Kamis, 21 Februari 2013

Interview

 Siti Nurjanah, MA:
"Perempuanlah yang Mampu Memuliakan Dirinya Sendiri"

(Dari Majalah Seni Budaya 
Dewan Kesenian Surabaya, Alur edisi Januari 2013)


SECARA historis, perempuan terus terdiskriminasi hingga saat ini. Karena itu, konsistensi dalam meningkatkan status perempuan musti terus diupayakan, karena rintangan sosial-politik, budaya dan agama, setiap saat selalu ada.
Di negeri ini, tepatnya di Surabaya, salah seorang yang getol memperjuangkan nilai-nilai kemulian perempuan adalah Siti Nurjanah, MA. Karena itu, ia juga mengkritik ekspor TKI dari negeri yang menurutnya berlimpah sumber dayanya ini.
“Biaya sosial Indonesia dengan mengekspor tenaga kerja perempuan ke luar negeri lebih tinggi dari finansial profit yang didapatkan. Jumlah anak yang hidup tanpa orangtua, putus sekolah, perkawinan usia muda, dan hasil yang tidak digunakan dalam kegiatan yang bersifat produktif, tetapi lebih pada konsumtif, tidaklah meningkatkan taraf hidup,” ungkap Direktur Eksekutif Women and Youth Divelopment Institute of Indonesia ini kepada ALUR, yang mewancarainya.

Bagi perempuan kelahiran Tuban, 16 Mei 1974 ini dunia LSM sudah tak berjarak dan menjadi bagian dari hidupnya. Menurutnya, proses pembelajaran terpenting dimasa pencarian jati dirinya,  terbentuk di masa-masa mahasiswa. Ia tumbuh bersama teman-teman LSM dari berbagai universitas di Surabaya.
Tak lama setelah lulus dari Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Siti Nurjanah menjajagi profesi wartawan di beberapa surat kabar di Surabaya dan Jakarta. Lantas, melaju di dunia tulis beberapa saat di Voice of America (VOA) di Washington DC.
Berada di negeri Paman Sam tak disia-siakan olehnya. Ia lalu melanjutkan pendidikan S2 Jurusan Pembangunan Berkelanjutan (Internasional Sustainable Development, red)di wilayah Boston, untuk kembali lagi ke ranah LSM.
Selama beberapa tahun di Amerika Serikat, Siti Nurjanah menjadi beberapa fellow di institusi ternama, seperti the National Endowment for Democracy (NED).  Hingga detik ini, ia masih satu-satunya fellow dari Indonesia, Visiting Scholar di Project Institute 2049, juga terlibat dengan Program Penyusunan Sejarah UNDP tahun 2005.
Baru-baru ini, ia terlibat dalam proyek Perempuan di Layanan Publik (Women in Public Service Project-WPSP) yang diselenggarakan oleh Universitas Khusus Perempuan di Amerika (Five Sister Colleges). Di samping serangkaian afiliasi dan tanggung jawabnya, tetapi yang utama dan terpenting beberapa tahun terakhir adalah merawat dan membesarkan Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII)—LSM berbasis di Surabaya yang ia rintis 3 tahun yang lalu.
Berikut ini petikan hasil  wawancaranya dengan S. Jai dari majalah ALUR, beberapa waktu lalu mengenai pandangannya terhadap masa depan perempuan Indonesia.

Bila kita tilik latar sejarahnya, Hari Ibu ini sangat politis. Puluhan perempuan menggelar kongres, merumuskan agenda-agenda besar, berangan-angan pada kepentingan yang lebih besar.  Namun pada perkembangannya, agenda-agenda besar tersebut pupus, bahkan sirna. Apa yang terjadi menurut Anda?

Betul sekali!  Saya senang Anda dapat tetap menautkan antara hari ibu dengan sejarah lahirnya hari Ibu. Sebab semakin bertambahnya tahun dan semakin meningkatnya ketidakpedulian banyak pihak,  ataupun begitu mudahnya terjadi distorsi pada agenda kemajuan perempuan, saya khawatir generasi saat ini, juga generasi mendatang hanya mengingat hari Ibu dengan memasak sehari untuk ibu atau mengajak kaum perempuan belanja di mall.
Ini jelas distorsi dari agenda awal hari Ibu yang digagas dalam Kongress Perempuan, 22-25 Desember 1928. Sebab dalam kongress tersebut jangkauan perempuan dalam membangun bangsa sangatlah luas, melampaui keluarga. Agenda yang diboyong pun bervariasi, mulai dari masalah perkawinan di bawah umur, pendidikan perempuan, kesehatan, maupun hak berorganisasi.
Oleh karena itu, bila kita tilik sejarah perjuangan perempuan, kemajuan yang dicapai perempuan saat ini sangatlah lamban. Saya katakan demikian, ambil saja contoh, bidang pendidikan yang dirintis oleh R.A. Kartini ataupun beberapa tokoh sebelumnya sejak 1800an hingga kini masih ada ribuan perempuan yang tak bisa membaca, ribuan anak masih luput dari bangku sekolah.
  
