J a g a l :
Rekonsiliasi Film Realis
dan Teater
Absurd
SEJAK hampir setahun lalu
sampai hari ini, film dokumenter The Act
of Killing (Jagal) karya sutradara Joshua Oppenheimer masih diputar dan
diperbincangkan di pelbagai belahan dunia. Dengan kata lain, Indonesia—tepatnya
sejarah kelam pembantaian massal 1965—menjadi pergunjingan hebat di seantero jagad.
Saya sendiri baru beberapa hari lalu dan agak
terlambat menonton film berdurasi sekitar 2, 5 jam tersebut. Sementara pelbagai
ulasan telah lebih dulu banyak saya baca. Satu diantara yang paling menarik
adalah tulisan Ariel Heryanto, associate pofessor di The Australian National University, di jurnal
Historia.1)
Yang menarik dari ulasan Ariel itu adalah
aspek psikologis penting yang tertangkap dari film tersebut. Dikatakannya,
bahwa dalam salah satu adegan yang tampaknya keluar dari
naskah, salah seorang preman senior yang terkenal kejam dan senang membanggakan
diri, mendadak ambruk karena tak mampu menahan emosi atau rasa bersalah, di
saat dilakukan pengambilan gambar dan dia berperan sebagai seorang tahanan
komunis yang dulu pernah disiksanya sebelum dibunuh.
Tidak gampang buat saya melepaskan ulasan
Ariel ini, bahkan hingga saya menonton film yang merekam pengakuan para jagal
tahun 1965-an Anwars Congo,
Herman Koto,
Adi Zulkadry
dan lain-lain tersebut. Demikian pula rupanya, dalam tulisan ini. Aspek
psikologi, tepatnya perihal kesadaran dan aspirasi betul-betul menghantui saya
pasca menonton film tersebut.
Film dokumenter The Act of Killing, menyerupai pembahasan perihal ‘seni’ membunuh
oleh tokoh-tokoh utamanya. Tepatnya, membunuh orang-orang PKI atau yang
disangka PKI di sekitar Medan. Dari membunuh menggunakan senjata tajam dan
berdarah-darah, lalu pelbagai gaya menjerat leher korban dengan kawat,
meremukan jakun dengan kaki meja dan sebagainya yang tentu saja diawali
penyiksaan, bahkan dansa-dansa dan hura-hura.
Terlebih para pelaku ini pada masanya adalah
bekas preman gedung bioskop yang kerap menonton film-film gangster ala
Holywood. “Tapi dulu saya nggak mengenakan pakaian putih-putih seperti ini,”
tutur Anwars Congo usai memperagakan bagaimana ia membunuh korban-korbannya.
Bertempat di lantai atas sebuah gedung,
dengan kawat yang diikat pada tiang, lalu ujungnya dililitkan kuat pada sepotong
kayu sekitar 50 sentimeter panjangnya, Anwars Congo lantas merekaulang
pembunuhan atas korban-korbannya. Dia memerintahkan orang lain untuk duduk, melilitkan
kawat pada leher dan tenggorokannya dan perlahan-lahan menariknya kencang.
Anwars Congo melakukan itu dengan sesantai
mungkin, dan bahkan dengan kawat yang masih di tangan, lalu dituturkannya.
"Beginilah cara melakukannya supaya tidak terlalu banyak darah.” Kemudian,
menurut pengakuannya, ia mencoba melupakan itu dengan musik yang bagus, menari
, merasa bahagia, sedikit alkohol, ganja, sedikit—apa yang Anda menyebutnya—ecstasy
itu. Anwar menari antusias cha cha di
tempat di mana ratusan terbunuh di tangannya.
