Siti Nurjanah, MA:
"Perempuanlah yang Mampu Memuliakan Dirinya Sendiri"
(Dari Majalah Seni Budaya
Dewan Kesenian Surabaya, Alur edisi Januari 2013)
Dewan Kesenian Surabaya, Alur edisi Januari 2013)
SECARA historis, perempuan terus terdiskriminasi hingga saat
ini.
Karena itu, konsistensi dalam meningkatkan status perempuan musti terus
diupayakan, karena rintangan
sosial-politik, budaya dan
agama, setiap
saat selalu ada.
Di negeri ini, tepatnya di Surabaya, salah seorang yang
getol memperjuangkan nilai-nilai kemulian perempuan adalah Siti Nurjanah, MA.
Karena itu, ia juga mengkritik ekspor TKI dari negeri yang menurutnya berlimpah
sumber dayanya ini.
“Biaya
sosial Indonesia dengan
mengekspor tenaga kerja perempuan ke luar negeri lebih tinggi dari finansial profit yang didapatkan. Jumlah
anak yang hidup tanpa orangtua, putus sekolah, perkawinan usia muda, dan hasil yang tidak digunakan dalam
kegiatan yang bersifat produktif, tetapi lebih pada konsumtif, tidaklah meningkatkan taraf hidup,” ungkap Direktur Eksekutif Women and Youth Divelopment Institute of Indonesia ini kepada ALUR,
yang mewancarainya.
Bagi perempuan kelahiran Tuban, 16 Mei 1974 ini dunia LSM
sudah tak berjarak dan menjadi bagian dari hidupnya. Menurutnya, proses pembelajaran
terpenting dimasa pencarian jati dirinya, terbentuk di masa-masa
mahasiswa. Ia
tumbuh bersama teman-teman LSM dari berbagai universitas di Surabaya.
Tak
lama setelah lulus dari Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Siti Nurjanah
menjajagi profesi wartawan di beberapa surat kabar di Surabaya dan Jakarta. Lantas, melaju di dunia tulis
beberapa saat di Voice of America (VOA) di Washington DC.
Berada di negeri Paman Sam tak disia-siakan olehnya. Ia lalu melanjutkan
pendidikan S2 Jurusan Pembangunan Berkelanjutan (Internasional Sustainable Development, red)di wilayah Boston, untuk kembali lagi
ke ranah
LSM.
Selama
beberapa tahun di Amerika Serikat, Siti Nurjanah menjadi beberapa fellow di institusi ternama, seperti the National
Endowment for Democracy (NED). Hingga detik ini, ia masih satu-satunya
fellow dari Indonesia, Visiting
Scholar di Project Institute 2049, juga terlibat dengan Program Penyusunan Sejarah
UNDP tahun 2005.
Baru-baru
ini, ia terlibat dalam proyek
Perempuan di Layanan Publik (Women in
Public Service Project-WPSP) yang diselenggarakan oleh Universitas Khusus Perempuan
di Amerika (Five Sister Colleges). Di samping serangkaian afiliasi dan tanggung jawabnya, tetapi yang utama dan terpenting
beberapa tahun terakhir adalah merawat dan membesarkan Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII)—LSM berbasis di Surabaya yang
ia rintis 3 tahun yang lalu.
Berikut ini petikan hasil
wawancaranya dengan S. Jai
dari majalah ALUR, beberapa waktu lalu mengenai pandangannya terhadap masa
depan perempuan Indonesia.
Bila kita
tilik latar sejarahnya, Hari
Ibu ini sangat
politis. Puluhan
perempuan menggelar kongres,
merumuskan agenda-agenda besar, berangan-angan
pada kepentingan yang lebih besar. Namun pada perkembangannya, agenda-agenda
besar tersebut pupus, bahkan sirna. Apa yang terjadi menurut Anda?
Betul
sekali! Saya senang Anda dapat
tetap menautkan antara hari ibu dengan sejarah lahirnya hari Ibu. Sebab semakin
bertambahnya tahun dan semakin meningkatnya ketidakpedulian banyak pihak, ataupun begitu mudahnya
terjadi distorsi pada agenda kemajuan perempuan, saya khawatir generasi saat
ini, juga generasi mendatang hanya mengingat hari Ibu dengan memasak sehari
untuk ibu atau mengajak kaum perempuan belanja di mall.
Ini
jelas distorsi dari
agenda awal hari Ibu yang digagas dalam Kongress Perempuan, 22-25 Desember
1928. Sebab
dalam kongress tersebut jangkauan perempuan dalam membangun bangsa sangatlah luas,
melampaui keluarga. Agenda yang diboyong pun
bervariasi, mulai
dari masalah perkawinan di bawah umur, pendidikan perempuan, kesehatan, maupun
hak berorganisasi.
Oleh karena itu, bila kita tilik sejarah perjuangan
perempuan, kemajuan yang dicapai perempuan saat ini sangatlah lamban. Saya katakan demikian, ambil
saja contoh, bidang pendidikan yang dirintis oleh R.A. Kartini ataupun beberapa
tokoh sebelumnya sejak 1800an hingga kini masih ada ribuan perempuan yang tak
bisa membaca, ribuan anak masih luput dari bangku sekolah.
