Rabu, 30 Januari 2013


Kisah Pejuang Feminis  
Bani Qadir Keturunan Ke 8
Oleh S. JAI*)

(Sumber: Tabloid Perempuan Indonesia, Edisi Desember 2012)


Judul buku  MATARAISA
Penulis  ABIDAH EL KHALIEQY
Penerbit  ARASKA PUBLISHER
Cetakan  I, Agustus 2012
Tebal  351 halaman
ISBN  978-602-7733-19-0


Tuhan tengah mengajak kita bermain-main
(Mataraisa, 325)


SUARA atau bahkan kesunyian yang digetarkan oleh sastra dalam hitungan genetika seni senantiasa membawa ideologi tertentu. Sekalipun kehadirannya justru untuk mengkritik, melawan atau menghancurkan kuasa suatu ideologi lainnya.




Para pemikir aliran strukturalis mempertentangkan keduanya—di semua lini bidang keilmuan, termasuk sastra—antara gagasan yang menghancurkan dan paham yang dihancurkan.  Artinya, kesadaran penuh pada perjuangan untuk lepas dari ‘kontrol ketaksadaran’ proyek suatu ideologi penguasa itu, sebenarnya sekaligus guna memantik ketidakpercayaan padanya.


Ternyata oleh para pemikir post-strukturalis perihal kuasa ideologi dengan klaim kebenaran sendiri atas ketaksadarannya itu tidaklah sesederhana itu. Bagi pemikir semacam Michel Foucault,  tidak ada kategori benar dan salah dan ‘kebenaran tidak di luar kekuasaan.’ Kebenaran berada dalam banyak cara dan praktek kehidupan manusia bersama orang lain. Kebenaran diproduksi, berjalin kelindan dengan wilayah praktek terciptanya benar dan salah. Karenanya, setiap ilmu pengetahuan memiliki rezim kebenarannya sendiri. Termasuk sudah barangtentu kebenaran rezim sastrawi. 

Dengan kata lain, sebuah novel sekalipun membawa gagasan dengan panji-panji feminisme yang bermaksud membongkar cakar kuasa di balik ideologi patriarkhi, yang “disahkan” oleh kerumitan struktur sosial seperti tradisi, agama, hubungan ekonomis, atau norma-norma lain, sehingga secara tidak adil telah menjauhkan perempuan dari peluang untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, pun secara sadar membangun kebenaran ideologisnya sendiri di atas ketidaksadaran lainnya.  

Kerumitan seperti ini, tak terkecuali tentunya hadir pula dalam novel Mataraisa karya sastrawati Abidah El Khalieqy ini. Sebuah novel yang oleh penerbitnya Araska Publisher disebut-sebut sebagai novel profetik, kisah tentang manusia sensitif dan kritis dalam merespon segala bentuk ketidakadilan di sekelilingnya, termasuk dalam lingkungan keluarganya sendiri.

Nikmat Hasrat Kebebasan

Novel ini bertutur kisah tentang gejolak Raisa, keturunan ke-8 dari Bani Qadir menyuarakan dan memperjuangkan keadilan bagi perempuan dengan menyebarkan gagasan kebenaran dan keadilannya itu laiknya seorang pengarang. Memang sosok Raisa seorang pengarang yang mengagumi perjuangan tokoh feminis dan pengarang Mesir, Nawal El Saadawi. Dibumbui kisah cinta yang menawan dengan managernya, Fozan Ibadi, seorang dosen muda di kampus tenar di Yogyakarta.

Mengenai riwayat Raisa dituturkan; Hafidz Muluk berputra Abdul Qadir. Ditangan Abdul Qadir inilah, kampung Mim berkembang pesat seiring jatuh pamor Majapahit. Abdul Qadir berkawan kareib dengan pembesar kampung Shin yang terletak di sebelah timur Mim. Anak-anak mereka dinikahkan. Membentuk bani yang kuat dan solid. Lahirlah Bani Qadir di kampung Mim dan Bani Hasyim di kampung Shin.

“Jadi Raisa lahir dari Bani Qadir?”
“Ya. Generasi ke delapan. Regenerasi telah mengalami banyak sekali perubahan,” (hal 109)

Gagasan pembebasan dari tokoh Raisa ini banyak disampaikan terutama di wilayah pesantren khususnya para santri putri, yang selain mengenalinya melalui karya buku juga sebuah film yang diangkat dari novelnya Perempuan Batu Nilam—ini mengingatkan film Perempuan Berkalung Sorban yang ditulis salah seorang pemenang lomba novel Dewan Kesenian Jakarta pada 2003.

Hasrat untuk menikmati pembebasan itu dalam Id (istilah Freud) Raisa melampaui superego yang selama ini menjadi ukuran moral perempuan. Raisa memperjuangkan Spirit persamaan, spirit keseimbangan, spirit normalisasi kehidupan. “Karena hidup sudah dikoloni sedemikian rupa oleh kuman-kuman raksasa, isme dan konco-konconya..” (hal 154).

