Drs.
H. Aribowo, MS.
“Seniman itu Mengatasi
Kapitalisme dan Sosialisme”
(Sumber:
majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya edisi
7/September-Oktober 2012)
SEJAK
1984 sudah menekuni bidang politik dengan mengajar dan menjadi peneliti di
Departemen Ilmu Politik Universitas Airlangga (Unair). Sehingga mantan Lektor
Kepala Ilmu Politik Unair ini fasih berbicara perihal Gerakan Sosial Politik, Sistem Politik Indonesia, Kekuatan-Kekuatan
Politik Indonesia, Kebijakan Publik.
Selebihnya,
keterlibatannya di dunia seni—seperti pada Dewan Kesenian Surabaya dan Dewan
Kesenian Jawa Timur, dua lembaga yang pernah memposisikan dirinya selaku Ketua
Umum—tak heran menyebabkannya kritis saat mengupas seni yang bersentuhan, berkait atau berkelindan
dengan masalah ideologi.
Di
hadapan ideologi, menurut Magister Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada itu, seniman itu istimewa. Seniman adalah varian
tersendiri yang punya kemampuan individual luar biasa. Oleh karena itu, ia
mengkritisi pentingnya memilah antara karya seni dengan ideologi seni.
“Sebagai
kreator, seniman tidak ada urusan dengan isme-isme,” tandas pria yang telah dua
periode terpilih selaku Dekan di Fakultas Ilmu Budaya Unair itu.
Kepada Alur
yang mewancarai di ruang kerjanya, kawasan Dharmawangsa Dalam, Drs H Aribowo,
MS mengingatkan agar seniman tidak jumboh
dengan keberadaan sebuah kelompok sosial yang ingin mempunyai gagasan dalam
kontek kritik seni. Berikut wawancaranya:
Menurut Anda, dimana relevansi
perbincangan seni dan ideologi di era sekarang?
Itu perdebatan dari dulu sampai sekarang—apakah ideologi
mempengaruhi seni, seni berkembang dengan ideologi tertentu, atau bahkan seni
itu ‘berpengaruh’ terhadap ideologi. Jika ideologi kita artikan suatu sistem nilai
yang menjadi dasar perilaku masyarakat tertentu, sebagian besar kesenian kanon bermula
dari pikiran dasar macam itu. Surealisme, ekspresionisme, impresionisme,
dasarnya suatu sistem nilai tertentu di masyarakat yang lantas dijadikan pijakan.
Bahkan bermula dari ideologi satu-dua orang. Ideologi dalam pengertian ini lalu
bergerak dan melahirkan mahzab, isme.
Maka, ekpresionisme merevisi impresionisme. Lalu surealisme mengatasi
ekspresionisme. Termasuk munculnya pop
art, sebagai pemikiran kebudayaan baru yang pragmatis, melawan adiluhung.
Jika itu yang dikonsepkan sebagai ideologi, maka betul teori-teori struktural
genetik atau struktural itu—bahwa ada aktor yang selalu berinteraksi dengan
lingkungannya yang melahirkan ideologi.
Bisa Anda konkretkan penjelasannya?
Semisal dunia kepengarangan. Dengan ideologi yang terkonsep
seperti itu, maka penulis yang kuat tentu punya dasar asumsi yang kuat. Tanpa itu
tulisannya tidak punya bentuk. Maka Budi
Darma punya dasar pikiran—walau banyak yang terpengaruh oleh era Budi Darma--pada
dasarnya penulis itu menganalisis keadaan, fenomena, esensial masyarakat, yang kemudian
diceritakan secara naratif. Pengarang harus punya kemampuan itu. Nah, kesimpulan pada Budi Darma terhadap fenomena sosial, masyarakat itu
keluar dari ruang dan waktu, maka dia absurd. Artinya, orang masuk ke ruang lain itu bentuk absurditas.
