Masuk Pasar
Seperti
Masuk Taman
(Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya
edisi 8 Tahun 2012)
(Sumber: Majalah Seni Budaya Alur, Dewan Kesenian Surabaya
edisi 8 Tahun 2012)
DI AREA parkir depan pintu gerbang sisi selatan, hanya sedikit kendaraan terparkir
di sana. Seorang tukang parkir yang digaji bulanan oleh Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli SE, nampak kesepian. Sebaliknya, persis di
muka pintu sebelah timur banyak berderet motor berhenti ditinggal pemiliknya
belanja.
Ya, karena memang
bila pagi hari pasar itu tumpah hingga ujung gang sebelah kurang lebih
sepanjang 75-an meter dari Pasar Syariah yang digagas profesor ekonomi syariah
dari Unair itu. Bahkan dari pantauan Alur, pasar
itu meluber sampai tembus jalan besar.
Rekan-rekan Profesor
Suroso menyebut pasar itu tumpah akibat ulah para mafia.
Gerbang pasar Syariah Az-Zaitun 1, di jalan
Kutisari Selatan X III, Surabaya itu kini
sudah tampak mewah. Tentu berbeda dengan saat pertama kali pasar itu
beroperasi lebih dari dua tahun lalu.
Ketika itu suasananya masih sangat sederhana, bahkan ketika ditinjau dan
diresmikan oleh Menkop UKM, Syarief Hasan sebagai
pasar syariah pertama di Indonesia yang menjadi prototipe pasarberbasis ekonomi
syariah.
Setelah selang waktu itu, banyak sekali
perubahan—termasuk mulai munculnya “bangunan pasar lain” di jalan lagi. Jadi di
luar areal yang dihendaki oleh penggagasnya,
Prof. Dr. H.
Suroso Imam Zadjuli, SE. Apapun, Guru Besar Fakultas Ekonomi Unair selalu
mengingatkan, bahwa pasar adalah tempatnya setan.
“Itu keyakinan saya sendiri. Tetapi orang
lain juga mengingatkan saya. Lho Pak Roso ini kok ngurusi pasar. Pasar itu tempatnya
mafia lho. Ternyata betul,” tandasnya, walau keberatan untuk membeberkan
praktek-praktek mafia di sana.
Pasar itu berdiri di atas areal sekitar 700
meter persegi. Disana ditempati sekitar lebih dari 200 pedagang dengan 120
stand dan 60-80 pedagang los. Ada los sembako,
konfeksi, daging, sayuran dan buah, serta los makanan yang tertata rapi.
“Dahulu tanahnya 1,5 hektar dan kini tinggal
1 hektar. Itulah 700 meternya saya pakai untuk saya korbankan menjadi fasilitas
umum, saya pakai untuk PKL dengan sewa yang sangat murah.Karena kalau mereka
bayar satu atap Rp 70 juta jelas tidak mampu dan sebagai pengusaha kecil
menengah nggak maju-maju,” terang Profesor Suroso.
Delapan
Syarat
Karena pasar mengikuti syar'i
(syar’iah),
maka hitung-hitungan sewanya pun demikian. Akuntan dan penghitungannya pun
harus mengikuti syariahi. Dipaparkan Profesor Suroso, ketika sewa 3 tahun,
waktu itu ada tahun kabisatnya. Artinya, 3 tahun itu ada 1.093 hari. Jika
akuntansinya non syariah tentu dibulatkan ke atas. Harga sewanya murah, hanya
Rp 5 ribu perhari, sehingga dalam 1000 hari ketemu harga sewa Rp 5 juta.
“Ini saya bulatkan ke bawah. Sewa 1000 hari
yang 93 hari gratis. Pedagang silakan jualan dulu 3 bulan, setelah itu baru
bayar. Dan itu tidak ada uang muka, nggak ada uang kunci. Jualan dulu, baru
tahun pertama baru bayar 2 juta, tahun kedua dan ketiga 1,5 juta. Soal listrik, air urunan,” terangnya.
Pasar itu mulai
beroperasi pada 1 April 2010, sejak dibangun November 2009 ketika Lurah Kutisari,
Drs Trenggono meminta bantuannya untuk menampung para pedagang yang sering
diobrak satpol PP.
Dari pertemuan itu
digagaslah Pasar Syariah, lalu disosialisasikan kepada pedagang. Ketika
sosialisasi dilakukan, semua pedagang setuju tentang konsep pasar syariah.
Awalnya, ada beberapa warga sekitar pasar yang kurang berkenan karena takut,
kalau ada pasar, lingkungan di sekitarnya akan kotor. Namun, dengan berbagai
penjelasan, akhirnya warga yang tidak setuju malah berbalik mendukung.
Ada sejumlah persyaratan
pendirian pasar syariah ini. Yakni, barang yang diperdagangkan harus halal dan maknawiah—cara
perolehannya juga halal, bukan hasil curian. Lalu, alat timbang, alat ukur,
alat hitung, harus tepat. Kemudian, dalam bertransaksi harus jujur dan tidak
boleh bohong. Tidak boleh merokok dalam pasar karena merokok makruh, apalagi
sudah ada perda kawasan tanpa rokok di tempat umum, walaupun penjual rokok
untuk sementara masih diizinkan, tetapi kegiatan merokok harus di luar pasar.
