Menolak Realisme,
Merayakan
Sejarah Mental
Oleh S. Jai
Judul :
Penggali Sumur
Penulis : Zaki Zubaidi
Penerbit : Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar
Cetakan :
I, Februari 2013
Tebal : 103 Halaman
ISBN :
978-602-9751-1-5
/1/
SAYA menciptakan masalah tersendiri, ketika membaca kumpulan cerpen Penggali Sumur karya Zaki Zubaidi. Ini keputusan saya, karena sebagai pembaca,
saya—sebagaimana Zaki Zubaidi—juga seorang pengarang. Apalagi Zaki Zubaidi
seorang wartawan dan saya pernah cukup lama menjalani profesi yang sama, dan
bahkan saat ini pun terkadang saya masih terjun dalam kegiatan jurnalistik.
Saya pilih cara pembacaan seperti itu karena saya khawatir tidak ada
masalah dalam diri saya karena alasan-alasan kemiripan latar belakang ini.
Semisal dalam benak saya sebelum membaca, telah muncul bahwa cerpen-cerpen Zaki
Zubaidi ini cerpen media massa—karena memang informasi dari Mashuri (editor
buku ini), keseluruhannya telah dimuat di media.
Begitulah saya menganggap hubungan cerita pendek dengan media, sudah tak
ada masalah. Alih-alih persoalannya berkutat jumlah karakter, aktualitas, seringkali
bercorak realisme, atau tidak mengutamakan satu bentuk karya, menghibur dan
mencerahkan, bahasa prosa dsb. Toh kini banyak sekali media. Jika tak sesuai
media yang satu, bisa dikirim ke media lain, atau bila perlu media teman kita
sendiri, atau bahkan media buatan kita sendiri.
Namun demikian, meski sama-sama sebagai pengarang dan punya latar jurnalistik
saya musti tetap membaca kritis karya Zaki Zubaidi. Sebab itu, semula saya coba
acak membaca setiap judul cerpen dalam buku ini—judul pertama (hal 1), disusul tengah (hal 31), dan judul terakhir (hal 93). Berikutnya saya lantas mencoba membacanya
secara berurutan sejak judul pertama sampai judul paling buncit.
Setelah itu saya mengurutkan kronologi penulisan cerpen ini sesuai dengan
angka tahun penulisan Zaki Zubaidi. Cerpen Lurah
(1998). Bapak (1998), Penipuan (1999), Bak
Air dalam Kamar Tidur (2001), Jam
Tangan Tuan Presiden (2002), Ledak (2002),
Penggali Sumur (2003), Badai
(2004), Lelaki di Tiang Gantungan
(2005), Pak Mandor (2006)
Sang Pembunuh (2008),
Meong (2011).
Dengan cara itu saya mendapati masalah pada buku Penggali Sumur ini yang perlu saya kritisi mengalir lebih banyak
dari yang saya duga. Walau demikian saya menyambut gembira ‘masalah’ ini
kemudian sebagai pembaca kritis, sesama pengarang saya menyusunnya dalam
catatan-catatan kesan dan bukan mencoba menggali atau mencari pesan di dalamnya.
Terus terang, pesan saya abaikan. Sehingga seperti inilah catatan yang saya
buat atas kumpulan cerpen Penggali Sumur
karya Zaki Zubaidi.
/2/
MENGABAIKAN pesan cerita-cerita Zaki Zubaidi, berbuah kompensasi
yang sangat berat bagi saya. Banyak sekali pertanyaan. Mula awal cover buku Penggali Sumur dengan lukisan sejumlah
pria berjas yang dibenamkan kepalanya pada sebuah lapangan—lebih cocok disebut
ilustrasi dari pikiran-pikiran absurd atau lukisan dari alam pikiran
surealisme.
Resiko lain dengan
mengabaikan pesan, sekaligus mengunduh kesan memunculkan banyak sekali nama
pengarang yang berebut masuk dalam benak saya saat membaca cerpen-cerpen Zaki
Zubaidi. Sejak O Henry, Stainbeck, Kuntowijoyo, Mochtar Lubis, Ahmad Tohari,
Sony Karsono, Seno Gumira, Putu Wijaya, Hamsad Rangkuti, bahkan Danarto atau
Idrus.