Raisa lantang menggugat, mengapa laki-laki boleh  punya pasangan seratus bahkan seribu gundik, dan perempuan tidak boleh? Mengapa laki-laki tak dihukum jika berzina bahkan sepuluh kali dalam sehari pun!  Mereka bisa melenggang nyaman tanpa ada yang berniat merajamnya sepuluh kali. Tapi perempuan pasangan zinanya, bukan hanya dirajam, tapi seumur hidup sisanya bakal disiksa teror dan stigma yang tiada habisnya. “Diberi stempel pelacur atau perempuan nakal,” (hal 156).

Bahkan dalam kehidupan paling dekat dengan diri tokoh Raisa itu—meski tidak seradikal sikap tokoh novel sebelumnya, Geni Jora pada kekasihnya Zakky—ia membela diri dalam kuasa Id-nya sebagai perempuan saat bersitegang dengan pacarnya, Fozan Ibadi. “..Itulah ‘yang kurang ajar’ dari rencana-rencana gombal itu! Tidur dan ranjang! Mengapa tak bicarakan saja urusanmu pada guling! Gue ni manusia, bukan bantal! Titik!” (hal 324).

Suara lantang seperti itulah yang menyakini Sahro Hr. Lock, pengajar Indonesia pada Komunitas Muslim Virginia, USA dengan menyimpulkan dalam endorsmen-nya, novel Abidah memiliki karakter yang kuat untuk mewakili perjuangan kaum muslimah Indonesia modern yang masih terbelenggu oleh tradisi budaya dan praktek-praktek keagamaan yang kurang ramah terhadap eksistensi perempuan.

Tentang Novel Profetik

Dibandingkan dengan Geni Jora, kurang lebih sebagai karya yang memiliki common atau visi yang serupa, memang Mataraisa lebih lembut dan tidak mengumbar imajinasi dan lebih banyak menimbang detil yang mengarah pada bentuk tertentu dari realisme—yang oleh penerbit diklaim sebagai novel profetik itu—kiranya  bukan saja oleh karena latar sosialnya berbeda. Pengarang tentu punya pertimbangan khusus dalam hal ini—sebagaimana tugas sastra profetik menurut Kuntowijoyo; memperluas batin manusia pada kesadaran ketuhanan dan kemanusiaan. 

Meski demikian Mataraisa dalam konteks Indonesia mengimbanginya dengan kebebasan mengumbar imaji seks yang tak lazim pada karya-karya yang banyak mengusung ayat-ayat suci. Pengarang enteng saja bertutur kisah tentang BH, “Anterin ke kamar, bang. Takut!”  “Biar sekalian aku pakaikan behanya. Ayo!” (hal 271), peeping para penari striptease atau harga material sex shop--menjual alat-alat seks kelamin perempuan harganya 88 dolar, kelamin laki-laki 20 dolar dan boneka perempuan, harganya 300 dolar (hal 336).

Kenyataannya, memang novel ini lebih banyak menampilkan ayat suci dibandingkan Geni Jora. Pada selembar kertas halaman 215-216 saja terhitung ada 9 Surat 14 ayat suci yang dikutip pengarang (Ash Shaffat: 62-67, Ad Dukhan 43-46, Al Waqiah 52, Al An’am  2, Al A’raf 12, Al Mukminun 12, As Sajdah 7, Ash Shaffat 11, Shaad 71, 76, Ath Thariq 6-7).  

Di samping ada ketidakkonsistenan sosok tokoh Fozan Ibadi yang pada satu kesempatan (hal 313) dikabarkan sebagai dosen muda di kampus tenar di Yogyakarta sekaligus calon doktor di Harvard University, namun dikoreksi pada halaman 325 hendak merampungkan program doktoral di Kanada. Sebuah kesalahan teknis yang pada dunia sastra bisa terjadi dan hal itu tidak mengganggu. 

Yang tetap mengagumkan sebagaimana karya-karya Abidah, juga pada Mataraisa ini adalah jalinan kisah percintaan yang cerdik sekaligus manis, romantis tetapi tidak sentimentalis, serta terkadang satir dengan humor menyegarkan. Sebagaimana kisah persekongkolan Fozan Ibadi dengan calon mertuanya—Ami Fuad dengan kedua istrinya Ibu Duhita dan Umi Lubna ini.

Mereka bersekongkol melalui berita lamaran Fozan Ibadi pada gadis Amira. Walau sebetulnya itu cara agar Raisa sudi menyatakan cinta dan menerima lamaran kekasihnya. Inilah ending dari petualangan cinta keturunan ke-8 Bani Qadir buah karya pengarang yang juga penulis kisah Menari di Atas Gunting itu.

Dalam keterangan buku-buku lama (seperti halnya pada kisah atau puisinya yang lain), semisal antologi cerita Pagelaran terbitan Festival Kesenian Yogyakarta 1993,  Menari di Atas Gunting ditulis oleh perempuan muda bernama Ida Bani Kadir. Siapapun itu, keduanya jebolan Pesantren Putri PERSIS Bangil.  Dan begitulah, pada sisi ini pengarang tampak sedang bermain dengan dirinya sendiri. []


*)Penulis adalah Staff  Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII), Surabaya.