Prof. Dr. H. Sam Abede Pareno:
‘Ideologi’ Seniman itu Kebebasan dan
Kemanusiaan
(Sumber: majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian
Surabaya edisi 7/September-Oktober 2012)
SAAT terjadi konfrontasi
ideologis antar pelbagai kubu seniman di tahun 1960-an Sam Abede Pareno sudah
tumbuh sebagai remaja di Surabaya. Bahkan, ketika perseteruan ‘politik kesenian
itu’ mengalami puncaknya di tahun 1965-an,
pria kelahiran Ambon 2 Agustus 1948 yang
sejak usia 4 tahun berdiam di Surabaya itu, menjadi saksi bagaimana panorama
anak zaman pada waktu itu.
Sam muda menjadi penikmat yang kehilangan
ketika musik ngak-ngik-ngok Koes Plus
yang disebut-sebut anti revolusioner, dan personil band itu dijebloskan ke penjara
oleh Bung Karno. Ia juga menjadi saksi bagaimana lagu genjer-genjer yang dilarang pasca terjadi clash, meski lagu yang bertutur kemiskinan itu dipopulerkan Bing
Slamet—salah seorang pengurus organisasi seni yang berafiliasi ke Muhammadiyah,
ISBM (Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah) waktu itu.
Dan tentunya Sam, adalah saksi ‘perang’ antar
kubu seniman Lekra dan Manikebu yang terkenal itu—walau sebetulnya itu bukanlah
satu-satunya ‘perang ideologi’ pada zamannya (Himpunan Seni Budaya Islam, yang di
bawah Masyumi juga berseteru dengan Lekra). Di Surabaya, ada sederet nama
seniman yang dicatat Sam, tergabung manikebu; Amak Syarifudin, Basuki Rachmat,
Krisna Mustajab. “Orang-orang ini pada
akhirnya mengelompok di Dewan Kesenian Surabaya. Hidup mereka ini sengsara,”
kenang Sam.
Kini ketika anak zaman telah banyak berganti
tumbuh, Sam, tak cuma sebagai saksi. Selaku ilmuwan, profesor manajemen media massa dan etika pers pada Fakultas Ilmu Komunikasi
Universitas Dr.Soetomo, Surabaya itu, menempatkan diri laiknya guru—sebagai
pengamat yang arif. Tak hanya itu, kearifan bukan hanya diperlihatkan melalui
beberapa buku diktat kuliah karangannya.
Melainkan juga pada sejumlah
novel dan puisi yang ditulis dan diterbitkannya: Puisi-puisi cinta dan perjuangan,
Obsesi Sang Wartawan, Asmara berselimut kabut, Tetesan Surgawi di Mata Lastri, Tiga Wanita Satu Pria. Dengan kata lain,
Sam adalah guru, pengamat, juga pengarang. “Saya bukan novelis. Saya ini guru besar
yang nyambi menulis novel saja,” tuturnya merendah.
Dia coba perlihatkan kerendahhatian itu, walau
pada kesempatan lain, Sam, telah menyingkap sikap berkeseniannya yang sangat
jelas. Dengan mengatakan, “Seniman yang betul itu yang bebas dan humanis. Insyaallah kalau itu dipegang para
seniman, pasti menghasilkan karya-karya yang bagus. Kalau humanis itu sesuai dengan aspirasi
masyarakat, umum, universal. Tidak akan dikucilkan dan pasti laku.”
Karena dengan universal, menurut Sam, maka itu
adalah humanis. Begitu universal maka dia adalah membela keadilan secara fitrah
manusia itu suka pada kebenaran. Kita selalu berpihak pada yang benar. Sam
mencontohkan satu karya yang dikaguminya Ibu
Kita Raminten, karya Mohamad Ali. Sebuah karya yang sangat humanis dan
menyebabkan dirinya bersimpati pada tokoh ibu yang menjual anak-anaknya untuk
jadi pelacur. “Kita bersimpati karena
kehidupannya susah nggak ada yang menolong. Memang sadis. Tapi karya itu
membela keadilan, secara fitrah, manusia suka pada kebenaran,” ungkap Sam Abede
Pareno.
