Senin, 28 Januari 2013

feature

Masuk Pasar 
Seperti Masuk Taman

            (Sumber: Majalah Seni Budaya AlurDewan Kesenian Surabaya
edisi 8 Tahun 2012) 


DI  AREA parkir depan pintu gerbang sisi selatan, hanya sedikit kendaraan terparkir di sana. Seorang tukang parkir yang digaji bulanan oleh Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli SE, nampak kesepian. Sebaliknya, persis di muka pintu sebelah timur banyak berderet motor berhenti ditinggal pemiliknya belanja.



Ya, karena memang bila pagi hari pasar itu tumpah hingga ujung gang sebelah kurang lebih sepanjang 75-an meter dari Pasar Syariah yang digagas profesor ekonomi syariah dari Unair itu. Bahkan dari pantauan Alur,  pasar  itu meluber sampai tembus jalan besar.

Rekan-rekan Profesor Suroso menyebut pasar itu tumpah akibat ulah para mafia.

Gerbang pasar Syariah Az-Zaitun 1, di jalan Kutisari Selatan  X III, Surabaya itu kini sudah tampak mewah. Tentu berbeda dengan saat pertama kali pasar itu beroperasi  lebih dari dua tahun lalu. Ketika itu suasananya masih sangat sederhana, bahkan ketika ditinjau dan diresmikan oleh Menkop UKM, Syarief Hasan sebagai pasar syariah pertama di Indonesia yang menjadi prototipe pasarberbasis ekonomi syariah.

Setelah selang waktu itu, banyak sekali perubahan—termasuk mulai munculnya “bangunan pasar lain” di jalan lagi. Jadi di luar areal yang dihendaki oleh penggagasnya,  Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, SE. Apapun, Guru Besar Fakultas Ekonomi Unair selalu mengingatkan, bahwa pasar adalah tempatnya setan.  


“Itu keyakinan saya sendiri. Tetapi orang lain juga mengingatkan saya. Lho Pak Roso ini kok ngurusi pasar. Pasar itu tempatnya mafia lho. Ternyata betul,” tandasnya, walau keberatan untuk membeberkan praktek-praktek mafia di sana.

Pasar itu berdiri di atas areal sekitar 700 meter persegi. Disana ditempati sekitar lebih dari 200 pedagang dengan 120 stand dan 60-80 pedagang los. Ada los sembako, konfeksi, daging, sayuran dan buah, serta los makanan yang tertata rapi.

“Dahulu tanahnya 1,5 hektar dan kini tinggal 1 hektar. Itulah 700 meternya saya pakai untuk saya korbankan menjadi fasilitas umum, saya pakai untuk PKL dengan sewa yang sangat murah.Karena kalau mereka bayar satu atap Rp 70 juta jelas tidak mampu dan sebagai pengusaha kecil menengah nggak maju-maju,” terang Profesor Suroso.


Delapan Syarat

Karena pasar mengikuti syar'i  (syar’iah), maka hitung-hitungan sewanya pun demikian. Akuntan dan penghitungannya pun harus mengikuti syariahi. Dipaparkan Profesor Suroso, ketika sewa 3 tahun, waktu itu ada tahun kabisatnya. Artinya, 3 tahun itu ada 1.093 hari. Jika akuntansinya non syariah tentu dibulatkan ke atas. Harga sewanya murah, hanya Rp 5 ribu perhari, sehingga dalam 1000 hari ketemu harga sewa Rp 5 juta.

“Ini saya bulatkan ke bawah. Sewa 1000 hari yang 93 hari gratis. Pedagang silakan jualan dulu 3 bulan, setelah itu baru bayar. Dan itu tidak ada uang muka, nggak ada uang kunci. Jualan dulu, baru tahun pertama baru bayar 2 juta, tahun kedua dan ketiga 1,5 juta.  Soal listrik, air urunan,”  terangnya.

Pasar itu mulai beroperasi pada 1 April 2010, sejak dibangun November 2009 ketika Lurah Kutisari, Drs Trenggono meminta bantuannya untuk menampung para pedagang yang sering diobrak satpol PP.

Dari pertemuan itu digagaslah Pasar Syariah, lalu disosialisasikan kepada pedagang. Ketika sosialisasi dilakukan, semua pedagang setuju tentang konsep pasar syariah. Awalnya, ada beberapa warga sekitar pasar yang kurang berkenan karena takut, kalau ada pasar, lingkungan di sekitarnya akan kotor. Namun, dengan berbagai penjelasan, akhirnya warga yang tidak setuju malah berbalik mendukung.

Ada sejumlah persyaratan pendirian pasar syariah ini. Yakni, barang yang diperdagangkan harus halal dan maknawiah—cara perolehannya juga halal, bukan hasil curian. Lalu, alat timbang, alat ukur, alat hitung, harus tepat. Kemudian, dalam bertransaksi harus jujur dan tidak boleh bohong. Tidak boleh merokok dalam pasar karena merokok makruh, apalagi sudah ada perda kawasan tanpa rokok di tempat umum, walaupun penjual rokok untuk sementara masih diizinkan, tetapi kegiatan merokok harus di luar pasar. Setelah itu pedagang harus menjaga kebersihan barang, mata dagangan, tempat maupun pedagangnya. Persyaratan berikutnya, semuanya harus serba murah-meriah.