Namun demikian,
sekali lagi ini semata-mata persoalan saya yang memilih metode pembacaan
tertentu—dan usaha untuk menciptakan masalah dalam pembacaan saya. Munculnya, nama-nama besar dalam sastra
Indonesia di kepala saya ini, justru menjadi daya tarik pembacaan saya pada
cerita-cerita Zaki Zubaidi. Bermula dari pertanyaan sederhana; realitas apa
yang ditawarkan dan dibangun Zaki Zubaidi dibandingkan para pendahulunya?
Hemat saya, sudut
pandang penceritaan ‘dia’ dan ‘aku’ (saya) dalam cerita-cerita buku Penggali Sumur ini berpengaruh pada
prespektif Zaki Zubaidi terhadap corak realisme dalam karyanya. Pada
cerpen-cerpen dengan point of view ‘diaan’—Lurah, Primas, Jam Tangan Tuan Presiden,
Badai, Pak Mandor, Meong—realisme kerap kali disampaikan dengan cara yang
tidak disiplin.
Zaki Zubaidi,
wartawan yang jebolan sastra itu, memahami realisme dari fakta-fakta sosial
dalam 5 W + 1 H (peristiwa,
sebab, akibat, manusia, tempat, waktu dan kronologi kejadian). Namun ia, hanya disiplin pada bahwa subtansi dari cerita pendek adalah
tokoh dan penokohan. Karena itulah realisme yang didekati dengan sangat baik
melalui sudut pandang ‘diaan’ itu dihidupkan dengan pijar imajinasi yang keluar
dari frame realisme—yakni cenderung memasuki wilayah psikologi tokoh.
Dengan kata lain,
pada cerpen-cerpen realis itu Zaki Zubaidi melompat pagar untuk membuktikan
tokoh sedikit lebih penting ketimbang peristiwa nyata.
Cerpen Lurah
(1998) berkisah tentang Samijo, lurah yang pada masa kecilnya disodomi guru
SMPnya. Diwarnai kemunculan arbitrer
(sewenang-wenang) tokoh Sutaji. Kisah cintanya dengan Joko yang mendorongnya
tetap mengajukan diri sebagai lurah, boleh jadi sesungguhnya agak sensitif.
Cerpen Primas
(1999) bagi saya ini cerita anak—setidaknya cerita tentang anak. Kisah anak
yang mendapat burung gereja yang mati dan kemudian menguburkannya. Pertanyaan
tentang kematian oleh anak itu menjadi kenangan paling memilukan ibunya,
menyusul kematian putranya itu akibat kebakaran rumah yang bermula dari usaha
pangkalan bensin miliknya.
Cerpen Jam
Tangan Tuan Presiden (2002). Kisah Tuan Presiden yang jatuh cinta lagi pada
perempuan dari negeri tetangga yang tengah terlibat perang dingin akibat
rebutan perbatasan. Cerpen Badai (2004) Kisah jimad, pengamen yang
terus menyanyikan lagu-lagu dan syairnya, sementara orang sibuk karena percaya
badai akan menyerang kota. Bahkan orang-orang itu menyakini kiamat bakal tiba.
Namun bagi Jimat kehidupannya hanyalah berkutat masalah kopi, supermi, rokok
dan petikan gitarnya. Ketika badai betul-betul datang, laki-laki itu justru
memilih tidur.
Cerpen Pak Mandor, (2006) kisah pria penderita asma yang pelit dan
berjumpa dengan pengemis yang minta uang receh seribu. Cerita ini mengingatkan
saya pada cerpen Ahmad Tohari—sepasang
mata yang enak dipandang, atau kenakalan cerpen-cerpen Hamsad Rangkuti.
Cerpen Meong
(2011), Kisah pengusaha sepatu yang bangkrut, Rojali. Lalu buka warung belut
goreng. Syukuran kepala belut goreng. Cerita ini melemparkan ingatan saya pada
cerita Kuntowijoyo—anjinganjing menyerbu
kuburan.
Jelas Zaki Zubaidi
bukan pemuja realisme—sebaikbaik cerpen realismenya yang berhasil dalam Cerpen Primas (1999). Menurut saya ini cerpen
ini sangat berhasil sebagai cerita bercorak realisme justru dari sudut pandang
anak. Cerpen ini berhasil sebagai cerpen realisme karena ada pesan moral yang
sengaja tidak saya baca di situ. Meski demikian ia cenderung menampilkan gaya
artistik dan masalah kejiwaan (sosiatri) ketimbang kemasyarakatannya.
