Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, SE:
Melawan Budaya Kapitalis
dengan Pasar Syariah
(Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya
edisi 8 Tahun 2012)
DI RUANG kerjanya, gedung ABC lantai 3 Fakultas Ekonomi
Universitas Airlangga Kampus B selain ada kursi tamu, juga ada beberapa deret meja
kursi menghadap screen dan ada sebuah LCD di sana. Karena memang oleh Prof Dr. H. Imam Zadjuli, SE ruangan itu tidak hanya dimanfaatkan untuk kamar
kerjanya, melainkan juga guna menerima tamu, tempat kuliah bahkan melayani
mahasiswa-mahasiswa yang konsultasi tugas akhirnya.
Di ruang itulah beliau menerima tamu-tamunya yang
terus mengalir, sampai kemudian, Kamis
(29/11) menerima Alur, mengikuti jadwal
kuliah bersama mahasiswa S3-nya sebelum akhirnya mewancarainya. Tentu saja
mahasiswanya tidak saja dari dalam atau luar kota, tetapi juga luar
daerah—Jakarta, Bandung, Papua, Balikpapan dan dari daerah nusantara lainnya.
Tak hanya itu, pada kartu nama Guru Besar ekonomi
syariah itu kantor yang sama tersebut sekaligus sebagai ruang kerjanya selaku
Direktur Center for International Islamic
Economic Studies. Terhadap ruang kerjanya yang multifungsi ini, Profesor
Suroso—bergitu panggilan akrabnya, berujar,
“Karena kebudayaan itu dalam hal mengubah image. Sementara sekarang
kita ini dijajah oleh budaya. Jika kebudayaan itu sebuah gedung, bangunlah
gedung yang serbaguna.
Bisa digunakan pesta keluarga, pesta seni, manten, sunatan, wisuda dan
sebagainya,“ ungkap Guru Besar yang mengajar di 12 kampus dalam negeri dan
10 kampus luar negeri itu.
Siang itu, salah seorang mahasiswanya, Letjen
TNI (purn) Prabowo Subianto tengah dalam perjalanan untuk selanjutnya mengikuti
jadwal kuliah guru besar peraih penghargaan Syari’ah Award 2002 dari Ketua
Umum MUI, Gubernur BI, serta Direktur
Bank Muamalat Indonesia tersebut. Selain itu, Prabowo adalah ketua yayasan
Pendidikan Kebangsaan, sementara Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, S.E adalah
juga rektor Universitas Kebangsaan,
sebuah perguruan tinggi di Bandung yang berada di bawah
pengelolaan yayasan tersebut.
Selama kurang lebih satu
jam perbincangan, jelas sekali tertangkap Profesor Suroso adalah seorang yang
sangat relegius sekaligus sosok yang sosialis. Pola pikir kebudayaannya yang
Islami dan pandangannya terhadap masyarakat madani yang kukuh memperlihatkan
hal itu. Banyak sekali mengutip ayat-ayat suci, ajaran-ajaran Rasul, maupun
tokoh-tokoh panutan muslim lainnya.
Sedangkan jiwa
sosialnya terlihat dari pandangan dan konsepnya atas pasar tradisional,
utamanya atas gagasan Pasar Syariah di kampungnya. Sebaliknya, bagi Profesor
Suroso, secara tegas mengungkap kapitalismelah menurutnya budaya yang menjajah
masyarakat kita.
“Jadi penciptaan Pasar Syariah Az-Zaitun I
(di Jl Kutisari Selatan XIII Surabaya, red) itu untuk membentengi franchise-franchise seperti itu.
Supaya ekonomi rakyat itu naik,” tandas pria yang di masa mudanya pengagum Dr. Moh. Hatta, KH. Agus Salim dan
Abdul Natsir itu.
Oleh karena itu, ketika
ditanya, tanggapannya
atas serbuan maraknya pendirian ritel modern/toko modern/ alias minimarket, supermarket, hypermarket
sampai ke kampung-kampung dari sisi sosial budaya, mantan Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Airlanggi ini tersebut dengan tegas mengatakan keberadaan
minimarket jelas mematikan pasar-pasar desa.
