Senin, 01 Oktober 2012

esai


Bahasa Anak dan Benih Koruptif
Oleh S. JAI


DALAM beberapa tahun terakhir, saya terlibat kegiatan penjurian kompetisi siswa di bidang mengarang. Karya yang dinilai adalah buah dari tulisan siswa kelas 4-5 Sekolah Dasar. Jumlahnya mencapai ribuan siswa berasal dari 50-60 sekolah di seluruh pelosok tanah air dalam setiap tahunnya. Kegiatan yang diselenggarakan oleh CSR sebuah perusahaan besar itu pun setiap tahunnya mensyaratkan puluhan sekolah yang menjadi peserta kompetisi siswa tersebut terus berganti.


Kendati bagi para pemenang lomba mengarang tersebut nantinya tidak berarti dicetak kelak di suatu masa selaku pengarang, namun kepedulian pada kemampuan berbahasa bagi anak-anak oleh perusahaan tersebut jelas sebuah perhatian yang tidak kecil—terlebih bilamana ada tindaklanjut yang memadai dari kegiatan itu—termasuk seperti inilah harapan dari tulisan ini saya munculkan. 

Kegiatan tersebut jelas memiliki proses yang bisa dipertanggungjawabkan, dan hal inilah yang justru tidak bisa menjadi materi eksekusi selaku juri pada siswa untuk menentukan pemenang.  Sebagai juri yang bisa dilakukan hanyalah menyeleksi, memilih dan menentukan para pemenang sebagai satu cara untuk menangkap kekayaan potensi-potensi terbaik, kecerdasan, keberanian, tanggungjawab, kreativitas yang dimiliki anak-anak yang sudah barang tentu berguna bagi masa depannya.

Bahwa kelak di kemudian hari sebagai ilmuwan semua orang musti punya kemampuan yang anak-anak punyai sekarang ini:  sense of estetik dan sense of artistik—kecerdasan dan rasa keindahan. Yaitu kemampuan menangkap visi dari citra realitas melalui seluruh daya cerap pengindraannya, yang dimunculkan dalam hasil karangannya. Oleh sebab itu, inilah tentunya yang dibutuhkan setiap juri untuk punya ‘kepercayaan diri’ berdasarkan standar pengetahuannya agar penilaian tidak luput—walau kemungkinan luput tentu masih berdiam diri di sana.

Pekerjaan pertama juri adalah menyusun kerangka atau konsep dasar penilaian yang bermula dari pelbagai keragaman persepsi, pengetahuan. Walaupun suatu kemustahilan menyusun kesamaan persepsi atas tafsir estetik dan artistik, namun secara umum aspek kesenian secara konseptual dapat diberikan standarisasi ke dalam kriteria-kriteria. Oleh karena itu penyusunan kriteria didasari atas spirit kekayaan tafsir dan ‘potensi’ berbeda sehingga menumbuhkan keterbukaan olah pikir dan olah rasa sebagai tanggungjawab kreatif untuk tidak berhenti pada ‘harga mati.’

Pada titik inilah baik selaku juri maupun peserta kompetisi mengarang sama-sama mendayabudikan satu hal modal kreativitas yang sangat penting yakni kebebasan—yakni kemungkinan ruang-ruang eksploratif.  Secara teknis penjabarannya meliputi; penguasaan bahasa Indonesia yang baik, mempertimbangkan ilmu kalimat, efektivitas, kualitas, kreativitas, logika berbahasa, gaya bahasa. Lalu teknik penulisan/gaya: bentuk karangan yang akan mempengaruhi gaya siswa dalam mengekplorasi aspek kognisi (keyakinan pada pendapatnya), persepsi (daya nalar yang didorong visi dan penginderaannya), emosi (keadaan psikis), interpretasi (tafsir) yang dimilikinya. Kemudian imajinasi: kemampuan mendiskripsikan  abstraksi ide, gagasan, obsesi, mimpi, fantasi yang dapat diwujudkan. Orisinalitas: Kemampuan eksplorasi  pelbagai aspek diatas ke dalam bentuk artikulasi atau pengucapan bahasa tulis untuk menjadi ciri khas tersendiri pada karya.

