Rabu, 10 Juli 2013

wawancara

“Surabaya akan Jadi Kanal
Seni Rupa yang Menarik”

(Sumber: majalah Alur, Dewan Kesenian Surabaya Edisi 09/Mei 2013)

DALAM sebuah kesempatan wawancara Radar Surabaya dengan M Anis sekitar Mei 2011, penggagas sekaligus ketua panitia Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI), M Anis ingin Balai Pemuda dikembalikan sebagai pusat kesenian di Kota Surabaya.

Aktivitas pemeran dagang yang merajai kegiatan di Balai Pemuda macam itu menurutnya jelas bisa mendatangkan uang, tapi kurang kondusif untuk kehidupan kesenian. Karena itu, pada 2008, Anis berinisiatif menggelar Pameran Seni Lukis Indonesia (PSLI) di Balai Pemuda. Tahun kelima, tepatnya Mei 2013 pasca terbakarnya Balai Pemuda, PSLI digelar di. di JX International, Surabaya 3-12 Mei.


Di mata pemerhati seni rupa Imam Muhtarom, filosofi pasar lebih menarik ketimbang membincang Balai Pemuda atau bukan Balai Pemuda. Dimana pun tempatnya—bukan hanya Balai Pemuda—menurut Imam Muhtarom, PSLI bagi Surabaya akan menjadikannya kanal seni rupa yang menarik.

Menurut Imam Muhtarom, filosofi dan suasana pasar sebagai tempat transaksi pelukis, sirkulasi dengan event organizer dan pengunjung hanyalah pancingan yang memungkinkan perkembangan apresiasi seni lukis yang lebih baik. Berikut petikan wawancara Alur dengan  pemerhati seni rupa dari Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar tersebut.

Menurut Anda apa sih menariknya even tahunan Pasar Seni Lukis Indonesia (PSLI) di Surabaya ini?

Yang menarik situasi pasarnya itu. Ada transaksi di sana.

Sebetulnya sumbangsih untuk seni rupa (lukis) ada nggak?

Sumbangsihnya ada tetapi tidak langsung: bahwa berkarya seni rupa, seni lukis itu ada duitnya lho...

Sebagai pemerhati seni rupa, apa yang menarik mengkaitkan pasar dengan seni rupa seperti pada ajang PSLI?

Ya, membahas PSLI itu tepat jika membincang ekonomi kreatif.

Lantas, apa maksud Anda sumbangsih tidak langsung PSLI atas perkembangan seni rupa?

Anggapan di masyarakat bahwa seni tidak berguna, tidak berduit itu tidak benar. Contohnya di PSLI ada transaksinya. Isu ini memberi wajah lain pada masyarakat bahwa seni tidak berguna itu tidak betul. Dampak yang diharapkan adalah masyarakat diberi perangkat untuk mengetahui apa itu seni rupa.

Jadi kuncinya seni lukis itu berguna alias berduit? Nah istilah ekonomi kreatif itu sebetulnya apakah sudah tepat? Bukankah ada bias makna antara ekonomi dan kreativitas?

Maksud saya berduit atau berguna itu sebagai pancingan awal pada masyarakat umum saja. Kalau soal makna ekonomi dan kreatif memang harus bias.  Hahaha...

Pancingan untuk apa sih? Lantas ada nggak hubungannya dengan estetika seni lukis?

Pancingan agar masyarakat umum masuk dan memahami karya itu sendiri. Para pengunjung masuk ke dalam pameran, mereka paham atau tidak menikmati karya-karya yang ada. Secara teknis tidak sedikit yang menarik dan memanjakan mata. PSLI setuju atau tidak telah membentuk sirkulasi sendiri antara perupa, event organizer dan pengunjung.

Lalu sirkulasi itu bagi perkembangan seni lukis berdampak bagaimana? Kata ‘pancingan’ Anda itu menempatkan estetika seni lukis masih punya harapan?

Iya sih. Tapi jika tidak terpancing, PSLI tetap jalan. PSLI menurut saya memiliki sirkulasinya sendiri. Beli karya terus dipajang di ruang tamu, dinikmati ala kadarnya. Di situ apresiasi sudah terjadi.

Sementara sebatas itu? Soal perkembangan estetika seni lukis Indonesia atau surabaya, menurut Anda bagaimana sih?

Ya. Seni rupa Indonesia saya kira menarik. Cuma akhir-akhir ini terkoreksi akibat membludaknya karya-karya kontemporer. Karya-karya yang terjebak dalam keseragaman secara tidak diinginkan. Menariknya, berbagai media ekspresi digunakan dengan tema-tema yang variatif. Ini beda dengan 10 tahun lalu, media lebih dan tema terbatas. Di kancah Asia Tenggara, Indonesia diperhitungkan. Malah tahun ini diberi tempat di Venice biennale.

Apa itu artinya seni lukis tak berkembang karena medianya tetap pada kanvas? Lalu pencapaian seni lukis Indonesia sampai dimana?

Perkembangan seni lukis kita pada pilihan bahasa visualnya. Yang biasanya menggambar figur kayak foto realis, kini mengambar figur penuh deformasi, warnanya tidak lazim seperti perupa Indonesia modern dan seterusnya.

Apakah PSLI ini masalah tradisi, kemudian dari tradisi ke pasar itu harapannya akan ada estetika yang kuat, begitu?

Harapan sih pada edukasi. Kesadaran bahwa seni rupa ada duitnya sebelum seni rupa juga membawa pesan artistik dan tematik.

Sebenarnya domain dari seni lukis itu seni individual. Seni yang menempatkan seniman sebagai profesi, bukan seni untuk masyarakat, atau seni yang menyatu dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Begitu?

Seni lukis itu seni untuk sesama. Heheeheh.... Membahas PSLI yang menarik itu perilaku konsumsi dan apresiasi pembelinya. Beli lukisan seharga Rp 500 ribu lalu dipasang di ruang tamu. Tak ada maksud lukisan itu dijual lagi. Nah, itu lebih terpuji daripada membeli lukisan, lalu dimasukkan gudang, dan kemudian dijual lagi. Memajang lukisan di ruang tamu itu artinya apresiasi jalan lho.

Bagaimana dengan apresiasi para kolektor?

Sama. Apreasisi ini akan membawa pesan sampai ke apresiasian.

Sebagai pemerhati seni rupa, apa harapan Anda dengan adanya PSLI?
Infrastruktur seni rupa semacam ini semakin kukuh. Bertemunya perupa, agen, apresiasian. Ke depan, tidak hanya senirupa bawah yang dikelola, tetapi seni rupa bawah sampai atas. Surabaya akan jadi kanal seni rupa yang menarik. Surabaya sebagai kota akan naik pamornya sebagai kota tujuan untuk menikmati seni rupa apa saja.

Seni rupa bawah dan atas itu maksudnya dari yang murah sampai mahal, yang murahan sampai kelas elit. Begitu?

Ya. Begitulah. Apa saja boleh. []