Kamis, 02 Mei 2013

Menolak Realisme, 
Merayakan Sejarah Mental
Oleh S. Jai

Judul                    : Penggali Sumur
Penulis                 : Zaki Zubaidi
Penerbit                : Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar
Cetakan                :  I, Februari 2013
Tebal                    : 103 Halaman
ISBN                     : 978-602-9751-1-5

/1/

SAYA menciptakan masalah tersendiri, ketika membaca kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi.  Ini keputusan saya, karena sebagai pembaca, saya—sebagaimana Zaki Zubaidi—juga seorang pengarang. Apalagi Zaki Zubaidi seorang wartawan dan saya pernah cukup lama menjalani profesi yang sama, dan bahkan saat ini pun terkadang saya masih terjun dalam kegiatan jurnalistik.



Saya pilih cara pembacaan seperti itu karena saya khawatir tidak ada masalah dalam diri saya karena alasan-alasan kemiripan latar belakang ini. Semisal dalam benak saya sebelum membaca, telah muncul bahwa cerpen-cerpen Zaki Zubaidi ini cerpen media massa—karena memang informasi dari Mashuri (editor buku ini), keseluruhannya telah dimuat di media.

Begitulah saya menganggap hubungan cerita pendek dengan media, sudah tak ada masalah. Alih-alih persoalannya berkutat jumlah karakter, aktualitas, seringkali bercorak realisme, atau tidak mengutamakan satu bentuk karya, menghibur dan mencerahkan, bahasa prosa dsb. Toh kini banyak sekali media. Jika tak sesuai media yang satu, bisa dikirim ke media lain, atau bila perlu media teman kita sendiri, atau bahkan media buatan kita sendiri.

Namun demikian, meski sama-sama sebagai pengarang dan punya latar jurnalistik saya musti tetap membaca kritis karya Zaki Zubaidi. Sebab itu, semula saya coba acak membaca setiap judul cerpen dalam buku ini—judul pertama (hal 1), disusul tengah (hal 31), dan judul terakhir (hal 93).  Berikutnya saya lantas mencoba membacanya secara berurutan sejak judul pertama sampai judul paling buncit.

Setelah itu saya mengurutkan kronologi penulisan cerpen ini sesuai dengan angka tahun penulisan Zaki Zubaidi. Cerpen Lurah (1998). Bapak  (1998), Penipuan  (1999), Bak Air dalam Kamar Tidur (2001), Jam Tangan Tuan Presiden (2002), Ledak  (2002),  Penggali Sumur  (2003), Badai (2004), Lelaki di Tiang Gantungan (2005),  Pak  Mandor (2006)  Sang Pembunuh  (2008),  Meong (2011). 

Dengan cara itu saya mendapati masalah pada buku Penggali Sumur ini yang perlu saya kritisi mengalir lebih banyak dari yang saya duga. Walau demikian saya menyambut gembira ‘masalah’ ini kemudian sebagai pembaca kritis, sesama pengarang saya menyusunnya dalam catatan-catatan kesan dan bukan mencoba menggali atau mencari pesan di dalamnya.

Terus terang, pesan saya abaikan. Sehingga seperti inilah catatan yang saya buat atas kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi.

/2/

MENGABAIKAN pesan cerita-cerita Zaki Zubaidi, berbuah kompensasi yang sangat berat bagi saya. Banyak sekali pertanyaan. Mula awal cover buku Penggali Sumur dengan lukisan sejumlah pria berjas yang dibenamkan kepalanya pada sebuah lapangan—lebih cocok disebut ilustrasi dari pikiran-pikiran absurd atau lukisan dari alam pikiran surealisme.

Resiko lain dengan mengabaikan pesan, sekaligus mengunduh kesan memunculkan banyak sekali nama pengarang yang berebut masuk dalam benak saya saat membaca cerpen-cerpen Zaki Zubaidi. Sejak O Henry, Stainbeck, Kuntowijoyo, Mochtar Lubis, Ahmad Tohari, Sony Karsono, Seno Gumira, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti, bahkan Danarto atau Idrus.