Kepada Alur,
Doktor Pendidikan Ekonomi Universitas Negeri Malang
itu mengakui, dari hasil pengamatannya, kubu-kubuan seniman seperti terjadi era
1960-an itu, sudah tidak ada lagi zaman sekarang. Walau paham itu masih ada,
tetapi tidaklah terjadi perseteruan yang masif, tidak terorganisir. “Menurut saya, kubu-kubu itu sekarang tidak
ada. Terutama generasi mudanya, tidak ada. Coba kalau zaman dulu ada seniman
kayak Ariel begitu, sudah habis dia. Pasti disikat oleh kelompok Islam.
Sekarang malah kayak pahlawan disambut begitu hebat,” papar guru besar yang sempat mendalami ilmu manajemen pada Malaysian Graduate School of Management University
Putra Malaysia itu.
Pejuang
sekaligus Seniman
Era 1960-an kubu pengelompokan seniman itu,
menurut Bung Sam—panggilan akrabnya—bermula dari penganut seni untuk seni dan
seni untuk perjuangan. Seni untuk perjuangan, berpaham pada akhirnya harus
punya ideologi, karena seni adalah alat perjuangan. Mereka mengelompok kemana-mana. Kelompok nasionalis, tergabung dalam dalam
LKN (Lembaga Kebudayaan Rakyat), kelompok
komunis ada di Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), Lesbumi yang Islam-NU, SBI yang
Masyumi. Yang tidak mengelompok adalah penganut faham seni untuk seni—manikebu.
“Mungkin tesis itu tidak salah, karena ada contoh yang dikemukakan bahwa
pejuang-pejuang kemerdekaan segala bangsa di dunia ini hampir seniman semua,”
tandasnya.
Ia menyebut Ho Chi Minh, Mao Tse Tung,
Soekarno, Soetomo, mereka penyair-penyair yang cukup bagus. Juga Chairil Anwar, dia pejuang dan punya ideologi--tentunya
nasionalisme—dan ini universal.
Dikatakan Sam, sebenarnya persoalan seperti
ini sudah lama mengemuka. Ketika Sutan Takdir Alisyahbana (STA) diserang
Rosihan Anwar, dan para pengarang Tiga Menguak
Takdir (Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai
Apin). Mereka menuding STA terpengaruh oleh barat. Istilah masa kini thinks globally, act locally, itu
sebenarnya sama dengan pemikiran STA, bahwa kita jangan terdikotomi dengan
pemikiran timur-barat. Pendapat STA, ‘Kita kalau mau maju, mari kita serap
barat yang maju lebih dulu,’ sebenarnya sudah lama masuk ke dalam kalangan
seniman. “Tidak salah juga, tetapi sekarang itu dijadikan bukti sudah tidak ada
perjuangan ideologi,” katanya.
Kenyataan sejarah pada akhirnya tidak
berpihak pada seniman Lekra. Seniman Lekra kemudian dihabisi atau dipenjarakan
oleh pemerintah Orde Baru. Namun mereka tidak sudi distigma Lekra sebagai
seniman komunis.
Menurut Sam, ideologi hanya ada dua;
Kapitalisme dan Sosialisme. Kapitalisme itu dilahirkan oleh revolusi industri
yang diagungkan oleh mereka yang punya duit, para pemilik modal. Antitesa dari
itu namanya sosialisme yang dipelopori oleh Karl Marx. Karl Marx tidak dengan
sendirinya komunisme, tapi dia sosialis. Dalam perjalanannya, lanjutnya,
ajaran-ajaran Karl Marx itu direposisi oleh Lenin yang akhirnya kita istilahkan
dengan komunisme itu, berikut teori-teori yang macam-macam itu—ada perlawanan,
kaum proletar untuk berevolusi, revolusi rakyat, macam. Sementara bagi kaum sosialis
yang dianut PSI dengan tokohnya Syahrir itu,
tidak menempuh cara-cara revolusioner itu, walau sumbernya ajaran Karl Marx, juga
seperti halnya ideologi partai
Murba—ajaran Karl Marx tetapi tidak revoulusioner.
