Romantika di Bawah Tiang Bendera
Lenggang-lenggang kangkung,
kangkung neng pinggir kali.
Iki jare zaman reformasi, golek
pangan setengah mati
Lenggang-lenggang kangkung,
kangkung nang pinggir kali.
Aku heran delok pejabat saiki,
senengane mlebu metu bui
INILAH sepotong ‘puisi’ yang
dinyanyikan Angga, seorang aktor mengawali pertunjukan teater berjudul Lapar di kampus Universitas Hang Tuah,
Surabaya Kamis (20/6) malam. Tentu saja, nyanyian ini dimaksudkan sebagai
hiburan sekaligus pesan-sindiran.
Empat
aktor teater Rumah Hati yang juga mantan anak didik Lapas Klas II Jombang, Lapas Anak Klas II Blitar
dan Rutan Klas I Medaeng malam itu menciptakan peristiwa, memainkan tubuh dan
bahasa prosa dan puisi di bawah tiang bendera, dengan seperangkat properti
empat buah karung, empat biji piring seng, dan seonggok cucian di sudut depan
panggung.
Maka
peristiwa di bawah selembar merah putih pada tiang itu pun mengalir sepanjang
65 menit ke depan. Anak-anak yang berusia belasan itu, Samanhudi, Maulana Habibi, Muhammad Andre Prasetya,
Angga Riki Andika lantas menuturkisahkan kegetiran masing-masing tentang
pengalaman mereka selama di penjara.
“Indah
ya hidup ini. Aku membayangkan sebuah keluarga. Ada bapak, ada ibu, ada adik,
dan saudara-saudaraku. Senang sekali rasanya,” tutur Habibie.
“Indah
ya hidup ini. Waktu datang dan pergi hingga akhirnya kami terus melawan rasa
lapar sambil menunggu datangnya keluarga yang tidak ada batas waktunya,” ucap
Saman.
“Indah
ya hidup ini. Aku mendengar di luar tembok penjara, anak-anak seusiaku sedang
berangkat sekolah. Pingin rasanya aku...” ujar Herman.
“Indah!
Indah! Indah, Mbokmu yo. Gak enak-enaki
wong umbah-umbah ae!” sahut Angga sembari membanting piring dan meremukkan
suasana dengan mengundang gelak tawa penonton.
Tak
hanya suasana yang remuk. Tapi seakan waktu berhenti bagi mereka. Para aktor
lantas saling berbagi cerita perihal kegetiran hidup, dengan melintasi ruang
dan waktu mereka. Bahkan mereka sanggup menaklukkan ruang dan waktu itu dengan
terus bercerita.
“Ayo
Bi, kita ngomong terus sebelum senja datang dan Angga biarkan saja dengan
setumpuk cuciannya.”
“Ayo,
waktu kita tahan agar senja tidak cepat tiba.”
Boleh
jadi yang paling menakutkan bagi keempat remaja itu adalah lonceng senja dan
antri makan. Karena keduanya menyebabkan mereka musti menyudahi cerita dan
memperteguh rasa lapar—lapar akan segala kebahagiaan dan kebebasan. Denting bel
lebih mengerikan ketimbang detik-detik upacara bendera yang kerap menggelikan
mereka.
***
CERITA begitu penting dalam teater yang
disutradarai oleh Zainuri itu. Karena hanya dengan bercerita para aktor bisa
mengurai, mengobral sejenis romantika, dan yang paling penting adalah
menuturkan sisi gelap mereka.
Masa
hidup yang kelam sebelum dan semasa menjalani di ruang tahanan yang menuntut
diceritakan dalam deretan bahasa lisan-bahasa Indonesia rupanya dianggap
sutradara memperkukuh sikap romantisme itu. Karena itulah, hadirnya begitu
banyak prosa dan puisi (dan sebetulnya, termasuk musik di dalamnya) betul-betul
dipertimbangkan di sana, walaupun bukan berarti tanpa resiko.
Cerita
memang bentuk yang efektif untuk menampilkan sikap romantisme yang dalam
pandangan Faruk (jurnal Kalam edisi
4) sebagai kesatuan dan ketegangan antara dunia ideal yang menuntut persatuan
dengan dunia nyata yang penuh dengan keterpisahan, kekacauan dan keaneragaman
dalam hubungan antar unsur yang membangunnya.
Terlebih dalam tataran psikologis, cerita menghadirkan ‘kesadaran diri’
dan teater ini juga sebagaimana cerita pada umumnya mempertimbangkan betul
aspek psikologis—meminjam istilah Prof. Dr. Yusti Probowati bahwa teater ini
ditujukan sebagai sarana terapi bagi remaja yang pernah berkonflik dengan
hukum.
Pesan
dari setiap sikap romantisme—juga dalam pertunjukan ini—adalah perjuangannya
dalam membangun kesatuan atau harmoni. Dan sebagaimana prespektif dunia yang
diidealkan senantiasa hadir pula yang naif, diantara penemuan kesadaran diri.
Deretan
bahasa prosaik dan puitik dalam bahasa tubuh dramatik sangat mungkin
memperteguh kenaifan itu. Ungkapan yang klise, lalu pernyataan yang cenderung
filosofis, lalu musik mendayu-dayu bisa berlarat-larat karena ruang yang
terbuka dalam memelihara sikap romantisme itu. Beruntung pertunjukan lapar minim sekali musik, kecuali dari
properti, suara yang ditumbuhkan tubuh aktor dan kesunyian yang diciptakannya.