“Bahkan (keberadaan minimarket, red)
kemudian merubah perilaku masyarakat. Ini karena saking besarnya peran media-media
televisi untuk membentuk opini masyarakat, bahwa kalau belanja di minimarket,
supermarket itu lebih modern daripada belanja di pasar. Minimarket itu mematikan pasar-pasar desa. Walaupun
harus dengan harga lebih tinggi, harganya nggak ada tawar menawar, gelem sak mene gak gelem yo sak mene tapi
yang diuntungkan ya hanya yang punya franchise
itu. Misalkan indomaret, itu yang
punya kan produsen indomie dan macam-macam, dan dia yang pegang otoritasnya,” ungkap
pria yang alumni United Nations Centre of Regional Development
Institute, Nagoya University, Jepang, tahun 1989 itu.
Meski demikian, sekalipun minimarket terus
marak sampai kampung-kampung, menurut pria yang
menyelesaikan Studi S3 nya Bidang Ilmu Ekonomi Sektoral dan Perwilayahan pada
Fakultas Pascasarjana Unair tahun 1986 dengan Promotor Prof. DR. H. Emil Salim
(kemenakan KH. Agus Salim) ini, pasar tradisional tidak bisa dihilangkan.
Sementara itu, untuk mengontrol keberadaan minimarket menurutnya, tergantung
kepada kebijakan pimpinan daerah/kotanya.
“Kalau Jokowi ya, jelas melarang minimarket.
Dari kecamatan, kelurahan, sampai desa minimarket tidak diperbolehkan. Saya
kira harus ada peraturan sebagai alat kontrolnya. Menurut
saya yang diberi izin pendirian minimarket paling rendah di ibukota kecamatan.
Atau dibatasi cukup di ibukota kabupaten. Mungkin juga di ibukota kecamatan
dibatasi saja tiga atau dua franchise,”
papar pria yang juga pernah memperdalam ilmu di Population
Institute East West Centre, Hawaii, USA dan Korean Development Institute,
Seoul, Korea Selatan, tersebut.
Ketika ditanya, bagaimana jika peraturannya
sudah jelas semisal pada Permendag 53/2008 yang
mensyaratkan pendirian minimarket mempertimbangkan jaraknya dengan keberadaan
Pasar Tradisional dan warung/toko di wilayah sekitar, tetapi pada kenyataannya
banyak dilanggar, di mata Profesor Suroso peraturan-peraturan seperti itu
hanyalah planologi (perencanaan
wilayah dan kota, red) klasik tradisional.
“Artinya, dengan adanya sepeda
motor, angkutan bemo, pedesaan kota, alasan seperti itu sudah tidak berlaku
lagi. Jadi yang namanya jalan protokol
sekarang berubah dan menghubungkan pusat
kota dengan airport. Bukan seberapa jarak pasar dengan minimarket seperti itu
subtansi masalahnya,” tukas anak pasangan Imam Zadjuli dan Hj. Asmini ini.
Masalahnya, adalah oleh karena pola pikir
yang berbeda antara model-model kapitalisme dan pasar tradisional. Pasar
tradisional semestinya melawan arus besar itu dan ini adalah perlawanan budaya.
“Nah, pasar syariah dan masyarakat madani ini dalam rangka melawan
budaya kapitalis. Dan keduanya itu kebudayaan Islam, walaupun sebetulnya
masyarakat madani itu berlaku universal, ayat berapa nggak usah disebut. Yang
penting, masyarakat hidup bersama dan bisa saling membantu,” ujar ayah tiga
anak dari hasil pernikahannya dengan Hj. Nurdjannah ini.
Ketika ditanya apa peran kebudayaan Islam
dalam kenyataan bahwa minimarket sekarang sudah begitu menggejala—yang dalam
bahasa beliau menjajah masyarakat?
Profesor Suroso memberikan contoh, ada pasar yang sejak tahun 1400, sampai sekarang masih
ada. “Pasar rempah-rempah yang sekarang
namanya grand bazaar, itu masih ada.
Tidak berubah. Dagangannya tidak berubah, pedagangnya turun temurun, bersih dan
sebagainya. Itu budaya Islam dan budaya Islam itu luar biasa,” terangnya.
Yang
dimaksud Profesor Suroso adalah Grand Bazaar di Istanbul,
pasar tertua dan terbesar di dunia, dengan sekitar 1.200 kedai, dibuka pada
1461, ia terkenal dengan intan-berliannya, seni tembikar, rempah, dan kedai
permaidani yang dibina Sultan Mehmed yang
Penakluk antara 1455 dan 1461 oleh
perintah.
Lebih lanjut dicontohkannya, budaya orang Eropa dalam hal makan berupa makan pembuka, makan pokok, makan
penutup sebetulnya adalah budaya Persia yang masuk menjadi budaya Islam di
Jazirah Arab, lalu dibawa ke Maroko, Spanyol, Prancis, Jerman. Jadi budayanya
orang barat makan itu sebetulnya budaya Persia, namun sekarang justru kita
ikut-ikutan.
