Senin, 12 November 2012

kritik

Melihat Rokok dari Sisi Terbawah
Oleh Jairi Irawan*

Sumber: 
Majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya, edisi Oktober 2012



Judul buku                   : Khutbah di Bawah Lembah
Penulis                        : S. Jai 
Penerbit                       : Najah
Cetakan                       : Pertama, Februari 2012
Tebal                           : 308 halaman
ISBN                            : 978-602-191-215-7


“Orang-orang seperti kami lebih banyak bermimpi kerena terus dicekoki mimpi, ketimbang bertindak atas dasar kenyataan. Untuk benar-benar tahu batas mimpi dan kenyataan tidak harus jadi orang besar, tidak harus sekolah tinggi, dan tidak harus hafal ajaran agama. Hanya butuh keberanian saja.”

(Nyonya Mendut)


ATAS, betapapun susah dan mengerikan untuk mencapainya tetap menjadi impian hidup yang purna. Sedangkan bawah, betapapun indah permainya tetap bukanlah pilihan utama. Bawah hanyalah sampingan ketika suasana atas telah benar-benar suntuk. Stagnant.

Posisi di atas akan membuat orang akan dengan mudah memandang ke segala arah. Langit begitu dekat, kesombongan akan mudah menyeruak. Tetapi, “atas” riskan menimbulkan kejenuhan apalagi dalam kondisi kesendirian. Satu-satunya hiburan jika suntuk berada di atas adalah menjadikan diri sok suci, memaki, mengumpat, dan menertawakan segala hal yang di bawah.

Bergerak mencari patner,  bersosialisasi, menilai diri, tidak akan mudah jika selalu hidup di atas. Barangkali satu-satunya cara adalah cepat-cepat menginjak bumi, merasakan kehidupan rakyat bawah karena di situlah segala persoalan berkecamuk, berkembang, menjalar lalu dengan sendirinya berangsur-angsur memola menjadi sebuah titik kesimpulan dimana solusi dari segala permasalahan itu ditemukan. Inilah spirit hidup yang dihamburkan berkali-kali dalam novel karya S. Jai ini.

Berkhutbah, mendorong kebaikan tidak harus selalu dari atas mimbar yang cara mendapatkannya tidak semua orang mampu dan tahu. Apalagi momen bulan puasa seperti ini. Tetapi mengajak ke dalam kebaikan juga dapat dilakukan di bawah, tempat yang dianggap kotor, nista, dan tak berdaya.

Sekian banyak yang “dibawah” diantaranya adalah persoalan rokok. Semua berawal dari meminjam idiom Taufik Ismail, Tuhan Sembilan Senti. Barang sepanjang telunjuk jari itu telah menjadi sebab musabab dalam perjalanan sejarah Indonesia dari bawah hingga atas, dari dulu hingga sekarang. Dari yang sekadar mitos Roro Mendut di jaman Sultan Agung hingga benar-benar, hingar-bingar menjadi isu nasional saat ini berupa cukai.

Sejarah cukai di Indonesia jika ditarik ke belakang barangkali akan berhulu pada kisah Roro Mendut. Ia seorang gadis pesisir pantai utara yang harus merelakan jiwa raganya diboyong ke pusat kekuasaan Jawa, Mataram, oleh penakluknya Tumenggung Wiraguna. Barangkali karena pola pikirnya seluas samudra, gairahnya yang sekuat ombak membuatnya tidak begitu saja tunduk pada penguasa Mataram. Ia menjadi pengusik privasi Tumenggung Wiraguna dan Sultan Agung. Sampai pada akhirnya ia terusir dari istana.

Keterusiran itu tak membuatnya patah arang. Toh, gelombang laut tak akan berhenti walaupun karang kokoh menghadang. Riak-riak air malah selalu muncul setelah gelombang datang. Maka, muncullah ide di kepala Roro Mendut untuk membuat rokok yang lalu dijualnya dengan servis lumatan bibirnya pada klobot pembungkus rokok tersebut, alias disedot terlebih dahulu.

Entah berawal dari gairah atas lumatan bibir Roro Mendut ataukah benar-benar kenikmatan alami yang ditimbulkan oleh rokok membuat Roro Mendut terkenal di kalangan masyarakat bawah Mataram. Kemanapun dan dimanapun ia menjajakan rokok di situ pula rokok tersebut habis ludes tak tersisa. Tak dapat dipungkiri, Sultan Agung yang merasa “tersaingi” kepopulerannya mewajibkan Roro Mendut membayar upeti dari kegiatan menjual rokok tersebut. Fakta ini menjadi bukti bahwa pemimpin adalah penguasa tunggal. Walaupun semu.

Misalnya dalam bagian Inspirasi Rara Mendut hal. 112 penggunaan cukai rokok masih simpang siur karena belum adanya regulasi yang benar-benar implikatif. Dari kesimpangsiuran inilah kemudian menimbulkan tragedi “saling isap” antara buruh pabrik, perusahaan, dan pemerintah. Ibaratnya lingkaran setan yang hampir mustahil untuk dilenyapkan.