Mengapa bisa demikian?

Hal penting yang harus selalu kita ingat bahwa sejarah perkembangan perempuan dari masa ke masa tidak berjalan lurus. Sejarah perkembangan perempuan seringkali berjalan tersendat-sendat, bahkan tidak jarang berbalik arah. Titik sejarah yang muncul dalam Kongress 1928, jelas tidak berjalan lurus 84 tahun berikutnya.  Separuh pun tidak. Untuk itu, upaya konsisten memelihara dan meningkatkan status perempuan, setiap saat selalu sangat relevan, karena rintangan-rintangan sosial-politik, budaya dan agama, setiap saat selalu ada.  Pun dengan pola interprestasi yang kreatif untuk terus mendomestifikasi dan melunakkan perempuan dari peran-peran yang lebih penting di masyarakat. Di masa rezim Soekarno dan Soeharto, keduanya mendesain agenda terstruktur demi mendomestikasi perempuan. Hingga kini, sangat terbatas jumlah perempuan yang diberi kesempatan memangku jabatan publik, terutama di level menengah, sebab jumlah perempuan profesional di level menengahlah yang benar-benar mampu mencitrakan realitas masyarakat.

Apa tantangan besar perempuan dewasa ini?

Tentu banyak tantangan, dan tuntutan bagi perempuan untuk lebih pintar, untuk menciptakan masyakarat yang lebih kuat, bisa menularkan nilai-nilai yang lebih kuat dalam keluarga. Sebenarnya dalam masyarakat kita, sudah terpolaperempuan juga memiliki tanggung jawab untuk berperan dalam membantu perekonomian keluarga, tidak kurang dari perempuan aktif memperluas perekonomian keluarga.  Ini menjadi renungan dan lebih sebagai  pembelajaran bagi laki-laki untuk melihat peran yang semakin terbuka. Suami atau laki-laki dalam keluarga untuk terus berpartisipasi lebih aktif dalam mendukung perempuan dan bersama dalam penyelenggaraan keluarga yang lebih mapan.  Jelas terbukti, keluarga kini lebih kuat karena peran serta dari kedua belah pihak, laki-laki dan perempuan. Pemposisian perempuan dalam norma lama, sebenarnya tidak pernah eksis dalam keluargayang rata-rata, itu kamuflase atau dalam delusional keluarga agamis yang cenderung tidak mampu berlangsung dalam waktu lama.

Banyak sekali hari peringatan untuk perempuan, hari ibu, Kartini, perempuan, Menurut Anda, mengapa bisa terjadi seperti ini?

Peringatan hari besar terkait dengan perempuan tersebut, terkait relevansi dengan momen yang berbeda. Yang perlu dipahami, bahwa secara historis perempuan begitu terdiskriminasi hingga saat ini. Peringatan itu penting karena menandai momentum perubahan besar,  atau turning point  perempuan dalam sejarah. Kalau perlu malah harus lebih, karena tidak seperti laki-laki semua hak laki-laki privilege, ada ketika mereka lahir. Sementara perempuan harus melalui memperjuangkan segala hak yang dimilikimulai di tingkat internasional semua hak pilih melalui perjuangan beberapa decade. Di Indonesia untung tidak melalui itu,  karena kita mendapat spillover effect (dampak positif, red) dari kemajuan yang sudah dicapai dunia barat. Hak pilih menjadi otomatis bagi kita, meski di beberapa negara Arab, masih tidak bisa. Hak mendapat pendidikan, melalui perjuangan panjang. Hak menikah sesuai keinginan. Hak bekerja. Hak travel sendiri di luar rumah, Hak-hak tersebut bukan privilege tetapi perjuangan keras, banyak dirintis dulu di negara Barat. Kita turut menikmasi buah perjuangan tersebut.

Apa persoalan-persoalan krusial yang dihadapi perempuan dewasa ini?

Perempuan sulit karena dominasi pasar yang menempatkan perempuan sebagai sasaran  tembak utama. Iklan dari sabun, baygon, kecap  sampai mobil, rokok, semua untuk perempuan atau memuaskan perempuan.Belum lagi bioskop, hampir tidak ada yang netral bagi perempuan.

Perempuan sekarang sedang getol mengajukan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender.  Apa kira-kira tantangan, plus-minus bila itu berlaku?

Setiap inisiatif untuk memperbaiki taraf hidup perempuan harus didukung. Perempuann hidup untuk keluarga, laki-laki hidup untuk dirinya sendiri. Dalam setiap pendapat,  perempuaan didediksikan untuk keluarga, Begitu pula dengan pengetahuan maupun skill untuk menciptakan keluarga yang lebih sehari.  Tantangannya lebih pada aplikasi. Harus riil yang ingin diubah apa? Dari namanya, terkesan sangat umum dan tidak langsung. Pendidikan? Tenaga kerja?  Harus riil, mengurangi multi tafsir.  Misalnya, istilah menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktek lainnya, yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereriotipe bagi perempuan dan laki-laki. Ini kan absurd.

















