Senin, 03 Desember 2012

esai

Teater dan Masyarakat Komunikatif
Oleh S JAI*)

(Sumber: Majalah Seni Budaya  Kidung, Dewan Kesenian Jawa Timur edisi 24 tahun 2012)


PADA 1990-an saya dikejutkan  dengan kemunculan idiom baru dalam dunia seni pertunjukan, khususnya Indonesia, yang muncul dari ranah Jogjakarta:  proses penyutradaraan bersama.  Terlebih rangka bangun manajemen isu pertunjukan ketika itu juga begitu kuat—tepatnya pada 1992 dengan kemunculan teater Pak Kanjeng yang ditulis oleh Emha Ainun Nadjib.

Emha menulis naskah monolog yang memang untuk “didialogkan” oleh tiga aktor tersebut selepas dirinya keluar dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia).  Salah satu alasan kuat keluarnya  Emha Ainun Wajib dari ICMI saat itu konon berkait dengan sikap dan pandangan organisasi itu atas berlarut-larutnya nasib masyarakat pasca penggusuran rumah penduduk untuk pembangunan Waduk Kedungombo di Sragen dan Boyolali.

Seperti diketahui, pembangunan waduk Kedongombo yang berlangsung sejak 1985 menyisakan “pembangkangan” 662 warga karena menolak digusur dengan ganti rugi Rp 250/meter persegi. Itu tahun tahun tangan besi Soeharto belum berkarat.  Ratusan warga yang distempeli dengan khas oleh Orde Baru cap PKI, sampai batas peresmian waduk Mei 1991 tetap bersikukuh menuntut haknya.

Naskah Pak Kanjeng terinspirasi dari peristiwa pembangkangan itu dari sana. Naskah lantas dimainkan para aktor dari komunitas Teater Gandrik, Yogyakarta itu pada 1992-1994 dan dicekal dimana-mana; Jogjakarta, Lampung, Surabaya, Denpasar.  Dalam pelbagai pemaparan “kredonya” baik oleh penulis naskah maupun pemain yang semuanya terlibat selaku sutradara bersama, serta kru lainnya, maupun para ‘juru bicara’ yang salah satunya adalah networker Halim HD, mereka mengungkapkan, “teknik penyutradaraan bersama,” kemudian berkembang menjadi ekplorasi secara bersama, yang salah satunya adalah secara bersama-sama menjadikan masyarakat Kedungombo sebagai wilayah garapannya.

Meski pencekalan pada akhirnya membawa konsekuensi pada tingkat efektivitas penyebaran ideologis maupun terbacanya ideologi tertentu dari penguasa, toh praktek itu terus dijadikan alat untuk di satu sisi mencoba memasung pikiran kembara seniman. Kedua-duanya baik yang ‘mapan’ maupun yang ‘resisten’ sama-sama menawarkan sesuatu yang disebut dalam istilah Zizek sebagai real maupun simbolik.  Dua-duanya memberikan suatu skenario fantasi bagi hadirnya keadaan sosial yang ideal. Singkatnya ideologi memberikan visi suatu masyarakat ideal yang tidak ada dalam realitas. Di dalamnya terdapat konsepsi tentang fantasi, sangat intersubjektif, dan menginginkan pembentukan keadaan sosial yang ideal. Sedangkan yang ‘real’ adalah tanggapan dan berbagai macam bentuk protes yang mengambil jalan berbeda dengan pandangan pemerintah.

Ketika itu saya tertarik membaca proses itu sejak “penyutradaan bersama” hingga ekses dari pencekalan dari sisi sosiologi pengetahuan dan sejarah intelektual (mental) masyarakat waktu itu, yang tak lain kepanjangan dari pola pikir ideologis: bahwa kita tidak pernah bisa benar-benar terbebas dari kerangka ideologi tertentu. Kemampuan kita ada pada proses internalisasi dan ekternalisasi, objektivisasi dan subjektivisasi. Realitas subjektif dihasilkan dari interaksinya dengan struktur sosial, sementara penemuan-penemuan baru manusia menjadi bagian dari realitas masyarakatnya.

