Cinta dalam Sepotong Penagih
Utang
(Sumber: majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya edisi 7/September-Oktober 2012)
(Sumber: majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya edisi 7/September-Oktober 2012)
My sweet girl, hanya sakit
yang aku rasakan
ketika begitu tak berdaya untuk membuktikan
cintaku
padamu,”
(Surat
Freud pada Martha Bernays, kekasihnya)
PANGGUNG di gedung
Cak Durasim yang lumayan gedhe itu,
Senin (24/9) malam ditata rapi laiknya ruang keluarga yang sederhana, apik, dan
tentu saja mengena. Selain sepasang meja kursi, sisi kiri ada kelambu di pintu
kamar, lalu sebuah lukisan di dinding tengah dan di
sisi kanan sebuah almari besar tanpa isi
kecuali sebuah pesawat TV lama.
Tampaknya inilah
pencapaian artistik yang nikmat dipandang penonton yang malam itu cukup ramai—sebab betapa
pun publik teater Surabaya dan Jawa Timur tampaknya merindukan pertunjukkan
teater.
Malam itu naskah Beruang Penagih Hutang dipentaskan dan disutradarai
Supriadi alias Dedy Obenk—mahasiswa
Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW)—sebagai persyaratan menempuh tugas akhir
pendidikannya. Empat drama lain yang pentas sebelum dan sesudahnya oleh
mahasiswa lain adalah Sang Mandor (Bambang Hermanto), Pinangan (Sony Suharsono), Nyanyian
Angsa (Walidha Tanjung), dan Antigon (Fuad Dwiyono). Kesemuanya naskah terjemahan.
Beruang
Penagih Hutang adalah terjemah dari The
Bear, karya “Bapak Cerita Pendek” Anton Chekov yang ditulis pada akhir abad 19.
Memang Anton Chekov tokoh yang cukup banyak menampilkan sejumlah karya satir
perihal kekuasaan dalam sebuah ‘perang saudara’ di tengah keluarga—yang
kemudian ditampilkannya dalam romantisisme akan perdamaian di eranya. Oleh
karena setting penulisan beberapa karyanya terjadi pada saat senjakala monarkhi
Dinasti Tsar yang berkuasa selama 304 tahun di Rusia itu.
Di tangan Dedy Obenk, Beruang Penagih
Hutang dibuka dengan adegan duka seorang janda (Deny Tri Aryanti) karena
telah tujuh bulan kematian suaminya. Walau tidak terungkap betul apa alasan
duka sepanjang itu: cinta, kematian, ataukah sedang membuang sisa energinya
akibat kedua hal itu. Lalu seorang lelaki brangasan mantan tentara datang menagih warisan hutang peninggalan suami janda itu. Maka, terjadilah percekcokan hebat karena janda itu tak mampu bayar, sementara penagih hutang bersikukuh dan mulai ada maksud tersembunyi dari kehadirannya. Adegan drama ini diakhiri dengan kedua sejoli itu jatuh hati, saling pelukan dan melewatkan perihal hutang piutang.
Walau demikian
masalah cinta, sebetulnya menjadi soal dalam pertunjukkan ini dibandingkan masalah kematian, atau hutang itu sendiri. Ketika
tokoh janda sedang berduka berlebihan—meski telah tujuh bulan lamanya menjanda. “Kehidupanku
sudah berakhir.
Suamiku meninggal,
terbaring dalam kuburnya, dan aku mengubur diri sendiri di rumah ini. Kami berdua sama-sama sudah mati. Mati !” ungkap janda itu diantara isak tangisnya.
Demikian pula saat
tokoh janda itu mengungkap cintanya pada suaminya tidak akan pernah mati, walau
selama hidupnya sang suami kerap melakukan tindakan—istilah sekarang—Kekerasan dalam
Rumah Tangga. “Aku tahu bukan rahasia lagi bagimu, dia sering kejam kepadaku, kasar, dan bahkan; serong.
Tetapi kesetiaanku kepadanya akan kubawa sampai alam kubur,” katanya lagi.
Begitulah semua wujud cinta itu tampil berlebihan, sekalipun dimaksudkan sebagai sebuah
muslihat ‘ideologi’ sebuah naskah drama.
Naskah The Bear ditulis sekitar
1880-1890. Artinya hanya terpaut sekitar 20
tahun dengan saat Freud mengumumkan pemetaan fase perkembangan
kepribadian manusia. Tentu ini sebuah keadaan zaman alias zeitgeist
yang patut dipertanyakan dan yang
penting untuk dijawab pada kontek sekarang—saat siapapun, baik perempuan maupun
lelaki bisa menjadi pemimpin (apapun artinya—bahkan pemimpin rumah tangga dalam
kontek drama ini). Yaitu sebagai ‘utopia’ yang diramalkan dari
masyarakat komunikatif sebagaimana digambarkan oleh filosuf
aliran Frankfurt alias teori kritis, Jurgen
Habermas itu.
Lalu cinta yang
berlebihan ataukah ketergantungan perempuan atas lelaki suaminya? Semestinya sutradara mempertimbangkan
pula hal ini sekaligus untuk memberi spirit baru selama membongkar-pasang saat ziarah
naskah. Atau barangkali sutradara berpendapat
lain—setidaknya sekilas bisa tertangkap dari pilihan bentuk
pertunjukkan yang sudah lazim—bahkan bagi dunia teater semacam panggung
Srimulat, misalnya?
