Bahasa Anak
dan Benih Koruptif
Oleh S.
JAI
DALAM beberapa tahun terakhir,
saya terlibat kegiatan penjurian kompetisi siswa di bidang mengarang. Karya
yang dinilai adalah buah dari tulisan siswa kelas 4-5 Sekolah Dasar. Jumlahnya
mencapai ribuan siswa berasal dari 50-60 sekolah di seluruh pelosok tanah air
dalam setiap tahunnya. Kegiatan yang diselenggarakan oleh CSR sebuah perusahaan besar itu pun setiap tahunnya mensyaratkan puluhan
sekolah yang menjadi peserta kompetisi siswa tersebut terus berganti.
Kendati bagi para pemenang lomba mengarang
tersebut nantinya tidak berarti dicetak kelak di suatu masa selaku pengarang,
namun kepedulian pada kemampuan berbahasa bagi anak-anak oleh perusahaan
tersebut jelas sebuah perhatian yang tidak kecil—terlebih bilamana ada
tindaklanjut yang memadai dari kegiatan itu—termasuk seperti inilah harapan
dari tulisan ini saya munculkan.
Kegiatan tersebut jelas memiliki proses yang
bisa dipertanggungjawabkan, dan hal inilah yang justru tidak bisa menjadi
materi eksekusi selaku juri pada siswa untuk menentukan pemenang. Sebagai juri yang bisa dilakukan hanyalah menyeleksi,
memilih dan menentukan para pemenang sebagai satu cara untuk menangkap kekayaan
potensi-potensi terbaik, kecerdasan, keberanian, tanggungjawab, kreativitas
yang dimiliki anak-anak yang sudah barang tentu berguna bagi masa depannya.
Bahwa kelak di kemudian hari sebagai ilmuwan
semua orang musti punya kemampuan yang anak-anak punyai sekarang ini: sense
of estetik dan sense of artistik—kecerdasan dan rasa keindahan. Yaitu
kemampuan menangkap visi dari citra realitas melalui seluruh daya cerap
pengindraannya, yang dimunculkan dalam hasil karangannya. Oleh sebab itu, inilah
tentunya yang dibutuhkan setiap juri untuk punya ‘kepercayaan diri’ berdasarkan
standar pengetahuannya agar penilaian tidak luput—walau kemungkinan luput tentu
masih berdiam diri di sana.
Pekerjaan pertama juri adalah menyusun
kerangka atau konsep dasar penilaian yang bermula dari pelbagai keragaman
persepsi, pengetahuan. Walaupun suatu kemustahilan menyusun kesamaan persepsi
atas tafsir estetik dan artistik, namun secara umum aspek kesenian secara
konseptual dapat diberikan standarisasi ke dalam kriteria-kriteria. Oleh karena
itu penyusunan kriteria didasari atas spirit kekayaan tafsir dan ‘potensi’
berbeda sehingga menumbuhkan keterbukaan olah pikir dan olah rasa sebagai
tanggungjawab kreatif untuk tidak berhenti pada ‘harga mati.’
Pada titik inilah baik selaku juri maupun
peserta kompetisi mengarang sama-sama mendayabudikan satu hal modal kreativitas
yang sangat penting yakni kebebasan—yakni kemungkinan ruang-ruang eksploratif. Secara teknis penjabarannya meliputi; penguasaan bahasa Indonesia yang baik, mempertimbangkan ilmu kalimat, efektivitas, kualitas, kreativitas, logika berbahasa,
gaya bahasa. Lalu teknik penulisan/gaya:
bentuk karangan yang akan mempengaruhi gaya siswa dalam mengekplorasi aspek
kognisi (keyakinan pada pendapatnya), persepsi (daya nalar yang didorong visi
dan penginderaannya), emosi (keadaan psikis), interpretasi (tafsir) yang
dimilikinya. Kemudian imajinasi: kemampuan
mendiskripsikan abstraksi ide, gagasan,
obsesi, mimpi, fantasi yang dapat diwujudkan. Orisinalitas: Kemampuan eksplorasi
pelbagai aspek diatas ke dalam bentuk artikulasi atau pengucapan bahasa
tulis untuk menjadi ciri khas tersendiri pada karya.
