Kisah Pejuang Feminis
Bani Qadir Keturunan Ke 8
Oleh S.
JAI*)
(Sumber: Tabloid Perempuan Indonesia, Edisi Desember 2012)
Judul buku MATARAISA
Penulis ABIDAH EL KHALIEQY
Penerbit ARASKA PUBLISHER
Cetakan I,
Agustus 2012
Tebal 351 halaman
ISBN 978-602-7733-19-0
Tuhan tengah mengajak kita bermain-main
(Mataraisa, 325)
SUARA atau bahkan kesunyian
yang digetarkan oleh sastra dalam hitungan genetika seni senantiasa membawa
ideologi tertentu. Sekalipun kehadirannya justru untuk mengkritik, melawan atau
menghancurkan kuasa suatu ideologi lainnya.
Para pemikir aliran strukturalis
mempertentangkan keduanya—di semua lini bidang keilmuan, termasuk sastra—antara
gagasan yang menghancurkan dan paham yang dihancurkan. Artinya, kesadaran penuh pada perjuangan
untuk lepas dari ‘kontrol ketaksadaran’ proyek suatu ideologi penguasa itu,
sebenarnya sekaligus guna memantik ketidakpercayaan padanya.
Ternyata oleh para pemikir post-strukturalis
perihal kuasa ideologi dengan klaim kebenaran sendiri atas ketaksadarannya itu tidaklah
sesederhana itu. Bagi pemikir semacam Michel Foucault, tidak ada kategori benar
dan salah dan ‘kebenaran tidak di luar kekuasaan.’ Kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek kehidupan manusia bersama orang lain. Kebenaran
diproduksi, berjalin kelindan dengan wilayah praktek terciptanya benar dan
salah. Karenanya, setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri.
Termasuk sudah barangtentu kebenaran rezim sastrawi.
Dengan kata lain,
sebuah novel sekalipun membawa gagasan dengan panji-panji feminisme yang
bermaksud membongkar cakar kuasa di balik ideologi patriarkhi, yang “disahkan”
oleh kerumitan
struktur sosial seperti tradisi, agama, hubungan ekonomis, atau norma-norma
lain, sehingga secara tidak adil telah menjauhkan perempuan dari peluang untuk
mengembangkan potensi yang dimilikinya, pun secara sadar membangun kebenaran
ideologisnya sendiri di atas ketidaksadaran lainnya.
Kerumitan seperti ini, tak terkecuali
tentunya hadir pula dalam novel Mataraisa
karya sastrawati Abidah El Khalieqy
ini. Sebuah novel yang oleh penerbitnya Araska Publisher disebut-sebut sebagai
novel profetik, kisah tentang manusia sensitif dan kritis dalam merespon segala
bentuk ketidakadilan di sekelilingnya, termasuk dalam lingkungan keluarganya
sendiri.
Nikmat
Hasrat Kebebasan
Novel ini bertutur kisah tentang gejolak
Raisa, keturunan ke-8 dari Bani Qadir menyuarakan dan memperjuangkan keadilan
bagi perempuan dengan menyebarkan gagasan kebenaran dan keadilannya itu laiknya
seorang pengarang. Memang sosok Raisa seorang pengarang yang mengagumi
perjuangan tokoh feminis dan pengarang Mesir, Nawal El Saadawi. Dibumbui kisah
cinta yang menawan dengan managernya, Fozan Ibadi, seorang dosen muda di kampus
tenar di Yogyakarta.
Mengenai riwayat Raisa dituturkan; Hafidz
Muluk berputra Abdul Qadir. Ditangan Abdul Qadir inilah, kampung Mim berkembang
pesat seiring jatuh pamor Majapahit. Abdul Qadir berkawan kareib dengan
pembesar kampung Shin yang terletak di sebelah timur Mim. Anak-anak mereka
dinikahkan. Membentuk bani yang kuat dan solid. Lahirlah Bani Qadir di kampung
Mim dan Bani Hasyim di kampung Shin.
“Jadi Raisa lahir dari Bani Qadir?”
“Ya. Generasi ke delapan. Regenerasi telah
mengalami banyak sekali perubahan,” (hal 109)
Gagasan pembebasan dari tokoh Raisa ini
banyak disampaikan terutama di wilayah pesantren khususnya para santri putri,
yang selain mengenalinya melalui karya buku juga sebuah film yang diangkat dari
novelnya Perempuan Batu Nilam—ini
mengingatkan film Perempuan Berkalung
Sorban yang ditulis salah seorang pemenang lomba novel Dewan Kesenian
Jakarta pada 2003.
Hasrat untuk menikmati pembebasan itu dalam Id (istilah Freud) Raisa melampaui superego yang selama ini menjadi ukuran
moral perempuan. Raisa memperjuangkan Spirit persamaan, spirit keseimbangan, spirit
normalisasi kehidupan. “Karena hidup sudah dikoloni sedemikian rupa oleh
kuman-kuman raksasa, isme dan konco-konconya..” (hal 154).
Raisa lantang menggugat, mengapa laki-laki
boleh punya pasangan seratus bahkan
seribu gundik, dan perempuan tidak boleh? Mengapa laki-laki tak dihukum jika
berzina bahkan sepuluh kali dalam sehari pun!
