Senin, 03 Desember 2012

sosok


Prof. Dr. H. Sam Abede Pareno:

‘Ideologi’ Seniman itu Kebebasan dan Kemanusiaan

(Sumber:  majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya edisi 7/September-Oktober 2012)



SAAT terjadi konfrontasi ideologis antar pelbagai kubu seniman di tahun 1960-an Sam Abede Pareno sudah tumbuh sebagai remaja di Surabaya. Bahkan, ketika perseteruan ‘politik kesenian itu’ mengalami  puncaknya di tahun 1965-an, pria  kelahiran Ambon 2 Agustus 1948 yang sejak usia 4 tahun berdiam di Surabaya itu, menjadi saksi bagaimana panorama anak zaman pada waktu itu.



Sam muda menjadi penikmat yang kehilangan ketika musik ngak-ngik-ngok Koes Plus yang disebut-sebut anti revolusioner, dan personil band itu dijebloskan ke penjara oleh Bung Karno. Ia juga menjadi saksi bagaimana lagu genjer-genjer yang dilarang pasca terjadi clash, meski lagu yang bertutur kemiskinan itu dipopulerkan Bing Slamet—salah seorang pengurus organisasi seni yang berafiliasi ke Muhammadiyah, ISBM (Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah)  waktu itu.

Dan tentunya Sam, adalah saksi ‘perang’ antar kubu seniman Lekra dan Manikebu yang terkenal itu—walau sebetulnya itu bukanlah satu-satunya ‘perang ideologi’ pada zamannya (Himpunan Seni Budaya Islam, yang di bawah Masyumi juga berseteru dengan Lekra). Di Surabaya, ada sederet nama seniman yang dicatat Sam, tergabung manikebu; Amak Syarifudin, Basuki Rachmat, Krisna Mustajab.  “Orang-orang ini pada akhirnya mengelompok di Dewan Kesenian Surabaya. Hidup mereka ini sengsara,” kenang Sam.

Kini ketika anak zaman telah banyak berganti tumbuh, Sam, tak cuma sebagai saksi. Selaku ilmuwan, profesor manajemen media massa dan etika pers pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr.Soetomo, Surabaya itu, menempatkan diri laiknya guru—sebagai pengamat yang arif. Tak hanya itu, kearifan bukan hanya diperlihatkan melalui beberapa buku diktat kuliah karangannya.

Melainkan juga pada sejumlah novel dan puisi yang ditulis dan diterbitkannya:  Puisi-puisi cinta dan perjuangan, Obsesi Sang Wartawan, Asmara berselimut kabut, Tetesan Surgawi di Mata Lastri, Tiga Wanita Satu Pria. Dengan kata lain, Sam adalah guru, pengamat, juga pengarang.  “Saya bukan novelis. Saya ini guru besar yang nyambi menulis novel saja,” tuturnya merendah.

Dia coba perlihatkan kerendahhatian itu, walau pada kesempatan lain, Sam, telah menyingkap sikap berkeseniannya yang sangat jelas. Dengan mengatakan, “Seniman yang betul itu yang bebas dan humanis. Insyaallah kalau itu dipegang para seniman, pasti menghasilkan karya-karya yang bagus.  Kalau humanis itu sesuai dengan aspirasi masyarakat, umum, universal. Tidak akan dikucilkan dan pasti laku.”

Karena dengan universal, menurut Sam, maka itu adalah humanis. Begitu universal maka dia adalah membela keadilan secara fitrah manusia itu suka pada kebenaran. Kita selalu berpihak pada yang benar. Sam mencontohkan satu karya yang dikaguminya Ibu Kita Raminten, karya Mohamad Ali. Sebuah karya yang sangat humanis dan menyebabkan dirinya bersimpati pada tokoh ibu yang menjual anak-anaknya untuk jadi pelacur.  “Kita bersimpati karena kehidupannya susah nggak ada yang menolong. Memang sadis. Tapi karya itu membela keadilan, secara fitrah, manusia suka pada kebenaran,” ungkap Sam Abede Pareno.

Kepada Alur, Doktor Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Malang itu mengakui, dari hasil pengamatannya, kubu-kubuan seniman seperti terjadi era 1960-an itu, sudah tidak ada lagi zaman sekarang. Walau paham itu masih ada, tetapi tidaklah terjadi perseteruan yang masif, tidak terorganisir.  “Menurut saya, kubu-kubu itu sekarang tidak ada. Terutama generasi mudanya, tidak ada. Coba kalau zaman dulu ada seniman kayak Ariel begitu, sudah habis dia. Pasti disikat oleh kelompok Islam. Sekarang malah kayak pahlawan disambut begitu hebat,” papar  guru besar yang sempat mendalami ilmu manajemen pada Malaysian Graduate School of Management University Putra Malaysia itu.