Bahkan cerpen Jam Tangan untuk Presiden lebih mirip sketsa ketimbang cerpen
realisme. Mirip gabungan sketsa dan imajinasi. Kisah tentang perkutut yang
terlepas, pada cerpen itu sebetulnya lebih menarik. Ada sketsa perkutut yang
diganti dengan vas bunga.
/3/
SATU-SATUNYA cerpen dari buku ini
dengan sudut pandang ‘aku’ yang masih percaya dan berkutat pada realisme sastra
adalah cerpen Penggali Sumur (2003),
bertutur
perihal tokoh ‘Aku’ seorang perempuan yang diwarisi pekerjaan sebagai penggali
sumur dari kakeknya. Namun seiring perjalanan waktu, sukses sebagai penggali
sumur diprotes pamannya Wak Huda, karena warga banyak yang pilih melihat pantat
perempuan penggali sumur ketimbang sholat dhuhur dan ashar di mushalanya. Meski—seperti
halnya, pada cerpen Primas yang bercorak realisme—cerpen ini berani beresiko
memasuki wilayah sosiatri ketimbang peristiwanya. Dengan kata lain laki-laki
yang melihat pantat perempuan bukan masalah realisme tapi masalah kejiwaan.
Memang, saya melihat masalah kejiwaan dalam
cerpen-cerpen Zaki Zubaidi ini begitu kuat dorongannya untuk keluar dari frame
realisme berkat sudut pandang ‘aku’ (saya). Dari ketiga belas cerpen, ada tujuh
cerpen yang demikian. Cerpen Bapak,
Penipuan, Bak Air dalam Kamar Tidur, Ledak, Penggali Sumur, Lelaki di Tiang
Gantungan, dan Sang Pembunuh.
Cerpen Bapak (1998) menceritakan tokoh ‘Aku’ dan kakaknya,
Halimah yang tinggal bersama seorang bapaknya yang telah pikun. Menganggap
Halimah seorang pelacur, dan bahkan membunuh perempuan anaknya itu untuk
hidangan sarapan pagi. Mengingatkan sejumlah cerpen Sony Karsono, sentimentalisme calon mayat, gerhana, dan insomnia. Sayang ending
cerita ini membingungkan—karena dunia prosa yang dibangun Zaki Zubaidi kembali
menjadi puisi.
Cerpen Penipuan (1999) bertutur tentang tokoh ‘Saya’ dan istrinya,
Aryanti. Kisah pertemuan saya dengan sahabat lama, Sunaryo yang kemudian
hanyalah memanen kecurigaan dalam keluarga itu.
Cerita ini berkesan karena melibatkan pembaca ‘saya sependapat dengan
Anda saya curiga melihat gelagatnya’ walau menurut saya kurang berhasil, dan
ragu-ragu dari aspek psikologis. Apalagi tak ada kejutan sebagaimana cerita
lain yang mengingatkan saya pada cerita-cerita O Henry.
Cerpen Bak
Air dalam Kamar Tidur (2001) menceritakan tokoh ‘Saya’ yang dimasa kecilnya
dimasukkan rumah sakit selama dua tahun oleh orangtuannya—hanya karena
memasukkan bak air dalam kamar tidur dan berimajinasi menikmati kerinduannya
pada hujan di dalamnya. Menurut saya cerita ini sempurna dalam melibatkan
pembaca—teknik dan gaya yang sekarang banyak dicoba AS Laksana—bahkan kali ini
Zaki Zubaidi mengaduknya dengan teknik monolog. Dikisahkan, kesukaan seorang
anak membawa bak mandi ke dalam kamar dan merindukan hujan di sana itu terulang
pada Bambang—anak dari tokoh ‘Saya.’ Kegetiran tokoh ‘Saya’ yang tak ingin
menyaksikan anaknya dimasukkan rumah sakit sebagaimana masa kanaknya, berbuntut
pembunuhan yang dilakukan tokoh ‘Saya’ pada anaknya itu.
Cerpen
Ledak
(2002) adalah kisah cinta ‘Aku’—teroris yang hendak meledakkan diri—dengan
Andin, bekas pelacur yang tobat. Kisah cinta sang teroris menjadi menarik
disitu, karena tidak berbaur dengan dogma agama, walau sang tokoh percaya pada
surga, namun telah berkali tidur dengan para pelacur. Kisah cinta itu masih
mengalir hingga semenit sebelum ‘pernikahan’. Dan pernikahan itu adalah
upacara bersama memasuki gerbang
surga—mungkin meledakkan diri, mungkin juga upacara lainnya. Teknik berceritanya, memikat. Mengingatkan
saya pada cerpen-cerpen Sony Karsono atau Seno Gumira atau Putu Wijaya.