Namun demikian, sekali lagi ini semata-mata persoalan saya yang memilih metode pembacaan tertentu—dan usaha untuk menciptakan masalah dalam pembacaan saya.  Munculnya, nama-nama besar dalam sastra Indonesia di kepala saya ini, justru menjadi daya tarik pembacaan saya pada cerita-cerita Zaki Zubaidi. Bermula dari pertanyaan sederhana; realitas apa yang ditawarkan dan dibangun Zaki Zubaidi dibandingkan para pendahulunya?

Hemat saya, sudut pandang penceritaan ‘dia’ dan ‘aku’ (saya) dalam cerita-cerita buku Penggali Sumur ini berpengaruh pada prespektif Zaki Zubaidi terhadap corak realisme dalam karyanya. Pada cerpen-cerpen dengan point of view ‘diaan’—Lurah, Primas, Jam Tangan Tuan Presiden, Badai, Pak Mandor, Meong—realisme kerap kali disampaikan dengan cara yang tidak disiplin.

Zaki Zubaidi, wartawan yang jebolan sastra itu, memahami realisme dari fakta-fakta sosial dalam 5 W + 1 H (peristiwa, sebab, akibat, manusia, tempat, waktu dan kronologi kejadian). Namun ia, hanya disiplin pada bahwa subtansi dari cerita pendek adalah tokoh dan penokohan. Karena itulah realisme yang didekati dengan sangat baik melalui sudut pandang ‘diaan’ itu dihidupkan dengan pijar imajinasi yang keluar dari frame realisme—yakni cenderung memasuki wilayah psikologi tokoh.

Dengan kata lain, pada cerpen-cerpen realis itu Zaki Zubaidi melompat pagar untuk membuktikan tokoh sedikit lebih penting ketimbang peristiwa nyata.

Cerpen Lurah (1998) berkisah tentang Samijo, lurah yang pada masa kecilnya disodomi guru SMPnya.  Diwarnai kemunculan arbitrer (sewenang-wenang) tokoh Sutaji. Kisah cintanya dengan Joko yang mendorongnya tetap mengajukan diri sebagai lurah, boleh jadi sesungguhnya agak sensitif.

Cerpen Primas (1999) bagi saya ini cerita anak—setidaknya cerita tentang anak. Kisah anak yang mendapat burung gereja yang mati dan kemudian menguburkannya. Pertanyaan tentang kematian oleh anak itu menjadi kenangan paling memilukan ibunya, menyusul kematian putranya itu akibat kebakaran rumah yang bermula dari usaha pangkalan bensin miliknya.

Cerpen Jam Tangan Tuan Presiden (2002). Kisah Tuan Presiden yang jatuh cinta lagi pada perempuan dari negeri tetangga yang tengah terlibat perang dingin akibat rebutan perbatasan.  Cerpen Badai (2004) Kisah jimad, pengamen yang terus menyanyikan lagu-lagu dan syairnya, sementara orang sibuk karena percaya badai akan menyerang kota. Bahkan orang-orang itu menyakini kiamat bakal tiba. Namun bagi Jimat kehidupannya hanyalah berkutat masalah kopi, supermi, rokok dan petikan gitarnya. Ketika badai betul-betul datang, laki-laki itu justru memilih tidur.

Cerpen Pak  Mandor, (2006)  kisah pria penderita asma yang pelit dan berjumpa dengan pengemis yang minta uang receh seribu. Cerita ini mengingatkan saya pada cerpen Ahmad Tohari—sepasang mata yang enak dipandang, atau kenakalan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti.

Cerpen Meong (2011), Kisah pengusaha sepatu yang bangkrut, Rojali. Lalu buka warung belut goreng. Syukuran kepala belut goreng. Cerita ini melemparkan ingatan saya pada cerita Kuntowijoyo—anjinganjing menyerbu kuburan.

Jelas Zaki Zubaidi bukan pemuja realisme—sebaikbaik cerpen realismenya yang berhasil dalam Cerpen Primas (1999). Menurut saya ini cerpen ini sangat berhasil sebagai cerita bercorak realisme justru dari sudut pandang anak. Cerpen ini berhasil sebagai cerpen realisme karena ada pesan moral yang sengaja tidak saya baca di situ. Meski demikian ia cenderung menampilkan gaya artistik dan masalah kejiwaan (sosiatri) ketimbang kemasyarakatannya.