Pejuang sekaligus Seniman

Era 1960-an kubu pengelompokan seniman itu, menurut Bung Sam—panggilan akrabnya—bermula dari penganut seni untuk seni dan seni untuk perjuangan. Seni untuk perjuangan, berpaham pada akhirnya harus punya ideologi, karena seni adalah alat perjuangan.  Mereka mengelompok kemana-mana.  Kelompok nasionalis, tergabung dalam dalam LKN (Lembaga Kebudayaan Rakyat),  kelompok komunis ada di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lesbumi yang Islam-NU, SBI yang Masyumi. Yang tidak mengelompok adalah penganut faham seni untuk seni—manikebu.

“Mungkin tesis itu tidak salah,  karena ada contoh yang dikemukakan bahwa pejuang-pejuang kemerdekaan segala bangsa di dunia ini hampir seniman semua,” tandasnya.

Ia menyebut Ho Chi Minh, Mao Tse Tung, Soekarno, Soetomo, mereka penyair-penyair yang cukup bagus. Juga Chairil Anwar,  dia pejuang dan punya ideologi--tentunya nasionalisme—dan ini universal.

Dikatakan Sam, sebenarnya persoalan seperti ini sudah lama mengemuka. Ketika Sutan Takdir Alisyahbana (STA) diserang Rosihan Anwar, dan para pengarang Tiga Menguak Takdir (Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin). Mereka menuding STA terpengaruh oleh barat. Istilah masa kini thinks globally, act locally, itu sebenarnya sama dengan pemikiran STA, bahwa kita jangan terdikotomi dengan pemikiran timur-barat. Pendapat STA, ‘Kita kalau mau maju, mari kita serap barat yang maju lebih dulu,’ sebenarnya sudah lama masuk ke dalam kalangan seniman. “Tidak salah juga, tetapi sekarang itu dijadikan bukti sudah tidak ada perjuangan ideologi,” katanya.

Kenyataan sejarah pada akhirnya tidak berpihak pada seniman Lekra. Seniman Lekra kemudian dihabisi atau dipenjarakan oleh pemerintah Orde Baru. Namun mereka tidak sudi distigma Lekra sebagai seniman komunis.

Menurut Sam, ideologi hanya ada dua; Kapitalisme dan Sosialisme. Kapitalisme itu dilahirkan oleh revolusi industri yang diagungkan oleh mereka yang punya duit, para pemilik modal. Antitesa dari itu namanya sosialisme yang dipelopori oleh Karl Marx. Karl Marx tidak dengan sendirinya komunisme, tapi dia sosialis. Dalam perjalanannya, lanjutnya, ajaran-ajaran Karl Marx itu direposisi oleh Lenin yang akhirnya kita istilahkan dengan komunisme itu, berikut teori-teori yang macam-macam itu—ada perlawanan, kaum proletar untuk berevolusi, revolusi rakyat, macam. Sementara bagi kaum sosialis yang dianut PSI  dengan tokohnya Syahrir itu, tidak menempuh cara-cara revolusioner itu, walau sumbernya ajaran Karl Marx, juga seperti halnya ideologi  partai Murba—ajaran Karl Marx tetapi tidak revoulusioner.

“Lekra itu nggak mau disebut komunis, karena Lekra sebagai perjuangan rakyat dan ini sosialis sebenarnya. Dari kata Sosios yang artinya kawan yang dijadikan jargon komunisme panggilan kawan atau kamrad itu,” terang Sam.

Karena itulah, dikatakan Sam, akhirnya PSI dan PKI berhadapan. Walau ideologinya sama, tetapi implementasinya, juknisnya (istilah sekarang) berbeda. Seperti halnya Islam sekarang ada Hisbut Tahrir, Muhammadiyah, NU. Ideologinya sama, walau sebenarnya Islam itu bukan ideologi. Islam itu agama, kemudian dioperasionalkan sebagai ideologi dan akhirnya melahirkan partai Islam.

Dalam hal sosialisme, menurut Sam, Bung Karno sendiri dalam bukunya, Sarinah: Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia berulang kali mengatakan ‘hendaknya wanita-wanita Indonesia menjadi sosialis-sosialis. Paham yang bagus untuk perjuangan wanita Indonesia itu adalah sosialisme’. Hal itu bukan berarti Bung Karno penganut sosialisme. Dia sering mengatakan sosialisme dan bukan komunisme. Buku itu ditulis 1947 dan terbit pada 1964.

