Melihat Rokok dari Sisi Terbawah
Oleh Jairi
Irawan*
Sumber:
Majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya, edisi Oktober 2012
Sumber:
Majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya, edisi Oktober 2012
Judul
buku : Khutbah di Bawah
Lembah
Penulis : S. Jai Penerbit : Najah
Cetakan : Pertama, Februari 2012
Tebal : 308 halaman
ISBN : 978-602-191-215-7
“Orang-orang seperti kami lebih banyak bermimpi kerena terus dicekoki mimpi, ketimbang bertindak atas dasar kenyataan. Untuk benar-benar tahu batas mimpi dan kenyataan tidak harus jadi orang besar, tidak harus sekolah tinggi, dan tidak harus hafal ajaran agama. Hanya butuh keberanian saja.”
(Nyonya Mendut)
ATAS, betapapun susah dan mengerikan untuk mencapainya tetap menjadi impian hidup yang purna. Sedangkan bawah, betapapun indah permainya tetap bukanlah
pilihan utama. Bawah hanyalah sampingan ketika suasana atas telah benar-benar suntuk.
Stagnant.
Posisi
di atas akan membuat orang akan dengan mudah memandang ke segala arah. Langit
begitu dekat, kesombongan akan mudah menyeruak. Tetapi, “atas” riskan
menimbulkan kejenuhan apalagi dalam kondisi kesendirian. Satu-satunya hiburan
jika suntuk berada di atas adalah menjadikan diri sok suci, memaki, mengumpat, dan menertawakan segala hal yang di
bawah.
Bergerak
mencari patner, bersosialisasi, menilai diri, tidak akan mudah jika
selalu hidup di atas. Barangkali satu-satunya cara adalah cepat-cepat menginjak
bumi, merasakan kehidupan rakyat bawah karena di situlah segala persoalan
berkecamuk, berkembang, menjalar lalu dengan sendirinya berangsur-angsur memola
menjadi sebuah titik kesimpulan dimana solusi dari segala permasalahan itu
ditemukan. Inilah spirit hidup yang dihamburkan berkali-kali dalam novel karya
S. Jai ini.
Berkhutbah,
mendorong kebaikan tidak harus selalu dari atas mimbar yang cara mendapatkannya
tidak semua orang mampu dan tahu. Apalagi momen bulan puasa seperti ini. Tetapi
mengajak ke dalam kebaikan juga dapat dilakukan di bawah, tempat yang dianggap
kotor, nista, dan tak berdaya.
Sekian
banyak yang “dibawah” diantaranya adalah persoalan rokok. Semua berawal dari
meminjam idiom Taufik Ismail, Tuhan
Sembilan Senti. Barang sepanjang telunjuk jari itu telah menjadi sebab musabab dalam perjalanan sejarah Indonesia
dari bawah hingga atas, dari dulu hingga sekarang. Dari yang sekadar mitos Roro
Mendut di jaman Sultan Agung hingga benar-benar, hingar-bingar menjadi isu nasional
saat ini berupa cukai.
Sejarah
cukai di Indonesia jika ditarik ke belakang barangkali akan berhulu pada kisah
Roro Mendut. Ia seorang gadis pesisir pantai utara yang harus merelakan jiwa
raganya diboyong ke pusat kekuasaan Jawa, Mataram, oleh penakluknya Tumenggung
Wiraguna. Barangkali karena pola pikirnya seluas samudra, gairahnya yang sekuat
ombak membuatnya tidak begitu saja tunduk pada penguasa Mataram. Ia menjadi pengusik
privasi Tumenggung Wiraguna dan Sultan Agung. Sampai pada akhirnya ia terusir
dari istana.
Keterusiran
itu tak membuatnya patah arang. Toh,
gelombang laut tak akan berhenti walaupun karang kokoh menghadang. Riak-riak
air malah selalu muncul setelah gelombang datang. Maka, muncullah ide di kepala
Roro Mendut untuk membuat rokok yang lalu dijualnya dengan servis lumatan
bibirnya pada klobot pembungkus rokok tersebut, alias disedot terlebih dahulu.
Entah
berawal dari gairah atas lumatan bibir Roro Mendut ataukah benar-benar
kenikmatan alami yang ditimbulkan oleh rokok membuat Roro Mendut terkenal di
kalangan masyarakat bawah Mataram. Kemanapun dan dimanapun ia menjajakan rokok
di situ pula rokok tersebut habis ludes tak tersisa. Tak dapat dipungkiri,
Sultan Agung yang merasa “tersaingi” kepopulerannya mewajibkan Roro Mendut
membayar upeti dari kegiatan menjual rokok tersebut. Fakta ini menjadi bukti
bahwa pemimpin adalah penguasa tunggal. Walaupun semu.
Misalnya
dalam bagian Inspirasi Rara Mendut
hal. 112 penggunaan cukai rokok masih simpang siur karena belum adanya regulasi
yang benar-benar implikatif. Dari kesimpangsiuran inilah kemudian menimbulkan
tragedi “saling isap” antara buruh pabrik, perusahaan, dan pemerintah.
Ibaratnya lingkaran setan yang hampir mustahil untuk dilenyapkan.
