Senin, 25 November 2013

teater

Romantika di Bawah Tiang Bendera


Lenggang-lenggang kangkung, kangkung neng pinggir kali.
Iki jare zaman reformasi, golek pangan setengah mati
Lenggang-lenggang kangkung, kangkung nang pinggir kali.
Aku heran delok pejabat saiki, senengane mlebu metu bui



INILAH sepotong ‘puisi’ yang dinyanyikan Angga, seorang aktor mengawali pertunjukan teater berjudul Lapar di kampus Universitas Hang Tuah, Surabaya Kamis (20/6) malam. Tentu saja, nyanyian ini dimaksudkan sebagai hiburan sekaligus pesan-sindiran.


Empat aktor teater Rumah Hati yang juga mantan anak didik Lapas  Klas II Jombang, Lapas Anak Klas II Blitar dan Rutan Klas I Medaeng malam itu menciptakan peristiwa, memainkan tubuh dan bahasa prosa dan puisi di bawah tiang bendera, dengan seperangkat properti empat buah karung, empat biji piring seng, dan seonggok cucian di sudut depan panggung.

Maka peristiwa di bawah selembar merah putih pada tiang itu pun mengalir sepanjang 65 menit ke depan. Anak-anak yang berusia belasan itu, Samanhudi,  Maulana Habibi, Muhammad Andre Prasetya, Angga Riki Andika lantas menuturkisahkan kegetiran masing-masing tentang pengalaman mereka selama di penjara.

“Indah ya hidup ini. Aku membayangkan sebuah keluarga. Ada bapak, ada ibu, ada adik, dan saudara-saudaraku. Senang sekali rasanya,” tutur Habibie.

“Indah ya hidup ini. Waktu datang dan pergi hingga akhirnya kami terus melawan rasa lapar sambil menunggu datangnya keluarga yang tidak ada batas waktunya,” ucap Saman.

“Indah ya hidup ini. Aku mendengar di luar tembok penjara, anak-anak seusiaku sedang berangkat sekolah. Pingin rasanya aku...” ujar Herman.

“Indah! Indah! Indah, Mbokmu yo. Gak enak-enaki wong umbah-umbah ae!” sahut Angga sembari membanting piring dan meremukkan suasana dengan mengundang gelak tawa penonton.

Tak hanya suasana yang remuk. Tapi seakan waktu berhenti bagi mereka. Para aktor lantas saling berbagi cerita perihal kegetiran hidup, dengan melintasi ruang dan waktu mereka. Bahkan mereka sanggup menaklukkan ruang dan waktu itu dengan terus bercerita.

“Ayo Bi, kita ngomong terus sebelum senja datang dan Angga biarkan saja dengan setumpuk cuciannya.”

“Ayo, waktu kita tahan agar senja tidak cepat tiba.”

Boleh jadi yang paling menakutkan bagi keempat remaja itu adalah lonceng senja dan antri makan. Karena keduanya menyebabkan mereka musti menyudahi cerita dan memperteguh rasa lapar—lapar akan segala kebahagiaan dan kebebasan. Denting bel lebih mengerikan ketimbang detik-detik upacara bendera yang kerap menggelikan mereka.

***
CERITA begitu penting dalam teater yang disutradarai oleh Zainuri itu. Karena hanya dengan bercerita para aktor bisa mengurai, mengobral sejenis romantika, dan yang paling penting adalah menuturkan sisi gelap mereka.

Masa hidup yang kelam sebelum dan semasa menjalani di ruang tahanan yang menuntut diceritakan dalam deretan bahasa lisan-bahasa Indonesia rupanya dianggap sutradara memperkukuh sikap romantisme itu. Karena itulah, hadirnya begitu banyak prosa dan puisi (dan sebetulnya, termasuk musik di dalamnya) betul-betul dipertimbangkan di sana, walaupun bukan berarti tanpa resiko.

Cerita memang bentuk yang efektif untuk menampilkan sikap romantisme yang dalam pandangan Faruk (jurnal Kalam edisi 4) sebagai kesatuan dan ketegangan antara dunia ideal yang menuntut persatuan dengan dunia nyata yang penuh dengan keterpisahan, kekacauan dan keaneragaman dalam hubungan antar unsur yang membangunnya.  Terlebih dalam tataran psikologis, cerita menghadirkan ‘kesadaran diri’ dan teater ini juga sebagaimana cerita pada umumnya mempertimbangkan betul aspek psikologis—meminjam istilah Prof. Dr. Yusti Probowati bahwa teater ini ditujukan sebagai sarana terapi bagi remaja yang pernah berkonflik dengan hukum.

Pesan dari setiap sikap romantisme—juga dalam pertunjukan ini—adalah perjuangannya dalam membangun kesatuan atau harmoni. Dan sebagaimana prespektif dunia yang diidealkan senantiasa hadir pula yang naif, diantara penemuan kesadaran diri.

Deretan bahasa prosaik dan puitik dalam bahasa tubuh dramatik sangat mungkin memperteguh kenaifan itu. Ungkapan yang klise, lalu pernyataan yang cenderung filosofis, lalu musik mendayu-dayu bisa berlarat-larat karena ruang yang terbuka dalam memelihara sikap romantisme itu. Beruntung pertunjukan lapar minim sekali musik, kecuali dari properti, suara yang ditumbuhkan tubuh aktor dan kesunyian yang diciptakannya.