“Karena itulah, pasar itu dimulai dengan harga sewa yang murah meriah pula. Rp 5000 perhari,” tandas Profesor Suroso.


Pembangunan hanya memakan waktu empat bulan, mulai Desember hingga Maret. Bahan bangunan yang digunakan bukan dinding bersemen, namun papan kayu dan tripleks. Dengan bahan kayu dan tripleks, harga sewa yang harus dibayar pedagang juga lebih murah. Meskipun bernama pasar syariah, tidak seluruh pedagang beragama Islam. Bahkan, saat ini ada Tionghoanya ada Bataknya yang juga berdagang di sana. 

“Jadi konsep saya, jika kita masuk Pasar Syariah Az-Zaitun itu nggak seperti masuk pasar biasanya. Tetapi kita seperti masuk taman. Tempat parkirnya bersih. Keluar masuknya truk bawa barang sudah diatur. Nggak ada persaingan antar mereka. Yang ada adalah kebersamaan.”

Khusus untuk kebersihan, tiap padagang diberi plastik dan tempat sampah di tiap stan. Sampah juga tidak boleh bercecer di mana-mana. Terlebih, stan di bagian sayuran, ikan, dan daging paling banyak menghasilkan sampah. Karena itu, pedagang diharapkan datang pukul 4 pagi untuk membersihkan tempat agar pada pagi saat pengunjung datang, stan sudah bersih.

Bagaimana jika ada yang melanggar? Memang, kata Suroso, tidak ada hukuman untuk mereka sebab, di pasar syariah tersebut tidak ada lembaga atau organisasi yang khusus memantau penerapkan aturan tersebut. Namun, jika ada yang melanggar, diharapkan bisa dengan ikhlas mengundurkan diri dari kontrak sewa yang telah ditentukan.  “Alat kontrolnya ya, kita sudah bicarakan persyaratannya di depan. Ini soal ketulusan,” imbuhnya.

Diadopsi Iran dan Mesir

Dalam ingatan Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, SE, semula tanah miliknya tersebut cukup tinggi, lantas digali orang sekitar untuk bangun rumah, sehingga kemudian tampak seperti kolam-kolam. Itulah ide awalnya untuk menjadikan lahan  tersebut sebuah pasar.

Dalam hitung-hitungan sederhana,  dalam 3,5 tahun, investasinya sudah kembali. Buktinya, tiap hari dirinya bisa terima dari 120 stan kali Rp 5000, ketemu Rp 600 ribu. yang los  80 kali harga sewa Rp 1000. Jadi total Rp 680 ribu. Kalau dihitung satu bulan, itu sama dengan gajinya profesor 2 bulan.

“Tapi itu semua tetap untuk bantu orang lain. Jadi niat saya itu membantu dan karena itu saya prioritaskan warga sekitar. Semua pedagang di sekitar bisa masuk dan kalau tukang parkir digaji. Dari pedagang yang 200 itu, yang 100 punya pekerja. Ya, menghidupi 1000 orang sekitar,” katanya.

Profesor Suroso minta dibandingkan dengan duit Century 6.700 miliar itu, mestinya bisa jadi 3.350 Pasar Syariah. Berarti provinsi dapat 100 Pasar Syariah, dan tiap Kota/Kabupaten bisa ada 8 Pasar Syariah. Karena prototipenya seperti itu. Karena ini memang pilot project. Ini malah sedang  diadopsi di Iran dan di Mesir.

“Saya mau bantu tulus saja. Karena saya mau menjalankan satu sabda Rasul. Barangsiapa yang menghidupkan lahannya yang belum dipakai, mati, untuk membantu orang lain maka manfaat kehidupan lahan itu untuknya.”

Lalu bagaimana prospek di dalam negeri sendiri, atau setidaknya di Surabaya?

Dikatakannya, sekarang Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, pasca pasar tersebut diresmikan Menteri Koperasi dan UKM, mulai berpikir.  Sebetulnya sejak awal sudah respek, waktu itu, ketika Walikota Bambang DH, dan dan Tri Rismaharini masih menjabat Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) sudah banyak membantu juga, sebelum menteri datang, lantas kualitas jalan ditingkatkan.

Mengenai pendanaan, pasar syariah juga memiliki fasilitas pendanaan At-Tiin Islamic Foundation yang memberikan bantuan pinjaman kepada pedagang pasar tanpa bunga.

Menurut Suroso, Pasar Syariah Az-Zaitun 1 ini termasuk pasar syariah kelas tiga. Pasar kelas tiga yang dimaksud adalah pasar tradisional yang diformalkan. Pedagangnya kebanyakan para PKL dan pedagang pasar krempyeng. Pasar syariah kelas dua menggunakan standar pertokoan. Pasar syariah kelas satu adalah pasar dengan konsep grosir.

“Kalau waktu sewa 3 tahun in sudah habis, tahun depan, saya akan jadikan 2 lantai yang bagus,” ujarnya, sambil berkali-kali mengingatkan hal itu semata-mata untuk membantu oranglain. (S.Jai)