Senin, 28 Januari 2013

profil

Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, SE:

Melawan Budaya Kapitalis 
dengan Pasar Syariah

(Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya 
edisi 8 Tahun 2012)



DI RUANG kerjanya, gedung ABC lantai 3 Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Kampus B selain ada kursi tamu, juga ada beberapa deret meja kursi menghadap screen dan ada sebuah LCD di sana. Karena memang oleh Prof Dr. H. Imam Zadjuli, SE ruangan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk kamar kerjanya, melainkan juga guna menerima tamu, tempat kuliah bahkan melayani mahasiswa-mahasiswa yang konsultasi tugas akhirnya.


Di ruang itulah beliau menerima tamu-tamunya yang terus mengalir,  sampai kemudian, Kamis (29/11) menerima Alur, mengikuti jadwal kuliah bersama mahasiswa S3-nya sebelum akhirnya mewancarainya. Tentu saja mahasiswanya tidak saja dari dalam atau luar kota, tetapi juga luar daerah—Jakarta, Bandung, Papua, Balikpapan dan dari daerah nusantara lainnya.

Tak hanya itu, pada kartu nama Guru Besar ekonomi syariah itu kantor yang sama tersebut sekaligus sebagai ruang kerjanya selaku Direktur Center for International Islamic Economic Studies. Terhadap ruang kerjanya yang multifungsi ini, Profesor Suroso—bergitu panggilan akrabnya, berujar,  “Karena kebudayaan itu dalam hal mengubah  image. Sementara sekarang kita ini dijajah oleh budaya. Jika kebudayaan itu sebuah gedung, bangunlah gedung yang serbaguna. Bisa digunakan pesta keluarga, pesta seni, manten, sunatan, wisuda dan sebagainya,“ ungkap Guru Besar yang mengajar di 12 kampus dalam negeri dan 10 kampus luar negeri itu.

Siang itu, salah seorang mahasiswanya, Letjen TNI (purn) Prabowo Subianto tengah dalam perjalanan untuk selanjutnya mengikuti jadwal kuliah guru besar peraih penghargaan Syari’ah Award 2002 dari Ketua Umum MUI,  Gubernur BI, serta Direktur Bank Muamalat Indonesia tersebut.  Selain itu, Prabowo adalah ketua yayasan Pendidikan Kebangsaan, sementara Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, S.E adalah juga rektor Universitas Kebangsaan, sebuah perguruan tinggi di Bandung yang berada di bawah pengelolaan yayasan tersebut.

Selama kurang lebih satu jam perbincangan, jelas sekali tertangkap Profesor Suroso adalah seorang yang sangat relegius sekaligus sosok yang sosialis. Pola pikir kebudayaannya yang Islami dan pandangannya terhadap masyarakat madani yang kukuh memperlihatkan hal itu. Banyak sekali mengutip ayat-ayat suci, ajaran-ajaran Rasul, maupun tokoh-tokoh panutan muslim lainnya.

Sedangkan jiwa sosialnya terlihat dari pandangan dan konsepnya atas pasar tradisional, utamanya atas gagasan Pasar Syariah di kampungnya. Sebaliknya, bagi Profesor Suroso, secara tegas mengungkap kapitalismelah menurutnya budaya yang menjajah masyarakat kita.
“Jadi penciptaan Pasar Syariah Az-Zaitun I (di Jl Kutisari Selatan XIII Surabaya, red)  itu untuk membentengi franchise-franchise seperti itu.  Supaya ekonomi rakyat itu naik,” tandas pria yang di masa mudanya pengagum Dr. Moh. Hatta, KH. Agus Salim dan  Abdul Natsir itu. 

Oleh karena itu, ketika ditanya, tanggapannya atas serbuan maraknya pendirian ritel modern/toko modern/ alias minimarket, supermarket, hypermarket sampai ke kampung-kampung dari sisi sosial budaya, mantan Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Airlanggi ini tersebut dengan tegas mengatakan keberadaan minimarket jelas mematikan pasar-pasar desa.

“Bahkan (keberadaan minimarket, red) kemudian merubah perilaku masyarakat. Ini karena saking besarnya peran media-media televisi untuk membentuk opini masyarakat, bahwa kalau belanja di minimarket, supermarket itu lebih modern daripada belanja di pasar.  Minimarket itu mematikan pasar-pasar desa. Walaupun harus dengan harga lebih tinggi, harganya nggak ada tawar menawar, gelem sak mene gak gelem yo sak mene tapi yang diuntungkan ya hanya yang punya franchise itu. Misalkan indomaret,  itu yang punya kan produsen indomie dan macam-macam, dan dia yang pegang otoritasnya,” ungkap pria yang alumni United Nations Centre of Regional Development Institute, Nagoya University, Jepang, tahun 1989 itu.