Resiko
yang lain adalah paradoksal. Yaitu kemungkinan tubrukan antar ruang yang
dibangun maupun cerita-pernyataan yang dibuat, pada saat tertentu dengan di
lain waktu. Permainan para aktor teater Rumah Hati ini memperlihatkan hal itu.
Ruang imaji yang dibangun tokoh Angga saat mencuci, misalnya kerap
dirobohkannya sendiri. Begitu pula pernyataan aktor ‘ditahan sama tidak ditahan, sama saja” pada lain waktu kerap
dihancurkannya sendiri. Ada sejumlah lain paradok bisa ditambahkan.
Bahasa
puitik memang memungkinkan untuk itu, namun bukan berarti bahasa dramatik
lantas justru memperbesar paradok itu. Ditambah lagi, sempitnya ruang
eksplorasi bahasa dramatik (bahasa tubuh) mengesankan teater pada tataran
tertentu mirip sebuah deklamasi puisi.
***
APAPUN itu peristiwa yang diciptakan
empat aktor lapar adalah teater. Dan ‘pesan’ teater sebagai terapi begitu
kuat. Sebagaimana visi bahasa dramatik
Zainuri dalam sejumlah teater terapinya (Maha
Ibu, Rasanya Baru Kemarin, Rembulan di Atas Kremil), pun demikian hal ini
masih menjadi spirit pertunjukan Lapar yang sebelumnya pernah dipentaskan di
lingkungan Lapas Jombang dan di desa Menturo.
Ada
semacam kata kunci yang menjadi simpul dari deret spirit teater yang
menghubungkan antara psikoterapi dan teater sebagai usaha untuk menemukan
kembali manusia. Dengan kata lain sekaligus titik temu antara ‘kesadaran diri’
dalam kontek romantika dan teater sebagai terapi guna menemukan kembali
manusia—yang sementara ini mengalami beban kelebihan energi, yakni para napi
anak itu.
Dalam
dunia psikologi dikenal istilah resiliensi,
atau daya lenting, yang kurang lebih memiliki pengertian kemampuan untuk
melenting, kemampuan adaptasi, bangkit dari kejadian atau musibah. Kejahatan
yang sebelumnya mengantarkan keempat aktor pertunjukkan Lapar ini masuk penjara, adalah musibah. Secara psikologi daya
lenting anak lebih kuat ketimbang orang dewasa, sehingga kemampuan adaptasinya
lebih cepat.
Sayangnya,
hal ini tidak terungkap, tidak tertangkap oleh sutradara sehingga tidak juga
menjadi materi yang dieksplorasi untuk muncul ke permukaan. Sebaliknya, justru
energi lebih para aktor tersebut diklisekan: aktor menjadi berlarat-larat dalam
kubangan penderitaan, yang sebetulnya tidak sulit mereka bangkit dari musibah
itu.
Kubangan
kesedihan yang klise itu ditopang oleh sebagian besar penggunaan bahasa
Indonesia yang bagi para aktor kesulitan untuk mengekspresikannya. Di sisi
lain, mereka begitu lepas tatkala berujar dalam bahasa ibunya—Jawa kasar.
Bahasa yang membebaskan baik bahasa prosaik, puitik maupun dramatik terasa
masih berpeluang besar untuk dioptimalkan.
Begitulah
tampaknya simpul yang mengemuka dalam lakon Lapar
ini adalah moralitas. Moralitas dalam pengertian nilai etis yaitu tanggungjawab
dan kewajiban sehingga teater melibatkan banyak pihak. Ini yang menarik.
Seniman. Mahasiswa. Psikolog. Akademisi. Sukarelawan. Aparat lembaga
pemasyarakatan. Anak didik Lapas. Seakan mempertegas, semua butuh teater untuk
menyusuri jalan menemukan diri kembali.
Proses
teater Lapar menuntut penemuan
kembali hadirnya moralitas itu—bukan hanya oleh para aktor. Yaitu hadirnya hati
nurani, kebebasan dan tanggungjawab, oleh karena hal itu sebagai fondasi yang memberikan kemungkinan suatu moralitas dapat dikembangkan
dengan rasa kesadarannya.
Tampak jelas pergulatan keempat aktor Lapar, berjibaku dengan ketiga hal
tersebut. Bagaimana mereka menghadirkan kesadaran pribadinya di hadapan Tuhan,
hak-hak jaminan kebebaannya yang lantas menuntutnya untuk bertanggungjawab.
Kepada siapa pun penonton,
moralitas—juga dalam teater Lapar—selalu membawa pesan., “Manusia dituntut memberikan
penjelasan tentang keberadaannya, perbuatannya, eksistensinya di hadapan
pribadi, masyarakat atau lembaga maupun pada Tuhannya.”
Moralitas inilah yang sejak Aristoteles
(Bertens K., 1984) masih bergaung hingga kini, yakni ketika kesadaran manusia
ditempatkan dalam melihat masa depan. Bahwa tujuan tertingginya adalah
mengembangkan dan mempertahankan kebahagiaan.
Itulah sebabnya baik romantisme maupun
moralitas masih perlu menghadirkan ‘bayang-bayang’ Tuhan. Begitulah para aktor
dalam peristiwa teater Lapar pun
begitu khidmat ketika melayangkan doa-doa untuk menggetarkan hati nurani
publiknya.
Bahkan doa itu masih perlu diulang
menjelang pertunjukan usai.
Sholatumm
bissalamil mubi'ini linuthotittaiini yaa qharomi. Nabiyun kana aslattak wiinimi
min adi kun fayakun ya qharoomi. [S.Jai]