“Saya Hanya Bercerita, Tanpa Bumbu Peri
Kemanusiaan”
(Sumber: Majalah Alur, DKS edisi 011/ September 2013)
Novel
Kumara, Hikayat Sang Kekasih karya S.
Jai memenangi lomba novel etnografis yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jawa
Timur pada 2013 ini.
Novel
yang bertutur tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di
pelosok desa di Jawa—tepatnya di sebuah
dusun di Kediri—dalam menghadapi gerak
pergeseran, pergesekan dan perubahan zaman tersebut terpilih sebagai
satu-satunya pemenang, oleh juri sastrawan Beni Setia, M Shoim Anwar dan S.
Yoga.
Perihal
novel terbarunya ini, Jai mengaku tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas
peristiwa 1965 sebagaimana yang banyak tampil dalam sastra, melainkan, ia
bicara tentang fakta. Apa yang dimaksud dengan pernyataannya ini, berikut
adalah perbincangan Desemba dari Alur
dengan S. Jai seputar gagasannya menulis novel Kumara, Hikayat Sang Kekasih.
Inspirasi apa yang
melatari Anda menulis novel Kumara?
Saya
menulis novel ini sebetulnya saya maksudkan sebagai tulisan biografi—riwayat
banyak orang. Namun sebagai bentuk sastra, saya menggunakan prespektif (sudut
pandang) danyang desa. Saya terinspirasi dari satu istilah dalam buku Clifford
Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa: Kumara. Meski banyak sekali menuai kritik dan
ditolak, namun buku itu menyimpan kekayaan budaya menjadi sumber ilham yang tak
habis-habisnya. Sudut pandang kumara saya gali dari sana.
Maksudnya apa
dengan judul novel tersebut?
Kumara adalah wilayah kekuasaan danyang desa.
Kumara juga berarti suara yang tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Dalam tradisi
Hindu, Kumara adalah Sanghyang Kumara, Dewa Pelindung Bayi—salah satu putra
Dewa Siwa. Kalau soal maksud dari novel itu, jangan tanyakan saya hari ini.
Hehehe...
Ini novel tentang
apa sih?
Novel ini bertutur
kisah tentang spirit hidup sosok-sosok pribadi masyarakat kecil di pelosok desa
di Jawa—tepatnya di sebuah dusun di Kediri—menghadapi gerak pergeseran, pergesekan dan perubahan
zaman.
Sebelum menulis
tentu Anda lebih dulu riset. Mengapa tokoh-tokoh Anda ini Anda anggap penting?
Ya.
Sebagai karya yang memuat banyak sekali biografi—yang oleh orang Jawa kerap
disebut ‘sejarah’ itu—saya banyak sekali menggali tokoh-tokohnya dengan
wawancara banyak orang. Mereka adalah para penduduk sekitar Pabrik Gula
Ngadirejo dan para mantan buruh yang sebagian besar telah berumur senja, atas
kenangannya sekalipun itu getir namun menerima lapang dada
pertanyaan-pertanyaan tajam saya. Mereka
adalah orang-orang yang berjibaku dalam pergulatan selaku pribadi-pribadi
masyarakat kecil yang keukeuh pada daya budi hasil peradaban Jawa
dan yang telanjur diuntai dengan tali secara keliru ke dalam pentahapan mistis
yang irrasional. Bukan hanya itu. Bahkan mereka jugalah yang berkumpar pada
keteguhannya dengan kultur Jawa rendahan yang mengukuhkan kebudayaannya, yang secara
religi dimaknai stupid
vainglory dengan istilah
Abangan oleh sederet sarjana terkemuka—termasuk oleh Geertz.
Dimana gagasan
novel etnografisnya?
Ah,
sejujurnya soal itu saya tak pedulikan benar. Mengalir saja.
Kalau demikian
lantas dimana gagasan penting Anda dalam novel ini?
Begini.
Saya merasa agak beruntung berkenalan dengan karya Umar Kayam, Para Priyayi yang mencoba mengurai
kembali gerak lembut tranformasi kaum priyayi ke dalam novel itu. Dan inilah salah satu yang memantik saya
menulis novel Kumara. Sekaligus
mengkritiknya. Dari situ, saya mengambil jalan yang lain: maka Kumara dari saya adalah sebentuk pledoi
pribadi-pribadi masyarakat kecil dengan kultur Jawa rendahan yang sadar betul
bagaimana mempertahankan, betapa berharganya hidup bagi semesta.
