Senin, 03 Desember 2012

catatan


Cinta dalam Sepotong Penagih Utang

(Sumber:  majalah seni budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya  edisi 7/September-Oktober 2012)




My sweet girl, hanya sakit yang aku rasakan 
ketika begitu tak berdaya  untuk membuktikan 
cintaku padamu,” 

(Surat Freud pada Martha Bernays, kekasihnya)

PANGGUNG di gedung Cak Durasim yang lumayan gedhe itu, Senin (24/9) malam ditata rapi laiknya ruang keluarga yang sederhana, apik, dan tentu saja mengena. Selain sepasang meja kursi, sisi kiri ada kelambu di pintu kamar, lalu sebuah lukisan di dinding tengah dan di sisi kanan sebuah almari besar tanpa isi kecuali sebuah pesawat TV lama.

Tampaknya inilah pencapaian artistik yang nikmat dipandang penonton yang malam itu cukup ramaisebab betapa pun publik teater Surabaya dan Jawa Timur tampaknya merindukan pertunjukkan teater.

Malam  itu naskah Beruang Penagih Hutang dipentaskan dan disutradarai Supriadi alias Dedy Obenk—mahasiswa Jurusan Teater Sekolah Tinggi Kesenian Wilwatikta (STKW)—sebagai  persyaratan menempuh tugas akhir pendidikannya. Empat drama lain yang pentas sebelum dan sesudahnya oleh mahasiswa lain adalah Sang Mandor (Bambang Hermanto), Pinangan (Sony Suharsono), Nyanyian Angsa (Walidha Tanjung), dan Antigon (Fuad Dwiyono). Kesemuanya naskah terjemahan.

Beruang Penagih Hutang adalah terjemah dari The Bear,  karya “Bapak Cerita Pendek”  Anton Chekov yang ditulis pada akhir abad 19. Memang Anton Chekov tokoh yang cukup banyak menampilkan sejumlah karya satir perihal kekuasaan dalam sebuah ‘perang saudara’ di tengah keluarga—yang kemudian ditampilkannya dalam romantisisme akan perdamaian di eranya. Oleh karena setting penulisan beberapa karyanya terjadi pada saat senjakala monarkhi Dinasti Tsar yang berkuasa selama 304 tahun di Rusia itu.

Di tangan Dedy Obenk, Beruang Penagih Hutang dibuka dengan adegan duka seorang janda (Deny Tri Aryanti) karena telah tujuh bulan kematian suaminya. Walau tidak terungkap betul apa alasan duka sepanjang itu: cinta, kematian, ataukah sedang membuang sisa energinya akibat kedua hal itu. Lalu seorang lelaki brangasan mantan tentara datang menagih warisan hutang peninggalan suami janda itu.  Maka, terjadilah percekcokan hebat  karena janda itu tak mampu bayar, sementara penagih hutang bersikukuh dan mulai ada maksud tersembunyi dari kehadirannya. Adegan drama ini diakhiri dengan kedua sejoli itu jatuh hati, saling pelukan dan melewatkan perihal hutang piutang.

Walau demikian masalah cinta, sebetulnya menjadi soal dalam pertunjukkan ini dibandingkan masalah kematian, atau hutang itu sendiri. Ketika tokoh janda sedang berduka berlebihan—meski telah tujuh bulan lamanya menjanda. Kehidupanku sudah berakhir. Suamiku meninggal, terbaring dalam kuburnya, dan aku mengubur diri sendiri di rumah ini. Kami berdua sama-sama sudah mati. Mati ! ungkap janda itu diantara isak tangisnya.

Demikian pula saat tokoh janda itu mengungkap cintanya pada suaminya tidak akan pernah mati, walau selama hidupnya sang suami kerap melakukan tindakan—istilah sekarang—Kekerasan dalam Rumah Tangga.  Aku tahu bukan rahasia lagi bagimu, dia sering kejam kepadaku, kasar, dan bahkan; serong. Tetapi kesetiaanku kepadanya akan kubawa sampai alam kubur,” katanya lagi.

Begitulah semua wujud cinta itu tampil berlebihan, sekalipun dimaksudkan sebagai sebuah muslihat ‘ideologi’ sebuah naskah drama.

 Naskah The Bear ditulis sekitar 1880-1890. Artinya hanya terpaut sekitar 20  tahun dengan saat Freud mengumumkan pemetaan fase perkembangan kepribadian manusia. Tentu ini sebuah keadaan zaman alias zeitgeist yang patut dipertanyakan dan yang penting untuk dijawab pada kontek sekarang—saat siapapun, baik perempuan maupun lelaki bisa menjadi pemimpin (apapun artinya—bahkan pemimpin rumah tangga dalam kontek drama ini). Yaitu sebagai ‘utopia’ yang diramalkan dari masyarakat komunikatif sebagaimana digambarkan oleh filosuf aliran Frankfurt alias teori kritis, Jurgen Habermas itu.

Lalu cinta yang berlebihan ataukah ketergantungan perempuan atas lelaki suaminya?  Semestinya sutradara mempertimbangkan pula hal ini sekaligus untuk memberi spirit baru selama membongkar-pasang saat ziarah naskah. Atau barangkali sutradara berpendapat lain—setidaknya sekilas bisa tertangkap dari pilihan bentuk pertunjukkan yang sudah lazim—bahkan bagi dunia teater semacam panggung Srimulat, misalnya?  Terlihat juga dari gaya dan hasratnya untuk menampilkan lelucon meski sering tak sampai berujung selesai pada penonton. Pada titik ini, memang lelucon ala Srimulat dan satire gaya Anton Chekov hanyalah beda pada tataran bahasa.