Martabat Bahasa
Persis sebagaimana
terduga, bahwa sebagian besar aspek kemampuan berbahasa siswa
peserta kompetisi mengarang, rendah. Karena penguasaan bahasa merupakan hal
yang paling subtansial dalam kepengarangan, rendahnya kualitas berbahasa pada
sebagian besar karya-karya siswa, tentu saja berdampak besar pada aspek penting
selanjutnya—keraguan memperlihatkan gaya, miskinnya imajinasi dan sudah
barangtentu tidak adanya ekspresi sebagai ciri orisinalitas karya.
Siswa banyak yang tidak punya landasan dalam
ilmu kalimat, paragraf karangan yang semestinya hal itu bisa mencerminkan
struktur berpikir siswa dan struktur karangan sebagai media menyampaikan pesan,
kesan dan gagasannya. Lebih dari itu, masalah orisinalitas karya ini juga
penting menjadi catatan, oleh karena diantara karya-karya siswa yang terbilang
lumayan penggunaan bahasanya, akan tetapi justru didapati ciri-ciri keseragaman
struktur karangan maupun gaya pengucapan.
Walau demikian cukup banyak pula karya-karya
siswa yang memperlihatkan kesadaran yang sangat tinggi pelbagai aspek di atas;
gaya, bahasa, imajinasi dan juga orisinalitas pengucapannya. Itulah sebabnya, para
siswa pemenang yang karyanya terpilih tak lain karena keberhasilan menjaga
intensitas kesadaran, dengan kontrol yang tinggi keseluruhan aspek tersebut,
meskipun tidak jarang justru memperlihatkan diantara aspek-aspek tersebut, satu
atau dua diantaranya begitu menonjol—sebagai satu kenyataan positif.
Pelbagai kenyataan negatif mengiringi proses
belajar dan pendidikan mengarang ini—walaupun masih sebatas dugaan saya bermula
dari persepsi hasil karya siswa tersebut. Bahwa aspek pendidikan pada anak
dalam mengarang sudah barangtentu mensyaratkan kemahiran kemampuan berbahasa sebagai
hal paling fundamen mengingat bahasa adalah medium
mengarang. Pertanyaannya, mengapa sspek inilah justru justru terbanyak menjatuhkan karya siswa—sebagaiman
kita semua bisa menduganya?
Terhitung sangat kecil siswa yang memiliki kemampuan bahasa Indonesia
yang lumayan baik. Bahkan secara ekstrem tidak sedikit siswa yang dalam hitungan jari bisa dikategorikan “frustasi” berbahasa
dengan menuliskan satu dua alenia karangannya, selebihnya ditulis huruf atau
gambar yang tak terbaca. Asumsi awal saya adalah menentukan tema
karangan tertentu pada anak bukanlah hal sepele. Mengingat tema adalah kerangka
karangan yang bisa jadi mempersulit kerangka berpikir anak yang cenderung tidak
terstruktur baik, sementara bahasa pada anak seakan memiliki kerangkanya
sendiri.
Tentu saja kesulitan pemahaman ini menjadi kendala utama siswa, yang seakan terabaikan oleh pembimbing yang semestinya lebih inten memberikan
pemahaman pada
tema tertentu. Lain soal bila (dan
ini sangat mungkin) pembimbing pun kesulitan memberikan pemahaman tema itu pada
para siswa oleh karena kekurangpahaman pula yang menyebabkan kesulitan ataukah
akibat alasan lain.
Semisal pada tema ‘cita-cita’, terbukti jumlah terbesar karya siswa merujuk pada sosok dokter, guru dan
pemain sepakbola. Yaitu sosok dokter atau guru sebagai bentuknya, bukan pada
bagaimana keteguhan seorang anak dalam pikirannya setiap hari pada seorang
dokter atau guru. Karena itu tidak heran misalnya, bila kendati banyak karya
berkisah tentang cita-cita menjadi pemain sepakbola, entah mengapa anak-anak
yang bercita-cita ini kualitas tulisannya buruk, jikapun aspek berbahasanya
lumayan tetapi jatuh pada pengidolaan pemain bola maupun klub sepakbola
Indonesia maupun dunia. Sekali lagi bukan lantaran keteguhan dalam pikirannya
bagaimana hasratnya itu mempengaruhi kehidupan sehari-harinya.
Kesulitan dan kekurangpahaman tersebut akhirnya mengganggu siswa yang
tentu saja telah memperlihatkan tingkat kecerdasan yang sangat baik dan ini tentu sangat disayangkan. Yaitu,
besarnya campur tangan orang lain (mungkin guru pendidik, orangtua atau siapa
saja).