Cerpen Lelaki
di Tiang Gantungan (2005) bertutur
tentang tokoh ‘Aku,’ wartawan yang berhasil menyeret terduga koruptor hingga
tiang gantungan. Pergulatan batin tokoh Aku yang pada akhirnya keluar dari
pekerjaannya karena ternyata ia hanyalah mengirim ke tiang gantungan seorang
yang dikorbankan saja oleh koruptor yang sebenarnya. Pada cerpen ini, munculnya tokoh yang
bersifat arbitrer (sewenang-wenag) oleh pengarang tepat karena sekaligus
sebagai kejutan untuk mendongkrak ide sentimentalisme pada kematian itu.
Cerpen Sang
Pembunuh (2008) mengisahkan tokoh ‘Aku’ yang mendendam pada
bapaknya karena telah meracun ibunya demi menikahi perempuan lain bernama Mira.
Suatu saat, ketika rumah sedang sepi
Mira, ibu tiri tokoh saya ini mengajak ‘Aku’ bercinta. Hasrat bercinta Mira
yang besar pada ‘Aku’ di kemudian hari menyebabkannya harus membunuh tokoh
bapak. Terlebih karena Mira tahu ada dendam tokoh ‘Aku’ pada bapaknya. Cerita
berujung tokoh ‘Aku’ yang menghuni penjara karena memutilasi Mira sehabis
keduanya bercinta.
Dari ketujuh cerpen dengan sudut pandang
narator ‘Aku’ ini, tiga diantaranya menyebut diri ‘Aku’ sebagai Ahmad. Dugaan
saya, Ahmad ini boleh jadi adalah Ahmad Baihaqi—nama pena lain dari Zaki
Zubaidi. Dan sebuah cerpen dengan tokoh wartawan. Artinya, saya hanya ingin
mengatakan bagaimana ekspresi tokoh-tokoh cerita Zaki Zubaidi ini bergelut dan
bergulat menjadi impresi-impresi dari dirinya selaku pengarang dengan segenap
daya imajinasi, persepsi, interpretasi dan intuisinya.
Sekali lagi, jelas Zaki Zubaidi bukanlah
pemuja corak realisme dan itu makin kuat impresi-impresinya melalui sudut
pandang ‘aku’ dalam cerpen-cerpennya untuk memberontak realisme, sekalipun
cerita bermula dari peristiwa realis dan ada pesan moral di situ. Dalam hal ini
cerpen yang paling berhasil menurut hemat saya adalah Bak Air
dalam Kamar Tidur (2001) di samping Ledak
(2002). Menyusul kemudian cerpen Bapak
(1998). Ketiga cerpen ini saya katakan berhasil dalam hal menolak realisme.
Boleh jadi satu dari ketiga cerpen ini adalah cerpen paling kuat dari temuan
pergulatan pencarian estetik dan artistik (gagasan dan gaya serta teknik
penceritaan) yang selama ini digumuli Zaki Zubaidi.
/4/
DUGAAN saya sukses Zaki
Zubaidi menolak realisme itu lebih karena keberaniannya memasuki wilayah
psikologi (imajinasi, persepsi, interpretasi, intuisi). Tentu saja, diantara
keempat hal itu satu diantaranya ada yang paling menguasai proses kreatifnya.
Pada hemat saya, persepsilah yang menjadi
kekuatan paling memikat dari cerita-cerita. Cara menulisnya yang sabar, yakin
dengan kekuatan mental dan perasaannya. Saya curiga Zaki Zubaidi memiliki
keadaan psikologis entah pengalaman masa lalu, fisik,
mental serta emosional yang berpengaruh pada cara pandang dan penilaiannya
pada peristiwa lingkungannya.
Persepsi pada
hakekatnya merupakan proses kognitif (keyakinan akan pendapatnya) dan affect
(kekuatan mental emosional dan perasaaannya) terhadap suatu soal atau
lingkungan yang ditangkap oleh indra, baik lewat
penglihatan, pendengaran, penghayatan dan penciuman.
Dunia wartawan,
melatih diri untuk itu, namun ajang latihan paling efektif tentu adalah
pengalaman. Keduanya, pengalaman maupun latihan disokong oleh imajinasinya,
visinya, serta reaksi panca indranya.
