Kamis, 21 Maret 2013

Pesan Rasional dari Balik Mimpi
Oleh S. Jai*)

(Jawa Pos, 17 Maret 2013)

Judul  : Misteri Lukisan Nabila, 
Penulis : Sihar Ramses Simatupang,  
Penerbit : Nuansa Cendekia, 
Cetakan :  I, Nopember 2012 ,
Tebal  : 188 Halaman,  
ISBN : 978-602-8394-92-5

ANDAI novel ini difilmkan, saya pribadi akan menyukai bentuk gambar filmis yang menggunakan plot dan alur lamban, dan banyak soundscape suara alam dan lingkungan. Karena dengan demikian, film tersebut betul-betul mempertimbangkan aspek sinematografis ketimbang jalan cerita itu sendiri.



Namun demikian ini hanyalah gambaran saya semata, setelah menimbang sebuah film Norwegian Wood garapan Tran Anh Hung dari novel dengan judul yang sama, karya pengarang brilian Haruki Murakami. Bagi saya film Norwegian Wood adalah film yang sangat hening dari sebuah novel yang begitu cerewet dan bahkan liar itu.

 Sekali lagi ini hanyalah lukisan saya tentang sebuah film yang bagus dari sebuah novel yang luar biasa. Suatu kenyataan yang menurut saya sangat jarang terjadi. Seringkali film yang diproduksi dan dibesut oleh sutradara berbakat membuahkan hasil gemilang dari sebuah novel yang biasa-biasa aspek kesusastraannya.  Sebaliknya, novel-novel yang kuat boleh dikata hampir tidak ada yang memikat ketika diangkat ke sebuah layar lebar, sekalipun oleh seorang sutradara yang berpengalaman.

Boleh jadi dengan kata lain, sutradara memiliki tantangan luarbiasa ketika hendak memfilmkan sebuah novel yang aspek kesusastraannya besar. Walaupun tesis saya tentang film dan novel ini masih bisa diperdebatkan, setidaknya sedikit bisa menjawab pertanyaan mengapa karya-karya sastra yang baik jarang sekali diangkat—apalagi yang berhasil mencatat sejarah perfilman—ke dalam layar lebar.

Bahkan rencana pembuatan film Bumi Manusia yang diangkat dari novel Pramudya Ananta Toer itupun akhirnya gagal diproduksi. Sementara banyak contoh film-film yang berhasil diangkat dari novel-novel yang cenderung best seller

Saya menempatkan film dan novel Norwegian Wood sebagai satu dari sekian perkecualian. Karena novel Haruki Murakami ini populer dalam penyajian namun aspek sastrawinya pun begitu mendalam membeberkan perjuangan pembebasan manusia modern Jepang. Di sisi lain, pada filmnya dengan estetikanya sendiri menemukan ruh pada novel itu untuk diekplorasi aspek sinematografinya.

Saya membayangkan tokoh-tokoh novel Misteri Lukisan Nabila, karya Sihar Ramses Simatupang ini memiliki suasana kejiwaan yang hampir mirip dengan tokoh-tokoh Norwegian Wood.  Nabila menjalani kehidupan selepas dari hilangnya sang kekasih, Bentar dalam masa reformasi 1998. Demikian pula perempuan Naoko yang kehilangan Kizuki dalam rekaan Haruki Murakami. Yang membedakannya adalah Kizuki mati bunuh diri. 

Baik Nabila maupun Naoko hidup dalam bayang-bayang masa lalunya.  Nabila menikah dengan Feri, bekas intel yang bekerja menguntit terus aksi demonstrasi Bentar beserta Nabila dan kawan-kawan semasa reformasi. Sedangkan Naoko dalam Norwegian Wood menjalin cinta dengan Watanabe, sahabat Kizuki.

Namun demikian keduanya baik Nabila maupun Naoko sama-sama gagal menjalani percintaannya yang wajar apalagi yang ideal. Nabila ‘dibunuh’ dalam kehidupan Feri. Kehidupan Nabila berikutnya lebih didorong oleh roh Bentar.  Sementara Naoko Karena emosinya yang labil, Naoko kemudian dirawat di sanitarium di tengah hutan, dibantu seorang perempuan bernama Reiko pada akhirnya bunuh diri dalam situasi diburu cinta dan belas kasih Watanabe.