Belakangan idiom “penyutradaan bersama” tersebut kembali disebut-sebut juga oleh seniman teater Yogjakarta yang juga direktur program Teater Garasi: Yudi Ahmad Tajudin. Hanya saja, Yudi menyebutnya demi untuk mengukuhkan setiap usaha mengembangkan pendekatan yang lebih kolektif yang disebutnya prespektif devised-performance. Yaitu pertunjukkan yang tidak melulu bertumpu pada konstruksi yang sudah jadi, tetapi tumbuh dari eksplorasi bersama dalam kerangka interdisipliner.  Namun demikian pemaparan terbaru ini pun belum menggeser pembacaan saya atas hal itu dari sisi sosiologis dan sejarah mental. Tak lain karena tampaknya sebagaimana kebanyakan orang ternyata kita belum mampu keluar dari kurungan ideologi.

Kiranya,  beberapa tahun terakhir ini ada peristiwa menarik di dunia seni, khususnya teater.  Para perempuan pekerja seks komersil (PSK) sudi bermain drama. Begitu pula dengan para nara pidana dari Lembaga Pemasyarakatan pun berminat pada teater. Bukan mustahil suatu ketika penghuni Rumah Sakit Jiwa juga ambil bagian dalam seni peran ini. Atau setidaknya psikolog dan psikiater di RSJ tersebut semestinya punya kesadaran pentingnya terapi pasien melalui kegiatan teater.

Dalam bidang pemikiran tentu gejala dan peristiwa tersebut menarik, karena justru kemunculannya pada saat banyak orang mempertanyakan dampak besar modernitas.  Katarsis atau terapi di satu sisi, sebagai reaksi atas dampak dari modernitas yang kemudian sering disebut sebagai krisis kemanusiaan.  Seringpula keduanya dipertentangkan.  Modern di satu sisi, Kritik atas modern di sisi lain. Terkadang modern dihadapkan dengan pasca modern. Seringkali juga modern disangkal oleh religiusitas, agama atau iman.

Pendek kata itu semua mempertontonkan bahwa modernitas adalah pembawa keadaan dimana krisis kemanusiaan kemudian terjadi—sebuah kondisi yang barangkali tak pernah dibayangkan oleh bapak modernisme dan rasionalisme Rene Descartes.

Rene Descartes orang yang sangat rendah hati jika ditilik dari penuturannya yang indah dalam buku Risalah Tentang Metode.  Seakan ia betul-betul menjaga perasaan orang lain, meskipun menemukan hal yang baru. Ia pun seorang yang sangat relegius, berpegang teguh pada adat dan agama.

Tetapi watak religiusnya menjadi spirit tersendiri dalam keberanian berpikirnya untuk menopang eksperimennya. Dengan kata lain,  pengetahuan menurutnya adalah instrumen “rasionalitas instrumental” yang ditopang oleh keimanan religiusnya yang kuat. 

Barangkali pula Rene Descartes tak menyadari temuannya di bidang rasionalisme tersebut berkembang pesat bahkan melampuai kuasa manusia.  Bahkan ia bagaikan bapak yang melahirkan anak-anak kurangajar ketika Max Weber menuduh Descartes penyemai benih disenchantment of the word, karena memang Descartes melihat tubuh seperti mesin canggih. Lalu, pemikir Inggris Gilbert Ryle, melontarkan sinisme pada Rene Descartes yang berpendapat  manusia sebagai mesin yang dihantui, manusia terdiri dari badan dan jiwa.

Krisis Kemanusiaan tak lain akibat dari pemujaan rasionalitas dan ketidakpercayaan diluar rasio yang disebut Weber disenchantment of the word tersebut.  Dalam bahasa Frintjof Capra, krisis kemanusiaan terjadi di banyak bidang norma moral, penyakit jiwa, kehilangan orientasi hidup bermakna, kerusakan lingkungan yang semakin parah, kekerasan, keserakahan, ancaman perang nuklir, kesenjangan yang melebar, kelaparan, kekurangan gizi 15 juta sebagian besar anak mati tiap tahun, 500  juta kekurangan gizi, 40 persen penduduk dunia tak terlayani kesehatan, tetapi 3 kali biaya untuk persenjataan.

Kita akui, 200 tahun setelah Rene Descartes pergi, krisis kemanusiaan itu benar-benar terjadi. Sebuah keadaan yang satu sisi rasio dan sisi lain religiusitas saling mengasingkan.  Agama menolak takluk pada rasio, demikian pula rasio mengasingkan agama.

