Kamis, 04 Oktober 2012

kredo

Seakan menguak sisi gelap 
masuknya Islam 
di tanah Jawa
S. Jai*)



Konon, dalam ramalan Sabdo Palon dan Noyo Genggong dikisahkan; sebelum berpisah dengan junjungannya raja Majapahit Prabu Brawijaya, Sabdo Palon mengingatkan, kelak ajaran Budha bangkit dari tidurnya yang lebih 500 tahun lamanya. Kedatangannya kembali itu akan ditandai dengan takdir gelegarnya Merapi dan mengalirkan lahar yang tak sedap ke arah barat daya.



Kisah itu mengemuka disela istirah dari lelah psikis dan fisik Sang Prabu dalam pengejaran tentara Demak dibawah Raden Patah. Saat di Blambangan, di pinggir sebuah mata air, Sang Prabu yang pikirannya gelap dan menyendiri bermaksud mengajak dua abdi dalemnya, Sabdo Palon dan Noyo Genggong masuk Islam.


Kontan ketika itulah, Sabdo Palon dan Noyo Genggong yang mengaku telah berumur 2000 tahun menegaskan diri menolak ajakan Sang Prabu. “Hamba mengasuh penurun raja-raja Jawa. Jika hamba tidur sampai 200 tahun, selama hamba tidur selalu ada perang saudara, saling bunuh sesama bangsa sendiri,” tandasnya.


Suntuk


Mitos ini mengingatkan saya pada seorang teman dari Madura yang mengaku suntuk membaca novel saya,Tanha, lalu berpesan pada saya yang saya tangkap bernada seakan-akan novel ini menggali nilai-nilai Budhisme. Lalu kembali saya baca-baca, buku, internet. Ujungnya, saya pikir, biarlah itu pikiran pembaca kendati tentu saja timbul pikiran reka-reka di otak saya, apa kiranya penyebab pembaca berpikir demikian. 


Barangkali saja, tafsir kawan di Madura itu didorong anggapan bahwa ada pandangan dunia ataukah motif tertentu di kepala saya, seakan novel ini menegaskan diri pada pembaca, waktu 500 tahun dalam ramalan dua abdi dalem sebagai itu telah tiba pada masa kini. Merapi pun berlipat kali telah menumpahkan laharnya. 


Bahkan mungkin lebih jauh lagi, bahwa sisi gelap perihal masuknya Islam di tanah Jawa seakan dipersoalkan kembali melalui ruang hidup yang berbeda, meski masih berkutat dalam sublimasi spirit yang sama. Terlebih, ruang hidup yang saya pindahkan pada novel ini tidak secara jelas dan tegas menyangkut problem geografis dan etnografis di wilayah tertentu, seakan sengaja menciptakan misteri bagi pembaca. Terhadap hal ini, saya pikir, ya inilah sastra.


Sisi gelap perihal masuknya Islam di tanah Jawa seakan dipersoalkan kembali melalui ruang hidup yang berbeda, meski masih berkutat dalam kecamuk spirit yang sama. Terlebih, ruang hidup yang dipindahkan pengarang novel ini tidak menyangkut problem geografis dan etnografis yang timbul daripadanya. 


Perempuan Islam Bali


Cerita bermula dari takdir Mak Kaji Idayu Kiyati yang telah Islam, janda tua berdarah Bali itu menapaktilasi kembali hidupnya setelah jatuh miskin. Tokoh ini membawa ingatan pembaca bagaimana dahulu para petinggi, empu dan rakyat Majapahit hijrah ke Bali akibat desakan kekuasaan Islam. 


Lalu seorang putrinya, Lastri Srigati yang tak tahu asal-usul darahnya, tergenang dalam belitan yang juga menyeret tiga keturunannya. Srigati, dinikahkan paksa oleh Mak Kaji dengan Matjain, pria pemuja leluhurnya dan mengaku keturunan Sunan Bonang serta punya hubungan khusus dengan trah raja Majapahit, Brawijaya VI. 


Meski demikian saya tidak bermaksud menampilkan novel ini aroma nostalgia kejayaan masa silam. Biarpun tokoh-tokohnya bergelut dengan kemiskinan. Nuansa Kediri yang tampil di satu sisi musti membetot tafsir pembaca pada kekuasaan Prabu Airlangga dan anak turunnya pada masanya. Pada sisi lain, tampak jelas hal itu diusung bukan semata-mata atas nama kekayaan dan kekuasaan. 