Bahkan cerpen Jam Tangan untuk Presiden lebih mirip sketsa ketimbang cerpen realisme. Mirip gabungan sketsa dan imajinasi. Kisah tentang perkutut yang terlepas, pada cerpen itu sebetulnya lebih menarik. Ada sketsa perkutut yang diganti dengan vas bunga.

/3/

SATU-SATUNYA cerpen dari buku ini dengan sudut pandang ‘aku’ yang masih percaya dan berkutat pada realisme sastra adalah cerpen Penggali Sumur  (2003),
bertutur perihal tokoh ‘Aku’ seorang perempuan yang diwarisi pekerjaan sebagai penggali sumur dari kakeknya. Namun seiring perjalanan waktu, sukses sebagai penggali sumur diprotes pamannya Wak Huda, karena warga banyak yang pilih melihat pantat perempuan penggali sumur ketimbang sholat dhuhur dan ashar di mushalanya. Meski—seperti halnya, pada cerpen Primas yang bercorak realisme—cerpen ini berani beresiko memasuki wilayah sosiatri ketimbang peristiwanya. Dengan kata lain laki-laki yang melihat pantat perempuan bukan masalah realisme tapi masalah kejiwaan.

Memang, saya melihat masalah kejiwaan dalam cerpen-cerpen Zaki Zubaidi ini begitu kuat dorongannya untuk keluar dari frame realisme berkat sudut pandang ‘aku’ (saya). Dari ketiga belas cerpen, ada tujuh cerpen yang demikian. Cerpen Bapak, Penipuan, Bak Air dalam Kamar Tidur, Ledak, Penggali Sumur, Lelaki di Tiang Gantungan, dan Sang Pembunuh.

Cerpen Bapak  (1998) menceritakan tokoh ‘Aku’ dan kakaknya, Halimah yang tinggal bersama seorang bapaknya yang telah pikun. Menganggap Halimah seorang pelacur, dan bahkan membunuh perempuan anaknya itu untuk hidangan sarapan pagi. Mengingatkan sejumlah cerpen Sony Karsono, sentimentalisme calon mayat, gerhana, dan insomnia.  Sayang ending cerita ini membingungkan—karena dunia prosa yang dibangun Zaki Zubaidi kembali menjadi puisi.

Cerpen Penipuan  (1999) bertutur tentang tokoh ‘Saya’ dan istrinya, Aryanti. Kisah pertemuan saya dengan sahabat lama, Sunaryo yang kemudian hanyalah memanen kecurigaan dalam keluarga itu.  Cerita ini berkesan karena melibatkan pembaca ‘saya sependapat dengan Anda saya curiga melihat gelagatnya’ walau menurut saya kurang berhasil, dan ragu-ragu dari aspek psikologis. Apalagi tak ada kejutan sebagaimana cerita lain yang mengingatkan saya pada cerita-cerita O Henry.

Cerpen Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) menceritakan tokoh ‘Saya’ yang dimasa kecilnya dimasukkan rumah sakit selama dua tahun oleh orangtuannya—hanya karena memasukkan bak air dalam kamar tidur dan berimajinasi menikmati kerinduannya pada hujan di dalamnya. Menurut saya cerita ini sempurna dalam melibatkan pembaca—teknik dan gaya yang sekarang banyak dicoba AS Laksana—bahkan kali ini Zaki Zubaidi mengaduknya dengan teknik monolog. Dikisahkan, kesukaan seorang anak membawa bak mandi ke dalam kamar dan merindukan hujan di sana itu terulang pada Bambang—anak dari tokoh ‘Saya.’ Kegetiran tokoh ‘Saya’ yang tak ingin menyaksikan anaknya dimasukkan rumah sakit sebagaimana masa kanaknya, berbuntut pembunuhan yang dilakukan tokoh ‘Saya’ pada anaknya itu.

 Cerpen Ledak  (2002) adalah kisah cinta ‘Aku’—teroris yang hendak meledakkan diri—dengan Andin,  bekas pelacur yang tobat.  Kisah cinta sang teroris menjadi menarik disitu, karena tidak berbaur dengan dogma agama, walau sang tokoh percaya pada surga, namun telah berkali tidur dengan para pelacur. Kisah cinta itu masih mengalir hingga semenit sebelum ‘pernikahan’. Dan pernikahan itu adalah upacara  bersama memasuki gerbang surga—mungkin meledakkan diri, mungkin juga upacara lainnya.  Teknik berceritanya, memikat. Mengingatkan saya pada cerpen-cerpen Sony Karsono atau Seno Gumira atau Putu Wijaya.