Perkara cukai pun semakin ruwet. Peraturan yang (katanya) begitu ketat tak sedikitpun menggentarkan perusahaan rokok. Alih-alih pemerintah mampu mengontrol sebaliknya pemerintah yang dikontrol oleh perusahaan rokok. Seperti yang dilaporkan oleh media bahwa Kediri telah menggunakan 70 persen dana bagi hasil cukai untuk membeli peralatan pernapasan dan obat-obatan di rumah sakit gambiran. Perkara yang belum tentu bisa dilakukan sendiri oleh Pemerintah Kota Kediri. Dana cukai tersebut menjadi sangat inspiratif bagi orang biasa, pengusaha, pejabat daerah dan pusat (hal. 114).

Inspirasi ini terlihat dalam “permintaan” THR dari anggota legislatif Kota Kediri terhadap perusahaan rokok hingga jutaan rupiah tiap anggotanya. Permintaan itu walaupun baru tercium oleh media hal itu dapat menjadi indikasi bahwa saling isap untuk saling menguntungkan telah terjadi puluhan tahun (hal. 199).

Kemudian permasalahan rokok dan cukainya menjadi kian komplek, berjalinkelindan dengan aspek kehidupan lainnya terutama buruh pabriknya. Di tengah kemiskinan yang melanda, menjadi buruh pabrik adalah satu-satunya pilihan. Menjadi buruh ibarat “menghibahkan” hidup pada pabrik. Ia harus mau “disekolahkan” lagi jika hasil kerja kurang baik. Finalnya adalah pemecatan jika terjadi “penyekolahan” yang berulang-ulang. Tiada nilai tawar kecuali kepasrahan tersebut.

Bagi buruh miskin menganggur itu lebih menakutkan daripada bekerja yang berisiko kehilangan nyawa. Tolok ukur dan harga diri orang miskin terletak pada apakah ia bekerja atau tidak.

Walaupun susah kehidupan pun harus tetap berjalan tanpa harus pikir panjang. Para buruh akan tetap hidup menjalani profesinya sambil berharap suatu saat hidupnya akan lebih baik. Setidaknya ini adalah pemikiran tokoh Ibu Mendut di novel ini. Percikan pemikiran seperti inilah yang diperlukan oleh seluruh bangsa Indonesia yang sedang dirundung permasalahan yang tak henti-henti. ‘Berbuat sekaligus berharap suatu saat aka nada nasib baik’ adalah bentuk kesmpulan dari khutbah-khutbah yang hampir tiap hari menghampiri kita.

Jurnalisme Sastrawi

            Kiprah S. Jai dalam kepengarangan bermula semenjak ia menjadi mahasiswa Fisipol di Universitas Airlangga Surabaya. Ia telah beberapa kali terlibat dalam pementasan seni maupun teater yang bertemakan politik seperti “Kami di Depan Republik” yang di gelar di STSI Denpasar pada 1995 . Setelah itu ia banyak malang melintang menjadi wartawan, pemain teater, bahkan yang terakhir adalah menjadi aktivis LSM di Surabaya.

Novel Khutbah di Bawah Lembah tidak lain adalah bentuk lain dari hasil  risetnya ketika ia membuat film Dokumenter tentang kehidupan buruh pabrik, perusahaan rokok, dan cukai – film tersebut berjudul Pita Buta – di wilayah Jawa Timur yang tekenal memiliki banyak pabrik rokok dan mendapat kucuran bagi hasil cukai terbesar di Indonesia. Kolaborasi antara data yang kaku dan gaya penulisan sastra mengalir menjadikan novel ini mendekati apa yang disebut dengan Jurnalisme sastrawi yang beberapa tahun ini merebak di jagat jurnalistik Indonesia. 

Bila melihat dan membaca novel ini mirip dengan apa yang dikatakan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya Elemen-Elemen Jurnalisme (2006)  “Bercerita dan informasi bukanlah hal yang berlawanan. Mereka lebih baik dipahami sebagai dua bagian dalam sebuah rangkaian komunikasi. Di satu ujung, barangkali, adalah cerita pengantar tidur yang Anda ceritakan untuk anak-anak Anda yang mungkin tak punya arti selain melewatkan waktu bersama-sama dengan akrab dan menyenangkan. Di ujung lain adalah data mentah seperti pertandingan olahraga, buletin komunitas, atau tabel saham yang sama sekali tak mengandung narasi.”

Lebih lanjut Kovach dan Rosenstiel menilai bahwa jurnalisme adalah penuturan dengan sebuah tujuan yaitu menyediakan informasi yang dibutuhkan khalayak untuk memahami dunia. Setidaknya ada dua syarat untuk memenuhi Jurnalisme versi dua tokoh tersebut, yaitu pertama adalah menemukan informasi yang dibutuhkan khalayak. Kedua adalah membuatnya bermakna, relevan, dan enak disimak. S. Jai berhasil menaklukkan dua tantangan ini.

Buku ini lebih berwarna lagi karena ada satu bab dituliskannya dalam bentuk naskah drama. Dengan demikian buku ini bisa dikatakan lebih nge – pop jika dibandingkan dengan karya-karya terdahulunya seperti Tanah Api dan Tanha. Dan usaha tersebut perlu diacungi dua jempol. Wallohu a’lam bishshowab[]





* Penulis adalah Alumni Pengajar Muda dalam Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar (YGIM)