“Lekra itu nggak mau disebut komunis, karena
Lekra sebagai perjuangan rakyat dan ini sosialis sebenarnya. Dari kata Sosios
yang artinya kawan yang dijadikan jargon komunisme panggilan kawan atau kamrad
itu,” terang Sam.
Karena itulah, dikatakan Sam, akhirnya PSI
dan PKI berhadapan. Walau ideologinya sama, tetapi implementasinya, juknisnya
(istilah sekarang) berbeda. Seperti halnya Islam sekarang ada Hisbut Tahrir,
Muhammadiyah, NU. Ideologinya sama, walau sebenarnya Islam itu bukan ideologi.
Islam itu agama, kemudian dioperasionalkan sebagai ideologi dan akhirnya
melahirkan partai Islam.
Dalam hal sosialisme, menurut Sam, Bung Karno
sendiri dalam bukunya, Sarinah:
Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia berulang kali mengatakan ‘hendaknya
wanita-wanita Indonesia menjadi sosialis-sosialis. Paham yang bagus untuk
perjuangan wanita Indonesia itu adalah sosialisme’. Hal itu bukan berarti Bung
Karno penganut sosialisme. Dia sering mengatakan sosialisme dan bukan
komunisme. Buku itu ditulis 1947 dan terbit pada 1964.
“Dulu seperti itu. Tapi sekarang, sosialisme
Indonesia sudah tidak karu-karuan. Zaman Orde Baru muncul istilah sosialis
relegious. Itu hanya pengkotak-kotakan yang membuat kita bingung. Kalau mau
bicara ideologi itu dalam pengertian yang manusiawi tidak dari Tuhan, karena
Islam itu kitab suci dari Allah dan bukan ideologi,” ungkapnya.
Ditegaskannya, bahwa ideologi hanya ada dua;
kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme inilah yang melahirkan demokrasi. Orang
Vietnam mendirikan Republik Demokrasi Vietnam. Namanya demokrasi, tetapi
sebetulnya berbeda dengan konsep demokrasi dari kapitalisme. Karena demokrasi yang sesungguhnya itu
kapitalisme. Bung Karno mengatakan Demokrasi Terpimpin, Guided Democracy dan artinya tidak sekadar demokrasi, karena
demokrasi itu kapitalisme.
Pengikut
Soekarno
Mengapa banyak seniman menjadi pengikut
Soekarno? “Itu soal lain,” kata Sam
Abede Pareno. Seniman pengikut Soekarno itu bergabung dalam LKN, yang katakan underbow PNI. Mereka adalah seniman-seniman
yang berjiwa nasionalis--yang ketika itu tidak ada pengertian bahwa Islam juga
nasionalis.
Dikatakan Sam, tahun 1926 Soekarno menulis
“Nasionalisme, Marxisme, Islamisme.” Tahun 1960-an Nasakom gencar dan itu hasil
tesis Soekarno pada 1926 sebetulnya. Nasionalis itu PNI, agama itu Partai Islam
dan komunis itu PKI. Tidak adanya pengertian Islam itu nasionalis, maka tak ada
pengikut partai Islam yang masuk ke PNI begitu juga sebaliknya. Maka bisa
terjadi kelompok nasionalis berseberangan dengan M Natsir. Sementara Bung Karno
adalah ikon nasionalis walau tulisannya banyak mengutip Al Quran, Hadist, pendapat
para pemikir Islam, gerakan Wahabi, Pan Islamisme.