Cerpen Lelaki di Tiang Gantungan (2005)  bertutur tentang tokoh ‘Aku,’ wartawan yang berhasil menyeret terduga koruptor hingga tiang gantungan. Pergulatan batin tokoh Aku yang pada akhirnya keluar dari pekerjaannya karena ternyata ia hanyalah mengirim ke tiang gantungan seorang yang dikorbankan saja oleh koruptor yang sebenarnya.   Pada cerpen ini, munculnya tokoh yang bersifat arbitrer (sewenang-wenag) oleh pengarang tepat karena sekaligus sebagai kejutan untuk mendongkrak ide sentimentalisme pada kematian itu.

Cerpen Sang Pembunuh  (2008)  mengisahkan tokoh ‘Aku’ yang mendendam pada bapaknya karena telah meracun ibunya demi menikahi perempuan lain bernama Mira.  Suatu saat, ketika rumah sedang sepi Mira, ibu tiri tokoh saya ini mengajak ‘Aku’ bercinta. Hasrat bercinta Mira yang besar pada ‘Aku’ di kemudian hari menyebabkannya harus membunuh tokoh bapak. Terlebih karena Mira tahu ada dendam tokoh ‘Aku’ pada bapaknya. Cerita berujung tokoh ‘Aku’ yang menghuni penjara karena memutilasi Mira sehabis keduanya bercinta.

Dari ketujuh cerpen dengan sudut pandang narator ‘Aku’ ini, tiga diantaranya menyebut diri ‘Aku’ sebagai Ahmad. Dugaan saya, Ahmad ini boleh jadi adalah Ahmad Baihaqi—nama pena lain dari Zaki Zubaidi. Dan sebuah cerpen dengan tokoh wartawan. Artinya, saya hanya ingin mengatakan bagaimana ekspresi tokoh-tokoh cerita Zaki Zubaidi ini bergelut dan bergulat menjadi impresi-impresi dari dirinya selaku pengarang dengan segenap daya imajinasi, persepsi, interpretasi dan intuisinya.

Sekali lagi, jelas Zaki Zubaidi bukanlah pemuja corak realisme dan itu makin kuat impresi-impresinya melalui sudut pandang ‘aku’ dalam cerpen-cerpennya untuk memberontak realisme, sekalipun cerita bermula dari peristiwa realis dan ada pesan moral di situ. Dalam hal ini cerpen yang paling berhasil menurut hemat saya adalah  Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) di samping Ledak (2002). Menyusul kemudian cerpen Bapak (1998). Ketiga cerpen ini saya katakan berhasil dalam hal menolak realisme. Boleh jadi satu dari ketiga cerpen ini adalah cerpen paling kuat dari temuan pergulatan pencarian estetik dan artistik (gagasan dan gaya serta teknik penceritaan) yang selama ini digumuli Zaki Zubaidi. 

/4/

DUGAAN saya sukses Zaki Zubaidi menolak realisme itu lebih karena keberaniannya memasuki wilayah psikologi (imajinasi, persepsi, interpretasi, intuisi). Tentu saja, diantara keempat hal itu satu diantaranya ada yang paling menguasai proses kreatifnya.

Pada hemat saya, persepsilah yang menjadi kekuatan paling memikat dari cerita-cerita. Cara menulisnya yang sabar, yakin dengan kekuatan mental dan perasaannya. Saya curiga Zaki Zubaidi memiliki keadaan psikologis entah pengalaman masa lalu, fisik, mental serta emosional yang berpengaruh pada cara pandang dan penilaiannya pada peristiwa lingkungannya.

Persepsi pada hakekatnya merupakan proses kognitif (keyakinan akan pendapatnya) dan affect (kekuatan mental emosional dan perasaaannya) terhadap suatu soal atau lingkungan yang ditangkap oleh indra, baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan dan penciuman.

Dunia wartawan, melatih diri untuk itu, namun ajang latihan paling efektif tentu adalah pengalaman. Keduanya, pengalaman maupun latihan disokong oleh imajinasinya, visinya, serta reaksi panca indranya.