Martabat Bahasa

Persis sebagaimana terduga, bahwa sebagian besar aspek kemampuan berbahasa siswa peserta kompetisi mengarang, rendah. Karena penguasaan bahasa merupakan hal yang paling subtansial dalam kepengarangan, rendahnya kualitas berbahasa pada sebagian besar karya-karya siswa, tentu saja berdampak besar pada aspek penting selanjutnya—keraguan memperlihatkan gaya, miskinnya imajinasi dan sudah barangtentu tidak adanya ekspresi sebagai ciri orisinalitas karya.

Siswa banyak yang tidak punya landasan dalam ilmu kalimat, paragraf karangan yang semestinya hal itu bisa mencerminkan struktur berpikir siswa dan struktur karangan sebagai media menyampaikan pesan, kesan dan gagasannya. Lebih dari itu, masalah orisinalitas karya ini juga penting menjadi catatan, oleh karena diantara karya-karya siswa yang terbilang lumayan penggunaan bahasanya, akan tetapi justru didapati ciri-ciri keseragaman struktur karangan maupun gaya pengucapan.

Walau demikian cukup banyak pula karya-karya siswa yang memperlihatkan kesadaran yang sangat tinggi pelbagai aspek di atas; gaya, bahasa, imajinasi dan juga orisinalitas pengucapannya. Itulah sebabnya, para siswa pemenang yang karyanya terpilih tak lain karena keberhasilan menjaga intensitas kesadaran, dengan kontrol yang tinggi keseluruhan aspek tersebut, meskipun tidak jarang justru memperlihatkan diantara aspek-aspek tersebut, satu atau dua diantaranya begitu menonjol—sebagai satu kenyataan positif.

Pelbagai kenyataan negatif mengiringi proses belajar dan pendidikan mengarang ini—walaupun masih sebatas dugaan saya bermula dari persepsi hasil karya siswa tersebut. Bahwa aspek pendidikan pada anak dalam mengarang sudah barangtentu mensyaratkan kemahiran kemampuan berbahasa sebagai hal paling fundamen mengingat bahasa adalah medium mengarang.  Pertanyaannya, mengapa sspek inilah justru justru terbanyak menjatuhkan karya siswa—sebagaiman kita semua bisa menduganya?

Terhitung sangat kecil siswa yang memiliki kemampuan bahasa Indonesia yang lumayan baik. Bahkan secara ekstrem tidak sedikit siswa yang dalam hitungan jari bisa dikategorikan “frustasi” berbahasa dengan menuliskan satu dua alenia karangannya, selebihnya ditulis huruf atau gambar yang tak terbaca.  Asumsi awal saya adalah menentukan tema karangan tertentu pada anak bukanlah hal sepele. Mengingat tema adalah kerangka karangan yang bisa jadi mempersulit kerangka berpikir anak yang cenderung tidak terstruktur baik, sementara bahasa pada anak seakan memiliki kerangkanya sendiri.

Tentu saja kesulitan pemahaman ini menjadi kendala utama siswa, yang seakan terabaikan oleh pembimbing yang semestinya lebih inten memberikan pemahaman pada tema tertentu. Lain soal bila (dan ini sangat mungkin) pembimbing pun kesulitan memberikan pemahaman tema itu pada para siswa oleh karena kekurangpahaman pula yang menyebabkan kesulitan ataukah akibat alasan lain. 

Semisal pada tema ‘cita-cita’, terbukti jumlah terbesar karya siswa merujuk pada sosok dokter, guru dan pemain sepakbola. Yaitu sosok dokter atau guru sebagai bentuknya, bukan pada bagaimana keteguhan seorang anak dalam pikirannya setiap hari pada seorang dokter atau guru. Karena itu tidak heran misalnya, bila kendati banyak karya berkisah tentang cita-cita menjadi pemain sepakbola, entah mengapa anak-anak yang bercita-cita ini kualitas tulisannya buruk, jikapun aspek berbahasanya lumayan tetapi jatuh pada pengidolaan pemain bola maupun klub sepakbola Indonesia maupun dunia. Sekali lagi bukan lantaran keteguhan dalam pikirannya bagaimana hasratnya itu mempengaruhi kehidupan sehari-harinya.