Dia katakan, gerakan kemerdekaan Indonesia
juga diilhami, dan dibantu pengikut Pan Islamisme: Kahar Muzakhir, Kasman
Singodimejo. Tetapi Soekarno lebih sebagai seorang penganut nasionalisme. Adanya
seniman yang bergabung menjadi pengikut Soekarno, itu wajar-wajar saja karena
begitu banyak yang mengagumi Soekarno sebagai seorang nasionalis.
Sampai di sini baik Manikebu maupun Lekra
juga menyatakan sebagai pengikut Soekarno. Barangkali Manikebu pakai cara
halus. Jangankan Manikebu. Ada namanya, Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), itu
juga dibubarkan oleh Bung Karno. Semua ini sangat mengagumi, mendukung Bung
Karno sebenarnya. Bahkan mungkin juga kelompok Islam dengan menunjuk Soekarno menjadi
presiden karena dialah pemersatu bangsa ini.
“Jangankan manikebu yang kritis menghadapi
Soekarno, PSI juga kritis. Lalu Masyumi. Kritis itu kan tidak berarti anti. Itu
pun dibubarkan oleh Soekarno. Tetapi yang tidak kritis, ABS, ya dipelihara.
PNI, PKI karena sering memuji-muji Bung Karno. Tapi itu kan gaya kepemimpinan
Bung Karno yang kita tidak perlu persoalkan lagi. Jadi, orang-orang yang ada di
Manikebu yang dibubarkan Bung Karno, banyak yang nasionalis sebenarnya. Walau pengertian
nasionalis masih dalam arti sempit waktu itu,” terang Sam.
‘Ideologi’
Seniman Sejati
Pelajaran yang bisa dipetik dari pola zaman
waktu itu, menurut Sam Abede Pareno, bahwa dimana saja jika kesenian
diatur-atur, termasuk di zaman Soeharto, maka tidak akan maju. Karena ideologi
seniman sebenarnya itu bukan sosialisme, bukan kapitalisme, komunis, masyumi
atau yang lain.
“Yang dibutuhkan seniman itu hanya
dua—ideologinya kalau saya mengatakan ideologi kesenian itu; kebebasan. Seniman
itu butuh kebebasan untuk kreativitas, untuk menyampaikan pikiran, pendapat.
Soal nanti dihubungkan dengan nilai-nilai moral, dengan agama, itu soal lain.
Tetapi seniman sejati hanya butuh dua—saya tidak bicara seniman-senimanan.
Yaitu kebebasan dan humanisme—kemanusiaan,” terangnya.
Sebab itu, lanjut Sam, sekarang, baik seniman
maupun masyarakat yang mulai sadar tentang ideologi, yang dulu antinya luar biasa pada Pramodya
Ananta Toer, merenung kembali. Apa tidak salah, mencaci maki Pramudya Ananta
Toer, karena ternyata karyanya manusiawi sekali, humanistis? Dia punya kebebasan
bicara. Mulai timbul pemahaman baru dari pengalaman yang panjang seperti itu.
Ideologi kesenian kebebasan dan kemanusiaan
itulah, menurut Sam, menyebabkan kini tidak perlu lagi ada lembaga-lembaga yang
memperjuangkan kebebasan. Kebebasan
dipasrahkan pada senimannya sendiri sepanjang tidak menganggu kebebasan orang
lain. “Sehingga, kita akan bersimpati
kepada siapa saja, tidak peduli agamanya apa. Yang penting karyanya.”
Ia mencontohkan, golongan Islam, misalnya
yang dahulu keras, kini tidak pernah
ambil pusing dengan karya-karyanya Katon Bagaskara yang katolik. Orang katolik
juga nggak peduli dengan Emha Ainun Nadjib. Mereka malah senang ketika mereka
memperjuangkan masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula teaternya N
Riantiarno yang non muslim, atau Putu Wijaya, tidak ada masalah. Sebaliknya,
orang-orang yang non muslim melihat karya Arifin C Noer, Taufiq Ismail, juga no problem.