Perhatian pada masalah psikologi lingkungannya dalam cerita-cerita Zaki Zubaidi, menggerakan impresinya cenderung melukiskan ‘keburukan-keburukan’ (lebih tepatnya keanehan) dalam kehidupan tanpa mempedulikan norma susila atau etika. Tentu saja, pilihan itu diperkuat dengan sebagian besar ketidakpeduliannya atas itu diletakkan pada kelompok masyarakat miskin—kehidupan yang tidak pernah ada puisi di sana.  Cerita Surabaya milik Idrus, mengingatkan pada situasi ini.  

Laku kreatif pengarang yang memilih jalan sunyi demi merebut puncak-puncak integritas individualnya menemukan ruang dan waktunya ketika menyadari pada visi susastranya—sebagaimana bahasa Chaldun Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas. Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang yang ia rindukan.”

Zaki Zubaidi memiliki tradisi bercengkerama dengan realitas, peristiwa, berita, sekaligus ia mengambil jarak dengannya. Menjadi wartawan kriminal adalah persoalan yang sama sekali lain ketika menjadikan masalah interpersonal (orang lain adalah neraka—Sartre) sebagai masalah kreatif. Dengan kata lain, masalah interpersonal baginya sebagai masalah kreatif dan bukan masalah corak realisme, semisal maraknya peristiwa pembunuhan.

Namun demikian, kiranya pengarang Penggali Sumur ini bersepakat bahwa tradisi yang digeluti Zaki Zubaidi yang kemudian diambil jarak karenanya itu, adalah situasi krisis kemanusiaan—secara umum pada masalah moral,  kehilangan orientasi hidup bermakna, kerusakan lingkungan yang semakin parah, kekerasan, keserakahan dan secara khusus pada gangguan jiwa yang sering disebut skizofrenia.

Sekali lagi masalah interpersonal Zaki Zubaidi adalah masalah laku kreatif dan bukan corak realisme—apalagi memberikan pesan moral, karena sastra tak bisa mengambil alih tugas agamawan, psikiater atau hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan. Zaki Zubaidi punya tradisi menggumuli manusia yang secara ekstrem bisa dikategori abnormal, irrasional alias gila. Yaitu orang yang dalam definisi Kartono Mohamad (1989: 165) mengalami disintegrasi kepribadian dan maladjustment sosial berat, tidak mampu menyandarkan hubungan sosial dengan dunia luar bahkan terputus sama sekali dengan realitas hidup.

Terputusnya para pengidap skizofrenia ini dengan realitas hidup rupanya inhern dengan laku kreatif Zaki Zubaidi yang mengambil jarak dan menolak corak realisme. Keduanya tidak bertemu. Akan tetapi keduanya seakan ‘bersepakat’ pada dunia baru—dunia yang dibangun, dipercaya dan diyakini adanya dari keadaan mental tertentu.

Dengan kata lain, sebetulnya Zaki Zubaidi sedang mendiskripsikan secara kreatif fakta-fakta mental yang diketahuinya bermula dari fakta-fakta sosial (keadaan zaman, lingkungan masyarakat dan sistim kemasyarakatan) yang sepanjang menjalani kegiatan jurnalistiknya telah menjadi santapan rohani dan indrawinya.

Inilah yang saya kira paling berharga dari laku kreatif Zaki Zubaidi sebagai pengarang: merayakan fakta mental (ia sedang bekerja keras menuliskan kenyataannya sendiri). Namun demikian saya diingatkan kembali bahwa ‘harga’ dari sebuah laku kreatif musti disikapi secara hati-hati jika tidak ingin kembali terjatuh pada pesan dari sebuah karya sastra sebagaimana menentukan harga jual atau harga beli seekor sapi atau buku sastra.

Meski demikian menggali pesan—dalam arti mengisi absennya mentalitas dalam dunia nyata dari realitas sastra—kumpulan cerpen Penggali Sumur ini bukanlah sebuah kutukan. Karena itu, saya membayangkan pesan dari buku ini bisa dikaji lebih serius dari sisi sejarah mental. Setidaknya, saya pribadi bisa tertarik ke arah sana.

Saat ini saya belum menemukan referensi yang membetot perhatian saya pada hal ini—boleh jadi karena memang pembahasannya yang belum populer.  Saya hanya menjumpai Generalisasi fakta mental masyarakat dari Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Sartono Kartodirdjo itu.

