Senin, 03 Desember 2012

sosok

Drs. H. Aribowo, MS.

“Seniman itu Mengatasi Kapitalisme dan Sosialisme”

(Sumber:  majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya edisi 7/September-Oktober 2012)



SEJAK 1984 sudah menekuni bidang politik dengan mengajar dan menjadi peneliti di Departemen Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair). Sehingga mantan Lektor Kepala Ilmu Politik Unair ini fasih berbicara perihal Gerakan Sosial Politik, Sistem Politik Indonesia, Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia, Kebijakan Publik.


Selebihnya, keterlibatannya di dunia seni—seperti pada Dewan Kesenian Surabaya dan Dewan Kesenian Jawa Timur, dua lembaga yang pernah memposisikan dirinya selaku Ketua Umum—tak heran menyebabkannya kritis saat mengupas seni  yang bersentuhan, berkait atau berkelindan dengan masalah ideologi.   

Di hadapan ideologi, menurut Magister Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu,  seniman itu istimewa. Seniman adalah varian tersendiri yang punya kemampuan individual luar biasa. Oleh karena itu, ia mengkritisi pentingnya memilah antara karya seni dengan ideologi seni.

Sebagai kreator, seniman tidak ada urusan dengan isme-isme,” tandas pria yang telah dua periode terpilih selaku Dekan di Fakultas Ilmu Budaya Unair itu.

Kepada Alur yang mewancarai di ruang kerjanya, kawasan Dharmawangsa Dalam, Drs H Aribowo, MS mengingatkan agar seniman tidak jumboh dengan keberadaan sebuah kelompok sosial yang ingin mempunyai gagasan dalam kontek kritik seni. Berikut wawancaranya:

Menurut Anda, dimana relevansi perbincangan seni dan ideologi di era sekarang?

Itu perdebatan dari dulu sampai sekarang—apakah ideologi mempengaruhi seni, seni berkembang dengan ideologi tertentu, atau bahkan seni itu ‘berpengaruh’ terhadap ideologi.  Jika ideologi kita artikan suatu sistem nilai yang menjadi dasar perilaku masyarakat tertentu, sebagian besar kesenian kanon bermula dari pikiran dasar macam itu. Surealisme, ekspresionisme, impresionisme, dasarnya suatu sistem nilai tertentu di masyarakat yang lantas dijadikan pijakan. Bahkan bermula dari ideologi satu-dua orang. Ideologi dalam pengertian ini lalu bergerak dan melahirkan mahzab, isme.  Maka, ekpresionisme merevisi impresionisme. Lalu surealisme mengatasi ekspresionisme. Termasuk munculnya pop art, sebagai pemikiran kebudayaan baru yang pragmatis, melawan adiluhung. Jika itu yang dikonsepkan sebagai ideologi, maka betul teori-teori struktural genetik atau struktural itu—bahwa ada aktor yang selalu berinteraksi dengan lingkungannya yang melahirkan ideologi.

Bisa Anda konkretkan penjelasannya?

Semisal dunia kepengarangan. Dengan ideologi yang terkonsep seperti itu, maka penulis yang kuat tentu punya dasar asumsi yang kuat. Tanpa itu tulisannya tidak punya bentuk.  Maka Budi Darma punya dasar pikiran—walau banyak yang terpengaruh oleh era Budi Darma--pada dasarnya penulis itu menganalisis keadaan, fenomena, esensial masyarakat, yang kemudian diceritakan secara naratif. Pengarang harus punya kemampuan itu.  Nah, kesimpulan pada Budi Darma  terhadap fenomena sosial, masyarakat itu keluar dari ruang dan waktu, maka dia absurd.  Artinya, orang masuk ke ruang lain itu bentuk absurditas. Absurditas seperti kata Harry Aveling di Horison menjadi dasar filsafat Budi Darma. Dasar pikiran itu yang menuntun bentuk tulisannya. Afrizal Malna dengan filsafat antroposentrisme. Penulis besar punya dasar itu yang membuat bentuk jati dirinya. Tapi itu bukan satu-satunya.  Dan ideologi itu tidak konkret. Dia punya banyak bentuk varian. Dari varian ideologi, menjadi basis komunitas tertentu, sampai cair pada individual—yang menjadi asumsi dasar kepengarangan yang menuntunnya terus untuk menulis. Semisal tulisan Danarto, kejawaan, klenik, agak sufistik lalu melahirkan bentuk-bentuk seperti itu. Ini saya tidak ngomong tentang politik. Saya omong hubungan seni dan ideologi. Karena seni itu tidak selalu masif  tetapi juga individual. Pengarang juga demikian. Ketika dia menulis, individual.  Saat dia bagian dari kritik seni, dia menjadi satu golongan. Jadi kalau dalam rangka ideologi penting karena menuntun tulisan itu, seni dan ideologi ada hubungannya.