Bahkan Franky Sahilatua bisa menjadi Ketua Dewan
Kesenian Jakarta tak lain karena kemanusiaannya dan penghormatan atas
kebebasannya yang tinggi. Tidak ada yang berpikir bagaimana bisa? Dia orang
Surabaya, non muslim lagi.
“Sekarang sudah cair dan kubu-kubuan itu
tidak ada. Lesbumi, HSBI, LKN, yang dulu sangat ideologis, sekarang sudah nggak
laku. ?” tandas Bung Sam.
Berbeda dengan dahulu, jangankan seniman,
wartawan dan pers pun demikian. Saat itu hanya satu dua koran yang independen
sebagai ekspresi manikebu mereka. Lainnya,
semua masuk alat partai. Masyumi punya
Harian Abadi, PNI punya Suluh Indonesia, Duta
Masyarakat—NU, Harian Rakyat--PKI.
Sampai organisasi mahasiswa pun demikian, berideologi.
Kuncinya, menurut Bung Sam kebebasan
menyampaikan gagasan tanpa merasa tertekan itu yang utama. Soal apakah
masyarakat menerima ataukah tidak itu soal lain. Yang mengatakan ideologi seni
itu tidak relevan lagi, silakan pilih seni untuk seni. Tapi pertanyakan kembali
apakah betul seni untuk seni?
Menulis novel atas pesanan, menurutnya, memang
bukan penulis novel sejati. Seperti halnya penulis hebat para peraih nobel
selalu melawan arus, sastrawan pembelot. Dulu Pramudya, Solzhenitsyn, pembelot. Sekarang tidak
lagi. Anabel Hernandez, wartawati Mexico terima penghargaan dunia itu juga karena
melawan arus, membelot dan melaporkan korupsi pemerintah. Mochtar Lubis
dipenjara karena membongkar korupsi.
Christianto Wibisono pernah menulis dan
wawancara imajiner dengan Bung Karno, kena dia. Bram Mahakekum menulis lagu
tentang Bung Karno, kena juga. Sekarang tidak ada. Sekarang orang goyang ala
Inul saja tidak ada yang melarang. Kita bicara seni dan ideologi seperti itu.
Ditegaskannya, seniman yang betul-betul
seniman ya yang bebas dan humanis. Karena humanis itu sesuai dengan aspirasi
masyarakat, umum, universal. Tidak akan dikucilkan dan pasti laku,
tulisan-tulisannya. Non muslim saja banyak yang kecanduan karya Habiburrahman El Shirazy. Eros Djarot dengan film Tjut Nyak Dien, banyak yang kagum. Setiap yang humanis universal,
tidak ada masalah dengan setting atau apapun. Banyak yang kagum dengan kisah Romeo dan Juliet, yang sangat Eropa, Laila Majenun, yang sangat Arab juga
banyak yang kagum. Atau Rama dan Sinta
yang sangat Hindu. Karena begitu universal, maka itu adalah humanis. Begitu
universal maka dia adalah membela keadilan fitrah manusia yang suka pada
kebenaran.
“Kita selalu berpihak pada yang benar. Sampai sekarang orang tua kita bila membaca,
melihat atau mendengar cerita tokoh yang benar dikalahkan, maka pasti marah. Herry
Potter Karya JK Rowling yang difilmkan itu, begitu tokoh utamanya dalam
kesulitan, pembaca maupun penonton pasti cemas. Wah..jangan-jangan dimatikan.
Itulah sebabnya kita juga bersimpati pada Ibu Raminten, perempuan yang menjual
anaknnya dalam novel Mohammad Ali. Kita bersimpati karena kehidupannya susah
nggak ada yang menolong. Memang sadis,” tutur Sam Abede.[S. Jai / Djaka Mujiana)