Mengapa bisa demikian?
Hal
penting yang harus selalu kita ingat bahwa sejarah perkembangan perempuan dari
masa ke masa tidak berjalan lurus. Sejarah perkembangan perempuan seringkali
berjalan tersendat-sendat, bahkan tidak jarang berbalik arah. Titik sejarah yang muncul
dalam Kongress 1928, jelas tidak berjalan lurus 84 tahun berikutnya. Separuh pun tidak. Untuk itu, upaya konsisten
memelihara dan meningkatkan status perempuan, setiap saat selalu sangat relevan,
karena rintangan-rintangan sosial-politik,
budaya dan agama, setiap
saat selalu ada. Pun dengan pola interprestasi yang
kreatif untuk terus mendomestifikasi dan melunakkan perempuan dari peran-peran yang lebih
penting di masyarakat. Di masa rezim
Soekarno dan Soeharto, keduanya mendesain
agenda terstruktur demi mendomestikasi perempuan. Hingga kini, sangat terbatas
jumlah perempuan yang diberi kesempatan memangku jabatan publik, terutama di
level menengah, sebab jumlah perempuan profesional di level menengahlah yang
benar-benar mampu mencitrakan realitas masyarakat.
Apa tantangan besar perempuan dewasa
ini?
Tentu
banyak tantangan, dan tuntutan
bagi perempuan untuk lebih pintar, untuk
menciptakan masyakarat yang lebih kuat, bisa menularkan nilai-nilai yang lebih
kuat dalam keluarga. Sebenarnya
dalam masyarakat kita,
sudah terpola—perempuan juga memiliki tanggung
jawab untuk berperan dalam membantu perekonomian keluarga, tidak kurang dari
perempuan aktif memperluas perekonomian keluarga.
Ini
menjadi renungan dan lebih sebagai
pembelajaran bagi laki-laki untuk melihat peran yang semakin terbuka. Suami atau laki-laki dalam
keluarga untuk terus
berpartisipasi lebih aktif dalam mendukung perempuan dan bersama dalam
penyelenggaraan
keluarga yang lebih mapan. Jelas terbukti, keluarga
kini lebih kuat karena peran serta dari kedua belah pihak, laki-laki dan
perempuan. Pemposisian
perempuan dalam norma lama, sebenarnya tidak pernah eksis dalam keluarga—yang rata-rata, itu kamuflase
atau dalam delusional keluarga agamis
yang cenderung tidak mampu berlangsung dalam waktu lama.
Banyak sekali hari peringatan untuk
perempuan, hari ibu, Kartini,
perempuan, Menurut Anda, mengapa bisa terjadi seperti ini?
Peringatan
hari besar terkait dengan perempuan tersebut, terkait relevansi dengan momen
yang berbeda. Yang
perlu dipahami, bahwa secara historis perempuan begitu
terdiskriminasi hingga saat ini. Peringatan
itu penting karena menandai momentum perubahan besar, atau turning point perempuan dalam sejarah. Kalau perlu malah harus
lebih, karena tidak seperti laki-laki semua hak laki-laki privilege, ada ketika mereka lahir. Sementara perempuan harus melalui
memperjuangkan segala hak yang dimiliki—mulai di tingkat internasional semua
hak pilih melalui perjuangan beberapa decade. Di Indonesia untung tidak melalui itu, karena kita mendapat spillover effect (dampak positif, red)
dari kemajuan
yang sudah dicapai dunia barat. Hak pilih menjadi otomatis bagi kita, meski di
beberapa negara Arab, masih tidak bisa. Hak mendapat pendidikan,
melalui perjuangan panjang. Hak
menikah sesuai keinginan. Hak bekerja. Hak travel sendiri di luar rumah, Hak-hak tersebut bukan privilege tetapi perjuangan keras,
banyak dirintis dulu di negara Barat. Kita
turut menikmasi buah perjuangan tersebut.
Apa persoalan-persoalan krusial yang
dihadapi perempuan dewasa ini?
Perempuan
sulit karena dominasi pasar yang menempatkan perempuan sebagai sasaran tembak utama. Iklan dari sabun, baygon, kecap sampai
mobil, rokok, semua
untuk perempuan atau memuaskan perempuan.Belum
lagi bioskop, hampir tidak ada yang netral bagi perempuan.
Perempuan sekarang sedang getol
mengajukan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender. Apa kira-kira
tantangan, plus-minus bila itu berlaku?
Setiap
inisiatif untuk memperbaiki taraf hidup perempuan harus didukung. Perempuann hidup untuk
keluarga, laki-laki hidup untuk dirinya sendiri. Dalam setiap pendapat, perempuaan didediksikan untuk keluarga, Begitu
pula dengan pengetahuan maupun skill untuk menciptakan keluarga yang lebih
sehari. Tantangannya lebih pada
aplikasi. Harus riil yang ingin diubah apa?
