Pesan
Rasional dari Balik Mimpi
Oleh S. Jai*)
(Jawa Pos, 17 Maret 2013)
Judul :
Misteri Lukisan Nabila,
Penulis :
Sihar Ramses Simatupang,
Penerbit : Nuansa Cendekia,
Cetakan : I, Nopember 2012 ,
Tebal : 188 Halaman,
ISBN : 978-602-8394-92-5
ANDAI novel ini difilmkan, saya pribadi akan menyukai
bentuk gambar filmis yang menggunakan plot dan alur lamban, dan banyak soundscape suara alam dan lingkungan. Karena
dengan demikian, film tersebut betul-betul mempertimbangkan aspek
sinematografis ketimbang jalan cerita itu sendiri.
Namun demikian ini
hanyalah gambaran saya semata, setelah menimbang sebuah film Norwegian Wood garapan Tran Anh Hung
dari novel dengan judul yang sama, karya pengarang brilian Haruki Murakami. Bagi
saya film Norwegian Wood adalah film
yang sangat hening dari sebuah novel yang begitu cerewet dan bahkan liar itu.
Sekali lagi ini hanyalah lukisan saya tentang
sebuah film yang bagus dari sebuah novel yang luar biasa. Suatu kenyataan yang
menurut saya sangat jarang terjadi. Seringkali film yang diproduksi dan dibesut
oleh sutradara berbakat membuahkan hasil gemilang dari sebuah novel yang biasa-biasa
aspek kesusastraannya. Sebaliknya, novel-novel
yang kuat boleh dikata hampir tidak ada yang memikat ketika diangkat ke sebuah
layar lebar, sekalipun oleh seorang sutradara yang berpengalaman.
Boleh jadi
dengan kata lain, sutradara memiliki tantangan luarbiasa ketika hendak
memfilmkan sebuah novel yang aspek kesusastraannya besar. Walaupun tesis saya
tentang film dan novel ini masih bisa diperdebatkan, setidaknya sedikit bisa
menjawab pertanyaan mengapa karya-karya sastra yang baik jarang sekali
diangkat—apalagi yang berhasil mencatat sejarah perfilman—ke dalam layar lebar.
Bahkan
rencana pembuatan film Bumi Manusia
yang diangkat dari novel Pramudya Ananta Toer itupun akhirnya gagal diproduksi.
Sementara banyak contoh film-film yang berhasil diangkat dari novel-novel yang
cenderung best seller.
Saya
menempatkan film dan novel Norwegian Wood
sebagai satu dari sekian perkecualian. Karena novel Haruki Murakami ini populer
dalam penyajian namun aspek sastrawinya pun begitu mendalam membeberkan
perjuangan pembebasan manusia modern Jepang. Di sisi lain, pada filmnya dengan
estetikanya sendiri menemukan ruh pada novel itu untuk diekplorasi aspek
sinematografinya.
Saya membayangkan
tokoh-tokoh novel Misteri Lukisan Nabila,
karya Sihar Ramses Simatupang ini memiliki suasana kejiwaan yang hampir mirip
dengan tokoh-tokoh Norwegian Wood. Nabila menjalani kehidupan selepas dari
hilangnya sang kekasih, Bentar dalam masa reformasi 1998. Demikian pula perempuan
Naoko yang kehilangan Kizuki dalam rekaan Haruki Murakami. Yang membedakannya
adalah Kizuki mati bunuh diri.
Baik Nabila maupun
Naoko hidup dalam bayang-bayang masa lalunya.
Nabila menikah dengan Feri, bekas intel yang bekerja menguntit terus
aksi demonstrasi Bentar beserta Nabila dan kawan-kawan semasa reformasi. Sedangkan
Naoko dalam Norwegian Wood menjalin
cinta dengan Watanabe, sahabat Kizuki.
Namun demikian
keduanya baik Nabila maupun Naoko sama-sama gagal menjalani percintaannya yang
wajar apalagi yang ideal. Nabila ‘dibunuh’ dalam kehidupan Feri. Kehidupan
Nabila berikutnya lebih didorong oleh roh Bentar. Sementara Naoko Karena
emosinya yang labil, Naoko kemudian dirawat di sanitarium di tengah hutan,
dibantu seorang perempuan bernama Reiko pada akhirnya bunuh diri dalam situasi diburu cinta dan belas kasih Watanabe.