Bahwa, fakta mental (mentifact) adalah keseluruhan dari tatanan mental yang berkembang dalam masyarakat pada suatu zaman menjadi penggerak sejarah yang meliputi konsep konsep, ide-ide, gagasan, paham, opini, semangat, ideologi, aspirasi dan sebagainya.

Meski demikian saya cukup berbahagia menemukan referensi mentifact sejarah lisan yang disusun Pramudya Ananta Toer, juga  John Rosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid itu. Mungkin nantinya saya bisa mulai dari sana untuk menelisik pesan Penggali Sumur Zaki Zubaidi ini. 

Sampai detik ini saya masih menyakini kesamaan tugas sejarawan dan kritikus sastra (Barthes)—bukan menemukan makna rahasia dari sebuah karya, melainkan membangun pemahaman untuk zaman kita sendiri.

/5/

DENGAN model pembacaan seperti itu, sehingga sedikit banyak saya bisa memprediksi pergulatan dan pencarian gagasan estetis dan artistik Zaki Zubaidi dari waktu ke waktu. Pun pada kesempatan ujung tulisan ini, saya bisa mengkritiknya, meski secara implisit telah terungkap pada bagian sebelumnya.

Lebih tepatnya kali ini sebagai penegasan, yang menginspirasi tulisan ini ‘Menolak Realisme, Merayakan Sejarah Mental.’  

Ketidakpedulian saya pada ada/tidaknya pesan cerpen-cerpen Zaki Zubaidi sepertinya ibarat bermula dari daya tarik sampiran pantun dan bukan pada isinya. Atau keengganan Sutardji Calzoum Bachri pada ide atau rumusan pikiran yang memberi arah apapun pada kesusastraan, apalagi ideologi.  Cerita Idrus, Surabaya, juga gagal didekati konsepsi angkatan 45 karena kejujurannya memasukkan segi-segi negative revolusi.

Entah ada atau tidak pesan dalam cerita Zaki Zubaidi saya tak peduli. Jikapun ada saya tak percaya, atas dasar itu. Sihir ungkapan kematian yang begitu enteng disampaikan Zaki Zubaidi dalam cerita-ceritanya, bukan berarti itu pesan moral ajakannya untuk berdamai dengan kematian. Demikian pula keindahan cinta atau kenyataan tak berarti ajaran untuk sayang pada dunia—apalagi menolak kematian. 

Dalam sejarah sastra, pesan-pesan (moral) seperti itu memang menjadi gagasan dari sastra realisme. Termasuk realisme sosial. Sehingga, melalui pembacaan saya seperti ini, dengan penolakan seperti itu, saya lebih percaya pada laku kreatif—daya hidup pengarang menempatkan diri dalam suasana jiwa yang sunyi sepi dan terbuka menerima relativitas kebenaran—ketimbang berhibuk ria dengan pesan

Pada saat mengekplorasi cerita realisme Zaki Zubaidi musti berperang dalam suasana pasang surut dengan persoalan sensitif, berekperimen ragu-ragu dalam melibatkan pembaca, mencuri sketsa imajis, tergoda pada bahasa puisi, simbolisme. Sepintas grafiknya naik turun dan puncaknya justru 1998-2002.

Sebaliknya, ekperimen-ekperimen itu semua untuk memberontak pada realisme  telah membuahkan tiga buah cerita yang spektakuler. Sebagai cerpen yang paling berhasil dalam bentuk dan isi. Dari ketiganya, saya kira cerpen Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) adalah cerpen yang sangat orisinil khas gagasan estetik dan artistik Zaki Zubaidi terlebih memperlihatkan kesempurnaannya dengan teknik dan gaya melibatkan pembaca.

Tentunya, hal itu bukanlah temuan dari sebuah pergulatan pencarian estetik dan artistik yang sepele bagi Zaki Zubaidi sebagai seorang pengarang. Untuk selanjutnya, kita bersama-sama bisa menunggu, setelah psikologisme dan laku kreatif pengarang yang memilih jalan sunyi demi merebut puncak-puncak integritas individualnya, apa yang digumuli pengarang Zaki Zubaidi ini.[] 


Surabaya, 6 Maret 2013