Memang, jalan kematian sebagai pembebasan akhir novel Norwegian Wood tidak terdapat pada Misteri Lukisan Nabila yang menemukan jalan pembebasan itu pada ungkapan seni lukis surealisme tokoh Nabila. Namun demikian, jalan pembebasan yang demikian hanyalah satu cara yang dipakai pengarang untuk berimajinasi perihal sisi gelap tokoh Bentar yang dilenyapkan oleh penguasa dan tetap menjadi rahasia hingga saat ini.

***
NOVEL Misteri Lukisan Nabila dibuka dengan suasana yang sangat magis, yakni ketika ratusan ekor bangau putih menuju istana. Suasana yang mirip dengan gambaran Tumbangnya Seorang Diktator, Gabriel Garzia Marques. Dan memang diantara keduanya tengah mengangkat perihal kekuasaan sebuah rezim.

Dikisahkan bahwa kekasih Nabila, seorang aktivis bernama Bentar, hilang ketika memperjuangkan reformasi. Dalam novel ini, hilangnya Bentar menjadi urusan pribadi belaka, yakni urusan gejolak batin Nabila dan Sutarmi—wanita yang telah melahirkan dan membesarkan Bentar. Nabila, seorang pelukis yang kemudihan tergerak merombak setiap gagasan estetik karya lukisnya dari realisme menuju surealisme, karena dirinya terus ‘dirasuki’ roh kekasihnya—terutama melalui jalan mimpi.

Namun demikian, pesan dari novel ini adalah “mengingatkan” kembali pembacanya pada kasus hilang sejumlah aktivis politik penentang rezim Orde Baru (Orba) di tahun 1998. Kasus yang tidak pernah dituntaskan secara hukum, dan yang saat ini seakan dilupakan begitu saja. Setidaknya, ada 13 aktivis yang hilang hingga saat ini: Dedy Hamdun, Hermawan Hendrawan, Hendra Hambali, Ismail, M Yusuf, Nova Al Katiri, Petrus Bima Anugrah, Sony, Suyat, Ucok Munandar Siahaan, Yadin Muhidin, Yani Afri, Wiji Tukul. Jumlah itu belum termasuk mahasiswa Trisakti yang meninggal oleh letusan laras senapan pada saat demonstrasi 1998.

Dibandingkan dengan novel-novel berlatar 1998 yang cenderung realis dan tentu saja filmis, seperti Hotel Prodeo Remy Sylado, Prosesi Zoya Herawati atau 1998 Ratna Indraswari Ibrahim,  Misteri Lukisan Nabila ini menampilkan lebih banyak cerita dalam alam mimpi yang tentu saja surealis. Mimpi yang bercerita.

Realisme dalam novel Sihar Ramses ini hanyalah cara dan teknik pengarang untuk bercerita sehingga bisa terhubung dengan dunia nyata. Semacam keberangkatan sebuah novel sehingga tidak berbiak liar dari pesan utamanya. Setidaknya, hal itu tampak dari penggunaan bab yang pendek—yang sebagaimana dalam Hotel Prodeo Remy Silado tampaknya digunakan untuk mempermudah penulisan dipahami pembaca, sekaligus satu strategi untuk memperpanjang jumlah halaman hingga ribuan lembar. Betapa di satu sisi novel itu menyebut Ibunda karya Maxim Gorky, namun di sisi lain ada Salvador Dali di sana.

***
MESKI demikian Misteri Lukisan Nabila terhitung novel pendek. Sehingga berbeda pula dengan gaya surealis Tumbangnya Seorang Diktator, Gabriel Marquez yang dalam satu bab berisi satu kalimat luarbiasa panjang bahkan tanpa titik itu. Surealisme dalam Misteri Lukisan Nabila bukanlah surealisme murni itu sendiri.