Lantas, adakah tafsir lain dari ideologi, mengingat seni juga berkembang—belakangan seni kembali menjadi bagian denyut kehidupan sehari-hari? 


Celakanya, ideologi—yang awalnya itu konsep politik dan sosiologi—kemudian dipakai oleh kawan-kawan di dunia kesenian. Bahkan kadang dipakai sertamerta, totalitas. Kemudian dicampakkan. Ideologi itu bukan konsep kesenian. Mestinya tidak usah dipakai, karena ideologi itu konsep dasar politik, konsep dasar sosiologis. Ketika Gramsci memberi arti baru pada ideologi,  artinya sudah sangat berbeda. Seniman mungkin suatu saat harus menciptakan satu istilah tersendiri. Buatlah konsep sendiri. Silakan seniman atau kritikus seni. Sehingga bisa mewakili. Karena seniman ini agak berbeda secara sosiologis bila dibandingkan dengan komunitas lain, dalam konteks hubungan ideologis ini.  Memang benar, seniman dalam sosiologi makro dia bagian dari sistem sosial, tetapi seniman itu punya kemampuan individual. Itu yang luar biasa dibandingkan kelompok sosial yang lain. Dia menjadi varian tersendiri. Dia menjadi aktor sendiri. Sangat egoistis, meskipun kemudian bisa menjadi isme.

Setelah eksistensi individual seniman telah mengalami puncak, lalu kesenian kembali pada masyarakat. Dimana ideologi bisa berperan?

Itu yang saya maksudkan fenomena kesenian hendak dimasukkan menjadi bagian dari konsep politik. Mau disamakan. Minimal mau didekatkan, atau kadang-kadang kesewenangan itu mau dipaksakan. Bahwa seniman itu harus mengabdi pada rakyat, memperkuat kepentingan rakyat. Itu yang saya katakan, ‘orang-orang strukturalis’—ketika orang ini masuk atau melirik kesenian, berkolaborasi dengan unsur kesenian dan masuk sewenang-wenang. Ini agak beda dengan anomie. Anomie kesenian itu terjadi ketika individual tidak muncul, stratifikasi sosial begitu lemah, dan kesadaran material sederhana, muatan intelektual itu sangat tinggi, sehingga komunitas homogenitas itu menjadi penting. Ketika homogenitas menjadi penting, komunalisme itu menjadi kuat, tetapi tidak berarti kesenian itu untuk rakyat. Ya, memang karena sistem sosialnya, sistem kebudayaannya seperti itu. Dan mereka menganggap kesenian bagian dari ritual itu. Bukan kesenian untuk pemberdayaan. Nah, ketika kelompok strukturalisme, komunisme atau neokomunisme itu memasukkan itu ke dalam teori common, maka kesenian itu dipaksakan. Seolah-olah  kesenian itu mengabdi untuk kepentingan rakyat. Mungkin sisi tertentu, keadaan tertentu bisa masuk, tetapi kadang-kadang dipaksakan.

Lalu, apakah sebetulnya seniman punya peran dalam perubahan masyarakat?

