Teater dan Masyarakat Komunikatif
Oleh S JAI*)
(Sumber: Majalah Seni
Budaya Kidung, Dewan Kesenian Jawa Timur
edisi 24 tahun 2012)
PADA 1990-an saya dikejutkan dengan kemunculan idiom baru dalam dunia seni
pertunjukan, khususnya Indonesia, yang muncul dari ranah Jogjakarta: proses penyutradaraan bersama. Terlebih rangka bangun manajemen isu
pertunjukan ketika itu juga begitu kuat—tepatnya pada 1992 dengan kemunculan
teater Pak Kanjeng yang ditulis oleh
Emha Ainun Nadjib.
Emha menulis naskah monolog
yang memang untuk “didialogkan” oleh tiga aktor tersebut selepas dirinya keluar
dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Salah satu alasan kuat keluarnya Emha Ainun Wajib dari ICMI saat itu konon berkait
dengan sikap dan pandangan organisasi itu atas berlarut-larutnya nasib
masyarakat pasca penggusuran rumah penduduk untuk pembangunan Waduk Kedungombo
di Sragen dan Boyolali.
Seperti diketahui,
pembangunan waduk Kedongombo yang berlangsung sejak 1985 menyisakan
“pembangkangan” 662 warga karena menolak digusur dengan ganti rugi Rp 250/meter
persegi. Itu tahun tahun tangan besi Soeharto belum berkarat. Ratusan warga yang distempeli dengan khas oleh
Orde Baru cap PKI, sampai batas peresmian waduk Mei 1991 tetap bersikukuh menuntut
haknya.
Naskah Pak Kanjeng terinspirasi dari peristiwa pembangkangan itu dari
sana. Naskah lantas dimainkan para aktor dari komunitas Teater Gandrik,
Yogyakarta itu pada 1992-1994 dan dicekal dimana-mana; Jogjakarta, Lampung,
Surabaya, Denpasar. Dalam pelbagai
pemaparan “kredonya” baik oleh penulis naskah maupun pemain yang semuanya
terlibat selaku sutradara bersama, serta kru lainnya, maupun para ‘juru bicara’
yang salah satunya adalah networker Halim HD, mereka mengungkapkan, “teknik
penyutradaraan bersama,” kemudian berkembang menjadi ekplorasi secara bersama,
yang salah satunya adalah secara bersama-sama menjadikan masyarakat Kedungombo
sebagai wilayah garapannya.
Meski pencekalan pada
akhirnya membawa konsekuensi pada tingkat efektivitas penyebaran ideologis
maupun terbacanya ideologi tertentu dari penguasa, toh praktek itu terus dijadikan
alat untuk di satu sisi mencoba memasung pikiran kembara seniman. Kedua-duanya
baik yang ‘mapan’ maupun yang ‘resisten’ sama-sama menawarkan sesuatu yang
disebut dalam istilah Zizek sebagai real maupun simbolik. Dua-duanya memberikan
suatu skenario fantasi bagi hadirnya keadaan sosial yang ideal. Singkatnya
ideologi memberikan visi suatu masyarakat ideal yang tidak ada dalam realitas. Di
dalamnya terdapat konsepsi tentang fantasi, sangat intersubjektif, dan
menginginkan pembentukan keadaan sosial yang ideal. Sedangkan yang ‘real’
adalah tanggapan dan berbagai macam bentuk protes yang mengambil jalan berbeda
dengan pandangan pemerintah.
Ketika itu saya tertarik membaca proses itu sejak “penyutradaan bersama”
hingga ekses dari pencekalan dari sisi sosiologi pengetahuan dan sejarah
intelektual (mental) masyarakat waktu itu, yang tak lain kepanjangan dari pola
pikir ideologis: bahwa kita tidak pernah bisa benar-benar terbebas dari
kerangka ideologi tertentu. Kemampuan kita ada pada proses internalisasi dan
ekternalisasi, objektivisasi dan subjektivisasi. Realitas subjektif dihasilkan
dari interaksinya dengan struktur sosial, sementara penemuan-penemuan baru
manusia menjadi bagian dari realitas masyarakatnya.