Mereka bisa melenggang nyaman tanpa ada yang berniat merajamnya sepuluh
kali. Tapi perempuan pasangan zinanya, bukan hanya dirajam, tapi seumur hidup
sisanya bakal disiksa teror dan stigma yang tiada habisnya. “Diberi stempel
pelacur atau perempuan nakal,” (hal 156).
Bahkan dalam kehidupan paling dekat dengan
diri tokoh Raisa itu—meski tidak seradikal sikap tokoh novel sebelumnya, Geni Jora pada kekasihnya Zakky—ia
membela diri dalam kuasa Id-nya
sebagai perempuan saat bersitegang dengan pacarnya, Fozan Ibadi. “..Itulah
‘yang kurang ajar’ dari rencana-rencana gombal itu! Tidur dan ranjang! Mengapa
tak bicarakan saja urusanmu pada guling! Gue ni manusia, bukan bantal! Titik!” (hal 324).
Suara lantang seperti itulah yang menyakini
Sahro Hr. Lock, pengajar Indonesia pada Komunitas Muslim Virginia, USA dengan menyimpulkan
dalam endorsmen-nya, novel Abidah
memiliki karakter yang kuat untuk mewakili perjuangan kaum muslimah Indonesia
modern yang masih terbelenggu oleh tradisi budaya dan praktek-praktek keagamaan
yang kurang ramah terhadap eksistensi perempuan.
Tentang
Novel Profetik
Dibandingkan dengan Geni Jora, kurang lebih sebagai karya yang memiliki common atau visi yang serupa, memang Mataraisa
lebih lembut dan tidak mengumbar imajinasi dan lebih banyak menimbang detil
yang mengarah pada bentuk tertentu dari realisme—yang oleh penerbit diklaim
sebagai novel profetik itu—kiranya bukan
saja oleh karena latar sosialnya berbeda. Pengarang tentu punya pertimbangan
khusus dalam hal ini—sebagaimana tugas sastra profetik menurut Kuntowijoyo;
memperluas batin manusia pada kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan.
Meski demikian Mataraisa dalam konteks Indonesia mengimbanginya dengan kebebasan
mengumbar imaji seks yang tak lazim pada karya-karya yang banyak mengusung
ayat-ayat suci. Pengarang enteng saja bertutur kisah tentang BH, “Anterin ke
kamar, bang. Takut!” “Biar sekalian aku
pakaikan behanya. Ayo!” (hal 271),
peeping para penari striptease
atau harga material sex shop--menjual
alat-alat seks kelamin perempuan harganya 88 dolar, kelamin laki-laki 20 dolar
dan boneka perempuan, harganya 300 dolar (hal
336).
Kenyataannya, memang novel ini lebih banyak
menampilkan ayat suci dibandingkan Geni
Jora. Pada selembar kertas halaman 215-216 saja terhitung ada 9 Surat 14
ayat suci yang dikutip pengarang (Ash
Shaffat: 62-67, Ad Dukhan 43-46, Al Waqiah 52, Al An’am 2, Al A’raf 12, Al Mukminun 12, As Sajdah 7,
Ash Shaffat 11, Shaad 71, 76, Ath Thariq 6-7).
Di samping ada ketidakkonsistenan sosok tokoh
Fozan Ibadi yang pada satu kesempatan (hal
313) dikabarkan sebagai dosen muda di kampus tenar di Yogyakarta sekaligus calon
doktor di Harvard University, namun dikoreksi pada halaman 325 hendak
merampungkan program doktoral di Kanada. Sebuah kesalahan teknis yang pada
dunia sastra bisa terjadi dan hal itu tidak mengganggu.
Yang tetap mengagumkan sebagaimana
karya-karya Abidah, juga pada Mataraisa
ini adalah jalinan kisah percintaan yang cerdik sekaligus manis, romantis
tetapi tidak sentimentalis, serta terkadang satir dengan humor menyegarkan.
Sebagaimana kisah persekongkolan Fozan Ibadi dengan calon mertuanya—Ami Fuad
dengan kedua istrinya Ibu Duhita dan Umi Lubna ini.
Mereka bersekongkol melalui berita lamaran
Fozan Ibadi pada gadis Amira. Walau sebetulnya itu cara agar Raisa sudi
menyatakan cinta dan menerima lamaran kekasihnya. Inilah ending dari petualangan cinta keturunan ke-8 Bani Qadir buah karya pengarang
yang juga penulis kisah Menari di Atas Gunting
itu.
Dalam keterangan buku-buku lama (seperti
halnya pada kisah atau puisinya yang lain), semisal antologi cerita Pagelaran terbitan Festival Kesenian
Yogyakarta 1993, Menari di Atas Gunting ditulis oleh perempuan muda bernama Ida Bani
Kadir. Siapapun itu, keduanya jebolan Pesantren Putri PERSIS Bangil.
Dan begitulah, pada sisi ini pengarang tampak sedang bermain dengan
dirinya sendiri. []
*)Penulis
adalah Staff Women and Youth Development Institute of
Indonesia
(WYDII), Surabaya.