Absurditas seperti kata Harry Aveling di Horison
menjadi dasar filsafat Budi Darma. Dasar pikiran itu yang menuntun bentuk
tulisannya. Afrizal Malna dengan filsafat antroposentrisme. Penulis besar punya
dasar itu yang membuat bentuk jati dirinya. Tapi itu bukan satu-satunya. Dan ideologi itu tidak konkret. Dia punya
banyak bentuk varian. Dari varian ideologi, menjadi basis komunitas tertentu,
sampai cair pada individual—yang menjadi asumsi dasar kepengarangan yang
menuntunnya terus untuk menulis. Semisal tulisan Danarto, kejawaan, klenik,
agak sufistik lalu melahirkan bentuk-bentuk seperti itu. Ini saya tidak ngomong
tentang politik. Saya omong hubungan seni dan ideologi. Karena seni itu tidak
selalu masif tetapi juga individual.
Pengarang juga demikian. Ketika dia menulis, individual. Saat dia bagian dari kritik seni, dia menjadi
satu golongan. Jadi kalau dalam rangka ideologi penting karena menuntun tulisan
itu, seni dan ideologi ada hubungannya.
Lantas, adakah tafsir lain dari
ideologi, mengingat seni juga berkembang—belakangan seni kembali menjadi bagian denyut kehidupan
sehari-hari?
Celakanya, ideologi—yang awalnya itu konsep politik dan
sosiologi—kemudian dipakai oleh kawan-kawan di dunia kesenian. Bahkan kadang
dipakai sertamerta, totalitas. Kemudian dicampakkan. Ideologi itu bukan konsep
kesenian. Mestinya tidak usah dipakai, karena ideologi itu konsep dasar
politik, konsep dasar sosiologis. Ketika Gramsci memberi arti baru pada
ideologi, artinya sudah sangat berbeda.
Seniman mungkin suatu saat harus menciptakan satu istilah tersendiri. Buatlah
konsep sendiri. Silakan seniman atau kritikus seni. Sehingga bisa mewakili. Karena
seniman ini agak berbeda secara sosiologis bila dibandingkan dengan komunitas lain,
dalam konteks hubungan ideologis ini. Memang benar, seniman dalam sosiologi makro
dia bagian dari sistem sosial, tetapi seniman itu punya kemampuan individual.
Itu yang luar biasa dibandingkan kelompok sosial yang lain. Dia menjadi varian
tersendiri. Dia menjadi aktor sendiri. Sangat egoistis, meskipun kemudian bisa menjadi
isme.
Setelah eksistensi individual seniman
telah mengalami puncak, lalu kesenian kembali pada masyarakat. Dimana ideologi
bisa berperan?
Itu yang saya maksudkan fenomena kesenian hendak dimasukkan
menjadi bagian dari konsep politik. Mau disamakan. Minimal mau didekatkan, atau
kadang-kadang kesewenangan itu mau dipaksakan. Bahwa seniman itu harus mengabdi
pada rakyat, memperkuat kepentingan rakyat. Itu yang saya katakan, ‘orang-orang
strukturalis’—ketika orang ini masuk atau melirik kesenian, berkolaborasi
dengan unsur kesenian dan masuk sewenang-wenang. Ini agak beda dengan anomie. Anomie kesenian itu terjadi
ketika individual tidak muncul, stratifikasi sosial begitu lemah, dan kesadaran
material sederhana, muatan intelektual itu sangat tinggi, sehingga komunitas
homogenitas itu menjadi penting. Ketika homogenitas menjadi penting,
komunalisme itu menjadi kuat, tetapi tidak berarti kesenian itu untuk rakyat. Ya,
memang karena sistem sosialnya, sistem kebudayaannya seperti itu. Dan mereka
menganggap kesenian bagian dari ritual itu. Bukan kesenian untuk pemberdayaan.
Nah, ketika kelompok strukturalisme, komunisme atau neokomunisme itu memasukkan
itu ke dalam teori common, maka kesenian
itu dipaksakan. Seolah-olah kesenian itu
mengabdi untuk kepentingan rakyat. Mungkin sisi tertentu, keadaan tertentu bisa
masuk, tetapi kadang-kadang dipaksakan.
Lalu, apakah sebetulnya seniman punya
peran dalam perubahan masyarakat?