Perhatian pada
masalah psikologi lingkungannya dalam cerita-cerita Zaki Zubaidi, menggerakan
impresinya cenderung melukiskan ‘keburukan-keburukan’ (lebih tepatnya keanehan)
dalam kehidupan tanpa mempedulikan norma susila atau etika. Tentu saja, pilihan
itu diperkuat dengan sebagian besar ketidakpeduliannya atas itu diletakkan pada
kelompok masyarakat miskin—kehidupan yang tidak pernah ada puisi di sana. Cerita Surabaya
milik Idrus, mengingatkan pada situasi ini.
Laku kreatif pengarang yang memilih jalan
sunyi demi merebut puncak-puncak integritas individualnya menemukan ruang dan
waktunya ketika menyadari pada visi susastranya—sebagaimana bahasa Chaldun “Jiwa menatap kilatan dari berbagai citra realitas.
Melalui tatapan itu jiwa mendapatkan pengetahuan mengenai hal-hal mendatang
yang ia rindukan.”
Zaki Zubaidi memiliki
tradisi bercengkerama dengan realitas, peristiwa, berita, sekaligus ia
mengambil jarak dengannya. Menjadi wartawan kriminal adalah persoalan yang sama
sekali lain ketika menjadikan masalah interpersonal
(orang lain adalah neraka—Sartre) sebagai masalah kreatif. Dengan kata lain,
masalah interpersonal baginya sebagai masalah kreatif dan bukan masalah corak
realisme, semisal maraknya peristiwa pembunuhan.
Namun demikian,
kiranya pengarang Penggali Sumur ini
bersepakat bahwa tradisi yang digeluti Zaki Zubaidi yang kemudian diambil jarak
karenanya itu, adalah situasi krisis kemanusiaan—secara umum pada masalah moral, kehilangan orientasi hidup
bermakna, kerusakan lingkungan yang semakin parah, kekerasan, keserakahan dan
secara khusus pada gangguan jiwa yang sering disebut skizofrenia.
Sekali lagi masalah
interpersonal Zaki Zubaidi adalah masalah laku kreatif dan bukan corak
realisme—apalagi memberikan pesan moral, karena sastra tak bisa mengambil alih
tugas agamawan, psikiater atau hakim dan petugas lembaga pemasyarakatan. Zaki
Zubaidi punya tradisi menggumuli manusia yang secara ekstrem bisa dikategori
abnormal, irrasional alias gila. Yaitu orang yang dalam definisi Kartono
Mohamad (1989: 165) mengalami
disintegrasi kepribadian dan maladjustment sosial berat, tidak mampu
menyandarkan hubungan sosial dengan dunia luar bahkan terputus sama sekali
dengan realitas hidup.
Terputusnya para pengidap
skizofrenia ini dengan realitas hidup rupanya inhern dengan laku kreatif Zaki Zubaidi yang mengambil jarak dan
menolak corak realisme. Keduanya tidak bertemu. Akan tetapi keduanya seakan
‘bersepakat’ pada dunia baru—dunia yang dibangun, dipercaya dan diyakini adanya
dari keadaan mental tertentu.
Dengan kata lain,
sebetulnya Zaki Zubaidi sedang mendiskripsikan secara kreatif fakta-fakta
mental yang diketahuinya bermula dari fakta-fakta sosial (keadaan zaman, lingkungan masyarakat dan sistim kemasyarakatan) yang sepanjang menjalani kegiatan jurnalistiknya
telah menjadi santapan rohani dan indrawinya.
Inilah yang saya
kira paling berharga dari laku kreatif Zaki Zubaidi sebagai pengarang:
merayakan fakta mental (ia sedang bekerja keras menuliskan kenyataannya
sendiri). Namun demikian saya diingatkan kembali bahwa ‘harga’ dari sebuah laku
kreatif musti disikapi secara hati-hati jika tidak ingin kembali terjatuh pada
pesan dari sebuah karya sastra sebagaimana menentukan harga jual atau harga
beli seekor sapi atau buku sastra.
Meski demikian
menggali pesan—dalam arti mengisi absennya mentalitas dalam dunia nyata dari
realitas sastra—kumpulan cerpen Penggali
Sumur ini bukanlah sebuah kutukan. Karena itu, saya membayangkan pesan dari
buku ini bisa dikaji lebih serius dari sisi sejarah mental. Setidaknya, saya
pribadi bisa tertarik ke arah sana.
Saat ini saya belum
menemukan referensi yang membetot perhatian saya pada hal ini—boleh jadi karena
memang pembahasannya yang belum populer. Saya hanya menjumpai Generalisasi fakta
mental masyarakat dari Pendekatan Ilmu
Sosial dalam Metodologi Sejarah, Sartono Kartodirdjo itu.