Apa tantangan dari
gagasan dan jalan lain Anda itu?
Tantanganya
ya jelas terkait dengan laku kreatif pengarang. Semisal, sebagai konsekuensi
dari ‘jalan lain’ yang saya tempuh ini, saya kumpulkan keberanian memasuki
wilayah yang selama ini absen dalam sastra maupun sejarah kita. Atau setidaknya
masih kontroversi hingga saat ini. Sejarah kelam 1965, misalnya. Pada novel ini
saya tak bicara tentang jargon kemanusiaan atas peristiwa itu sebagaimana yang
banyak tampil dalam sastra, apalagi yang berbaris-bergerombol memafhumi
pembunuhan sembari bersembunyi, menghibur diri dengan alasan kemanusiaan
tersebut. Melainkan, saya bercerita dan
saya memulainya dengan bicara tentang fakta. Tepatnya berpihak pada korban yang
tak kuasa menolak menjadi dirinya sendiri, apalagi menjadi diri yang mengutuk
pembunuhan itu, atau sembunyi atas nama apapun dari takdirnya.
Dengan kata lain
karya-karya Umar Kayam begitu penting bagi penulisan novel Anda ini?
Sebetulnya
bukan hanya Umar Kayam. Ahmad Tohari juga. Hanya saja saya tidak tahu yang saya
baca yang sudah diedit penerbit atau belum. Tapi apa yang dilakukan Umar Kayam,
misalnya, melalui tokoh Sri dalam Sri
Sumarah, sesungguhnya telah tumbuh kepeduliannya pada perempuan ‘abangan.’
Namun demikian Umar Kayam tidak melakukan beberapa hal yang saya sebut
belakangan tadi itu: tentang kepedulian pada korban dan absennya alasan
kemanusiaan—yang kehadirannya justru seringkali untuk menyembunyikan diri
karena mengamini pembunuhan. Sebaliknya yang saya lakukan pada Kumara, saya tampilkan bagaimana kekuatan
daya budi para perempuan yang tak mau kalah dari kepintaran kaumnya yang telah
memilih membiakkan kecerdasannya menjadi anggota Gerwani, atau para pemuda yang
menebar benih kritisnya dengan tergabung dalam Pemuda Rakyat. Sekali lagi saya
hanya bercerita saja, tanpa begitu banyak saya aduk dengan pengetahuan saya
perihal kemanusiaan.
Sebagai karya seni,
adakah tokoh-tokoh ciptaan Anda dalam novel ini yang begitu penting dan kuat di
alam pikiran pengarangnya?
Tentu
semua tokoh saya penting, apalagi buat saya sendiri. Tetapi buat saya pribadi
dalam proses kepenulisan novel ini, sebagai sebuah karya yang saya maksudkan
selaku biografi, saya berutang budi, pikiran dan hati pada seseorang: Pipit
Rochijat—seorang nasionalis Indonesia yang sejak 1972 “mengasingkan diri” ke
Berlin Barat—yang dengan sabar berbagi cerita, menyerahkan sebagian pengalaman
hidupnya, menjawab surat-surat saya, memasrahkan data, catatan harian serta
dokumen-dokumen tua untuk memperkaya pengetahuan saya menulis cerita ini. Bukan
hanya itu, bahkan Pipit Rochijat merelakan sebagian kehidupan keluarganya pada
tahun-tahun itu saya telisik untuk memperkaya tulisan saya. Bahkan melalui
beliau saya mendapatkan transkrip wawancara Arief W Djati—dan oleh sebab itu saya
berterimakasih pada intelektual ini—dengan ayahanda Pipit Rochijat, Kartawidjaya, mantan Direktur PG Ngadirejo
seputar peristiwa G-30-S di Kediri. Hanya saja, sebagai sumber dari inpirasi,
saya musti berterimakasih kepada banyak orang lagi yang memberikan perjalanan
hidupnya itu pada saya.
Bisa diceritakan
sedikit kisah novel Anda ini?