Kesenian, sekarang secara alamiah ada fine art, applied art, pour art.  Kesenian terapan sudah milik masyarakat. Contohnya, pakaian. Bahwa kini sudah ada perdagangan, industrialisasi, itu urusan lain.  Orang berpakaian, orang beragama yang ada ritualnya itu juga milik bersama, komunal.  Nggak ada satu orang menyukai kesenian untuk ini. Memang ini menjadi intrumen mereka berhadapan dengan adi daya. Itu yang kemudian sekarang yang dipaksakan bahwa kalau saya bikin teater harus teater buruh, harus , teater rakyat, harus petani. Sehingga seolah-olah itu dicabut bahwa itu sebetulnya komunalisme dulu dalam masyarakat tradisional, maka sekarang penciptaan individual harus diabdikan. Itu yang kemudian menjadi konflik—tapi nggak tahu apakah sudah cair atau belum—karena begitu banyak variannya. Itulah menurut saya, bahwa berkesenian untuk kesenian itu sendiri. Soal dia hidup sebagai masyarakat untuk kepentingan bangsa, itu ada sistem yang lain itu yang digarap oleh sistem politik. Satu orang punya peranan sendiri-sendiri. Jika peranan sosial saya sebagai dekan tentu melayani masyarakat, tapi nanti kalau saya unjuk rasa, saya ambil peran politik.  Satu hari peranan orang bisa beragam. Peranan sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, seni.  Itulah yang secara sosiologis kadang-kadang tidak dipisahkan. Secara struktural tidak semua harus mengabdi kepada kepentingan ideologis kerakyatan. Itu penyederhanaan, sehingga kesenian ideologinya harus untuk kepentingan rakyat.  Produktivitas kesenian bagi esensi kreativitas kesenian tidak ada urusan dengan itu. Bahwa dia terilhami penderitaan masyarakat, itu bahasa penciptaan individual dan bisa berkomunikasi karena itu. Ketika di kesenian, dia tidak menjadi bagian dari pergerakan sosial. Jadi beda. Ratna Sarumpaet boleh jadi sutradara, main teater. Teaternya bagus atau jelek? Jika mau menggerakkan masyarakat, ya silakan dia sebagai leader social movement.  Bahwa kemudian dia membungkus itu dengan kesenian, dia paksakan kesenian untuk kepentingan rakyat, walau esensinya social movement yang dipengaruhi oleh disparitas, stratifikasi, perubahan sosial. Bukan oleh konsep kesenian.

Itu artinya kesenian dijadikan alat?

Instrumen kecil. Itu yang kemudian dipaksakan sehingga dijadikan ideologi.

Konsep seni eksistensi individu ini sudah lama, sementara zaman berkembang.  Lalu apa peran kesenian dihadapan begitu banyak ‘rezim’ ini?

Begini. Peran kesenian di dunia kesenian itu konkret. Artinya, orang berkesenian, maka dia akan berada di dalam art of community. Aktivitas kesenian pada umumnya, awalnya, masuk komunitas tersendiri. Tetapi karena perkembangan masyarakat itu tidak steril, dia berinteraksi dengan masyarakat yang lain. Maka komunitas kesenian ini dengan ide-ide kesenian itu lalu ditranformasikan ke dalam aplikasi masyarakat. Maka lahirnya, misalnya, bentuk-bentuk kesenian yang dipopkan. Bahkan kadang-kadang menjadi industri. Menjadi model—model kesenian masyarakat. Itu bisa. Misalnya film. Ketika produksi, dibahas oleh orang-orang film, didukung jaringan perfilman. Karena film ini sifatnya masif, ketika dimainkan, maka dia masuk ke dalam jaringan perdangangan film. Lalu masuk ke masyarakat—penonton remaja, dewasa, tua, pinggiran, perkotaan, kelas ekonomi tinggi, bawah, menengah, dan masyarakat banyak. Bisa semacam itu, karena film karakteristiknya masif, dia mempengaruhi audience. Visualitasnya luar biasa karena itu menjadi besar. Lukisan? Nggak bisa begitu. Lukisan itu bahasa individual, ditonton orang tertentu. Dia baru besar ketika disosialisasikan,  dikritiksosialkan oleh kritikus, masuk media. Tetapi itu komunitasnya terbatas.