Dan penganut mahzab frankfrutlah yang secara konsisten pertama kali menggugat dan melancarkan kritik atas pemujaan rasio.  Diantara mereka adalah Horkhimer, Adorno, Marcuse serta Jurgen Habermas. Kontroversi kedua mazhab ini dikenal dengan antara das Sollen dan das Sein. Filsafat bukan mengungkap pengetahuan tentang apa yang ada (das Sein) untuk mengungkap pengetahuan tentang apa yang seharusnya ada (das Sollen).

Habermas menjadi juru bicara paling bersemangat, bahkan ketika berseberangan dengan para pengkritik modernisme yang lain.  Seperti halnya berdebat terhadap kaum pasca modernisme seperti Michael Foucault (1926-1984).  Habermaslah yang mengembangkan teori emansipasi. Teori yang sekaligus mempersoalkan ilmu pengetahuan bebas nilai, bebas kepentingan, harus berdiri sendiri, harus melepaskan rasa kasihan, harus melepaskan apa yang ada disekirtarnya. Penilaian moral, agama dan hasrat pembebasan dianggap mengusir kenetralan rasio. Karena itu, modernitas selama ini berarti meninggalkan intuisi (prasangka) pribadi,  penilaian moral, tinggalkan kebudayaan, tinggalkan ideologi agama, tinggalkan rasialisme, karena semua itu dapat mempengaruhi kenetralan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus.

Inilah menurut  Habermas cikal bakal dari benih krisis kemanusiaan dan dirinya mengembangkan emansipasi, bukan saja atas perbudakan, kolonialisme, kekuasaan, tapi juga  “ruang kosong” atau “Ketidaktahuan” dari pengetahuan rasio yang selama ini dipraktekan ilmu pengetahuan selama beratus-ratus tahun.  Habermas terang-terangan menolak pengasingan rasio dari kehidupan dan ia mempertimbangkan refleksi agama, moral, dan budaya.

Satu hal lagi yang dikritik Habermas dan yang paling nyata berdampak pada krisis kemanusiaan global adalah: Ideologi.  Bagi Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan bahwa dirinya yang terhebat. Ideologi amat sarat dengan kepentingan. Sebagaimana Louis althusser lebih komplek mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan

Ideologi menurutnya merupakan partisipasi segenap kelas sosial, bukan sekadar seperangkat ide yang dipaksakan oleh suatu kelas terhadap kelas lainnya. Fakta bahwa segenap kelas berpartisipasi di dalam praktek tersebut tidak berarti bahwa praktik itu sendiri tidak melayani kepentingan kelas dominan. Dengan kata lain, ideologi bekerja dari dalam dan manusia telah dan akan terus terbenam dalam ideologi, sejak sebelum jadi bayi hingga mati. “Bahwa tidak ada sesuatu apapun yang berada di luar ideologi, atau pada saat yang sama, tidak ada sesuatu apapun yang tidak berada di luar ideologi,” tandas Althusser.

Terhadap hal itulah, kritik atas ideologi Habermas mengandung pengertian refleksi diri, individu akan memahami posisi diri sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari kungkungan ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau pendewasaan. Atas dasar itu pula Habermas menciptakan “masyarakat komunikatif,” yang kemudian sering dikembangkan pada kerja pemberdayaan, termasuk bidang teater sebagaimana kemungkinan drama-drama di atas.

Panggung berseting empat tangga yang digantung menuju arah langit, teater   Shelter Rumah Hati, Jombang adalah simbol yang jelas berkait erat dengan tujuan atau citacita—sebuah kata kunci yang tak asing bagi setiap aktivitas pemberdayaan.

Di bawah dampingan Shelter Rumah Hati, proses teater buat mereka adalah proses belajar memimpin diri sendiri, memberdayakan diri melalui media paling ampuh: komunikasi.  Mereka merancang bangun gambaran mengenai sesuatu yang baik, idealisme, cita-cita yang bermakna. Di situlah para eks tahanan ini mengembangkan etika kreatif, menghormati, menghargai sesama kawan yang belajar, menumbuhkan keyakinan pada sesuatu yang benar untuk dunianya yang dibangunnya dengan lebih baik, menerbitkan kepekaan, empati dengan melayani orang lain, tak berburuk sangka, apalagi memaksakan kehendak sendiri. Mereka bersentuhan dengan keberanian, kesabaran, pengabdian, ketekunan, rendah hati dengan rasa hormat pada keberagaman orang lain.