Bukan hanya aspek psikologis dan menimbang
kemanusiaan yang menyihir film ini. Tapi juga prespektif pelaku pembunuhan
sebagai rajutan kisah. Film-film, atau kisah—semisal novel dan cerpen—yang
mengangkat tema pembantaian PKI selama ini lebih banyak mengambil sudut pandang
korban baik komunis maupun yang disangkakan komunis, sembari tentu saja
mengeksplorasi sisi-sisi kemanusiaan, dan kemudian sihir cerita itu membenarkan
pembunuhan atau menyesalkan terjadinya pembantaian. Pada yang pertama ini sudah
lebih dulu dikemukakan John Rosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid terhadap sastra-sastra
pengarang Horison atau penganut Humanisme Universal.2)
Ditulisnya cerita-cerita yang diterbitkan
majalah sastra Horison sebagai
majalah sastra yang digerakkan oleh para penegak humanisme universal. Bahwa
hampir semua cerita pendek yang diterbitkan majalah itu terarah pada seorang
pencerita yang mendukung pembunuhan tetapi pada saat bersamaan, tidak suka pada
kekerasan. Para penulis humanisme universal tidak menampilkan pembunuhan itu
sebagai sesuatu yang tragis bagi korban, tetapi sesuatu yang tragis bagi
pembunuh karena harus mendamaikan pembunuhan itu dengan nilai-nilai
kemanusiaan.
Pada sisi lainnya, dalam pengantar itu,
dengan menyitir pendapat sastrawan
Satyagraha Hoerip, dikatakannya Hoerip merasa ia harus melawan mereka yang
berpikir bahwa pembantaian itu mungkin tak pernah terjadi karena, terlepas dari
jumlahnya yang banyak, cerita-cerita itu tidak pernah diperiksa ulang dan
sering dilebih-lebihkan sampai orang tak lagi mempercayainya.
Sementara pada yang kedua, Ariel Heryanto
mengemukakan hal itu pada sejumlah film dokumenter yang dibuat pasca 1998.
Dalam penelitian saya sendiri, novel yang
paling mutakhir terbit yaitu Amba
karangan Laksmi Pamuntjak yang berlatar seputar 1965 pun tak banyak bergerak dari
sinyalemen sebelumnya.3) Bahkan, Amba lebih mendedahkan aspek
kemanusiaan, eksistensialisme-individualisme, sentimentalisme dan sejawatnya,
ketimbang; semisal “Kalau kamu bukan revolusioner berarti kamu kontra
revolusioner pada masanya—dimana setting sosial politik tokoh-tokoh novel ini
hidup.”
Oleh karena itu, prespektif pelaku
pembantaian dari film The Act of Killing
ini mengejutkan. Kejutan berikutnya
adalah kesadaran sutradara untuk merambah wilayah-wilayah psikis pelaku untuk
membuka diri dan menciptakan ruang-ruang psikis baru guna menemukan dirinya
kembali sebagai manusia.
Inilah ekplorasi aspek kemanusiaan secara
mendalam yang (meski) juga menjadi wilayah garapan pelbagai karya-karya seni
lainnya era Orde Baru maupun sesudahnya. Namun tantangan yang berbeda,
menyebabkan puncak pencapaiannya pun berbeda pula. Jikapun kemudian hal ini
disebut keindahan, pada titik inilah pencapaian keindahan The Act of Killing—yang belum pernah dicapai pengarang atau
sutradara lainnya. Tapi keindahan itu bukan sebuah pencapaian, melainkan suatu
proses panjang yang terus jalin kelindan.
Film
Teatrikal
Terus terang, menyaksikan film ini saya
menangkap sebagai sebuah proses kerja teater: untuk menemukan kembali manusia. Ada
yang hilang dan mereka—para pelaku dan awak film The Act of Killing (dan tentunya nantinya para penonton) bersama-sama
saling menemukan diri kembali. Mereka tak hanya berurusan dengan bagaimana
menggali lagi ‘ingatan’ atau menghadirkan kembali ‘pengetahuan’ sebagai
pengalaman. Melainkan juga mereka berhasrat untuk menyusun keduanya dalam
cerita—termasuk juga mimpi di masa depan di dalamnya.
Bahkan, mereka pun tak bisa menolak kehadiran
“kenyataan” lain yang tiba-tiba hadir dalam dirinya—entah atas kehendak
siapakah, namun hal itu sebagai fakta kemanusiaan. Mereka tiba-tiba menangis,
atau muntah dan bahkan hilang kesadaran ketika para jagal ini memerankan diri
sebagai korban-korbannya.