Artinya, meskipun terbatas di situ peran ideologi ada juga, begitu?

Maksud ideologi yang anda katakan di sini, adalah bahwa seniman dituntun oleh suatu asumsi dasar.  Bagi orang-orang di luar kesenian yang kemudian memaksakan, ideologi itu dibayangkan sebagai ideologi strukturalis, kapitalis dan sebagainya. Kesenian mengatasi kapitalis, di atas sosialisme, di atas industri. Seniman yang bagus nggak peduli kapitalisme, sosialisme. Orang yang mempersoalkan itu kapitalisme, sosialisme dan sebagainya itu adalah bagian dari sebuah sistem sosial. Seniman di atas itu. Memang, seniman bisa dari basis sosial tertentu, tetapi dia punya persepsi yang berbeda terhadap satu fenomena. Kita bisa melihat, nggak ada satu pun seniman yang membuat karyanya seragam. Orang-orang Manikebu, Goenawan Mohamad, Rendra, Taufiq Ismail dansebagainya pun mengartikan fenomena itu berbeda-beda.  Orang-orang yang komunis-komunisan seperti Pramoedya, Utoy Tatang Sontani pun beda meskipun sama-sama Lekra, sama-sama dianggap komunis. Itu yang saya katakan seniman itu punya kebebasan luar biasa. Itu yang dipaksakan oleh orang-orang yang diluar kesenian, seolah-olah klaimnya ini kapitalisme ini sosialisme.  Bahwa dia dekat, atau cocok dengan itu, karena ada satu asumsi dasar ketika menulis dan ada sesuatu yang diperjuangkan. Penulis yang bagus, dia memperjuangkan satu massage dasar, kapitalisme, sosialisme. Gampang ya, humanisme itu.  Misalkan anda menulis tentang kerakyatan,  lalu melihat fenomena masyarakat. Pertanyaannya apakah anda lepas dari kapitalisme? Apakah dengan demikian anda menjadi sosialisme? Kalau misalnya karya anda dicetak besar oleh Gramedia—bagian dari kapitalisme. Kalau nggak mau dicetak lalu dibagi-bagi—bagian dari sosialisme.  Kapitalisme dan sosialisme bukan itu. Apa tulisan itu memperkuat sosialisme kerakyatan? Juga tidak—karena mungkin, apalagi anda belum terkenal—tulisan itu tidak dibaca orang. Novel mana sih yang dibaca rakyat Indonesia 100 juga? Dibaca 5 juta saja terlalu besar. Banyak orang mengagungkan Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, tapi berapa ratus juta sih yang baca. Orang melihat film Ayat-Ayat Cinta; bagus. Apa kemudian setelah itu orang masuk Islam semua?

Kata Foucoult  ideologi sebenarnya sudah ada di sekitar kita dan berjalin-kelindan dalam masyarakat. Bagaimana konkretnya kesenian yang bagus di era sekarang?

Itu perdebatan dari dulu seperti sekarang. Susah. Tradisi kanon, orang-orang yang klasik selalu punya unsur, misalnya pada sastra alurnya, suspensinya, karakternya, narasinya yang bagus. Itu semua orang bisa bikin. Budi Darma membuat penyederhanaan: keseimbangan antara bentuk dan isi. Terutama bentuk, kesenian yang bagus selalu ditulis dalam bentuk yang bagus. Isi itu universal. Mulai cinta, sampai ideologi, macam-macam bisa. Tapi menyajikan itu dalam bentuk sebuah tulisan yang bagus itu tidak dipunyai oleh siapapun kecuali oleh dia (penulis, red) sendiri. Bentuk yang kuat menjadikan kesenian itu kuat.