“Dulu seperti itu. Tapi sekarang, sosialisme Indonesia sudah tidak karu-karuan. Zaman Orde Baru muncul istilah sosialis relegious. Itu hanya pengkotak-kotakan yang membuat kita bingung. Kalau mau bicara ideologi itu dalam pengertian yang manusiawi tidak dari Tuhan, karena Islam itu kitab suci dari Allah dan bukan ideologi,” ungkapnya.

Ditegaskannya, bahwa ideologi hanya ada dua; kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme inilah yang melahirkan demokrasi. Orang Vietnam mendirikan Republik Demokrasi Vietnam. Namanya demokrasi, tetapi sebetulnya berbeda dengan konsep demokrasi dari kapitalisme.  Karena demokrasi yang sesungguhnya itu kapitalisme. Bung Karno mengatakan Demokrasi Terpimpin, Guided Democracy dan artinya tidak sekadar demokrasi, karena demokrasi itu kapitalisme.

Pengikut Soekarno

Mengapa banyak seniman menjadi pengikut Soekarno?  “Itu soal lain,” kata Sam Abede Pareno. Seniman pengikut Soekarno itu bergabung dalam LKN, yang katakan underbow PNI. Mereka adalah seniman-seniman yang berjiwa nasionalis--yang ketika itu tidak ada pengertian bahwa Islam juga nasionalis.

Dikatakan Sam, tahun 1926 Soekarno menulis “Nasionalisme, Marxisme, Islamisme.” Tahun 1960-an Nasakom gencar dan itu hasil tesis Soekarno pada 1926 sebetulnya. Nasionalis itu PNI, agama itu Partai Islam dan komunis itu PKI. Tidak adanya pengertian Islam itu nasionalis, maka tak ada pengikut partai Islam yang masuk ke PNI begitu juga sebaliknya. Maka bisa terjadi kelompok nasionalis berseberangan dengan M Natsir. Sementara Bung Karno adalah ikon nasionalis walau tulisannya banyak mengutip Al Quran, Hadist, pendapat para pemikir Islam, gerakan Wahabi, Pan Islamisme.

Dia katakan, gerakan kemerdekaan Indonesia juga diilhami, dan dibantu pengikut Pan Islamisme: Kahar Muzakhir, Kasman Singodimejo. Tetapi Soekarno lebih sebagai seorang penganut nasionalisme. Adanya seniman yang bergabung menjadi pengikut Soekarno, itu wajar-wajar saja karena begitu banyak yang mengagumi Soekarno sebagai seorang nasionalis.

Sampai di sini baik Manikebu maupun Lekra juga menyatakan sebagai pengikut Soekarno. Barangkali Manikebu pakai cara halus. Jangankan Manikebu. Ada namanya, Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), itu juga dibubarkan oleh Bung Karno. Semua ini sangat mengagumi, mendukung Bung Karno sebenarnya. Bahkan mungkin juga kelompok Islam dengan menunjuk Soekarno menjadi presiden karena dialah pemersatu bangsa ini.

“Jangankan manikebu yang kritis menghadapi Soekarno, PSI juga kritis. Lalu Masyumi. Kritis itu kan tidak berarti anti. Itu pun dibubarkan oleh Soekarno. Tetapi yang tidak kritis, ABS, ya dipelihara. PNI, PKI karena sering memuji-muji Bung Karno. Tapi itu kan gaya kepemimpinan Bung Karno yang kita tidak perlu persoalkan lagi. Jadi, orang-orang yang ada di Manikebu yang dibubarkan Bung Karno, banyak yang nasionalis sebenarnya. Walau pengertian nasionalis masih dalam arti sempit waktu itu,” terang Sam.

‘Ideologi’ Seniman Sejati

Pelajaran yang bisa dipetik dari pola zaman waktu itu, menurut Sam Abede Pareno, bahwa dimana saja jika kesenian diatur-atur, termasuk di zaman Soeharto, maka tidak akan maju. Karena ideologi seniman sebenarnya itu bukan sosialisme, bukan kapitalisme, komunis, masyumi atau yang lain.

“Yang dibutuhkan seniman itu hanya dua—ideologinya kalau saya mengatakan ideologi kesenian itu; kebebasan. Seniman itu butuh kebebasan untuk kreativitas, untuk menyampaikan pikiran, pendapat. Soal nanti dihubungkan dengan nilai-nilai moral, dengan agama, itu soal lain. Tetapi seniman sejati hanya butuh dua—saya tidak bicara seniman-senimanan. Yaitu kebebasan dan humanisme—kemanusiaan,” terangnya.  

Sebab itu, lanjut Sam, sekarang, baik seniman maupun masyarakat yang mulai sadar tentang ideologi,  yang dulu antinya luar biasa pada Pramodya Ananta Toer, merenung kembali. Apa tidak salah, mencaci maki Pramudya Ananta Toer, karena ternyata karyanya manusiawi sekali, humanistis? Dia punya kebebasan bicara. Mulai timbul pemahaman baru dari pengalaman yang panjang seperti itu.