Banyak motif yang bisa ditangkap atas bentuk campur
tangan tersebut. Diantaranya; pada karya-karya siswa sekolah tertentu terdapat
awal karangan yang seragam yang jumlahnya cukup banyak. Kemudian, ada pula satu
karya yang ditulis oleh lebih dari satu orang dengan gaya tulis maupun gaya
penuturan oleh penulis yang jauh berbeda. Dan yang jumlahnya cukup banyak
adalah ada karya-karya siswa satu sekolah yang kualitas bahasanya sangat
sempurna, lancar, meskipun kualitas karyanya tidaklah cukup baik.
Bentuk pemaksaan diri seperti itu jelas sekali terlihat dari analisis
bahasa. Dalam alam pikiran anak yang jernih, dan semestinya tercermin pada
ragam bahasa anak, sayangnya, ada tangan dan pikiran lain yang memaksa masuk
dan membentuk bahasa menjadi bukan bahasa sederhana, lugu, jernih yang menjadi
hak anak-anak, sebaliknya bahasa menjadi sangat rumit, canggih dan sangat dewasa, sehingga tidak ada lagi keunikan yang khas pula dalam alam
pikiran, emosi dan penuturan/artikulasi bila benar-benar dituliskan oleh
anak-anak.
Dengan kata lain, justru dengan
bahasa yang sangat sempurna tersebut memperlihatkan secara psikis mustahil
terjadi pada anak-anak. Keraguan yang ditimbulkan dari analisis bahasa seperti
itu menerbitkan kesepahaman antara juri yang mempertanyakan aspek orisinalitas
karangan karya siswa. Jelaslah
hal ini adalah benih koruptif dalam arti sempit yang berpeluang meluas dan merusak niat baik bangun pendidikan mengarang dan berbangsa yang bermartabat.
Harga
yang Tak Tertebus
Pada kenyataannya, meski siswa diberi ruang bentuk karangan yang sebebas-bebasnya, namun
siswa memilih
pada sebagian besar tulisan mereka bersifat eksposisi yang mempersempit ruang imaji, persepsi,
intuisi dan bahkan intepretasi anak yang memang terbatas. Itulah kiranya jawaban
dari pertanyaan mengapa jumlah yang sangat besar topik karangan siswa berkisar
seputar profesi dokter, guru, pemain sepakbola. Jumlah yang sangat kecil yang
mengambil topik juru masak, polisi, pilot, arsitek. Uniknya dari jumlah yang
kecil tersebut karya mereka justru kualitasnya di atas rata-rata siswa.
Jenis tulisan yang bersifat ekspositori adalah tulisan yang tujuan utamanya mengklarifikasi, menjelaskan,
mendidik, atau mengevaluasi suatu persoalan.
Eksposisi mengandalkan strategi pengembangan paragraf seperti dengan
memberikan contoh, proses, sebab-akibat, klasifikasi, definisi, analisis,
komparasi, dan kontras.
Kecil sekali siswa yang berani mengambil jalan
lain merebut jenis tulisan yang lebih
diupayakan mengembangkan kemampuan yang bersifat deskriptif (pelukisan)—model tulisan yang sepatutnya
ditumbuhkembangkan siswa. Yakni tulisan
yang lebih memberi gambaran verbal terhadap sesuatu yang
ditulis, baik itu manusia, objek, penampilan, pemandangan, atau kejadian, yang juga memungkinkan dalam visualisasi. Sejenis kemampuan penulisan untuk menggambarkan suatu objek sedemikian rupa sehingga pembaca seolah-olah
melihat sendiri, mengalami, dan merasakan apa yang terjadi sebagaimana
dipersepsikan oleh panca indera. Atau bisa juga pada anak-anak dikembangkan
kemampuan jenis tulisan yang bersifat naratif
(bercerita)—rangkaian suatu fakta peristiwa atau kejadian secara kronologis. Narasi bisa bergaya
sudut pandang orang pertama sehingga terasa gaya subjektivitas
penulis, atau orang ketiga yang akan terasa sangat objektif.
Diantara para siswa dengan
karangan terbaik, justru adalah dari jumlah yang kecil merebut jalan lain model tulisan deskriptif
dan berhasil memikat dengan kualitas bahasanya yang jernih dan sudah barang
tentu lebih kaya bila ditinjau dari pelbagai aspek dan prespektif sebagai suatu
karangan yang utuh.