Sebaliknya, bersetting sosial kemiskinan sebuah keluarga di dusun kecil ini justru demi melukiskan secara mendalam detil-detil jalan hidup mereka yang harus ditempuh dalam menggempur mitos yang bersulur padanya, dan menanam mitos baru, mencoba rancang bangun harapan baru di suatu masa depan.


Panji


Mitos yang dimaksud tak lain adalah Cerita Panji. Dalam buku Konservasi Budaya Panji (2009), saya sempat menyinggung gagasan karya. Bahwa, Tanha memang diambil dari kosakata Budhisme yang berpegang pada teologi “alam itu abadi tetapi jahat,” dan tanha adalah adalah keinginan atau kecenderungan untuk senantiasa berubah, dan penderitaan (dukkha) membentuk esensinya. 


Pada tahapan ketika Tanha bukan saja berarti keinginan akan dan terikat kepada hawa nafsu, harta benda dan kekuasaan tetapi berarti juga keinginan akan dan terikat kepada ide-ide dan cita-cita, pandangan hidup, opini-opini, teori-teori, konsepsi-konsepsi dan kepercayaan-kepercayaan, maka sebetulnya novel ini berbicara spirit yang lebih esensial, teologis sekaligus filosofis. Yaitu ajaran Tantra dalam spirit budhisme maupun hinduisme.


Dua agama yang belakangan memang getol memadukan ajaran Siva dan Budha dan mengerucut pada masyarakat agama di Bali (dan bahkan termasuk Jainisme di India). Keakraban Buddha kadang-kadang disamakan dengan Visnu, di tempat lain Buddha disamakan dengan Brahma, atau Visnu disejajarkan kedudukannya dengan Śiva, bagaikan keakraban “dua abdi dalem.”


Keakraban yang sama sebagaimana dipancarkan kitab Sotasoma yang secara tidak lengkap dinukil sebagai Bhinneka Tunggal Ika itu. Dalam banyak pendapat, muncul pemikiran telah terjadi distorsi pada idiom sakral ini. Kita tahu Majapahit (1292-1500), juga Kediri dan Singosari adalah puncak-puncak pencapaian tertinggi ajaran Tantra dengan apa yang disebut sinkretisme di samping pada era sebelumnya kerajaan Sriwijaya di Padang Lawas, Sumatra Barat, dan kini pada masyarakat Bali.



Tantra, Mantra, Sastra


Saya musti pertegas bagaimana menimbang Tanha sebagai novel yang sangat liris, prosa yang sangat puitis. Tentu bukan suatu hal yang tanpa landasan. Disamping oleh sebab tradisi sastra kita yang memang berawal dari mantra, pengarang sadar betul bahwa pada tantra, mantra, sastra ada satu garis yang bisa ditarik dalam Tanha melalui akar kata tra (dari bahasa sansekerta) yang berarti yang membebaskan—suatu jalan pembebasan spiritual.


Nyatalah novel ini lebih banyak berbicara perihal spiritual ketimbang kemiskinan dimana tokoh-tokohnya hidup, bergelut dan bergulat padanya. Setidaknya sebagaimana terungkap dari nukilan kegelisahan tokoh-tokohnya tentang penderitaan, nasib, takdir, kemiskinan, trauma jiwa. Juga dipicu kegundahan pengarang pada kisah Sidharta yang saya baca dari Hermann Hesse begitu meneror saya selaku raja tega meninggalkan istri dan anaknya, juga kekayaannya dan kemudian memilih pergi ke belantara. 


Andai derita karena ditinggalkan itu terjadi pada seorang pria. Andai seorang perempuan, istri, ibu kemudian terpilih atas namanya sebagai “nabi” yang menebar harum bagi jiwa-jiwa manusia di semesta ini.


Cukuplah saya tutup tulisan ini--meski bukan berarti simpulan--, sebagaimana penghujung buku ini, bahwa saya telah menuliskan referensi anarkhisme tokoh-tokoh saya yang minta diri untuk dicuri perhatiannya oleh pembaca, bagaimana seorang individualis yang menawar pemberian Tuhan. 


Karena hanya dengan demikian ia bisa bercengkerama dengan dirinya juga dengan penguasa mitos dirinya. …Izinkanlah aku memasukimu, merasukimu, wahai jiwa-jiwa yang terlupakan….



*)Penulis adalah pengarang