Jurnalis itu Eksklusif
(Tentang Film Dokumenter Di Balik Frekuensi Karya Ucu Agustin)
DALAM salah satu adegan film
dokumenter Di Balik Frekuensi, karya
Ucu Agustin, wartawan Irwan Julianto ketika diwawancara, ia mengatakan dengan
canggung bahwa jurnalis adalah buruh kelas menengah.
Banyak jurnalis dalam film itu
yang ditanya dengan pertanyaan serupa, karena jawaban atas pertanyaan itu
memang masih berdiam saja dan belum mengemukan secara gamblang di benak para
jurnalis.
Buruh ataukah profesikah dirinya?
Jawaban Irwan Julianto itu bentuk
keengganan. Atau setidaknya semacam temuan untuk menghibur diri dari
kegalauannya. Namun demikian, tentu semua wartawan tentu bersepaham jika mereka
haus akan berita-berita eksklusif untuk medianya. Meski memaknai dan
mengkategorikan berita eksklusif baginya bergantung pula pada prespektif, atau
mungkin kepentingan tertentu masing-masing media. Pun barangkali juga berkait
dengan apakah ekslusivitas berita televisi itu tidak berbeda dengan koran atau
online?
Atas dasar prespektif tentang gairah
memburu eksklusivitas berita itulah menurut saya dalam alam pikiran para
jurnalis sudah terlebih dulu tertanam benih eksklusif dalam dirinya. Dengan
kata lain, jurnalis itu eksklusif bagi para jurnalis yang lain—apalagi dengan
orang lain, tak terkecuali semisal kaum buruh yang lain.
Keengganan menyebut dirinya buruh
atau bukan buruh bisa bermula dari pola pikir dan konteks yang demikian. Film Di Balik Frekuensi yang diputar
bertepatan dengan hari buruh 1 Mei di Kampung Ilmu, Surabaya (dan sejumlah
tempat lainnya) saya kira tidak dimaksudkan untuk berhibuk ria mengupas buruh
atau bukan buruh hanya karena diputar tepat pada hari buruh.
Hanya saja perbincangan yang
menguat perihal buruh dan profesi dalam diskusi menjadi menarik bagi saya,
justru karena saya coba menyelami gagasan yang dicoba tampilkan dalam film
berdurasi 144 menit tersebut. Karena itu, saya musti menaruh perhatian pada
sosok Luviana, jurnalis yang ditokohkan dalam film itu.
Luviana diberhentikan atau lebih
tepatnya diminta mundur dari kantornya bekerja (Metro TV). Alasannya, versi
Metro TV: Pekerja telah melakukan
kesalahan berat dengan menuntut reformasi manajemen. Tindakan yang dilakukan
dapat menjadi preseden buruk, dimana pimpinan/manajemen suatu perusahaan dapat
digantikan dari sebuah mosi tidak percaya.
Bahwa karyawan
telah melakukan tindakan kesalahan berat dengan melakukan tindakan yang
mempengaruhi karyawan, sejawat dengan menghasut/memprovokasi dan menyebarkan
berita yang tidak benar melalui pesan singkat berantai....umum
Luviana yang telah bekerja 10
tahun direncanakan diberi pesangon Rp 158 juta. Akan tetapi karena Luviana
‘berulah’ justru oleh Sudinaker Jakarta Barat, pihak Metro TV disarankan
memberikan pesangon Rp 85 juta saja. Ini kenyataan yang sudah biasa, menurut info
para wartawan yang diminta mundur dari tempat kerjanya seringkali diselipi
pesan, “Teken saja, percayalah jika Anda mempermasalahkan permintaan
pengunduran diri ini, Anda tidak akan terima sebanyak itu.”
Dari peristiwa biasa yang menimpa
Luviana ini, kemudian menjadi ekslusif karena Luviana difilmkan. Menurut Tempo.Co untuk pembuatan film ini Ucu
Agustin membutuhkan waktu kurang lebih setahun dengan menghabiskan 330 stok
gambar. Ekslusivitas Luviana berlebih karena ia anggota AJI (Aliansi Jurnalis
Independen)—organisasi yang tentu saja paling ditakuti industri media yang pada
umumnya tidak mengizinkan para jurnalisnya menjadi anggota serikat
pekerja/buruh.