Dari namanya, terkesan sangat umum dan tidak langsung. Pendidikan? Tenaga kerja? Harus riil, mengurangi multi tafsir. Misalnya, istilah menghapus prasangka, kebiasaan dan segala praktek lainnya, yang didasarkan atas inferioritas atau
superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereriotipe
bagi perempuan dan laki-laki. Ini kan absurd.
Bagaimana sebaiknya agar pemberdayaan perempuan lebih efektif, lebih dari yang tertuang di atas kertas?
Kita
sudah banyak meratifikasi, undang-undang kesetaraan yang cukup bagus. Semestinya fokus pada implementasi. Bukannya pada produksi Undang-Undang baru—walaupun ini
penting juga. Perubahan
makan waktu yang lama.
Terkait dengan kemampuan ekonomi
perempuan, bagaimana tanggapan Anda tentang fenomena TKW yang terus meningkat?
Saya
pikir biaya sosial
Indonesia dengan mengekspor tenaga kerja perempuan ke luar negeri lebih tinggi
dari finansial profit yang
didapatkan. Jumlah anak yang hidup tanpa orangtua, putus sekolah, perkawinan
usia muda, dan hasil yang tidak
digunakan dalam kegiatan yang bersifat produktif, tetapi lebih pada konsumtif,
tidaklah
meningkat kan taraf hidup. Belum lagi perlakuan tidak manusiawi yang terima oleh tenaga
kerja di luar negeri karena berbagai hal, lalu gap social budaya, bahasa, dan
penderitaan yang dialami oleh mereka, sungguh tidak sebanding.
Ekpor
tenaga kerja oleh
negara yang berlimpah sumber daya seperti Indonesia, tidaklah efektif. Yang perlu dilakukan adalah menciptakan tenaga kerja. Kita renungkan, Malaysia
yang memiliki kurang dari seperempat luas Indonesia, dengan tanah dan sumber daya
lebih melimpah, mampu menyediakan
lapangan kerja pada jutaan orang Indonesia.
Ini
benar-benar kenyataan yang sangat memprihatinkan. Tak satu pun pejabat publik kita melakukan apa yang
seharusnya mereka lakukan untuk melayani kepentingan masyarakat. Justru masyarakat melayani kepentingan pejabat dengan
korupsi yang tidak manusiawi.
Dalam peran Anda sebagai salah satu
pendiri LSM Perempuan, apa cita-cita Anda?
LSM
kami, Women and Youth for Development
Institute for Indonesia (WYDII) bekerja untuk meningkatkan kapabilitas
perempuan, agar perempuan terus
mengali potensi diri dan mengambil peran yang lebih signifikan untuk mencapai
taraf hidup dan derajat perempuan yang lebih baik.
Meski
taraf kehidupan perempuan di negara kita sudah lebih maju dibanding banyak
negara di Timur Tengah atau di Asia Selatan, tetapi Indonesia masih jauh dari
mapan. Kerja keras perempuan masih belum sepenuhnya diakui dan masih jauh dari
setara penghargaan dan imbalan yang diperoleh perempuan dari nilai kerja yang
sama dengan laki-laki. Tuntutan “alami” agar perempuan kerja ektra keras di
rumah dan di luar rumah, masih tinggi.
Bagaimana WYDII mewujudkan cita-cita
kesetaraan tersebut?
Itu
yang dilakukan WYDII: Penyadaran
dan terus melatih perempuan untuk sadar akan hak-haknya. WYDII didirikan dengan
pemikiran bahwa pemberdayaan perempuan dan pengembangan pemuda harus menjadi
bagian utama dari demokrasi yang hidup. Misi WYDII adalah
menciptakan suatu kondisi dimana perempuan dan pemuda dapat dikembangkan di
banyak norma-norma sosial-politik atau agama, akan memberikan peluang yang
lebih besar bagi perempuan untuk dapat berpartisipasi secara penuh dalam
kehidupan publik dan kesempatan yang lebih besar untuk mengembangkan pemuda
yang lebih kompeten untuk menghadapi tantangan masa depan. Tujuan didirikannya WYDII adalah untuk
meningkatkan standar perempuan dalam politik, kesehatan, dan ekonomi, serta
mengembangkan potensi dan peluang perempuan untuk terlibat lebih aktif dalam
proses demokrasi.
Menurut Anda, apa
yang sudah bisa dirayakan oleh perempuan dalam dekade terakhir?
Kemajuan
telah banyak dicapai, tetapi perjuangan perempuan masih panjang. Kita selalu mengantisipasi
era degradasi atau titik balik kemajuan perempuan, sangat tergantung pada
situasi sosio-politik ekonomi—yang mana perempuan selalu yang
pertama rentan terhadap arus perubahan. Perempuan perlu selalu waspada terhadap perkembangan
tersebut, misalnya saja akhir-akhir ini banyak muncul slogan-slogan terkait
menjunjung kemuliaan perempuan. Saya tekankan bahwa perempuanlah yang mampu
memuliakan dirinya sendiri, pihak lain hanya pihak sekunder. Apabila perempuan mulai
menyerahkan titah kemuliaanya pada pihak lain, saat itu juga perempuan menafikan
kemuliaan sejatinya. [S. Jai]