Memang banyak sekali hasrat yang hendak dimunculkan dalam panggung teater Beruang Penagih Hutang Dedy Obenk ini.  Dalam bahasa Freud ‘hasrat untuk hidup’ dan ‘hasrat untuk mati.’  Dari hasrat kesedihan yang merusak, keinginan seorang janda untuk cinta mati pada suaminya, menuju hasrat untuk bercinta dengan lelaki penagih hutang dan melestarikan kehidupan mereka selanjutnya.  

Dalam hal persoalan cinta, hasrat untuk hidup, insting-insting nafsu seksual-erotika, drama Beruang Penagih Hutang ini berjibaku pada kepribadian tokoh-tokohnya di seputar istilah Freud Id, di samping Ego dan Superego.  Betapa sesungguhnya hasrat untuk bercinta itu sebagai suatu bangun ketaksadaran (unconscious) betul-betul menjadi penguasa yang menopang baik kesadaran maupun prasadar. Sebagaimana digambarkannya dengan ilustrasi yang sangat terkenal—sebuah pulau es di tengah lautan dimana ego sebagai puncak gunung es, kemudian ditopang superego di permukaan laut, sementara bagian terbesar adalah id sebagai energi murni yang tersembunyi di dasar laut.

Tampaknya atas dasar itulah, Dedy Obenk melalui Beruang Penagih Hutang ini, hendak kembali memaparkan ‘kenyataan psikis yang sebenarnya’ pada manusia, terlebih perempuan—yang telanjur distigmatisasi irrasional, lemah lembut, mudah ditaklukkan, bahkan oleh lingkungan sosial dunia luar,  yang tidak berpihak padanya sebagai ukuran moralistik, mistis, agamis dan sebagainya. Tampilnya perempuan berjilbab, pembantu rumah tangga, lelaki berjaket kulit memperkuat stigma itu.

Beruntung, ending dari adegan Beruang Menagih Hutang ini adalah adegan pelukan (dan bukan pernikahan) sebagai jalan tengah ketegangan hasrat-hasrat para tokohnya. Sebagai semacam bentuk kepercayaan diri sutradara pada teks teaternya. Dan memang ada peluang teater ini mengarah pada keteguhan itu, walau apa yang terungkap dari hasil terjemahan Landung Simatupang atas The Bear, sesungguhnya menyimpan banyak keraguan pada tokoh-tokohnya.

“Hai mau kemana itu ? tunggu dulu! Tapi tidak ! Pergilah. Oookh…. Alangkah marahnya Aku !,” begitu amarah yang hanya di bibir janda itu. Sementara lelaki penagih itu mengutuk dirinya saat meraih pinggang, sebelum akhirnya memeluk janda itu. “Untuk ini, aku tidak bakalan pernah memaafkan diriku sendiri,” ujar lelaki itu, sebatas ucapan bibir belaka.

Sehingga untuk seterusnya, sesudah pelukan antar kedua sejoli itu berpasrah kepada penonton. Apakah yang terjadi? Betulkah penonton berpikir demikian, meski sebagian besar mereka adalah berusia diatas masa pubertas?

Jika pun sutradara mengawali proses teaternya bermula dari pandangan Freud tersebut,  semestinya mencoba menawarkan kegenitan berpikir ke sana. Bahwa libido, energi seksual adalah energi yang menggerakan insting-insting hidup untuk menjalankan tugasnya—yang berdasar pengalaman teater kita ‘tahap genitan’ dari Freud ini sedikit banyak telah diekplorasi dengan baik oleh Srimulat.

Barangkali masalah utama dari teater Beruang Penagih Hutang dalam hal ekplorasi libido ini adalah apa yang bisa diperbuat teater ketika dorongan seksual, khususnya yang tertuju pada kenikmatan hubungan seksual, mastrubasi, seks, oral, homo seksual dan kecenderungan-kecenderungan seksual yang kita anggap biasa saat ini, tidak dianggap Freud—pada awal abad 20—sebagai seksualitas yang normal?

Dengan kata lain, pertaruhan teater libido Beruang Penagih Hutang adalah pertarungan naluri seksual dan usaha mempertahankan diri. Yang satu bisa dikendalikan, difantasikan, yang lainnya harus terpuaskan. Keluwesan seorang yang jatuh cinta akankah melumpuhkan kekakuan naluri mempertahankan diri, bergantung pada hasrat kita selaku penonton. Boleh jadi bagi penonton lelaki pun beda persepsi dengan penonton perempuan.

Begitulah tokoh-tokoh Beruang Menagih Hutang ini memperjuangkan hasrat kenikmatan untuk hidup, walau dengan jalan menekan diri, menyiksa diri dan menyakitkan. Atau barangkali sutradara memiliki jalan hidup yang lain—ketika menurutnya rasa sakit justru akan memperkuat kenikmatan lebih mendalam?

Entahlah.

Atas nama ‘superego’—etika berkesenian, demikianlah tampaknya pertanyaan itu belum saatnya kita tanyakan padanya. [S Jai]