Kesulitan dan kekurangpahaman tersebut akhirnya mengganggu siswa yang tentu saja telah memperlihatkan tingkat kecerdasan yang sangat baik dan ini tentu sangat disayangkan.  Yaitu, besarnya campur tangan orang lain (mungkin guru pendidik, orangtua atau siapa saja). Banyak motif yang bisa ditangkap atas bentuk campur tangan tersebut. Diantaranya; pada karya-karya siswa sekolah tertentu terdapat awal karangan yang seragam yang jumlahnya cukup banyak. Kemudian, ada pula satu karya yang ditulis oleh lebih dari satu orang dengan gaya tulis maupun gaya penuturan oleh penulis yang jauh berbeda. Dan yang jumlahnya cukup banyak adalah ada karya-karya siswa satu sekolah yang kualitas bahasanya sangat sempurna, lancar, meskipun kualitas karyanya tidaklah cukup baik.

Bentuk pemaksaan diri seperti itu jelas sekali terlihat dari analisis bahasa. Dalam alam pikiran anak yang jernih, dan semestinya tercermin pada ragam bahasa anak, sayangnya, ada tangan dan pikiran lain yang memaksa masuk dan membentuk bahasa menjadi bukan bahasa sederhana, lugu, jernih yang menjadi hak anak-anak, sebaliknya bahasa menjadi sangat rumit, canggih  dan sangat dewasa, sehingga tidak ada lagi keunikan yang khas pula dalam alam pikiran, emosi dan penuturan/artikulasi bila benar-benar dituliskan oleh anak-anak.

Dengan kata lain,  justru dengan bahasa yang sangat sempurna tersebut memperlihatkan secara psikis mustahil terjadi pada anak-anak. Keraguan yang ditimbulkan dari analisis bahasa seperti itu menerbitkan kesepahaman antara juri yang mempertanyakan aspek orisinalitas karangan karya siswa. Jelaslah hal ini adalah benih koruptif dalam arti sempit yang berpeluang meluas dan merusak niat baik bangun pendidikan mengarang dan berbangsa yang bermartabat.


Harga yang Tak Tertebus

Pada kenyataannya, meski siswa diberi ruang bentuk karangan yang sebebas-bebasnya, namun siswa memilih pada sebagian besar tulisan mereka bersifat eksposisi yang mempersempit ruang imaji, persepsi, intuisi dan bahkan intepretasi anak yang memang terbatas. Itulah kiranya jawaban dari pertanyaan mengapa jumlah yang sangat besar topik karangan siswa berkisar seputar profesi dokter, guru, pemain sepakbola. Jumlah yang sangat kecil yang mengambil topik juru masak, polisi, pilot, arsitek. Uniknya dari jumlah yang kecil tersebut karya mereka justru kualitasnya di atas rata-rata siswa.

Jenis tulisan yang bersifat ekspositori adalah tulisan yang tujuan utamanya mengklarifikasi, menjelaskan, mendidik, atau mengevaluasi suatu persoalan.  Eksposisi mengandalkan strategi pengembangan paragraf seperti dengan memberikan contoh, proses, sebab-akibat, klasifikasi, definisi, analisis, komparasi, dan kontras.

Kecil sekali siswa yang berani mengambil jalan lain merebut jenis tulisan yang lebih diupayakan mengembangkan kemampuan yang bersifat deskriptif (pelukisan)—model tulisan yang sepatutnya ditumbuhkembangkan siswa.  Yakni tulisan yang lebih memberi gambaran verbal terhadap sesuatu yang ditulis, baik itu manusia, objek, penampilan, pemandangan, atau kejadian, yang juga memungkinkan dalam visualisasi.  Sejenis kemampuan penulisan untuk menggambarkan suatu objek sedemikian rupa sehingga pembaca seolah-olah melihat sendiri, mengalami, dan merasakan apa yang terjadi sebagaimana dipersepsikan oleh panca indera.  Atau bisa juga pada anak-anak dikembangkan kemampuan jenis tulisan yang bersifat naratif (bercerita)—rangkaian suatu fakta peristiwa atau kejadian secara kronologis. Narasi bisa bergaya sudut pandang orang pertama sehingga terasa gaya subjektivitas penulis, atau orang ketiga yang akan terasa sangat objektif.

Diantara para siswa dengan karangan terbaik, justru adalah dari jumlah yang kecil merebut jalan lain model tulisan deskriptif dan berhasil memikat dengan kualitas bahasanya yang jernih dan sudah barang tentu lebih kaya bila ditinjau dari pelbagai aspek dan prespektif sebagai suatu karangan yang utuh.