Proses kerja teater dalam film ini tak
sekadar bagaimana mereka menyiapkan suatu pertunjukkan yang kemudian direkam
kamera. Atau melakonkan dirinya sebagai pembunuh sebagai suatu energi lebih
para mantan preman ini. Melainkan juga secara total turut menyusun kisah,
menziarahi tubuh dan jiwanya juga ingatan dan pengetahuan di masa lampau guna
menciptakan peristiwa pada hari ini. Berdiskusi secara santai, saling bertukar
peran, menjadi juru kamera, bila perlu menjadi sutradara—mungkin—bukan untuk
menghasilkan pertunjukkan atau gambar film yang bagus, melainkan hanya untuk
daya jelajah kemanusiaan dengan kesadaran, ambang batas kesadaran dan
ketaksadarannya.
Bagaimanapun film The Act of Killing adalah satu prespektif, yang bukan kebetulan
kemudian tetap menggantungkan diri pada aspek kemanusiaan. Yang gamblang terungkap,
bahwa suatu kebenaran masih harus ditentukan oleh manusia sendiri. Tokoh Anwar
Congo pada akhirnya di depan kamera muntah-muntah ketika mengunjungi tempat
dahulu ia membantai korbannya—tempat dahulu darah tergenang, dan berbagai
gambaran para korbannya menemui ajal dari tangannya.
Tokoh jagal lainnya, Adi Zulkadry, yang
terlihat lebih berpikiran ‘intelek’ tampaknya lebih sadar dari Anwars Congo dan
para pelaku lainnya dalam film ini. "Kami
sebenarnya lebih kejam daripada komunis,"
ungkapnya. Pikirannya mengatakan bahwa sadar pemerintahan Orde
Baru telah menyelewengkan sejarah pembunuhan massal. "Kalau kita sukses dengan film ini, seluruh sejarah akan
terbalik.” Katanya lagi. “Keyakinan saya selama ini tidak benar: bukan PKI
yang kejam. Kita yang kejam,” begitu keyakinannya yang baru yang telah terbit.
Sebagai satu
prespektif, tentu masih ada sejumlah prespektif lain perihal tragedi 1965 yang
mungkin perlu dan penting juga untuk pada waktu yang lain diketengahkan.
Semisal dari prespektif orang-orang yang melindungi PKI, simpatisan atau yang
disangkakan sebagai PKI. Kita tahu, pada zamannya mengurus korban mati, atau
yang setengah mati, atau anak-anak turun mereka pun ‘kejahatan’ tersendiri bagi
massa penguasa. Apalagi jika melindungi orang-orang PKI, simpatisan atau yang
disangkakan padanya.
Pada
kenyataannya pahlawan-pahlawan seperti itu: ada (dan tiada—alias meninggal). Pengakuan
Prof Ben Anderson, dalam satu kesempatan wawancara dengan Jenderal Ibrahim Adjie,
Pangdam Siliwangi ketika peristiwa terjadi. Pangdam itu menyatakan tidak ingin ada pembantaian di Jawa
Barat. “Karena merasa bagaimanapun ini sebagian besar orang biasa, orang-orang
kecil. Akan mengerikan kalau mereka itu dibunuh. Saya sudah kasih perintah
kepada semua kesatuan di bawah saya, orang ini ditangkap, diamankan. Tapi
jangan sampai ada macem-macem," ujar Ben menyitir Ibrahim Adjie.
Artinya, Pangdam Siliwangi berbeda dengan
Pangdam Brawijaya yang satu komando dengan Kostrad (Soeharto). Menurut Ben,
Pangdam Brawijaya ketika itu dijabat Sunaryadi. Tapi jelas kolonel-kolonel,
komandan Korem merasa bisa bergerak dangan sendirinya. Umpamanya Danrem di
Kediri yang masih famili dengan salah satu jenderal yang dibunuh di Jakarta,
itu mengambil inisiatif sendiri. Sebagian timbul karena perpecahan. Kalau RPKAD
sudah masuk orang merasa bahwa untuk selamat mereka harus berbuat sesuatu. Di
Bali juga begitu. Ini menarik dan penting. Karena di Jawa Barat, di mana RPKAD
tidak pernah putar-putar, justru tidak terjadi pembantaian. 4)
Contoh lain, para ‘pahlawan’ yang melindungi
PKI, simpatisan atau yang disangkakan padanya adalah M. Kartawijaya, Direktur Pabrik Gula Ngadirejo Kediri pada waktu peristiwa
itu terjadi. Sebetulnya, Kartawijaya pasca peristiwa Djengkol tahun 1961
dimusuhi SBG (Serikat Buruh Gula—organisasi buruh berafiliasi PKI) tapi dia
dibela oleh SARBUMUSI (ormas Buruh NU) dan
KBG (Kesatuan Buruh Gula—ormas buruh dari PNI/FM). Hanya saja, di pabrik
itu jumlah anggota dan simpatisannya tak sebanding jumlah anggota SBG. Yang
mengejutkan, ketika terjadi pembantaian, M Kartawijaya melakukan hal yang
sebaliknya: melindungi para buruh SBG untuk tidak keluar dari pabrik, dan
melarang keras orang luar masuk pabrik tanpa seizinnya. Ratusan buruh PG
Ngadirejo selamat dari pembantaian.