Meski demikian, sekalipun minimarket terus marak sampai kampung-kampung, menurut pria yang menyelesaikan Studi S3 nya Bidang Ilmu Ekonomi Sektoral dan Perwilayahan pada Fakultas Pascasarjana Unair tahun 1986 dengan Promotor Prof. DR. H. Emil Salim (kemenakan KH. Agus Salim) ini, pasar tradisional tidak bisa dihilangkan. Sementara itu, untuk mengontrol keberadaan minimarket menurutnya, tergantung kepada kebijakan pimpinan daerah/kotanya.

“Kalau Jokowi ya, jelas melarang minimarket. Dari kecamatan, kelurahan, sampai desa minimarket tidak diperbolehkan. Saya kira harus ada peraturan sebagai alat kontrolnya. Menurut saya yang diberi izin pendirian minimarket paling rendah di ibukota kecamatan. Atau dibatasi cukup di ibukota kabupaten. Mungkin juga di ibukota kecamatan dibatasi saja tiga atau dua franchise,” papar pria yang juga pernah memperdalam ilmu di Population Institute East West Centre, Hawaii, USA dan Korean Development Institute, Seoul, Korea Selatan, tersebut.

Ketika ditanya, bagaimana jika peraturannya sudah jelas semisal pada  Permendag 53/2008  yang mensyaratkan pendirian minimarket mempertimbangkan jaraknya dengan keberadaan Pasar Tradisional dan warung/toko di wilayah sekitar, tetapi pada kenyataannya banyak dilanggar, di mata Profesor Suroso peraturan-peraturan seperti itu hanyalah planologi (perencanaan wilayah dan kota, red) klasik tradisional.

“Artinya, dengan adanya sepeda motor, angkutan bemo, pedesaan kota, alasan seperti itu sudah tidak berlaku lagi.  Jadi yang namanya jalan protokol sekarang berubah dan  menghubungkan pusat kota dengan airport. Bukan seberapa jarak pasar dengan minimarket seperti itu subtansi masalahnya,” tukas anak pasangan Imam Zadjuli dan Hj. Asmini ini.

Masalahnya, adalah oleh karena pola pikir yang berbeda antara model-model kapitalisme dan pasar tradisional. Pasar tradisional semestinya melawan arus besar itu dan ini adalah perlawanan budaya.

“Nah, pasar syariah  dan masyarakat madani ini dalam rangka melawan budaya kapitalis. Dan keduanya itu kebudayaan Islam, walaupun sebetulnya masyarakat madani itu berlaku universal, ayat berapa nggak usah disebut. Yang penting, masyarakat hidup bersama dan bisa saling membantu,” ujar ayah tiga anak dari hasil pernikahannya dengan Hj. Nurdjannah ini.

Ketika ditanya apa peran kebudayaan Islam dalam kenyataan bahwa minimarket sekarang sudah begitu menggejala—yang dalam bahasa beliau menjajah masyarakat?  Profesor Suroso memberikan contoh, ada pasar yang  sejak tahun 1400, sampai sekarang masih ada.  “Pasar rempah-rempah yang sekarang namanya grand bazaar, itu masih ada. Tidak berubah. Dagangannya tidak berubah, pedagangnya turun temurun, bersih dan sebagainya. Itu budaya Islam dan budaya Islam itu luar biasa,” terangnya.

Yang dimaksud Profesor Suroso adalah Grand Bazaar di Istanbul, pasar tertua dan terbesar di dunia, dengan sekitar 1.200 kedai,  dibuka pada 1461, ia terkenal dengan intan-berliannya, seni tembikar, rempah, dan kedai permaidani yang dibina Sultan Mehmed yang Penakluk antara 1455 dan 1461 oleh perintah.

Lebih lanjut dicontohkannya,  budaya orang Eropa dalam hal makan  berupa makan pembuka, makan pokok, makan penutup sebetulnya adalah budaya Persia yang masuk menjadi budaya Islam di Jazirah Arab, lalu dibawa ke Maroko, Spanyol, Prancis, Jerman. Jadi budayanya orang barat makan itu sebetulnya budaya Persia, namun sekarang justru kita ikut-ikutan.