Menurut Anda sendiri?

Saya termasuk orang yang percaya pada Budi Darma.  Karya Danarto itu bentuknya dalam Godlob, seperti itu kayak trance. Hemingway lincah. Hamsad Rangkuti ekspresionisnya. Jadi begitulah, menurut saya kesenian yang bagus ya yang bentuknya bagus. Walau bentuk itu tidak menentukan segala-galanya.

Jadi Anda masih percaya peran humanisme pada seni?

Esensi dari kesenian itu humanisme. Tapi, bukan humanisme dalam arti abad 16-17. Dimana pun humanisme itu ada. Agama. Sosialisme. Kapitalisme.

Bagaimana dengan karya-karya ekstrem penyair Adonis, Satanic Verse-nya Salman Rushdie yang melampaui itu?

Tapi itu cerita tentang kemanusian juga. Secara kreatif, tidak apa-apa. Nah, meskipun cerita itu imajinasi itu kan abstraksi dari fenomena kemanusiaan.  Superman pun abstraksi kemanusiaan. Star War, meskipun itu di luar angkasa, tetapi fenomena kita. Fenomena kemanusiaan itu universal. Kecuali jika yang menulis bukan manusia, itu lain.

Tanggapan Anda dengan kesenian pembelot, pemberontak?

Semua kesenian yang baik adalah pemberontak pada lingkungannya. Karena kalau dia (seniman, red)  tidak memberontak pada lingkungannya, maka dia tidak akan menjadikan kreator besar. 

Termasuk pada rezim?

Kalau pada rezim itu lain. Itu fungsi dia sebagai partisipan politik. Apa ada tulisan yang menjatuhkan rezim? Tidak ada. Kejatuhan rezim itu karena perubahan sosial politik. Ada teori sendiri. Tugasnya seniman bukan itu. Jika rezim itu dalam arti kemapanan. Iya. Seniman besar itu pemberontak kemapanan. Pram. Chairil. Tardji yang berontak terhadap dominasi Chairil. Semua pemberontak, jika itu pakai kata ‘pemberontakan.’

Pada prakteknya seniman juga punya target mencari pengaruh, sehingga ideologi ambil peran. Semisal politik seni Utan Kayu. Tanggapan Anda?

Bedakan kreator dengan sebuah mahzab. Sebagai kreator tidak ada urusan dengan isme-isme. Ini kan soal kelompok sosial yang ingin mempunyai gagasan sendiri dalam  kontek kritik seni. Ini peran kritik seni. Berapa sih pengaruh Utan Kayu terhadap kesenian? Pada seniman? Tidak banyak. Dia hanya mewadahi bentuk kesenian. Pertimbangannya estetika bukan isme. Dia berpengaruh pada pemikiran, pada kritik seni, memang iya. Yang lalu diterapkan melalui standard-standar. Tapi itu standar dia. Kita tidak percaya nggak apa-apa. Boleh bikin sendiri. Dulu semuanya ditentukan standar Horison. Sekarang, bikin komunitas sendiri--nggak diakoni yo gak popo. Kreator beda dengan pemikiran. Ini jadi problem kalau dijumbohkan. Puisi Nirwan Dewanto dari Utan Kayu atau Salihara tidak banyak berpengaruh jika dibandingkan dengan pengaruh Afrizal Malna. Cuma, karena itu ditranformasikan politik, seolah Utan Kayu mahzab besar yang menakutkan semua orang, atau diirikan orang. Menurut saya bagus ada Utan Kayu, Salihara. Nanti yang lain bikin sendiri. Ngapain harus mempersoalkan mereka. Mereka juga nggak mengejar-ngejar. Kenyataannya dikejar-kejar sama Saut Situmorang, mereka juga nggak omong opo-opo. Bahkan di olok-olok pribadi. Konflik nggak apa-apa asal mahzab, soal baik dan  buruk. Tapi kalau masalah pribadi, kelompok, itu seperti parpol, jadinya.  (S. Jai)