Bagaimana sebaiknya agar pemberdayaan perempuan lebih efektif, lebih dari yang tertuang di atas kertas?

Kita sudah banyak meratifikasi, undang-undang kesetaraan yang cukup bagus. Semestinya fokus pada implementasi. Bukannya pada produksi Undang-Undang baru—walaupun ini penting juga. Perubahan makan waktu yang lama.

Terkait dengan kemampuan ekonomi perempuan, bagaimana tanggapan Anda tentang fenomena TKW yang terus meningkat?

Saya pikir biaya sosial Indonesia dengan mengekspor tenaga kerja perempuan ke luar negeri lebih tinggi dari finansial profit yang didapatkan. Jumlah anak yang hidup tanpa orangtua, putus sekolah, perkawinan usia muda, dan hasil yang tidak digunakan dalam kegiatan yang bersifat produktif, tetapi lebih pada konsumtif, tidaklah meningkat kan taraf hidup. Belum lagi perlakuan tidak manusiawi yang terima oleh tenaga kerja di luar negeri karena berbagai hal, lalu gap social budaya, bahasa, dan penderitaan yang dialami oleh mereka, sungguh tidak sebanding.
Ekpor tenaga kerja oleh negara yang berlimpah sumber daya seperti Indonesia, tidaklah efektif. Yang perlu dilakukan adalah menciptakan tenaga kerja. Kita renungkan, Malaysia yang memiliki kurang dari seperempat luas Indonesia, dengan tanah dan sumber daya lebih melimpah, mampu menyediakan lapangan kerja pada jutaan orang Indonesia.  Ini benar-benar kenyataan yang sangat memprihatinkan. Tak satu pun pejabat publik kita melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan untuk melayani kepentingan masyarakat.  Justru masyarakat melayani kepentingan pejabat dengan korupsi yang tidak manusiawi.


 Dalam peran Anda sebagai salah satu pendiri LSM Perempuan, apa cita-cita Anda?

LSM kami, Women and Youth for Development Institute for Indonesia (WYDII) bekerja untuk meningkatkan kapabilitas perempuan, agar perempuan terus mengali potensi diri dan mengambil peran yang lebih signifikan untuk mencapai taraf hidup dan derajat perempuan yang lebih baikMeski taraf kehidupan perempuan di negara kita sudah lebih maju dibanding banyak negara di Timur Tengah atau di Asia Selatan, tetapi Indonesia masih jauh dari mapan. Kerja keras perempuan masih belum sepenuhnya diakui dan masih jauh dari setara penghargaan dan imbalan yang diperoleh perempuan dari nilai kerja yang sama dengan laki-laki. Tuntutan “alami” agar perempuan kerja ektra keras di rumah dan di luar rumah, masih tinggi.

Bagaimana WYDII mewujudkan cita-cita kesetaraan tersebut?

Itu yang dilakukan WYDII: Penyadaran dan terus melatih perempuan untuk sadar akan hak-haknya. WYDII didirikan dengan pemikiran bahwa pemberdayaan perempuan dan pengembangan pemuda harus menjadi bagian utama dari demokrasi yang hidup. Misi WYDII adalah menciptakan suatu kondisi dimana perempuan dan pemuda dapat dikembangkan di banyak norma-norma sosial-politik atau agama, akan memberikan peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan publik dan kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan pemuda yang lebih kompeten untuk menghadapi tantangan masa depan. Tujuan didirikannya WYDII adalah untuk meningkatkan standar perempuan dalam politik, kesehatan, dan ekonomi, serta mengembangkan potensi dan peluang perempuan untuk terlibat lebih aktif dalam proses demokrasi.  

Menurut Anda, apa yang sudah bisa dirayakan oleh perempuan dalam dekade terakhir?

Kemajuan telah banyak dicapai, tetapi perjuangan perempuan masih panjang. Kita selalu mengantisipasi era degradasi atau titik balik kemajuan perempuan, sangat tergantung pada situasi sosio-politik ekonomiyang mana perempuan selalu yang pertama rentan terhadap arus perubahan.  Perempuan perlu selalu waspada terhadap perkembangan tersebut, misalnya saja akhir-akhir ini banyak muncul slogan-slogan terkait menjunjung kemuliaan perempuan. Saya tekankan bahwa perempuanlah yang mampu memuliakan dirinya sendiri, pihak lain hanya pihak sekunder. Apabila perempuan mulai menyerahkan titah kemuliaanya pada pihak lain, saat itu juga perempuan menafikan kemuliaan sejatinya. [S. Jai]