Kesenian, sekarang secara alamiah ada fine art, applied art, pour art. Kesenian terapan sudah milik masyarakat. Contohnya,
pakaian. Bahwa kini sudah ada perdagangan, industrialisasi, itu urusan lain. Orang berpakaian, orang beragama yang ada
ritualnya itu juga milik bersama, komunal. Nggak ada satu orang menyukai kesenian untuk
ini. Memang ini menjadi intrumen mereka berhadapan dengan adi daya. Itu yang
kemudian sekarang yang dipaksakan bahwa kalau saya bikin teater harus teater
buruh, harus , teater rakyat, harus petani. Sehingga seolah-olah itu dicabut
bahwa itu sebetulnya komunalisme dulu dalam masyarakat tradisional, maka
sekarang penciptaan individual harus diabdikan. Itu yang kemudian menjadi
konflik—tapi nggak tahu apakah sudah cair atau belum—karena begitu banyak
variannya. Itulah menurut saya, bahwa berkesenian untuk kesenian itu sendiri.
Soal dia hidup sebagai masyarakat untuk kepentingan bangsa, itu ada sistem yang
lain itu yang digarap oleh sistem politik. Satu orang punya peranan
sendiri-sendiri. Jika peranan sosial saya sebagai dekan tentu melayani
masyarakat, tapi nanti kalau saya unjuk rasa, saya ambil peran politik. Satu hari peranan orang bisa beragam. Peranan
sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, seni. Itulah yang secara sosiologis kadang-kadang
tidak dipisahkan. Secara struktural tidak semua harus mengabdi kepada
kepentingan ideologis kerakyatan. Itu penyederhanaan, sehingga kesenian
ideologinya harus untuk kepentingan rakyat. Produktivitas kesenian bagi esensi kreativitas
kesenian tidak ada urusan dengan itu. Bahwa dia terilhami penderitaan
masyarakat, itu bahasa penciptaan individual dan bisa berkomunikasi karena itu.
Ketika di kesenian, dia tidak menjadi bagian dari pergerakan sosial. Jadi beda.
Ratna Sarumpaet boleh jadi sutradara, main teater. Teaternya bagus atau jelek?
Jika mau menggerakkan masyarakat, ya silakan dia sebagai leader social movement. Bahwa
kemudian dia membungkus itu dengan kesenian, dia paksakan kesenian untuk
kepentingan rakyat, walau esensinya social
movement yang dipengaruhi oleh disparitas, stratifikasi, perubahan sosial.
Bukan oleh konsep kesenian.
Itu artinya kesenian dijadikan alat?
Instrumen kecil. Itu yang kemudian dipaksakan sehingga dijadikan
ideologi.
Konsep seni eksistensi individu ini
sudah lama, sementara zaman berkembang. Lalu apa peran kesenian dihadapan begitu
banyak ‘rezim’ ini?
Begini. Peran kesenian di dunia kesenian itu konkret. Artinya,
orang berkesenian, maka dia akan berada di dalam art of community. Aktivitas kesenian pada umumnya, awalnya, masuk komunitas
tersendiri. Tetapi karena perkembangan masyarakat itu tidak steril, dia
berinteraksi dengan masyarakat yang lain. Maka komunitas kesenian ini dengan
ide-ide kesenian itu lalu ditranformasikan ke dalam aplikasi masyarakat. Maka
lahirnya, misalnya, bentuk-bentuk kesenian yang dipopkan. Bahkan kadang-kadang
menjadi industri. Menjadi model—model kesenian masyarakat. Itu bisa. Misalnya
film. Ketika produksi, dibahas oleh orang-orang film, didukung jaringan perfilman.
Karena film ini sifatnya masif, ketika dimainkan, maka dia masuk ke dalam
jaringan perdangangan film. Lalu masuk ke masyarakat—penonton remaja, dewasa,
tua, pinggiran, perkotaan, kelas ekonomi tinggi, bawah, menengah, dan masyarakat
banyak. Bisa semacam itu, karena film karakteristiknya masif, dia mempengaruhi audience. Visualitasnya luar biasa
karena itu menjadi besar. Lukisan? Nggak bisa begitu. Lukisan itu bahasa
individual, ditonton orang tertentu. Dia baru besar ketika disosialisasikan, dikritiksosialkan oleh kritikus, masuk media.