Ideologi kesenian kebebasan dan kemanusiaan itulah, menurut Sam, menyebabkan kini tidak perlu lagi ada lembaga-lembaga yang memperjuangkan kebebasan.  Kebebasan dipasrahkan pada senimannya sendiri sepanjang tidak menganggu kebebasan orang lain.  “Sehingga, kita akan bersimpati kepada siapa saja, tidak peduli agamanya apa. Yang penting karyanya.”

Ia mencontohkan, golongan Islam, misalnya yang dahulu keras, kini  tidak pernah ambil pusing dengan karya-karyanya Katon Bagaskara yang katolik. Orang katolik juga nggak peduli dengan Emha Ainun Nadjib. Mereka malah senang ketika mereka memperjuangkan masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula teaternya N Riantiarno yang non muslim, atau Putu Wijaya, tidak ada masalah. Sebaliknya, orang-orang yang non muslim melihat karya Arifin C Noer, Taufiq Ismail, juga no problem.

Bahkan Franky Sahilatua bisa menjadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta tak lain karena kemanusiaannya dan penghormatan atas kebebasannya yang tinggi. Tidak ada yang berpikir bagaimana bisa? Dia orang Surabaya, non muslim lagi.

“Sekarang sudah cair dan kubu-kubuan itu tidak ada. Lesbumi, HSBI, LKN, yang dulu sangat ideologis, sekarang sudah nggak laku. ?” tandas Bung Sam.

Berbeda dengan dahulu, jangankan seniman, wartawan dan pers pun demikian. Saat itu hanya satu dua koran yang independen sebagai ekspresi manikebu mereka. Lainnya,  semua masuk alat partai.  Masyumi punya Harian Abadi, PNI punya Suluh IndonesiaDuta Masyarakat—NU, Harian Rakyat--PKI.  Sampai organisasi mahasiswa pun demikian, berideologi.

Kuncinya, menurut Bung Sam kebebasan menyampaikan gagasan tanpa merasa tertekan itu yang utama. Soal apakah masyarakat menerima ataukah tidak itu soal lain. Yang mengatakan ideologi seni itu tidak relevan lagi, silakan pilih seni untuk seni. Tapi pertanyakan kembali apakah betul seni untuk seni?

Menulis novel atas pesanan, menurutnya, memang bukan penulis novel sejati. Seperti halnya penulis hebat para peraih nobel selalu melawan arus, sastrawan pembelot. Dulu Pramudya, Solzhenitsyn, pembelot. Sekarang tidak lagi. Anabel Hernandez, wartawati Mexico terima penghargaan dunia itu juga karena melawan arus, membelot dan melaporkan korupsi pemerintah. Mochtar Lubis dipenjara karena membongkar korupsi.

Christianto Wibisono pernah menulis dan wawancara imajiner dengan Bung Karno, kena dia. Bram Mahakekum menulis lagu tentang Bung Karno, kena juga. Sekarang tidak ada. Sekarang orang goyang ala Inul saja tidak ada yang melarang. Kita bicara seni dan ideologi seperti itu.

Ditegaskannya, seniman yang betul-betul seniman ya yang bebas dan humanis. Karena humanis itu sesuai dengan aspirasi masyarakat, umum, universal. Tidak akan dikucilkan dan pasti laku, tulisan-tulisannya. Non muslim saja banyak yang kecanduan karya Habiburrahman El Shirazy.  Eros Djarot dengan film Tjut Nyak Dien, banyak yang kagum. Setiap yang humanis universal, tidak ada masalah dengan setting atau apapun. Banyak yang kagum dengan kisah Romeo dan Juliet, yang sangat Eropa, Laila Majenun, yang sangat Arab juga banyak yang kagum. Atau Rama dan Sinta yang sangat Hindu. Karena begitu universal, maka itu adalah humanis. Begitu universal maka dia adalah membela keadilan fitrah manusia yang suka pada kebenaran.

“Kita selalu berpihak pada yang benar.  Sampai sekarang orang tua kita bila membaca, melihat atau mendengar cerita tokoh yang benar dikalahkan, maka pasti marah. Herry Potter Karya JK Rowling yang difilmkan itu, begitu tokoh utamanya dalam kesulitan, pembaca maupun penonton pasti cemas. Wah..jangan-jangan dimatikan. Itulah sebabnya kita juga bersimpati pada Ibu Raminten, perempuan yang menjual anaknnya dalam novel Mohammad Ali. Kita bersimpati karena kehidupannya susah nggak ada yang menolong. Memang sadis,” tutur Sam Abede.[S. Jai / Djaka Mujiana)