Mereka adalah eks tahanan yang beruntung karena dirinya sungguh penting dalam teater. Ia dihargai idenya, imajinasinya, naskah buatannya sendiri. Mungkin dia bukan aktor. Tetapi mereka memiliki spirit sebagai aktor, khususnya dalam memerankan dirinya sendiri.  Bukankah teater menurut Rendra justru yang bersifat spirituil?

Mereka beruntung karena bisa mengasah daya asosiasi, panca indera,  juga improvisasi yang menyiapkan dirinya tangkas pada lingkungan dan giras bekerja. Dan itu dilakukannya dengan penuh kesadaran diri akan kekuatan dirinya. Namun pada teater yang dimainkkannya mereka bisa menumbuhkan kepercayaan diri, bahkan dalam kesulitan paling muskil bisa mendorong diri tanpa bertumpu pada harapan orang lain. Inilah sebenarnya kemerdekaan.

Mereka telah menjaga kemerdekaan itu, menjaga integritas perbuatan dan hati nuraninya. Mereka telah tahu kemerdekaan bisa lepas darinya bila tak dijaganya.  Maka, mungkin mereka bukan aktor, namun teater itu  telah mempertegas hakekat  yang disebut  Rendra 32 tahun lalu sebagai “usaha untuk mempertahankan intrinsik kemanusiaan dan menangkap kembali keyakinan Suyatna Anirun, bahwa teater untuk menemukan manusia.

Sekaligus teater sebagai terapi psikologis melalui proses belajar proses belajar memimpin diri sendiri, memberdayakan diri melalui media paling ampuh: komunikasi.  Mereka merancang bangun gambaran mengenai sesuatu yang baik, idealisme, cita-cita yang bermakna. Di situlah teater mengembangkan etika kreatif, menghormati, menghargai sesama kawan yang belajar, menumbuhkan keyakinan pada sesuatu yang benar untuk dunianya yang dibangunnya dengan lebih baik, menerbitkan kepekaan, empati dengan melayani orang lain, tak berburuk sangka, apalagi memaksakan kehendak sendiri. Mereka bersentuhan dengan keberanian, kesabaran, pengabdian, ketekunan, rendah hati dengan rasa hormat pada keberagaman orang lain.

Pendek kata, itulah teater yang bersifat spiritual bisa menumbuhkan kepercayaan diri, bahkan dalam kesulitan paling muskil bisa mendorong diri tanpa bertumpu pada harapan orang lain. Inilah sebenarnya yang disebut Rendra, kemerdekaan.  Sebuah kerja keras dengan paradigma berpikir yang jelas meski dimulai dari hal terkecil dan dekat dengan dirinya dalam menghadapi krisis kemanusiaan;  menjaga kemerdekaan, menjaga integritas perbuatan dan hati nuraninya dan menangkap keyakinan dan menemukan kembali manusia.

Karena manusia telah selama ratusan tahun diasingkan, sebagaimana digambarkan pemikir  Jean Baudrillard  “keterasingan” bahwa betapa dunia referensial komoditi hanyalah jalan sejarah menuju kondisi semiurgi radikal yang bertujuan menghilangkan konsep masyarakat dan realitas, dan menuju susunan kode-kode dan tanda-tanda.  Hilangnya konsep masyarakat dan realitas, termasuk manusia disebabkan identitas seseorang  tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri.

Pendeknya, idiomnya boleh beda, akan tetapi dalam proses kerja teater yang mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat komunikatif, bukan mustahil simpul estetikanya setali tiga uang: menemukan kembali manusia di tengah masyarakatnya.  Dengan kata lain dalam hitungan tafsir sosiologis,  seniman musti juga ambil bagian setiap fenomena intelektual dengan melakukan tafsir dari luar dengan menghubungkan pengetahuan dengan konteks sosial yang lebih luas. Karena kata Karl Mainheim, jika menginterpretasikan pikiran dari dalam, maka muncul sebagai ide. Ketika orang mencoba pendekatan dari luar, isinya muncul sebagai ideologi, ideologi dianggap sebagai fungsi dari eksistensi yang ditempatkan di luar. Tafsir ideologis telah membuka langkah pada tafsir yang lebih utuh, yakni tafsir sosiologis.[]



*) penulis adalah peminat teater tinggal di Lamongan