Tetapi itu komunitasnya terbatas.
Artinya, meskipun terbatas di situ
peran ideologi ada juga, begitu?
Maksud ideologi yang anda katakan di sini, adalah bahwa seniman dituntun
oleh suatu asumsi dasar. Bagi
orang-orang di luar kesenian yang kemudian memaksakan, ideologi itu dibayangkan
sebagai ideologi strukturalis, kapitalis dan sebagainya. Kesenian mengatasi
kapitalis, di atas sosialisme, di atas industri. Seniman yang bagus nggak peduli kapitalisme, sosialisme.
Orang yang mempersoalkan itu kapitalisme, sosialisme dan sebagainya itu adalah
bagian dari sebuah sistem sosial. Seniman di atas itu. Memang, seniman bisa
dari basis sosial tertentu, tetapi dia punya persepsi yang berbeda terhadap
satu fenomena. Kita bisa melihat, nggak
ada satu pun seniman yang membuat karyanya seragam. Orang-orang Manikebu,
Goenawan Mohamad, Rendra, Taufiq Ismail dansebagainya pun mengartikan fenomena itu
berbeda-beda. Orang-orang yang
komunis-komunisan seperti Pramoedya, Utoy Tatang Sontani pun beda meskipun sama-sama
Lekra, sama-sama dianggap komunis. Itu yang saya katakan seniman itu punya
kebebasan luar biasa. Itu yang dipaksakan oleh orang-orang yang diluar
kesenian, seolah-olah klaimnya ini kapitalisme ini sosialisme. Bahwa dia dekat, atau cocok dengan itu, karena
ada satu asumsi dasar ketika menulis dan ada sesuatu yang diperjuangkan.
Penulis yang bagus, dia memperjuangkan satu massage
dasar, kapitalisme, sosialisme. Gampang ya, humanisme itu. Misalkan anda menulis tentang
kerakyatan, lalu melihat fenomena
masyarakat. Pertanyaannya apakah anda lepas dari kapitalisme? Apakah dengan
demikian anda menjadi sosialisme? Kalau misalnya karya anda dicetak besar oleh
Gramedia—bagian dari kapitalisme. Kalau nggak mau dicetak lalu dibagi-bagi—bagian
dari sosialisme. Kapitalisme dan sosialisme
bukan itu. Apa tulisan itu memperkuat sosialisme kerakyatan? Juga tidak—karena
mungkin, apalagi anda belum terkenal—tulisan itu tidak dibaca orang. Novel mana
sih yang dibaca rakyat Indonesia 100
juga? Dibaca 5 juta saja terlalu besar. Banyak orang mengagungkan Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, tapi
berapa ratus juta sih yang baca.
Orang melihat film Ayat-Ayat Cinta;
bagus. Apa kemudian setelah itu orang masuk Islam semua?
Kata Foucoult ideologi sebenarnya sudah ada di sekitar kita
dan berjalin-kelindan dalam masyarakat. Bagaimana konkretnya kesenian yang
bagus di era sekarang?
Itu perdebatan dari dulu seperti sekarang. Susah. Tradisi kanon,
orang-orang yang klasik selalu punya unsur, misalnya pada sastra alurnya,
suspensinya, karakternya, narasinya yang bagus. Itu semua orang bisa bikin.
Budi Darma membuat penyederhanaan: keseimbangan antara bentuk dan isi. Terutama
bentuk, kesenian yang bagus selalu ditulis dalam bentuk yang bagus. Isi itu
universal. Mulai cinta, sampai ideologi, macam-macam bisa. Tapi menyajikan itu
dalam bentuk sebuah tulisan yang bagus itu tidak dipunyai oleh siapapun kecuali
oleh dia (penulis, red) sendiri.
Bentuk yang kuat menjadikan kesenian itu kuat.