Memang, jalan
kematian sebagai pembebasan akhir novel Norwegian
Wood tidak terdapat pada Misteri Lukisan Nabila yang menemukan jalan
pembebasan itu pada ungkapan seni lukis surealisme tokoh Nabila. Namun
demikian, jalan pembebasan yang demikian hanyalah satu cara yang dipakai
pengarang untuk berimajinasi perihal sisi gelap tokoh Bentar yang dilenyapkan
oleh penguasa dan tetap menjadi rahasia hingga saat ini.
***
NOVEL Misteri Lukisan
Nabila dibuka dengan suasana yang sangat magis, yakni ketika ratusan ekor
bangau putih menuju istana. Suasana yang mirip dengan gambaran Tumbangnya Seorang Diktator, Gabriel
Garzia Marques. Dan memang diantara keduanya tengah mengangkat perihal
kekuasaan sebuah rezim.
Dikisahkan bahwa
kekasih Nabila, seorang aktivis bernama Bentar, hilang ketika memperjuangkan
reformasi. Dalam novel ini, hilangnya Bentar menjadi urusan pribadi belaka,
yakni urusan gejolak batin Nabila dan Sutarmi—wanita yang telah melahirkan dan
membesarkan Bentar. Nabila, seorang pelukis yang kemudihan tergerak merombak
setiap gagasan estetik karya lukisnya dari realisme menuju surealisme, karena
dirinya terus ‘dirasuki’ roh kekasihnya—terutama melalui jalan mimpi.
Namun demikian, pesan
dari novel ini adalah “mengingatkan” kembali pembacanya pada kasus hilang
sejumlah aktivis politik penentang rezim Orde Baru (Orba) di tahun 1998. Kasus
yang tidak pernah dituntaskan secara hukum, dan yang saat ini seakan dilupakan
begitu saja. Setidaknya, ada 13 aktivis yang hilang hingga saat ini: Dedy
Hamdun, Hermawan Hendrawan, Hendra Hambali, Ismail, M Yusuf, Nova Al Katiri,
Petrus Bima Anugrah, Sony, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Yani
Afri, Wiji Tukul. Jumlah itu belum termasuk mahasiswa Trisakti yang meninggal
oleh letusan laras senapan pada saat demonstrasi 1998.
Dibandingkan dengan
novel-novel berlatar 1998 yang cenderung realis dan tentu saja filmis, seperti Hotel Prodeo Remy Sylado, Prosesi Zoya Herawati atau 1998 Ratna Indraswari Ibrahim, Misteri
Lukisan Nabila ini menampilkan lebih banyak cerita dalam alam mimpi yang
tentu saja surealis. Mimpi yang bercerita.
Realisme dalam novel
Sihar Ramses ini hanyalah cara dan teknik pengarang untuk bercerita sehingga
bisa terhubung dengan dunia nyata. Semacam keberangkatan sebuah novel sehingga
tidak berbiak liar dari pesan utamanya. Setidaknya, hal itu tampak dari penggunaan
bab yang pendek—yang sebagaimana dalam Hotel
Prodeo Remy Silado tampaknya digunakan untuk mempermudah penulisan dipahami
pembaca, sekaligus satu strategi untuk memperpanjang jumlah halaman hingga
ribuan lembar. Betapa di satu sisi novel itu menyebut Ibunda karya Maxim Gorky, namun di sisi lain ada Salvador Dali di
sana.
***
MESKI demikian Misteri
Lukisan Nabila terhitung novel pendek. Sehingga berbeda pula dengan gaya
surealis Tumbangnya Seorang Diktator,
Gabriel Marquez yang dalam satu bab berisi satu kalimat luarbiasa panjang
bahkan tanpa titik itu. Surealisme dalam Misteri
Lukisan Nabila bukanlah surealisme murni itu sendiri.