Belakangan idiom
“penyutradaan bersama” tersebut kembali disebut-sebut juga oleh seniman teater
Yogjakarta yang juga direktur program Teater Garasi: Yudi Ahmad Tajudin. Hanya
saja, Yudi menyebutnya demi untuk mengukuhkan setiap usaha mengembangkan
pendekatan yang lebih kolektif yang disebutnya prespektif devised-performance. Yaitu pertunjukkan yang tidak melulu bertumpu
pada konstruksi yang sudah jadi, tetapi tumbuh dari eksplorasi bersama dalam
kerangka interdisipliner. Namun demikian
pemaparan terbaru ini pun belum menggeser pembacaan saya atas hal itu dari sisi
sosiologis dan sejarah mental. Tak lain karena tampaknya sebagaimana kebanyakan
orang ternyata kita belum mampu keluar dari kurungan ideologi.
Kiranya, beberapa tahun terakhir ini ada peristiwa
menarik di dunia seni, khususnya teater.
Para perempuan pekerja seks komersil (PSK) sudi bermain drama. Begitu
pula dengan para nara pidana dari Lembaga Pemasyarakatan pun berminat pada
teater. Bukan mustahil suatu ketika penghuni Rumah Sakit Jiwa juga ambil bagian
dalam seni peran ini. Atau setidaknya psikolog dan psikiater di RSJ tersebut semestinya
punya kesadaran pentingnya terapi pasien melalui kegiatan teater.
Dalam bidang pemikiran tentu
gejala dan peristiwa tersebut menarik, karena justru kemunculannya pada saat
banyak orang mempertanyakan dampak besar modernitas. Katarsis atau terapi di satu sisi, sebagai
reaksi atas dampak dari modernitas yang kemudian sering disebut sebagai krisis
kemanusiaan. Seringpula keduanya
dipertentangkan. Modern di satu sisi,
Kritik atas modern di sisi lain. Terkadang modern dihadapkan dengan pasca
modern. Seringkali juga modern disangkal oleh religiusitas, agama atau iman.
Pendek kata itu semua
mempertontonkan bahwa modernitas adalah pembawa keadaan dimana krisis
kemanusiaan kemudian terjadi—sebuah kondisi yang barangkali tak pernah dibayangkan
oleh bapak modernisme dan rasionalisme Rene Descartes.
Rene Descartes orang yang
sangat rendah hati jika ditilik dari penuturannya yang indah dalam buku Risalah Tentang Metode. Seakan ia betul-betul menjaga perasaan orang
lain, meskipun menemukan hal yang baru. Ia pun seorang yang sangat relegius,
berpegang teguh pada adat dan agama.
Tetapi watak religiusnya
menjadi spirit tersendiri dalam keberanian berpikirnya untuk menopang
eksperimennya. Dengan kata lain,
pengetahuan menurutnya adalah instrumen “rasionalitas instrumental” yang
ditopang oleh keimanan religiusnya yang kuat.
Barangkali pula Rene
Descartes tak menyadari temuannya di bidang rasionalisme tersebut berkembang
pesat bahkan melampuai kuasa manusia.
Bahkan ia bagaikan bapak yang melahirkan anak-anak kurangajar ketika Max
Weber menuduh Descartes penyemai benih disenchantment
of the word, karena memang Descartes melihat tubuh seperti mesin canggih.
Lalu, pemikir Inggris Gilbert Ryle, melontarkan sinisme pada Rene Descartes
yang berpendapat manusia sebagai mesin
yang dihantui, manusia terdiri dari badan dan jiwa.
Krisis Kemanusiaan tak lain
akibat dari pemujaan rasionalitas dan ketidakpercayaan diluar rasio yang
disebut Weber disenchantment of the word tersebut. Dalam bahasa Frintjof Capra, krisis kemanusiaan terjadi di banyak bidang norma moral, penyakit jiwa,
kehilangan orientasi hidup bermakna, kerusakan lingkungan yang semakin parah,
kekerasan, keserakahan, ancaman perang nuklir, kesenjangan yang melebar,
kelaparan, kekurangan gizi 15 juta sebagian besar anak mati tiap tahun,
500 juta kekurangan gizi, 40 persen
penduduk dunia tak terlayani kesehatan, tetapi 3 kali biaya untuk persenjataan.
Kita akui, 200 tahun setelah
Rene Descartes pergi, krisis kemanusiaan itu benar-benar terjadi. Sebuah
keadaan yang satu sisi rasio dan sisi lain religiusitas saling
mengasingkan. Agama menolak takluk pada
rasio, demikian pula rasio mengasingkan agama.
Dan penganut mahzab frankfrutlah yang secara konsisten pertama kali menggugat dan
melancarkan kritik atas pemujaan rasio.
Diantara mereka adalah Horkhimer, Adorno, Marcuse serta Jurgen Habermas.
Kontroversi kedua mazhab ini dikenal dengan antara das Sollen dan das Sein.
