankan cagar budaya itu
biayanya tidaklah terlalu besar, jika dibandingkan dengan nilai yang ada di
situ. Kesadaran seperti itu tidak bisa dibeli. Dirinya menjadi Ketua Pusura
juga karena penghargaan pada nilai-nilai. Konkretnya untuk membangun
nilai-nilai itu, pemerintah tidak boleh hanya mencat bagus bangunan cagar
budayanya saja. Melainkan juga, menjadikan pembelajaran semua warga.
“Pemerintah harus memperhatikan lembaga-lembaga
yang menempati atau mengelola cagar budaya itu masih aktif atau tidak. Kalau
ada aktivitasnya apa? Coba didorong lagi aktivitas itu selain yang dikerjakan
selama ini, berilah misi yang lain—menghidupkan peninggalan sejarah itu.
Menuliskan sejarahnya, memvisualkan audio visual, kenangan tertentu sebagai
penanda, menjadikan inspirasi semua orang, menjadi objek wisata,” paparnya.
Prof. Zaidun mencontohkan Singapura saat
membendung selat kecil untuk jadi penampung air tawar. Ceritanya dan
visualisasinya luar biasa, menggali, membuang lumpur, mengganti air laut
menjadi air tawar dan manfaatnya begitu besar. Bandingkan, pada Surabaya yang
punya sungai begitu banyak, saat Pusura era Toha Naim, mengusulkan tiap satu
kilometer agar dibuat palung dalam 5-10 meter, panjang 100 meter. Pemkot tak
menggubris. Padahal, jika itu terwujud, lumpur nggak usah tiap hari digali, malah
bisa dibersihkan di palung itu setahun atau syukur bila dua bulan sekali.
“Selanjutnya, berilah Pusura kewenangan mengelola
kali. Kita tentu berharap seperti Singapura jadi objek, Bangkok juga jadi
objek. Saya menyusuri kali di Bangkok dengan kapal pesiar, dan itu bayar
mahal,” kenangnya.
Ada hasil studi banding Prof. Zaidun yang menarik
dicermati, dan diaplikasikan untuk pengelolaan cagar budaya. Yaitu, pada
sekitar sungai Henry di Canada. Pemerintah setempat mengelola kali yang dekat
pabrik, dengan memindahkan pabriknya lalu menjadikan bekas pabriknya dan
kalinya itu objek wisata.
“Kuncinya koordinasi semua pihak—pemerintah,
swasta, masyarakat, dinas pengairan, bank, perindustrian, pendidikan, serikat
buruh,”
Saat pemindahan buruh pabrik, mereka ditempatkan
di apartemen. Lalu pabrik yang pindah difasilitasi sewa tanpa bayar. Saat
mendatangkan teknologi tidak kena pajak dan seterusnya. Semestinya demikian
pula dengan cagar budaya di pemerintahan kita.
“Faktanya, di Denpasar saja, saya pernah tahu
bagaimana raja-raja di sana ngenes
karena merawat keratonnya tiap hari dengan biaya sendiri dan mahal. Sementara
pemerintahnya diam saja,”
Terlepas dari harapan itu, bagaimana pun selaku
Ketua Pusura, Prof Zaidun menilai bagus dan berterimakasih atas penetapan cagar
budaya tersebut. Walau yang lebih
penting adalah menjaga ke masa depannya. Ke depan, menurutnya, mesti dilihat
nilai strategis, menulis semangat sejarah, mendokumentasikannya.
“Orang Surabaya kalau rapat dulu kayak apa sih? Egaliter atau feodal? Dan kami melestarikan
nilai itu dari hal kecil, di perkumpulan atau keluarga besar Pusura dengan
membiasakan bicara coro Jowo,
karakter Surabaya. Biar pun kepada seorang profesor seperti saya,” demikian
tuturnya. (S Jai)