Menurut Anda sendiri?
Saya termasuk orang yang percaya pada Budi Darma. Karya Danarto itu bentuknya dalam Godlob, seperti itu kayak trance. Hemingway lincah. Hamsad
Rangkuti ekspresionisnya. Jadi begitulah, menurut saya kesenian yang bagus ya
yang bentuknya bagus. Walau bentuk itu tidak menentukan segala-galanya.
Jadi Anda masih percaya peran
humanisme pada seni?
Esensi dari kesenian itu humanisme. Tapi, bukan humanisme dalam
arti abad 16-17. Dimana pun humanisme itu ada. Agama. Sosialisme. Kapitalisme.
Bagaimana dengan karya-karya ekstrem
penyair Adonis, Satanic Verse-nya Salman Rushdie yang melampaui itu?
Tapi itu cerita tentang kemanusian juga. Secara kreatif, tidak
apa-apa. Nah, meskipun cerita itu imajinasi itu kan abstraksi dari fenomena
kemanusiaan. Superman pun abstraksi kemanusiaan. Star War, meskipun itu di luar angkasa, tetapi fenomena kita.
Fenomena kemanusiaan itu universal. Kecuali jika yang menulis bukan manusia,
itu lain.
Tanggapan Anda dengan kesenian
pembelot, pemberontak?
Semua kesenian yang baik adalah pemberontak pada lingkungannya.
Karena kalau dia (seniman, red) tidak memberontak pada lingkungannya, maka dia
tidak akan menjadikan kreator besar.
Termasuk pada rezim?
Kalau pada rezim itu lain. Itu fungsi dia sebagai partisipan
politik. Apa ada tulisan yang menjatuhkan rezim? Tidak ada. Kejatuhan rezim itu
karena perubahan sosial politik. Ada teori sendiri. Tugasnya seniman bukan itu.
Jika rezim itu dalam arti kemapanan. Iya. Seniman besar itu pemberontak
kemapanan. Pram. Chairil. Tardji yang berontak terhadap dominasi Chairil. Semua
pemberontak, jika itu pakai kata ‘pemberontakan.’
Pada prakteknya seniman juga punya
target mencari pengaruh, sehingga ideologi ambil peran. Semisal politik seni
Utan Kayu. Tanggapan Anda?
Bedakan kreator dengan sebuah mahzab. Sebagai kreator tidak ada
urusan dengan isme-isme. Ini kan soal
kelompok sosial yang ingin mempunyai gagasan sendiri dalam kontek kritik seni. Ini peran kritik seni. Berapa
sih pengaruh Utan Kayu terhadap
kesenian? Pada seniman? Tidak banyak. Dia hanya mewadahi bentuk kesenian.
Pertimbangannya estetika bukan isme. Dia berpengaruh pada pemikiran, pada
kritik seni, memang iya. Yang lalu diterapkan melalui standard-standar. Tapi
itu standar dia. Kita tidak percaya nggak
apa-apa. Boleh bikin sendiri. Dulu semuanya ditentukan standar Horison. Sekarang, bikin komunitas
sendiri--nggak diakoni yo gak popo.
Kreator beda dengan pemikiran. Ini jadi problem kalau dijumbohkan. Puisi Nirwan
Dewanto dari Utan Kayu atau Salihara tidak banyak berpengaruh jika dibandingkan
dengan pengaruh Afrizal Malna. Cuma, karena itu ditranformasikan politik,
seolah Utan Kayu mahzab besar yang menakutkan semua orang, atau diirikan orang.
Menurut saya bagus ada Utan Kayu, Salihara. Nanti yang lain bikin sendiri.
Ngapain harus mempersoalkan mereka. Mereka juga nggak mengejar-ngejar.
Kenyataannya dikejar-kejar sama Saut Situmorang, mereka juga nggak omong opo-opo. Bahkan di olok-olok
pribadi. Konflik nggak apa-apa asal mahzab, soal baik dan buruk. Tapi kalau masalah pribadi, kelompok, itu
seperti parpol, jadinya. (S.
Jai)