Filsafat bukan mengungkap pengetahuan tentang apa yang ada (das Sein)
untuk mengungkap pengetahuan tentang apa yang seharusnya ada (das Sollen).
Habermas menjadi juru bicara paling bersemangat, bahkan ketika
berseberangan dengan para pengkritik modernisme yang lain. Seperti halnya berdebat terhadap kaum pasca
modernisme seperti Michael Foucault (1926-1984). Habermaslah yang mengembangkan teori
emansipasi. Teori yang sekaligus mempersoalkan ilmu pengetahuan bebas nilai, bebas kepentingan, harus berdiri sendiri,
harus melepaskan rasa kasihan, harus melepaskan apa yang ada disekirtarnya.
Penilaian moral, agama dan hasrat pembebasan dianggap mengusir kenetralan
rasio. Karena itu, modernitas selama ini berarti
meninggalkan intuisi (prasangka) pribadi,
penilaian moral, tinggalkan
kebudayaan, tinggalkan ideologi agama, tinggalkan rasialisme, karena semua itu
dapat mempengaruhi kenetralan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus.
Inilah menurut Habermas cikal bakal
dari benih krisis kemanusiaan dan dirinya mengembangkan emansipasi, bukan saja
atas perbudakan, kolonialisme, kekuasaan, tapi juga “ruang kosong” atau “Ketidaktahuan” dari
pengetahuan rasio yang selama ini dipraktekan ilmu pengetahuan selama
beratus-ratus tahun. Habermas
terang-terangan menolak pengasingan rasio dari kehidupan dan ia
mempertimbangkan refleksi agama, moral, dan budaya.
Satu hal lagi yang dikritik
Habermas dan yang paling nyata berdampak pada krisis kemanusiaan global adalah:
Ideologi. Bagi Habermas, ideologi adalah manipulasi yang berbentuk
tidak sadar. Ideologi selalu ingin mendominasi dan menang, ingin menunjukan
bahwa dirinya yang terhebat. Ideologi amat sarat dengan kepentingan. Sebagaimana Louis althusser lebih komplek mengatakan bahwa ideologi dapat dijadikan alat
untuk melanggengkan kekuasaan.
Ideologi menurutnya merupakan partisipasi segenap kelas sosial, bukan
sekadar seperangkat ide yang dipaksakan oleh suatu kelas terhadap kelas
lainnya. Fakta bahwa segenap kelas berpartisipasi di dalam praktek tersebut
tidak berarti bahwa praktik itu sendiri tidak melayani kepentingan kelas
dominan. Dengan kata lain, ideologi bekerja dari dalam dan manusia telah dan
akan terus terbenam dalam ideologi, sejak sebelum jadi bayi hingga mati. “Bahwa
tidak ada sesuatu apapun yang berada di luar ideologi, atau pada saat yang
sama, tidak ada sesuatu apapun yang tidak berada di luar ideologi,” tandas
Althusser.
Terhadap hal itulah, kritik atas ideologi Habermas mengandung pengertian refleksi diri, individu akan memahami posisi diri
sendiri, individu juga akan menyadari kepentingan untuk membebaskan diri dari
kungkungan ideologi. Individu memiliki kemampuan untuk mencapai otonomi dan
tanggung jawab atau pendewasaan. Atas dasar itu pula
Habermas menciptakan “masyarakat komunikatif,” yang kemudian sering
dikembangkan pada kerja pemberdayaan, termasuk bidang teater sebagaimana
kemungkinan drama-drama di atas.
Panggung berseting
empat tangga yang digantung menuju arah langit, teater Shelter Rumah Hati, Jombang adalah simbol
yang jelas berkait erat dengan tujuan atau citacita—sebuah kata kunci yang tak
asing bagi setiap aktivitas pemberdayaan.
Di bawah dampingan
Shelter Rumah Hati, proses teater buat mereka adalah proses belajar memimpin
diri sendiri, memberdayakan diri melalui media paling ampuh: komunikasi. Mereka merancang bangun gambaran mengenai sesuatu yang
baik, idealisme, cita-cita yang bermakna. Di situlah para eks
tahanan ini mengembangkan etika kreatif, menghormati, menghargai sesama kawan yang
belajar, menumbuhkan keyakinan pada sesuatu yang benar untuk dunianya yang
dibangunnya dengan lebih baik, menerbitkan kepekaan, empati dengan melayani
orang lain, tak berburuk sangka, apalagi memaksakan kehendak sendiri. Mereka
bersentuhan dengan keberanian, kesabaran, pengabdian, ketekunan, rendah hati
dengan rasa hormat pada keberagaman orang lain.