Dengan demikian seringkali
memerlukan kejelian tingkat tinggi, kesederhanaan yang rumit atau kerumitan
yang sederhana. Apakah sebetulnya para jurnalis yang dipecat itu melakukan
kesalahan berat ataukah karena menjadi anggota serikat pekerja. AJI tentu punya
data tentang hal ini. Setidaknya, bisa terjawab dari visi dan misi organisasi
tersebut yang hanya diperuntukkan bagi jurnalis saja (tidak semua pekerja media
bisa dengan gampang menjadi anggotanya, semisal tenaga pracetak, cetak atau
administrasi dsb).
Dengan kata lain, dalam hal ini
AJI boleh jadi lagi-lagi telah memperlihatkan eksklusivitasnya, juga
eksklusivitas kaum jurnalis.
Yang menarik dari film Di Balik Frekuensi, bermula dari
pengalaman buruk Luviana ini adalah solidaritasnya sesama para jurnalis. Dan
ini terang terungkap dalam film adalah buah dari hasil kerja AJI yang kemudian
juga sekaligus bisa menyedot sejumlah kalangan di luar organisasi itu. Pada
konteks ini, film ini memukau yang secara gamblang memperlihatkan bagaimana
media melarang jurnalisnya menjadi anggota serikat pekerja, apalagi menjadi
ketuanya, apalagi jika sampai ada serikat pekerja di dalam kantor medianya
sendiri.
Hal itu ditunjukkan dengan
benderang dalam film bagaimana Surya Paloh (pemilik Metro TV) bersikap di depan
Luviana: Surya Paloh berbohong. Film yang sedang mengungkap perjuangan hidup
Luviana mendapatkan kebenarannya ini, sekaligus memperlihatkan walau ekslusif
akhirnya Luviana kalah. Satu-satunya kenyataan yang membenarkannya adalah
setidak-tidaknya ia melawan sampai bagian terakhir pertahanannya: dua kali
Luviana menangis mengisahkan keluarganya.
Semestinya para jurnalis ini
tidak eksklusif, karena pertahanan terakhir seperti yang ditunjukkan Luviana
itu bukanlah hak paten Luviana. Bahkan semua orang bisa menangis. Dan banyak
para buruh lainnya, melakukan hal yang sama.
Persoalan inilah yang kemudian
dalam sesi diskusi dilayangkan pada AJI. AJI yang diwakili Ketua AJI Surabaya,
Rudy Hartono dituding eksklusif. Jika tidak, semestinya AJI menggandeng
buruh-buruh lainnya, atau aliansi-aliansi buruh yang lain untuk benar-benar
mewujudkan perjuangan kaum buruh.
Pada konteks ini, kisah Hari
Suwandi-Harto Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi
lumpur Lapindo dengan berjalan sebulan lamanya ke Jakarta, agak sulit dibingkai
dalam film Di Balik Frekuensi. Seakan-akan ini adalah dua film berbeda yang
dijadikan satu alur cerita. Namun demikian, kisah Suwandi-Harto Wiyono hanyalah
untuk memantik bagaimana penonton lebih fokus memahami sebuah kebusukan. Tepatnya
kebusukan-kebusukan orang di balik industri media. Sekaligus juga
kebusukan-kebusukan lain yang mungkin
bisa berantai timbul sebagai akibatnya.
Keluarga Bakrie, penguasa
atas TV One, ANTV dan kroni-kroninya melakukan pembusukan itu. Tapi di sisi
lain Hari
Suwandi juga disebut-sebut pecundang oleh kelompok lainnya. Kebusukan seperti
ini sudah menjadi bagian kita sehari-hari. Tapi kebusukan yang ekslusif adalah
ketika diperlihatkan bagaimana para pemilik industri media ini—yang mencalonkan
diri mereka sebagai bakal penguasa di negeri ini—melakukan korupsi besar
merampok frekuensi publik demi kepentingan bisnis dan politiknya.
Jika itu yang mengemuka dari film Di Balik Frekuensi maka kita semua
terlibat jika tidak melakukan suatu hal penting: boikot televisi.
Itu pun kiranya belum cukup, karena ada yang
luput pada film itu terkait dunia jurnalistik. Bahwa tidak salahnya pula
memulai mempertimbangkan untuk boikot koran dan majalah. Terlebih bagi yang
kepemilikan dan kepentingan di balik media itu jelas mengkorup ruang privasi
publik. Pada konteks ini, jurnalis—sebagai apapun dia, ekslusif ataukah
tidak—turut terlibat masiv.[S.Jai]