“Artinya peran dalam hal kebudayaan itu
tergantung pada sikap mental kita, pola pikir kita. Sehingga, upaya budaya
untuk menghadapi penjajahan budaya seperti maraknya minimarket, ya bagaimana kita
bisa mengubah image,” tandasnya.
Ia mencontohkan pengalaman bagaimana saat
mengubah image, dulu ketika mengubah sawah atau desa menjadi kota. Lalu dibangunlah misbar alias gerimis bubar, untuk malam Sabtu dan Minggu. Maka
diputarlah film-film kepahlawan seperti Si
Pitung dan sebagainya. Kemudian dari usaha itu, sampai pada akhirnya dibangunlah
gedung bioskop di situ.
“Nah, maksud saya, bangunan gedung bioskop
ini kan hanya ilustrasi. Mestinya membangun masjid pun bisa. Jadi sikap mental
di sini secara budaya bagaimana bisa merubah pola pikir kita, jangan mau
dijajah secara budaya oleh studio east,
diskotik, minimarket, dansebagainya,”ungkap Profesor Suroso.
Meski kewenangan dan kontrol pendirian
minimarket sesuai Pasal 12 Perpres 112/2007, ada di tangan
Bupati/Walikota, namun demikian Profesor Suroso mengkritisi agar hal itu bukan
berarti kekuasaan walikota/bupati sebagai pribadi. Sebaliknya jika, kewenangan
itu dalam pengertian melekat dengan jabatannya, beliau mengamini.
Tentu karena dua hal itu sangat berbeda dan memiliki implikasi yang beda
pula, antara sikap pribadi dan pemerintahan.
Secara pribadi gagasan Pasar Syariah ini
diakui Suroso tergerak oleh sebuah sabda Rasulullah SAW yang menurutnya telah menyelamatkan dirinya: “Barangsiapa yang membangun sebuah masjid walaupun
sebesar sangkar burung atau lebih kecil, maka Allah akan membangun
untuknya sebuah rumah di surga.”
Selain juga oleh sebuah riwayat Rasulullah S.A.W pernah mengumpulkan sejumlah
sahabat di sebuah tanah lapang yang kosong untuk membahas pendirian pasar. Saat
itu Rasulullah melihat pasar yang ada sudah penuh dengan praktik ribawi,tipu
muslihat dll. Kemudian Rasulullah memerintahkan saat itu juga mendirikan pasar
yang berlandaskan syariat Islam, bebas riba, bebas kecurangan timbangan dan
bebas dari berbagai macam bentuk tipu muslihat yang lain.
Sementara soal
profesionalisme dan keyakinan diri dalam hal ini mengikuti ajaran Nabi Yusuf
As. “Saya
mengikuti Nabi Yusuf ketika diberi kuasa oleh Raja Firaun. Profesional. Yusuf berkata, baginda saya mau
membantu, asal pertama, saya tidak diganggu menanam apa, luas berapa, dan
dimana. Kedua, saya akan membuat pergudangan, desa, distrik, kabupaten,
provinsi, nasional, international, ketiga, saya diberikan otorisasi keuangan,”
tutur, putra tokoh masyumi jebolan pesantren Tebuireng Jombang,
yang juga pejuang Hizbullah dan kemudian menjadi saudagar kain yang sukses
tersebut.
Dituturkannya pula,
semua yang dilakukan Profesor Suroso niatnya adalah membantu secara tulus.
Dirinya tergerak secara batin oleh pertanyaan dari misteri surat At Tiin, Wat tiini waz
zaituun Wa thuuri siiniin. Pasar
Syariah Az-Zaitun, juga perusahaannya PT Zadjuli Tursina Nur Madani, lalu yayasan
At-Tiin Islamic Foundation, nama-nama itu diambil dari Surat
At-Tin.
“Kalau saya pakai
semua apa jadinya? Jadi
niatnya begitu, bukan cari untung. At Tiin Islamic Foundation itu tanpa bunga,
tanpa bagi hasil. Tapi andai saya full
profit, keuntungannya bisa melebihi BCA,” tandas Profesor Suroso sembari
berpikir tentang kelanjutan ayat At-Tiin, Tsumma
radadnaahu asfala saafiliin (kemudian kami mengembalikannya kepada yang serendah-
rendahnya) yang dirasa belum dilakukannya. (S. Jai)