Kamis, 02 Mei 2013

Film

Jurnalis itu Eksklusif
(Tentang Film Dokumenter Di Balik Frekuensi Karya Ucu Agustin)



DALAM salah satu adegan film dokumenter Di Balik Frekuensi, karya Ucu Agustin, wartawan Irwan Julianto ketika diwawancara, ia mengatakan dengan canggung bahwa jurnalis adalah buruh kelas menengah.

Banyak jurnalis dalam film itu yang ditanya dengan pertanyaan serupa, karena jawaban atas pertanyaan itu memang masih berdiam saja dan belum mengemukan secara gamblang di benak para jurnalis.


Buruh ataukah profesikah dirinya?

Jawaban Irwan Julianto itu bentuk keengganan. Atau setidaknya semacam temuan untuk menghibur diri dari kegalauannya. Namun demikian, tentu semua wartawan tentu bersepaham jika mereka haus akan berita-berita eksklusif untuk medianya. Meski memaknai dan mengkategorikan berita eksklusif baginya bergantung pula pada prespektif, atau mungkin kepentingan tertentu masing-masing media. Pun barangkali juga berkait dengan apakah ekslusivitas berita televisi itu tidak berbeda dengan koran atau online?

Atas dasar prespektif tentang gairah memburu eksklusivitas berita itulah menurut saya dalam alam pikiran para jurnalis sudah terlebih dulu tertanam benih eksklusif dalam dirinya. Dengan kata lain, jurnalis itu eksklusif bagi para jurnalis yang lain—apalagi dengan orang lain, tak terkecuali semisal kaum buruh yang lain.

Keengganan menyebut dirinya buruh atau bukan buruh bisa bermula dari pola pikir dan konteks yang demikian. Film Di Balik Frekuensi yang diputar bertepatan dengan hari buruh 1 Mei di Kampung Ilmu, Surabaya (dan sejumlah tempat lainnya) saya kira tidak dimaksudkan untuk berhibuk ria mengupas buruh atau bukan buruh hanya karena diputar tepat pada hari buruh.

Hanya saja perbincangan yang menguat perihal buruh dan profesi dalam diskusi menjadi menarik bagi saya, justru karena saya coba menyelami gagasan yang dicoba tampilkan dalam film berdurasi 144 menit tersebut. Karena itu, saya musti menaruh perhatian pada sosok Luviana, jurnalis yang ditokohkan dalam film itu.

Luviana diberhentikan atau lebih tepatnya diminta mundur dari kantornya bekerja (Metro TV). Alasannya, versi Metro TV: Pekerja telah melakukan kesalahan berat dengan menuntut reformasi manajemen. Tindakan yang dilakukan dapat menjadi preseden buruk, dimana pimpinan/manajemen suatu perusahaan dapat digantikan dari sebuah mosi tidak percaya.

Bahwa karyawan telah melakukan tindakan kesalahan berat dengan melakukan tindakan yang mempengaruhi karyawan, sejawat dengan menghasut/memprovokasi dan menyebarkan berita yang tidak benar melalui pesan singkat berantai....umum

Luviana yang telah bekerja 10 tahun direncanakan diberi pesangon Rp 158 juta. Akan tetapi karena Luviana ‘berulah’ justru oleh Sudinaker Jakarta Barat, pihak Metro TV disarankan memberikan pesangon Rp 85 juta saja. Ini kenyataan yang sudah biasa, menurut info para wartawan yang diminta mundur dari tempat kerjanya seringkali diselipi pesan, “Teken saja, percayalah jika Anda mempermasalahkan permintaan pengunduran diri ini, Anda tidak akan terima sebanyak itu.”

Dari peristiwa biasa yang menimpa Luviana ini, kemudian menjadi ekslusif karena Luviana difilmkan. Menurut Tempo.Co untuk pembuatan film ini Ucu Agustin membutuhkan waktu kurang lebih setahun dengan menghabiskan 330 stok gambar. Ekslusivitas Luviana berlebih karena ia anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen)—organisasi yang tentu saja paling ditakuti industri media yang pada umumnya tidak mengizinkan para jurnalisnya menjadi anggota serikat pekerja/buruh.