Novel
ini adalah kisah tentang empat orang anak, tiga diantaranya perempuan, Surat,
Suratemi, Markonah dan Marsitun yang ditinggal bapaknya mati muda. Mereka kemudian hidup dan tumbuh besar oleh
doa dan restu dari leluhurnya yang berdiam di punden kampung Mbah Singa Maya
dan Mbok Putri Ambar Sari. Mereka, juga
anak turun mereka lalu tumbuh dalam keluarga,
dan lingkungan dalam pelbagai pusaran besar sejarah negeri ini:
Peristiwa Jengkol, Kanigoro, G-30-S, sekaligus sebuah kesaksian leluhur Mbah
Singa Maya—pelindung seluruh warga dusunnya. Novel ini juga bertutur kisah
tentang Pak Karta, direktur Pabrik Gula PG Ngadirejo yang terus diserang dan
dibenci kaum komunis, tapi ketika terjadi pembantaian besar, ia menjadi
pahlawan yang melindungi para buruhnya yang dituding banyak berafiliasi ke komunis—para
anggota Serikat Buruh Gula, organisasi buruh di bawah PKI. Nah, puluhan tahun
kemudian, ketika zaman berubah, novel
ini juga mengungkap kehidupan anak turun mereka. Bahwa rasa takut tidak pernah
pergi dari hidup mereka.
Terakhir, apa
sebetulnya pesan dari novel ini?
Tidak
ada pesan. Tapi soal pesan dan kesan itu saya pasrahkan nantinya pada pembaca.
Saya hanya bisa katakan, Kumara ditulis
saya maksudkan untuk dokumentasi sejarah mental, sekaligus demi rekonsiliasi
dalam alam kesadaran bahwa kebudayaan tidak berdiri di atas satu kaki alam
pikiran rasional atau alam pikiran mistis saja. Bahwa mitos bisa bermula dari apa
saja—tak terkecuali dari pikiran manusia.[]
Biodata
Nama: S. JAI
Tempat/tanggal lahir: Kediri, 4 Pebruari 1972 (KTP)
Yang benar lahir di Kediri pada hari Ahad 4 Pebruari 1973
Alamat : Dusun Tanjung Wetan, RT 001 RW 001, Desa Munungrejo, Kecamatan
Ngimbang, Lamongan 62273
Riwayat Pendidikan:
SDN Tales I Kec. Ngadiluwih Kab. (1985)
SMPN Ngadiluwih Kab. Kediri (1988)
SMEAN Kediri (1991)
Program Studi Sastra Indonesia FISIP
Unair (1998)
Riwayat Pekerjaan:
Reporter Tabloid Oposisi 1998-1999
Reporter Harian Surya 1999-2003
Redaktur Harian Duta Masyarakat (2003-2005)
Staff Center for Religious and
Community Studies, Surabaya. (2009-2011)
Staff Women and Youth Development
Institute of Indonesia (2011-Sekarang)
Istri:
Mamik Sugiarti
Anak:
Raushan Damir
Kasyful Kanzan
Makhfi
Zahra Ulayya
Mahjati
KARYA
Tanah Api
(Novel, LkiS 2005)
Tanha,
Kekasih yang Terlupa (Novel,
Jogja Media Utama 2011)
Gurah,
Yang Tak Sempat Dikubur
(Cerbung Surabaya Post)
Khutbah di Bawah Lembah (Novel, Najah 2012)
Malam (Novel, dalam proses penerbitan digital oleh
PT Evolitera)
Berbagi Nikotin (Kumpulan Esai dalam proses penerbitan
digital oleh PT Evolitera)
Alibi (Drama)
Upeti (Drama)
Sepotong Cinta dan Senyum Rupiah (Drama)
Racun Tembakau (Drama disaduran)
Pita Buta (Film Dokumenter)
Tirai (novel)
Kumara, Hikayat Sang Kekasih (Novel)
Penghargaan:
Pemenang Ketiga Sayembara Cerita Panji
Dewan Kesenian Jawa Timur 2010
Terpilih sayembara 10 Cerpen Terbaik
Pilihan Festival Seni Surabaya (FSS) 2010
Pemenang Sayembara Novel Etnografis
Dewan Kesenian Jawa Timur 2013.