 Surealisme di sini hanyalah sebagai satu cara untuk melogikakan cerita dan hal itu dibebankan pada pencerahan tokoh Nabila melalui media karya seni rupa—pada kanvas. Surealisme tampil sebagai semacam puisi yang menghiasi sebuah novel. Walau disebut pengamat Zeus Nu’man Anggara novel ini bagaikan puisi feminin. Barangkali saja hal ini akibat dari setiap penyair yang menulis prosa dan Sihar Ramses Simatupang adalah salah satunya. Boleh jadi pada novel ini Sihar bersepaham dengan kredo Sutardji Calzoum Bachri dalam prosa: pengungkapan yang ringan dari realitas yang berat.

Perayaan alam mimpi dan pikiran bawah sadar pada novel Misteri Lukisan Nabila ini menjadi satu-satunya jalan Surealisme itu. Walaupun mimpi-mimpi tokoh Nabila adalah pikiran bawah sadar yang bercerita dan bukanlah mimpi yang cenderung rumit, bersayap, dan penuh sasmita tersembunyi sebagaimana, misalkan ditunjukkan dalam kitab primbon mimpi Betaljemur Adammakna, Kanjeng Pangeran Harya Tjakraningrat.

Tampil dengan dua wajah bukanlah kutukan, karena para nabi surealisme pun berangkat dari representasi hal yang realistis dengan meletakkannya secara berdampingan objek-objek dengan cara yang irasional.

Karena itu Sihar Ramses Simatupang tetap tunduk pada pesan ‘menolak lupa pada sejarah.’ Mimpi tidaklah membuat diri dan pikirannya serta jalan pikiran tokoh-tokohnya mengalir liar, bebas apalagi bersayap, simbolis dan susah dimengerti. Mereka tetap tunduk pada pesan itu.  Mimpi dijadikan energi positif, dan sampai di sini cukup jelas pengarang ini terpengaruh pada teori psikoanalisa Sigmund Freud dalam menangkap sisi positif hadirnya mimpi. Bahwa ada pesan yang baik, beradab, dan rasional dari balik naluri maupun hasrat irrasional dari sepotong mimpi. 

Pesan inilah yang bagi pengarang novel ini bagaikan kitab suci yang atas dasar apapun ia tak punya keberanian untuk mengabaikan, apalagi merusaknya atas nama dosa. Sebagaimana teori Freud, prespektif pengarang novel ini berpandangan: sekalipun jalan sejarah, juga sejarah mental tokoh-tokohnya dikesampingkan, ditekan hasratnya namun dalam alam pikiran bawah sadar tetaplah menampilkan diri terlebih karena makin banyak ruang-ruang kosong yang terbuka--mimpi, mitos, corak kelakuan ganjil, terpelesetnya lidah, ketidaksengajaan, dan seni. 

Tampilnya seni lukis sebagai terbukanya ruang positif, inilah sekaligus yang membedakan tokoh Naoko dalam Norwegian Wood dengan Nabila pada novel ini. Tokoh Naoko memilih corak kelakuan ganjil sebagai jalan pembebasannya yang radikal. Ia bunuh diri untuk bisa bercinta dengan kekasihnya di alam lain. Pada novel ini terungkap dihilangkan hak hidupnya bukanlah realitas bunuh diri.

Begitulah kiranya, saya juga kita semua--terlebih para mantan aktivis 1998 yang kurang berhasil—tentu akan iri melihat sukses Nabila. Nabila menjadi pelukis yang melambung, karya lukisnya dikoleksi kolektor ternama dan dihargai hingga ratusan juta rupiah.

Meski demikian, novel Sihar Ramses Simatupang ini ditutup dengan keinginan pengarang memperlihatkan pada pembaca—sekali lagi—tentang sebuah kematian yang tidak dikehendaki dirinya sendiri. Tepatnya tentang hak hidup yang dilenyapkan bukan oleh kekuasaan, tetapi oleh kesumat yang terbit akibat kekuasaan itu.[]


*)Penulis adalah Staff  Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII), Surabaya.