Dengan demikian seringkali memerlukan kejelian tingkat tinggi, kesederhanaan yang rumit atau kerumitan yang sederhana. Apakah sebetulnya para jurnalis yang dipecat itu melakukan kesalahan berat ataukah karena menjadi anggota serikat pekerja. AJI tentu punya data tentang hal ini. Setidaknya, bisa terjawab dari visi dan misi organisasi tersebut yang hanya diperuntukkan bagi jurnalis saja (tidak semua pekerja media bisa dengan gampang menjadi anggotanya, semisal tenaga pracetak, cetak atau administrasi dsb).

Dengan kata lain, dalam hal ini AJI boleh jadi lagi-lagi telah memperlihatkan eksklusivitasnya, juga eksklusivitas kaum jurnalis.

Yang menarik dari film Di Balik Frekuensi, bermula dari pengalaman buruk Luviana ini adalah solidaritasnya sesama para jurnalis. Dan ini terang terungkap dalam film adalah buah dari hasil kerja AJI yang kemudian juga sekaligus bisa menyedot sejumlah kalangan di luar organisasi itu. Pada konteks ini, film ini memukau yang secara gamblang memperlihatkan bagaimana media melarang jurnalisnya menjadi anggota serikat pekerja, apalagi menjadi ketuanya, apalagi jika sampai ada serikat pekerja di dalam kantor medianya sendiri.

Hal itu ditunjukkan dengan benderang dalam film bagaimana Surya Paloh (pemilik Metro TV) bersikap di depan Luviana: Surya Paloh berbohong. Film yang sedang mengungkap perjuangan hidup Luviana mendapatkan kebenarannya ini, sekaligus memperlihatkan walau ekslusif akhirnya Luviana kalah. Satu-satunya kenyataan yang membenarkannya adalah setidak-tidaknya ia melawan sampai bagian terakhir pertahanannya: dua kali Luviana menangis mengisahkan keluarganya.

Semestinya para jurnalis ini tidak eksklusif, karena pertahanan terakhir seperti yang ditunjukkan Luviana itu bukanlah hak paten Luviana. Bahkan semua orang bisa menangis. Dan banyak para buruh lainnya, melakukan hal yang sama.

Persoalan inilah yang kemudian dalam sesi diskusi dilayangkan pada AJI. AJI yang diwakili Ketua AJI Surabaya, Rudy Hartono dituding eksklusif. Jika tidak, semestinya AJI menggandeng buruh-buruh lainnya, atau aliansi-aliansi buruh yang lain untuk benar-benar mewujudkan perjuangan kaum buruh.

Pada konteks ini, kisah Hari Suwandi-Harto Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi lumpur Lapindo dengan berjalan sebulan lamanya ke Jakarta, agak sulit dibingkai dalam film Di Balik Frekuensi. Seakan-akan ini adalah dua film berbeda yang dijadikan satu alur cerita. Namun demikian, kisah Suwandi-Harto Wiyono hanyalah untuk memantik bagaimana penonton lebih fokus memahami sebuah kebusukan. Tepatnya kebusukan-kebusukan orang di balik industri media. Sekaligus juga kebusukan-kebusukan lain yang mungkin  bisa berantai timbul sebagai akibatnya.

Keluarga Bakrie, penguasa atas TV One, ANTV dan kroni-kroninya melakukan pembusukan itu. Tapi di sisi lain Hari Suwandi juga disebut-sebut pecundang oleh kelompok lainnya. Kebusukan seperti ini sudah menjadi bagian kita sehari-hari. Tapi kebusukan yang ekslusif adalah ketika diperlihatkan bagaimana para pemilik industri media ini—yang mencalonkan diri mereka sebagai bakal penguasa di negeri ini—melakukan korupsi besar merampok frekuensi publik demi kepentingan bisnis dan politiknya.

Jika itu yang mengemuka dari film Di Balik Frekuensi maka kita semua terlibat jika tidak melakukan suatu hal penting: boikot televisi.

Itu pun kiranya belum cukup, karena ada yang luput pada film itu terkait dunia jurnalistik. Bahwa tidak salahnya pula memulai mempertimbangkan untuk boikot koran dan majalah. Terlebih bagi yang kepemilikan dan kepentingan di balik media itu jelas mengkorup ruang privasi publik. Pada konteks ini, jurnalis—sebagai apapun dia, ekslusif ataukah tidak—turut terlibat masiv.[S.Jai]