Dari jumlah ribuan (bahkan puluhan ribu)
karya itu, dalam hitungan jari saya temukan sejumlah karangan siswa yang mendekati sempurna dengan kekuatan aspek-aspek dasarnya pada
masing-masing pilihan bentuk karangan. Sempurna karena pilihan bentuknya yang mensublim menjadi cerita pendek, gabungan dari
catatan perjalanan dan esai naratif. Kejutan-kejutan bahasanya yang kuat,
tangkas dan cerdas membuktikan karangan ini kuat pada pelbagai aspek kriteria
lomba, baik dari sisi imajinasi, persepsi, intuisi bahkan improvisasi menambah
daya tarik pesannya.
Lalu beberapa karangan siswa yang memperlihatkan aspek kognitifnya kuat,
persepsi atas keyakinan, keteguhan akan
pendapatnya matang. Dukungan pengetahuannya yang baik, penguasaan bahasa
Indonesia yang lancar, mendorongnya memiliki gaya bercerita yang cukup memikat
dan daya artikulatif yang bagus. Dengan kata lain, pengarang ini memiliki
kemampuan dan bakat bercerita yang sangat baik dari pilihan bentuk prosa
eksposisi.
Kemudian sedikit karangan yang bahasanya sangat sederhana, ringkas dan tidak berpanjang-panjang, mirip
dengan model tulisan jurnalistik yang
hemat, lugas tetapi jelas.
Kehebatan penulis ini, justru dengan kesederhanaan pilihan bentuknya
itu, ia sanggup melengkapi dengan sungguh-sungguh pelbagai aspek kriteria
karangan yang bagus, imajiasi, intuisi dan matang pada persepsi tema yang
dipilihnya. Hanya penulis yang paham
dunia yang dipikirkannya (tema) yang bisa menyampaikan dengan sederhana tapi
komplet muatannya.
Dengan kata lain, walau sedikit dari dari
dunia berpikir anak-anak seperti itu, anak-anak memiliki dunia berpikir dan
kemampuan menulis yang boleh jadi sedikit pula dipunyai manusia dewasa kini.
Yakni memperlihatkan kecenderungan kemampuan mengekplorasi dengan sangat berani
dan menonjol aspek yang sangat penting dalam dunia kepengarangan, yakni
imajinasi. Selain stamina, spirit dan mental pengarang yang sangat bagus dan
inten dalam karyanya sejak kalimat pertama hingga akhir karangan. Tak
terkecuali kecermatan dan kecerdikan memberi nilai tambah karangan dengan mengekplorasi
pengalaman pribadi sebagai karya yang utuh. Sehingga artikulasi karya, yang
berpengaruh pada gaya menulis menjadi menonjol dan enak dibaca.
Bahkan terdapat karya yang memperlihatkan
alur karangan yang runtut dan kuat, dengan diskripsi yang detil serta muatan
kritik yang diselipkannya dengan sadar. Meskipun dalam dunia anak, wajar
bilamana ditemukan kesalahan kata yang sebagai kesalahan teknis dalam
kepengarangan. Dalam dunia kepengarangan, kesalahan teknis tidak berpengaruh
penting pada kualitas karya. Kesalahan semacam itu tidak sebanding dengan
semisal temuan idenya yang menarik, dan penggunaan bahasanya baik dan lancar
atau buah karyanya yang hidup dengan
orisinalitas pengucapan yang jelas—suatu harga yang tak tertebus oleh apa pun,
bahkan oleh nilai nominal juara sebagai hadiahnya.
Sebagai penutup, sekali lagi saya perlu
sampaikan ulang harapan dan maksud dari tulisan ini tak lain demi tindak lanjut
dari suatu proses pendidikan. Adalah hanya setitik kecil cara menimbang,
menilai, memberi arti berdasar pengetahuan tertentu. Meski demikian timbangan dan nilai
sesungguhnya adalah bergantung pada semangat dalam proses belajar pada waktu
selanjutnya dan tentu saja berkat ‘campur tangan’ dan kehendak Tuhan nantinya. Sayang, bila pada 25 tahun mendatang—saat
anak-anak ini telah tumbuh dewasa—ketika Kamus Besar Bahasa Indonesia semakin
kaya, justru pengguna bahasa yang kreatif di negeri ini kian miskin. []
*) Penulis adalah
pengarang