Hal ini berbeda dengan semisal yang terjadi
di PG Mojopanggung. Sebagaimana catatan tulisan Agus Sunyoto, sekitar 3
ribu orang PKI di kawasan Pabrik Gula Mojopanggung. PKI yang sudah bersiaga
dengan senjata panah, kelewang, tombak, pedang, clurit, air keras, dan
lubang-lubang di dalam rumah, berhasil dilumpuhkan.5)
Dari wawancara saya dengan mantan buruh PG
Ngadirejo yang selamat, untuk keperluan bahan tulisan novel saya Kumara, Hikayat Sang Kekasih (terbit
sekitar Nopember tahun ini), M
Kartawijaya hanya berdua dengan sopirnya ketika mencegat rombongan massa yang
hendak menyerbu dan bermaksud menghabisi para buruh SBG. Pengakuan salah
seorang putranya, Pipit Rochijat—seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972
“mengasingkan diri” ke Berlin Barat—perihal peristiwa G 30 S, juga
menginformasikan hal itu.6) Bukan hanya itu, transkrip wawancara
Arief W Djati Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo seputar peristiwa
G-30-S di Kediri.
Visi
dan Rekonsiliasi
Memang, sebagaimana film The Act of Killing yang tak berpretensi menampilkan
pahlawan-pahlawan, tidak sepatutnya berhibuk ria pada pesan itu. Hanya saja,
menimbang pelbagai prespektif—sudut pandang penceritaan—dalam menemukan
kebenaran atau setidaknya rekonsiliasi akan memperkaya ruang batin manusia. Saya
mencermati, peran Joshua Oppenheimer mirip sebagai fasilitator ketimbang
sutradara. Sehingga hal itu berarti ruang terbuka banyak kemungkinan. Ia
memberi kesempatan seluas mungkin pemain mengenali ruang-ruang psikis itu guna untuk
kemudian digali demi meneguhkan eksistensi diri-penemuan kembali diri sebagai
individu manusia.
Kepercayaan diri pemain musti berangkat dari
prespektif individual, atau tepatnya eksistensi sebagai suatu proyek pribadi. Mungkin
ia merasa dirinya juga pahlawan. Mungkin setidaknya juga ia hanya pribadi-pribadi
yang soliter—yang sudi untuk menenjukkan identitas dirinya—mantan preman, punya
nama, punya keluarga. Menemukan
identitas diri itu, bisa ditempuh dengan laku: kebebasan, keberanian, kesadaran
dan juga aspirasi. Sementara kita bisa mengamini idiom yang sering kita dengar,
bahwa tak ada satupun laku manusia yang lebih dramatis dan menyakinkan
ketimbang laku kita sendiri. Ini bukanlah bentuk narsisme, oleh karena
kesadaran untuk membuka ruang psikis kita (pada konteks yang lebih luas)
selanjutnya akan menumbuhkan sikap emansipasi: dibukanya ruang baru bagi rumah
kemanusiaan.