Bahwa, fakta
mental (mentifact) adalah keseluruhan
dari tatanan mental yang berkembang dalam masyarakat pada suatu zaman menjadi
penggerak sejarah yang meliputi konsep konsep, ide-ide, gagasan, paham, opini,
semangat, ideologi, aspirasi dan sebagainya.
Meski demikian saya cukup
berbahagia menemukan referensi mentifact
sejarah lisan yang disusun Pramudya Ananta Toer, juga John Rosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid itu.
Mungkin nantinya saya bisa mulai dari sana untuk menelisik pesan Penggali Sumur Zaki Zubaidi ini.
Sampai detik ini saya masih menyakini
kesamaan tugas sejarawan dan kritikus sastra (Barthes)—bukan menemukan makna
rahasia dari sebuah karya, melainkan membangun pemahaman untuk zaman kita
sendiri.
/5/
DENGAN model pembacaan
seperti itu, sehingga sedikit banyak saya bisa memprediksi pergulatan dan
pencarian gagasan estetis dan artistik Zaki Zubaidi dari waktu ke waktu. Pun
pada kesempatan ujung tulisan ini, saya bisa mengkritiknya, meski secara
implisit telah terungkap pada bagian sebelumnya.
Lebih tepatnya kali ini sebagai penegasan,
yang menginspirasi tulisan ini ‘Menolak Realisme, Merayakan Sejarah Mental.’
Ketidakpedulian saya pada ada/tidaknya pesan
cerpen-cerpen Zaki Zubaidi sepertinya ibarat bermula dari daya tarik sampiran pantun dan bukan pada isinya.
Atau keengganan Sutardji Calzoum Bachri pada ide atau rumusan pikiran yang memberi arah apapun pada kesusastraan,
apalagi ideologi. Cerita Idrus, Surabaya, juga gagal didekati
konsepsi angkatan 45 karena kejujurannya memasukkan segi-segi
negative revolusi.
Entah ada atau tidak pesan dalam cerita Zaki
Zubaidi saya tak peduli. Jikapun ada saya tak percaya, atas dasar itu. Sihir
ungkapan kematian yang begitu enteng disampaikan Zaki Zubaidi dalam cerita-ceritanya,
bukan berarti itu pesan moral ajakannya untuk berdamai dengan kematian.
Demikian pula keindahan cinta atau kenyataan tak berarti ajaran untuk sayang
pada dunia—apalagi menolak kematian.
Dalam sejarah sastra, pesan-pesan (moral)
seperti itu memang menjadi gagasan dari sastra realisme. Termasuk realisme
sosial. Sehingga, melalui pembacaan saya seperti ini, dengan penolakan seperti
itu, saya lebih percaya pada laku kreatif—daya hidup pengarang menempatkan diri
dalam suasana jiwa yang sunyi sepi dan terbuka menerima
relativitas kebenaran—ketimbang
berhibuk ria dengan pesan.
Pada saat mengekplorasi cerita realisme Zaki
Zubaidi musti berperang dalam suasana pasang surut dengan persoalan sensitif,
berekperimen ragu-ragu dalam melibatkan pembaca, mencuri sketsa imajis, tergoda
pada bahasa puisi, simbolisme. Sepintas grafiknya naik turun dan puncaknya
justru 1998-2002.
Sebaliknya, ekperimen-ekperimen itu semua
untuk memberontak pada realisme telah
membuahkan tiga buah cerita yang spektakuler. Sebagai cerpen yang paling
berhasil dalam bentuk dan isi. Dari ketiganya, saya kira cerpen Bak Air dalam Kamar Tidur (2001) adalah
cerpen yang sangat orisinil khas gagasan estetik dan artistik Zaki Zubaidi terlebih
memperlihatkan kesempurnaannya dengan teknik dan gaya melibatkan pembaca.
Tentunya, hal itu bukanlah temuan dari sebuah
pergulatan pencarian estetik dan artistik yang sepele bagi Zaki Zubaidi sebagai
seorang pengarang. Untuk selanjutnya, kita bersama-sama bisa menunggu, setelah
psikologisme dan laku kreatif pengarang yang memilih jalan sunyi demi merebut
puncak-puncak integritas individualnya, apa yang digumuli pengarang Zaki
Zubaidi ini.[]
Surabaya, 6 Maret 2013