Mereka adalah eks tahanan yang beruntung
karena dirinya sungguh penting dalam teater. Ia dihargai idenya, imajinasinya,
naskah buatannya sendiri. Mungkin dia bukan aktor. Tetapi mereka memiliki
spirit sebagai aktor, khususnya dalam memerankan dirinya sendiri. Bukankah teater menurut Rendra justru yang
bersifat spirituil?
Mereka beruntung karena bisa mengasah daya
asosiasi, panca indera, juga improvisasi
yang menyiapkan dirinya tangkas pada lingkungan dan giras bekerja. Dan itu
dilakukannya dengan penuh kesadaran diri akan kekuatan dirinya. Namun pada teater
yang dimainkkannya mereka bisa menumbuhkan kepercayaan diri,
bahkan dalam kesulitan paling muskil bisa mendorong diri tanpa bertumpu pada
harapan orang lain. Inilah sebenarnya kemerdekaan.
Mereka telah menjaga
kemerdekaan itu, menjaga integritas perbuatan dan hati nuraninya. Mereka telah
tahu kemerdekaan bisa lepas darinya bila tak dijaganya. Maka, mungkin mereka bukan aktor, namun
teater itu telah mempertegas
hakekat yang disebut Rendra 32 tahun lalu sebagai “usaha untuk
mempertahankan intrinsik kemanusiaan dan menangkap kembali keyakinan Suyatna
Anirun, bahwa teater untuk menemukan manusia.
Sekaligus teater sebagai terapi psikologis melalui proses belajar proses
belajar memimpin diri sendiri, memberdayakan diri melalui media paling ampuh:
komunikasi. Mereka merancang bangun
gambaran mengenai
sesuatu yang baik, idealisme, cita-cita yang bermakna. Di
situlah teater mengembangkan etika kreatif, menghormati, menghargai sesama
kawan yang belajar, menumbuhkan keyakinan pada sesuatu yang benar untuk
dunianya yang dibangunnya dengan lebih baik, menerbitkan kepekaan, empati
dengan melayani orang lain, tak berburuk sangka, apalagi memaksakan kehendak
sendiri. Mereka bersentuhan dengan keberanian, kesabaran, pengabdian,
ketekunan, rendah hati dengan rasa hormat pada keberagaman orang lain.
Pendek kata, itulah teater yang bersifat
spiritual bisa menumbuhkan kepercayaan diri, bahkan dalam
kesulitan paling muskil bisa mendorong diri tanpa bertumpu pada harapan orang
lain. Inilah sebenarnya yang disebut Rendra, kemerdekaan. Sebuah kerja keras dengan paradigma berpikir
yang jelas meski dimulai dari hal terkecil dan dekat dengan dirinya dalam
menghadapi krisis kemanusiaan; menjaga
kemerdekaan, menjaga integritas perbuatan dan hati nuraninya dan menangkap
keyakinan dan menemukan kembali manusia.
Karena manusia telah
selama ratusan tahun diasingkan, sebagaimana digambarkan pemikir Jean Baudrillard
“keterasingan” bahwa betapa dunia referensial komoditi hanyalah jalan
sejarah menuju kondisi semiurgi radikal yang bertujuan menghilangkan konsep
masyarakat dan realitas, dan menuju susunan kode-kode dan tanda-tanda. Hilangnya konsep masyarakat dan realitas,
termasuk manusia disebabkan identitas seseorang
tidak lagi ditentukan oleh dan dari dalam dirinya sendiri.
Pendeknya, idiomnya boleh beda, akan
tetapi dalam proses kerja teater yang mempertimbangkan aspek sosiologis masyarakat
komunikatif, bukan mustahil simpul estetikanya setali tiga uang: menemukan
kembali manusia di tengah masyarakatnya.
Dengan kata lain dalam hitungan tafsir sosiologis, seniman musti juga ambil bagian setiap fenomena
intelektual dengan melakukan tafsir dari luar dengan menghubungkan pengetahuan dengan konteks sosial yang lebih luas. Karena kata Karl Mainheim, jika menginterpretasikan
pikiran dari dalam, maka muncul sebagai ide. Ketika orang mencoba pendekatan
dari luar, isinya muncul sebagai ideologi, ideologi dianggap sebagai fungsi
dari eksistensi yang ditempatkan di luar. Tafsir ideologis telah membuka
langkah pada tafsir yang lebih utuh, yakni tafsir sosiologis.[]
*) penulis adalah peminat teater
tinggal di Lamongan