Pada titik ini, dalam berbagi pengalaman, eksistensi
dalam pengertian proyek pribadi bisa dikembangkan ke dalam—menurut Ben
Anderson--“Komunitas-Komunitas yang Dibayangkan.” Atau dalam kata-kata terkenal
Pramoedya Ananta Toer: Pengalaman seseorang bisa menjadi pengalaman suatu
bangsa. Bahwa seseorang dalam
menciptakan teks, sebetulnya sedang berimajinasi dan menciptakan
komunitas-komunitas. Semisal berimajinasi tentang keadilan, kebebasan dalam
pengertian emansipasi oleh kelompok-kelompok atau individu-individu yang
terasing dan termarjinalisasi. Dua perangkat penting dalam mengekplorasi
pengalaman pribadi guna meneguhkan eksistensi pribadi tersebut adalah ‘ingatan’
dan ‘pengetahuan’. Menghadirkan kembali ingatan, juga mengabarkan (berbagi)
pengetahuan sebagai suatu pengalaman pribadi dalam suatu ruang publik adalah
menciptakan sebuah peristiwa.
Pendeknya, bagaimana masalah etika sebagai
tanggungjawab intelektual terintegrasi dengan pengalaman-pengalaman baru
seseorang yang paling dekat dengan dirinya. Atau dalam bahasa Franz Magnis
Suseno “Sebagai makluk yang berpikir rasional, dapat mempertanggung-jawabkan
sikap-sikapnya terhadap perngalaman-pengalaman baru."
Secara pribadi manusia harus bertanggungjawab
dan refleksi diri terutama mengenai dirinya sendiri atau juga perihal orang
lain. Tanggungjawab pribadi atas nilai moral lebih didasari karena manusia berhadapan
dengan kebebasan orang lain, juga
ketakutan-ketakutannya, keterbatasan-keterbatasannya terhadap sesama,
lingkungan sebagai akibat dari ketidakmampuannya untuk hidup sendiri.
Inilah modal utama mengenal diri dan
eksistensi dirinya. Karena dengan mengenal diri dan eksistensinya secara
pribadi ia sadar pada masa lalu, hari ini dan hasrat kemajuan di masa
mendatang. Manusia dituntut memberikan penjelasan tentang keberadaannya,
perbuatannya, eksistensinya di hadapan pribadi, masyarakat maupun pada Tuhannya.
Inilah tanggungjawab. Sesungguhnya, tidak sulit untuk melakukan itu karena kita
punya pondasi etika yang sangat kuat dan tidak pernah keliru melihat kenyataan,
sekaligus bisa sebagai spirit dari segala spirit dari kesadaran dan aspirasi
untuk dimunculkan ke publik dan menjadi semacam visi dan ekspresi.
Tampaknya kerendahatian bersikap terbuka ini
boleh jadi berkait dengan masalah waktu.
Joshua mengambarkan hal itu dalam adegan rekonsiliasi sejarah yang
absurd dengan latar air terjun dan bidadari-bidadari, Anwars Congo berjabat
erat dengan para korban yang dibunuhnya. Lalu sang korban menyampaikan ucapan
terimakasih. Ketika adegan tersebut diperlihatkan pada Anwar Congo—sang jagal
yang menjadi tokoh utama film ini—komentarnya; Joshua ini bagus, ya. [S.Jai]
Catatan:
1) Ariel Heryanto, Menganyam Fakta dan Fiksi, http://historia.co.id/?d=1103
2)
Lihat
John Rosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid penyunting Tahun yang Tak Pernah Berakhir.Memahami Pengalaman Korban 65, esai-esai
sejarah lisan, ELSAM, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institute Sejarah
Sosial Indonesia 2004, hal 8-15.
3)
Amba, Sebuah Novel karya Laksmi Pamuntjak, penerbit
Gramedia Pustaka Utama, cetakan Oktober 2012. Konon novel ini ditulis selama sekitar
8 tahun dan risetnya dikerjakan oleh tujuh orang, sebelum kemudian diterbitkan
oleh penerbit Gramedia Pustaka Utama.
4)
Dalam
sebuah wawancara dengan Ben Anderson di situs http://arusbawah20.wordpress.com/2010/08/23/profesor-ben-anderson-tentang-g30s/
5) Mengenang Partisipasi
Politik Banser 1965, Menumpas Makar PKI 1 Oktober
1965
(Jawa Pos 2 September 1996)
6)
Lihat Saya P.K.I
atau bukan P.K.I oleh Pipit Rochijat.
Sumber : Majalah gotong royong, perhimpunan pelajar Indonesia – Berlin (April 1984)