Setelah itu pedagang harus menjaga kebersihan barang, mata dagangan, tempat
maupun pedagangnya. Persyaratan berikutnya, semuanya harus serba murah-meriah.
“Karena itulah, pasar itu dimulai dengan
harga sewa yang murah meriah pula. Rp 5000 perhari,” tandas Profesor Suroso.
Pembangunan hanya
memakan waktu empat bulan, mulai Desember hingga Maret. Bahan bangunan yang
digunakan bukan dinding bersemen, namun papan kayu dan tripleks. Dengan bahan
kayu dan tripleks, harga sewa yang harus dibayar pedagang juga lebih murah. Meskipun
bernama pasar syariah, tidak seluruh pedagang beragama Islam. Bahkan, saat ini
ada Tionghoanya ada Bataknya yang juga berdagang di sana.
“Jadi konsep saya,
jika kita masuk Pasar Syariah Az-Zaitun itu nggak seperti masuk pasar biasanya.
Tetapi kita seperti masuk taman. Tempat parkirnya bersih. Keluar masuknya
truk bawa barang sudah diatur. Nggak ada persaingan antar mereka. Yang ada
adalah kebersamaan.”
Khusus
untuk kebersihan, tiap padagang diberi plastik dan tempat sampah di tiap stan.
Sampah juga tidak boleh bercecer di mana-mana. Terlebih, stan di bagian
sayuran, ikan, dan daging paling banyak menghasilkan sampah. Karena itu,
pedagang diharapkan datang pukul 4 pagi untuk membersihkan tempat agar pada
pagi saat pengunjung datang, stan sudah bersih.
Bagaimana
jika ada yang melanggar? Memang, kata Suroso, tidak ada hukuman untuk mereka
sebab, di pasar syariah tersebut tidak ada lembaga atau organisasi yang khusus
memantau penerapkan aturan tersebut. Namun, jika ada yang melanggar, diharapkan
bisa dengan ikhlas mengundurkan diri dari kontrak sewa yang telah ditentukan. “Alat kontrolnya ya, kita sudah bicarakan
persyaratannya di depan. Ini soal ketulusan,” imbuhnya.
Diadopsi Iran dan Mesir
Dalam ingatan Prof. Dr. H.
Suroso Imam Zadjuli, SE, semula tanah miliknya tersebut cukup tinggi, lantas
digali orang sekitar untuk bangun rumah, sehingga kemudian tampak seperti
kolam-kolam. Itulah ide awalnya untuk menjadikan lahan tersebut sebuah pasar.
Dalam hitung-hitungan sederhana, dalam 3,5 tahun, investasinya sudah kembali.
Buktinya, tiap hari dirinya bisa terima dari 120 stan kali Rp 5000, ketemu Rp 600
ribu. yang los 80 kali harga sewa Rp 1000.
Jadi total Rp 680 ribu. Kalau dihitung satu bulan, itu sama dengan gajinya
profesor 2 bulan.
“Tapi itu semua tetap untuk bantu orang lain.
Jadi niat saya itu membantu dan karena itu saya prioritaskan warga sekitar.
Semua pedagang di sekitar bisa masuk dan kalau tukang parkir digaji. Dari
pedagang yang 200 itu, yang 100 punya pekerja. Ya, menghidupi 1000 orang
sekitar,” katanya.
Profesor Suroso minta dibandingkan dengan duit
Century 6.700 miliar itu, mestinya bisa jadi 3.350 Pasar Syariah. Berarti
provinsi dapat 100 Pasar Syariah, dan tiap Kota/Kabupaten bisa ada 8 Pasar Syariah.
Karena prototipenya seperti itu. Karena ini memang pilot project. Ini malah sedang diadopsi di Iran dan di Mesir.
“Saya mau bantu tulus saja. Karena saya mau
menjalankan satu sabda Rasul. Barangsiapa yang menghidupkan lahannya yang belum
dipakai, mati, untuk membantu orang lain maka manfaat kehidupan lahan itu
untuknya.”
Lalu bagaimana prospek di dalam negeri
sendiri, atau setidaknya di Surabaya?
Dikatakannya, sekarang Walikota Surabaya, Tri Rismaharini,
pasca pasar
tersebut diresmikan Menteri Koperasi dan UKM, mulai berpikir. Sebetulnya sejak awal sudah respek, waktu itu,
ketika Walikota Bambang DH, dan dan Tri
Rismaharini masih menjabat Kepala
Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) sudah banyak
membantu juga, sebelum menteri datang, lantas kualitas jalan ditingkatkan.
Mengenai pendanaan, pasar syariah
juga memiliki fasilitas pendanaan At-Tiin Islamic Foundation yang memberikan
bantuan pinjaman kepada pedagang pasar tanpa bunga.
Menurut
Suroso, Pasar Syariah Az-Zaitun 1 ini termasuk pasar syariah kelas tiga. Pasar
kelas tiga yang dimaksud adalah pasar tradisional yang diformalkan. Pedagangnya
kebanyakan para PKL dan pedagang pasar krempyeng. Pasar syariah kelas dua
menggunakan standar pertokoan. Pasar syariah kelas satu adalah pasar dengan
konsep grosir.
“Kalau waktu sewa 3 tahun in sudah habis, tahun
depan, saya akan jadikan 2 lantai yang bagus,” ujarnya, sambil berkali-kali
mengingatkan hal itu semata-mata untuk membantu oranglain. (S.Jai)