Surealisme di sini hanyalah sebagai satu cara
untuk melogikakan cerita dan hal itu dibebankan pada pencerahan tokoh Nabila
melalui media karya seni rupa—pada kanvas. Surealisme tampil sebagai semacam
puisi yang menghiasi sebuah novel. Walau disebut pengamat Zeus Nu’man Anggara
novel ini bagaikan puisi feminin. Barangkali saja hal ini akibat dari setiap
penyair yang menulis prosa dan Sihar Ramses Simatupang adalah salah satunya.
Boleh jadi pada novel ini Sihar bersepaham dengan kredo Sutardji Calzoum Bachri
dalam prosa: pengungkapan yang ringan dari realitas yang berat.
Perayaan alam mimpi
dan pikiran bawah sadar pada novel Misteri
Lukisan Nabila ini menjadi satu-satunya jalan Surealisme itu. Walaupun
mimpi-mimpi tokoh Nabila adalah pikiran bawah sadar yang bercerita dan bukanlah
mimpi yang cenderung rumit, bersayap, dan penuh sasmita tersembunyi
sebagaimana, misalkan ditunjukkan dalam kitab primbon mimpi
Betaljemur Adammakna, Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat.
Tampil dengan dua wajah bukanlah kutukan,
karena para nabi surealisme pun berangkat dari representasi hal yang realistis
dengan meletakkannya secara berdampingan objek-objek dengan cara yang
irasional.
Karena itu Sihar Ramses Simatupang tetap
tunduk pada pesan ‘menolak lupa pada sejarah.’ Mimpi tidaklah membuat diri dan
pikirannya serta jalan pikiran tokoh-tokohnya mengalir liar, bebas apalagi
bersayap, simbolis dan susah dimengerti. Mereka tetap
tunduk pada pesan itu. Mimpi dijadikan
energi positif, dan sampai di sini cukup jelas pengarang ini terpengaruh pada
teori psikoanalisa Sigmund Freud dalam menangkap sisi positif hadirnya mimpi.
Bahwa ada pesan yang baik, beradab, dan rasional dari balik naluri maupun
hasrat irrasional dari sepotong mimpi.
Pesan inilah yang bagi pengarang novel
ini bagaikan kitab suci yang atas dasar apapun ia tak punya keberanian untuk
mengabaikan, apalagi merusaknya atas nama dosa. Sebagaimana teori Freud,
prespektif pengarang novel ini berpandangan: sekalipun jalan sejarah, juga
sejarah mental tokoh-tokohnya dikesampingkan, ditekan hasratnya namun dalam
alam pikiran bawah sadar tetaplah menampilkan diri terlebih karena makin banyak
ruang-ruang kosong yang terbuka--mimpi, mitos, corak kelakuan ganjil,
terpelesetnya lidah, ketidaksengajaan, dan seni.
Tampilnya seni lukis sebagai
terbukanya ruang positif, inilah sekaligus yang membedakan tokoh Naoko dalam Norwegian Wood dengan Nabila pada novel
ini. Tokoh Naoko memilih corak kelakuan ganjil sebagai jalan pembebasannya yang
radikal. Ia bunuh diri untuk bisa bercinta dengan kekasihnya di alam lain. Pada
novel ini terungkap dihilangkan hak hidupnya bukanlah realitas bunuh diri.
Begitulah kiranya, saya juga kita
semua--terlebih para mantan aktivis 1998 yang kurang berhasil—tentu akan iri
melihat sukses Nabila. Nabila menjadi pelukis yang melambung, karya lukisnya
dikoleksi kolektor ternama dan dihargai hingga ratusan juta rupiah.
Meski demikian, novel Sihar Ramses Simatupang
ini ditutup dengan keinginan pengarang memperlihatkan pada pembaca—sekali
lagi—tentang sebuah kematian yang tidak dikehendaki dirinya sendiri. Tepatnya
tentang hak hidup yang dilenyapkan bukan oleh kekuasaan, tetapi oleh kesumat
yang terbit akibat kekuasaan itu.[]
*)Penulis adalah Staff Women and Youth Development Institute of Indonesia
(WYDII), Surabaya.