Resiko yang lain adalah paradoksal. Yaitu kemungkinan tubrukan antar ruang yang dibangun maupun cerita-pernyataan yang dibuat, pada saat tertentu dengan di lain waktu. Permainan para aktor teater Rumah Hati ini memperlihatkan hal itu. Ruang imaji yang dibangun tokoh Angga saat mencuci, misalnya kerap dirobohkannya sendiri. Begitu pula pernyataan aktor ‘ditahan sama tidak ditahan, sama saja” pada lain waktu kerap dihancurkannya sendiri. Ada sejumlah lain paradok bisa ditambahkan.

Bahasa puitik memang memungkinkan untuk itu, namun bukan berarti bahasa dramatik lantas justru memperbesar paradok itu. Ditambah lagi, sempitnya ruang eksplorasi bahasa dramatik (bahasa tubuh) mengesankan teater pada tataran tertentu mirip sebuah deklamasi puisi.

***
APAPUN itu peristiwa yang diciptakan empat aktor lapar adalah teater.  Dan ‘pesan’ teater sebagai terapi begitu kuat.  Sebagaimana visi bahasa dramatik Zainuri dalam sejumlah teater terapinya (Maha Ibu, Rasanya Baru Kemarin, Rembulan di Atas Kremil), pun demikian hal ini masih menjadi spirit pertunjukan Lapar  yang sebelumnya pernah dipentaskan di lingkungan Lapas Jombang dan di desa Menturo.

Ada semacam kata kunci yang menjadi simpul dari deret spirit teater yang menghubungkan antara psikoterapi dan teater sebagai usaha untuk menemukan kembali manusia. Dengan kata lain sekaligus titik temu antara ‘kesadaran diri’ dalam kontek romantika dan teater sebagai terapi guna menemukan kembali manusia—yang sementara ini mengalami beban kelebihan energi, yakni para napi anak itu.

Dalam dunia psikologi dikenal istilah resiliensi, atau daya lenting, yang kurang lebih memiliki pengertian kemampuan untuk melenting, kemampuan adaptasi, bangkit dari kejadian atau musibah. Kejahatan yang sebelumnya mengantarkan keempat aktor pertunjukkan Lapar ini masuk penjara, adalah musibah. Secara psikologi daya lenting anak lebih kuat ketimbang orang dewasa, sehingga kemampuan adaptasinya lebih cepat.

Sayangnya, hal ini tidak terungkap, tidak tertangkap oleh sutradara sehingga tidak juga menjadi materi yang dieksplorasi untuk muncul ke permukaan. Sebaliknya, justru energi lebih para aktor tersebut diklisekan: aktor menjadi berlarat-larat dalam kubangan penderitaan, yang sebetulnya tidak sulit mereka bangkit dari musibah itu.

Kubangan kesedihan yang klise itu ditopang oleh sebagian besar penggunaan bahasa Indonesia yang bagi para aktor kesulitan untuk mengekspresikannya. Di sisi lain, mereka begitu lepas tatkala berujar dalam bahasa ibunya—Jawa kasar. Bahasa yang membebaskan baik bahasa prosaik, puitik maupun dramatik terasa masih berpeluang besar untuk dioptimalkan.

Begitulah tampaknya simpul yang mengemuka dalam lakon Lapar ini adalah moralitas. Moralitas dalam pengertian nilai etis yaitu tanggungjawab dan kewajiban sehingga teater melibatkan banyak pihak. Ini yang menarik. Seniman. Mahasiswa. Psikolog. Akademisi. Sukarelawan. Aparat lembaga pemasyarakatan. Anak didik Lapas. Seakan mempertegas, semua butuh teater untuk menyusuri jalan menemukan diri kembali.

Proses teater Lapar menuntut penemuan kembali hadirnya moralitas itu—bukan hanya oleh para aktor. Yaitu hadirnya hati nurani, kebebasan dan tanggungjawab, oleh karena hal itu sebagai fondasi yang memberikan kemungkinan suatu moralitas dapat dikembangkan dengan rasa kesadarannya.

Tampak jelas pergulatan keempat aktor Lapar, berjibaku dengan ketiga hal tersebut. Bagaimana mereka menghadirkan kesadaran pribadinya di hadapan Tuhan, hak-hak jaminan kebebaannya yang lantas menuntutnya untuk bertanggungjawab.

Kepada siapa pun penonton, moralitas—juga dalam teater Lapar—selalu  membawa pesan., “Manusia dituntut memberikan penjelasan tentang keberadaannya, perbuatannya, eksistensinya di hadapan pribadi, masyarakat atau lembaga maupun pada Tuhannya.”

Moralitas inilah yang sejak Aristoteles (Bertens K., 1984) masih bergaung hingga kini, yakni ketika kesadaran manusia ditempatkan dalam melihat masa depan. Bahwa tujuan tertingginya adalah mengembangkan dan mempertahankan kebahagiaan.

Itulah sebabnya baik romantisme maupun moralitas masih perlu menghadirkan ‘bayang-bayang’ Tuhan. Begitulah para aktor dalam peristiwa teater Lapar pun begitu khidmat ketika melayangkan doa-doa untuk menggetarkan hati nurani publiknya.

Bahkan doa itu masih perlu diulang menjelang pertunjukan usai.
Sholatumm bissalamil mubi'ini linuthotittaiini yaa qharomi. Nabiyun kana aslattak wiinimi min adi kun fayakun ya qharoomi. [S.Jai]