“Artinya peran dalam hal kebudayaan itu tergantung pada sikap mental kita, pola pikir kita. Sehingga, upaya budaya untuk menghadapi penjajahan budaya seperti maraknya minimarket, ya bagaimana kita bisa mengubah image,” tandasnya.

Ia mencontohkan pengalaman bagaimana saat mengubah image, dulu ketika mengubah sawah atau desa menjadi kota.  Lalu dibangunlah misbar alias gerimis bubar, untuk malam Sabtu dan Minggu. Maka diputarlah film-film kepahlawan seperti Si Pitung dan sebagainya. Kemudian dari usaha itu, sampai pada akhirnya dibangunlah gedung bioskop di situ.

“Nah, maksud saya, bangunan gedung bioskop ini kan hanya ilustrasi. Mestinya membangun masjid pun bisa. Jadi  sikap mental  di sini secara budaya bagaimana bisa merubah pola pikir kita, jangan mau dijajah secara budaya oleh studio east, diskotik, minimarket, dansebagainya,”ungkap Profesor Suroso.

Meski kewenangan dan kontrol pendirian minimarket sesuai  Pasal 12 Perpres 112/2007, ada di tangan Bupati/Walikota, namun demikian Profesor Suroso mengkritisi agar hal itu bukan berarti kekuasaan walikota/bupati sebagai pribadi. Sebaliknya jika, kewenangan itu dalam pengertian melekat dengan jabatannya, beliau mengamini.
Tentu karena dua hal itu sangat berbeda dan memiliki implikasi yang beda pula, antara sikap pribadi dan pemerintahan.

Secara pribadi gagasan Pasar Syariah ini diakui Suroso tergerak oleh sebuah sabda Rasulullah SAW  yang menurutnya telah menyelamatkan dirinya: “Barangsiapa yang membangun sebuah masjid walaupun sebesar sangkar burung  atau lebih kecil, maka Allah akan membangun untuknya sebuah rumah di surga.”

Selain juga oleh sebuah riwayat Rasulullah S.A.W pernah mengumpulkan sejumlah sahabat di sebuah tanah lapang yang kosong untuk membahas pendirian pasar. Saat itu Rasulullah melihat pasar yang ada sudah penuh dengan praktik ribawi,tipu muslihat dll. Kemudian Rasulullah memerintahkan saat itu juga mendirikan pasar yang berlandaskan syariat Islam, bebas riba, bebas kecurangan timbangan dan bebas dari berbagai macam bentuk tipu muslihat yang lain.

Sementara soal profesionalisme dan keyakinan diri dalam hal ini mengikuti ajaran Nabi Yusuf As. “Saya mengikuti Nabi Yusuf ketika diberi kuasa oleh Raja Firaun.  Profesional. Yusuf berkata, baginda saya mau membantu, asal pertama, saya tidak diganggu menanam apa, luas berapa, dan dimana. Kedua, saya akan membuat pergudangan, desa, distrik, kabupaten, provinsi, nasional, international, ketiga, saya diberikan otorisasi keuangan,” tutur, putra tokoh masyumi jebolan pesantren Tebuireng Jombang, yang juga pejuang Hizbullah dan kemudian menjadi saudagar kain yang sukses tersebut.

Dituturkannya pula, semua yang dilakukan Profesor Suroso niatnya adalah membantu secara tulus. Dirinya tergerak secara batin oleh pertanyaan dari misteri surat At Tiin, Wat tiini waz zaituun Wa thuuri siiniin. Pasar Syariah Az-Zaitun, juga perusahaannya PT Zadjuli Tursina Nur Madani, lalu yayasan At-Tiin Islamic Foundation, nama-nama itu diambil dari Surat At-Tin.

“Kalau saya pakai semua apa jadinya? Jadi niatnya begitu, bukan cari untung. At Tiin Islamic Foundation itu tanpa bunga, tanpa bagi hasil. Tapi andai saya full profit, keuntungannya bisa melebihi BCA,” tandas Profesor Suroso sembari berpikir tentang kelanjutan ayat At-Tiin,  Tsumma radadnaahu asfala saafiliin (kemudian kami mengembalikannya kepada yang serendah- rendahnya) yang dirasa belum dilakukannya.  (S. Jai)