Dari jumlah ribuan (bahkan puluhan ribu) karya itu, dalam hitungan jari saya temukan sejumlah karangan siswa yang mendekati sempurna dengan kekuatan aspek-aspek dasarnya pada masing-masing pilihan bentuk karangan. Sempurna karena pilihan bentuknya yang mensublim menjadi cerita pendek, gabungan dari catatan perjalanan dan esai naratif. Kejutan-kejutan bahasanya yang kuat, tangkas dan cerdas membuktikan karangan ini kuat pada pelbagai aspek kriteria lomba, baik dari sisi imajinasi, persepsi, intuisi bahkan improvisasi menambah daya tarik pesannya.

Lalu beberapa karangan siswa yang memperlihatkan aspek kognitifnya kuat, persepsi atas keyakinan, keteguhan akan pendapatnya matang. Dukungan pengetahuannya yang baik, penguasaan bahasa Indonesia yang lancar, mendorongnya memiliki gaya bercerita yang cukup memikat dan daya artikulatif yang bagus. Dengan kata lain, pengarang ini memiliki kemampuan dan bakat bercerita yang sangat baik dari pilihan bentuk prosa eksposisi.

Kemudian sedikit karangan yang bahasanya sangat sederhana, ringkas dan tidak berpanjang-panjang, mirip dengan model tulisan jurnalistik yang  hemat, lugas tetapi jelas.  Kehebatan penulis ini, justru dengan kesederhanaan pilihan bentuknya itu, ia sanggup melengkapi dengan sungguh-sungguh pelbagai aspek kriteria karangan yang bagus, imajiasi, intuisi dan matang pada persepsi tema yang dipilihnya.  Hanya penulis yang paham dunia yang dipikirkannya (tema) yang bisa menyampaikan dengan sederhana tapi komplet muatannya.

Dengan kata lain, walau sedikit dari dari dunia berpikir anak-anak seperti itu, anak-anak memiliki dunia berpikir dan kemampuan menulis yang boleh jadi sedikit pula dipunyai manusia dewasa kini. Yakni memperlihatkan kecenderungan kemampuan mengekplorasi dengan sangat berani dan menonjol aspek yang sangat penting dalam dunia kepengarangan, yakni imajinasi. Selain stamina, spirit dan mental pengarang yang sangat bagus dan inten dalam karyanya sejak kalimat pertama hingga akhir karangan. Tak terkecuali kecermatan dan kecerdikan memberi nilai tambah karangan dengan mengekplorasi pengalaman pribadi sebagai karya yang utuh. Sehingga artikulasi karya, yang berpengaruh pada gaya menulis menjadi menonjol dan enak dibaca.

Bahkan terdapat karya yang memperlihatkan alur karangan yang runtut dan kuat, dengan diskripsi yang detil serta muatan kritik yang diselipkannya dengan sadar. Meskipun dalam dunia anak, wajar bilamana ditemukan kesalahan kata yang sebagai kesalahan teknis dalam kepengarangan. Dalam dunia kepengarangan, kesalahan teknis tidak berpengaruh penting pada kualitas karya. Kesalahan semacam itu tidak sebanding dengan semisal temuan idenya yang menarik, dan penggunaan bahasanya baik dan lancar atau buah karyanya yang hidup  dengan orisinalitas pengucapan yang jelas—suatu harga yang tak tertebus oleh apa pun, bahkan oleh nilai nominal juara sebagai hadiahnya.

Sebagai penutup, sekali lagi saya perlu sampaikan ulang harapan dan maksud dari tulisan ini tak lain demi tindak lanjut dari suatu proses pendidikan. Adalah hanya setitik kecil cara menimbang, menilai, memberi arti berdasar pengetahuan tertentu.  Meski demikian timbangan dan nilai sesungguhnya adalah bergantung pada semangat dalam proses belajar pada waktu selanjutnya dan tentu saja berkat ‘campur tangan’ dan kehendak Tuhan nantinya.  Sayang, bila pada 25 tahun mendatang—saat anak-anak ini telah tumbuh dewasa—ketika Kamus Besar Bahasa Indonesia semakin kaya, justru pengguna bahasa yang kreatif di negeri ini kian miskin. []


 *) Penulis adalah pengarang