Perkara
cukai pun semakin ruwet. Peraturan yang (katanya) begitu ketat tak sedikitpun
menggentarkan perusahaan rokok. Alih-alih pemerintah mampu mengontrol
sebaliknya pemerintah yang dikontrol oleh perusahaan rokok. Seperti yang
dilaporkan oleh media bahwa Kediri telah menggunakan 70 persen dana bagi hasil
cukai untuk membeli peralatan pernapasan dan obat-obatan di rumah sakit
gambiran. Perkara yang belum tentu bisa dilakukan sendiri oleh Pemerintah Kota
Kediri. Dana cukai tersebut menjadi sangat inspiratif bagi orang biasa,
pengusaha, pejabat daerah dan pusat (hal. 114).
Inspirasi
ini terlihat dalam “permintaan” THR dari anggota legislatif Kota Kediri
terhadap perusahaan rokok hingga jutaan rupiah tiap anggotanya. Permintaan itu
walaupun baru tercium oleh media hal itu dapat menjadi indikasi bahwa saling isap untuk saling menguntungkan telah
terjadi puluhan tahun (hal. 199).
Kemudian
permasalahan rokok dan cukainya menjadi kian komplek, berjalinkelindan dengan
aspek kehidupan lainnya terutama buruh pabriknya. Di tengah kemiskinan yang
melanda, menjadi buruh pabrik adalah satu-satunya pilihan. Menjadi buruh ibarat
“menghibahkan” hidup pada pabrik. Ia harus mau “disekolahkan” lagi jika hasil
kerja kurang baik. Finalnya adalah pemecatan jika terjadi “penyekolahan” yang
berulang-ulang. Tiada nilai tawar kecuali kepasrahan tersebut.
Bagi
buruh miskin menganggur itu lebih menakutkan daripada bekerja yang berisiko
kehilangan nyawa. Tolok ukur dan harga diri orang miskin terletak pada apakah
ia bekerja atau tidak.
Walaupun
susah kehidupan pun harus tetap berjalan tanpa harus pikir panjang. Para buruh
akan tetap hidup menjalani profesinya sambil berharap suatu saat hidupnya akan
lebih baik.
Setidaknya ini adalah pemikiran tokoh Ibu Mendut di novel ini. Percikan
pemikiran seperti inilah yang diperlukan oleh seluruh bangsa Indonesia yang
sedang dirundung permasalahan yang tak henti-henti. ‘Berbuat sekaligus berharap
suatu saat aka nada nasib baik’ adalah bentuk kesmpulan dari khutbah-khutbah
yang hampir tiap hari menghampiri kita.
Jurnalisme Sastrawi
Kiprah S. Jai dalam kepengarangan
bermula semenjak ia menjadi mahasiswa Fisipol di Universitas Airlangga
Surabaya. Ia telah beberapa kali terlibat dalam pementasan seni maupun teater
yang bertemakan politik seperti “Kami di Depan Republik” yang di gelar di STSI Denpasar
pada 1995 . Setelah itu ia banyak malang melintang menjadi wartawan, pemain
teater, bahkan yang terakhir adalah menjadi aktivis LSM di Surabaya.
Novel Khutbah di Bawah Lembah tidak lain adalah bentuk lain dari
hasil risetnya ketika ia membuat film
Dokumenter tentang kehidupan buruh pabrik, perusahaan rokok,
dan cukai –
film tersebut berjudul Pita Buta – di
wilayah Jawa Timur yang tekenal memiliki banyak pabrik rokok dan mendapat
kucuran bagi hasil cukai terbesar di Indonesia. Kolaborasi antara data yang
kaku dan gaya penulisan sastra mengalir menjadikan novel ini mendekati apa yang
disebut dengan Jurnalisme sastrawi yang beberapa tahun ini merebak di jagat
jurnalistik Indonesia.
Bila melihat dan membaca novel ini
mirip dengan apa yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam
bukunya Elemen-Elemen Jurnalisme (2006) “Bercerita dan informasi bukanlah hal yang
berlawanan. Mereka lebih baik dipahami sebagai dua bagian dalam sebuah
rangkaian komunikasi. Di satu ujung, barangkali, adalah cerita pengantar tidur
yang Anda ceritakan untuk anak-anak Anda yang mungkin tak punya arti selain
melewatkan waktu bersama-sama dengan akrab dan menyenangkan. Di ujung lain
adalah data mentah seperti pertandingan olahraga, buletin komunitas, atau tabel
saham yang sama sekali tak mengandung narasi.”
Lebih lanjut Kovach dan
Rosenstiel menilai bahwa jurnalisme adalah penuturan dengan sebuah tujuan yaitu
menyediakan informasi yang dibutuhkan khalayak untuk memahami dunia. Setidaknya
ada dua syarat untuk memenuhi Jurnalisme versi dua tokoh tersebut, yaitu pertama adalah menemukan informasi yang
dibutuhkan khalayak. Kedua adalah
membuatnya bermakna, relevan, dan enak disimak. S. Jai berhasil menaklukkan dua
tantangan ini.
Buku
ini lebih berwarna lagi karena ada satu bab dituliskannya dalam bentuk naskah drama.
Dengan demikian buku ini bisa dikatakan lebih nge – pop jika dibandingkan dengan karya-karya terdahulunya seperti
Tanah Api dan Tanha.
Dan usaha tersebut perlu diacungi dua jempol. Wallohu a’lam bishshowab[]
*
Penulis adalah
Alumni Pengajar Muda dalam Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar (YGIM)