Terlihat juga dari gaya
dan hasratnya untuk menampilkan lelucon meski sering tak sampai berujung selesai
pada penonton. Pada titik ini, memang lelucon ala Srimulat dan satire gaya Anton Chekov hanyalah beda
pada tataran bahasa.
Memang banyak sekali
hasrat yang hendak dimunculkan dalam panggung teater Beruang Penagih Hutang Dedy Obenk
ini. Dalam bahasa Freud ‘hasrat untuk
hidup’ dan ‘hasrat untuk mati.’ Dari
hasrat kesedihan yang merusak, keinginan seorang janda untuk cinta mati pada
suaminya, menuju hasrat untuk bercinta dengan lelaki penagih hutang dan
melestarikan kehidupan mereka selanjutnya.
Dalam hal
persoalan cinta, hasrat untuk hidup, insting-insting nafsu seksual-erotika,
drama Beruang Penagih Hutang ini berjibaku pada
kepribadian tokoh-tokohnya di seputar istilah
Freud Id, di samping Ego dan Superego. Betapa
sesungguhnya hasrat untuk bercinta itu sebagai suatu bangun ketaksadaran (unconscious) betul-betul menjadi penguasa yang menopang baik kesadaran maupun
prasadar. Sebagaimana digambarkannya dengan ilustrasi yang sangat
terkenal—sebuah pulau es di tengah lautan dimana ego sebagai puncak gunung es, kemudian ditopang superego di permukaan laut, sementara
bagian terbesar adalah id sebagai energi murni yang tersembunyi di dasar laut.
Tampaknya atas dasar
itulah, Dedy Obenk melalui Beruang Penagih Hutang ini, hendak
kembali memaparkan ‘kenyataan psikis yang sebenarnya’ pada manusia, terlebih
perempuan—yang telanjur distigmatisasi irrasional, lemah lembut, mudah
ditaklukkan, bahkan oleh lingkungan
sosial dunia luar, yang tidak berpihak
padanya sebagai ukuran moralistik, mistis, agamis dan sebagainya. Tampilnya perempuan berjilbab, pembantu rumah
tangga, lelaki berjaket kulit memperkuat stigma itu.
Beruntung, ending dari adegan Beruang Menagih Hutang ini adalah adegan pelukan (dan bukan
pernikahan) sebagai jalan tengah ketegangan
hasrat-hasrat para tokohnya. Sebagai semacam bentuk
kepercayaan diri sutradara pada teks teaternya. Dan memang ada peluang teater
ini mengarah pada keteguhan itu, walau apa yang terungkap dari hasil terjemahan
Landung Simatupang atas The Bear,
sesungguhnya menyimpan banyak keraguan pada tokoh-tokohnya.
“Hai mau
kemana itu ? tunggu dulu! Tapi
tidak ! Pergilah. Oookh…. Alangkah marahnya Aku !,” begitu amarah yang hanya di bibir janda itu. Sementara
lelaki penagih itu mengutuk dirinya saat meraih pinggang, sebelum akhirnya
memeluk janda itu. “Untuk ini, aku tidak
bakalan pernah memaafkan diriku sendiri,” ujar lelaki itu, sebatas ucapan
bibir belaka.
Sehingga untuk seterusnya, sesudah pelukan antar kedua sejoli itu
berpasrah kepada penonton. Apakah yang terjadi? Betulkah penonton berpikir
demikian, meski sebagian besar mereka adalah berusia diatas masa pubertas?
Jika pun sutradara
mengawali proses teaternya bermula dari pandangan Freud tersebut, semestinya mencoba menawarkan
kegenitan berpikir ke sana. Bahwa libido,
energi seksual adalah energi yang menggerakan insting-insting hidup untuk
menjalankan tugasnya—yang berdasar pengalaman teater kita ‘tahap genitan’ dari
Freud ini sedikit banyak telah diekplorasi dengan baik oleh Srimulat.
Barangkali masalah
utama dari teater Beruang Penagih Hutang
dalam hal ekplorasi libido ini adalah
apa yang bisa diperbuat teater ketika dorongan seksual, khususnya yang tertuju pada kenikmatan hubungan
seksual, mastrubasi, seks, oral, homo seksual dan kecenderungan-kecenderungan
seksual yang kita anggap biasa saat ini, tidak dianggap Freud—pada awal abad
20—sebagai seksualitas yang normal?
Dengan kata lain,
pertaruhan teater libido Beruang Penagih
Hutang adalah pertarungan naluri seksual dan
usaha mempertahankan diri. Yang satu bisa dikendalikan, difantasikan, yang
lainnya harus terpuaskan. Keluwesan seorang yang jatuh cinta akankah
melumpuhkan kekakuan naluri mempertahankan diri, bergantung pada hasrat kita
selaku penonton. Boleh jadi bagi penonton lelaki pun beda persepsi dengan penonton
perempuan.
Begitulah tokoh-tokoh Beruang Menagih Hutang ini
memperjuangkan hasrat kenikmatan untuk hidup, walau dengan jalan menekan diri,
menyiksa diri dan menyakitkan. Atau barangkali sutradara memiliki jalan hidup
yang lain—ketika menurutnya rasa sakit justru akan memperkuat kenikmatan lebih
mendalam?
Entahlah.
Atas nama ‘superego’—etika
berkesenian, demikianlah tampaknya pertanyaan itu belum saatnya kita tanyakan
padanya. [S Jai]