Aku Membunuh Nyamuk
yang Sedang Bercinta
Cerpen S. Jai
(Radar
Surabaya, 3 November 2013)
MENGENANG masa kanak bersama
adik-adikku yang lucu, waktu itu. Sering bila kami bermain, kupandangi mereka penuh belas kasih.
“Kasihan,
kalianlah yang kelak menjumpai kiamat,” pikirku sambil mengunyah balung tebu.
Lalu
kami berkenalan dengan dongeng, dan kiamat terselip di sana—diantara kisah
dunia dan akherat. Dan tentu saja, di sebalik gambar-gambar azab siksa api
neraka. Kami sempat berdebat dan menemukan jawab: semua yang mati maupun yang
hidup akan bersua dengan kiamat.
Karena
itu, serasa berkendara mobil lintas waktu, aku dan rombonganku bersuka anjangsana
ke suatu masa yang belum sama sekali kami kenal—alam dongeng gelap dan
diterangi nyala api yang berkobar.
Sekembali
bermobil itu, alam yang kusambangi sering balik datang berwujud mimpi dan kerap
membuat badanku panas dingin. Tepatnya mimpi buruk buatku. Karena itu, aku
diajari membaca kitab yang huruf-hurufnya seperti cacing itu. Sampai
bertahun-tahun buku yang tak kumengerti betul artinya itu, justru membuatku
makin takut.
Aku
melewati hari-hari dengan rasa takut dan keinginan guru mengajiku agar aku bisa
menghibur diri berkat membacai huruf-huruf seperti cacing itu. Sampai aku tumbuh dewasa, kiamat itu dimakan
oleh waktu. Dan waktu betul-betul menakutkan kami bukan karena kami siap menunggu
pada setiap yang pasti. Sebaliknya, kami takut pada yang tak pasti—kebahagiaan.
Kebahagiaanku
adalah ketika mengenang Bapak bercanda ria, mengumbar tawa meskipun getir saat
para penagih hutang datang padanya. Atau, ketika Bapak tak menjumpai lagi sisa
uang gaji yang terselip di saku atau di lipatan kopyah karena lebih dulu tangan Emak merogohnya tanpa sepengetahuan
Bapak. Tawa getir Emak dan Bapak adalah hiburan paling menggetarkan pada masa
kanakku.
Sementara
kebencianku, bahkan kejahatanku yang paling laknat melebihi tanda-tanda kiamat
sudah dekat adalah berperang melawan nyamuk, tentu saja bersama-sama Bapak. Bagiku
dengung nyamuk lebih menggelegar ketimbang raung pesawat tempur. Karena itu aku
bersekongkol dengan Bapak mengusir mereka. Aku mengumpulkan bakal buah sukun
yang mengering dan kubakar bila malam tiba. Asapnya kusebar ke segenap ruang.
Sedangkan bapak menyulut arang, kulit kelapa kering yang dibakar diatas kendil
besar, lalu asapnya mengepul luar biasa dalam rumah itu. Bau sangit menempel
kemana-mana.
Itulah
kali pertama perkenalanku dengan kebencian: pada raung nyamuk-nyamuk yang
menyerbu rumah. Aku betul-betul membenci nyamuk dan yang terjadi kubayangkan
seperti tentara yang berperang membunuhi musuh-musuhnya. Walau terkadang
terpikir olehku nyamuk seperti manusia juga, tapi kebencian telah begitu
menguasai diriku seiring lamanya waktu. Bukan hanya tentara atau penjahat yang
bisa membunuh orang, tapi nyamuk pun sekalipun tak bersenjata, ia menjadi
pembunuh yang tak menyisakan bekas-bekas.
Masih
kuingat pertama kali aku tahu pembunuhan oleh seekor nyamuk itu terjadi pada
kawan sekolahku. Kata guruku, kawan sekolahku itu mati oleh gigitan nyamuk
loreng. Pasti nyamuk tentara, pikirku. Semenjak itu banyak berita kematian
manusia oleh nyamuk loreng. Karena ia tak bersenjata, maka ia lebih kejam dari
tentara. Ia menjadi pembunuh yang gentayangan seperti hantu, drakula penghisap
darah. Itulah kenanganku pertama kali menjadi sangat takut dan benci pada
nyamuk.
Tapi
nyamuk seperti manusia juga. Ia bisa dibenci tapi juga bisa membenci. Ketakutan
dan kebencianku pada nyamuk melupakan keingintahuanku bagaimana nyamuk-nyamuk
itu membenci orang. Terlebih bagaimana melampiaskan kebenciannya pada semua
orang. Bahkan dalam keingintahuanku yang tersembunyi itu diam-diam aku
meragukan diri: benarkah nyamuk itu memiliki kebencian, atau secuil lampiasan
dendam pada orang?
Atau
jangan-jangan malah sebaliknya, bagi nyamuk hanya ada satu rasa cinta pada
orang. Sebagaimana ketika orang menyantap kue ulang tahun, ia akan bernafsu menikmatinya,
menyingkirkan segala kebusukan pikirannya sekalipun yang berulang tahun itu
makluk cacat atau laknat. Begitulah sebagaimana manusia, nyamuk makan atas
dasar cinta, menghisap darah orang atas dasar kasih sayang.
Ya,
setidaknya jika pun bukan cinta, atas dasar suka sama sukalah. Toh, aku tak
mungkin tahu persis mana yang lebih disuka nyamuk: darah yang sudah mengalir di
borok bernanah pada leher lelaki, ataukah dari sebalik paha segar mulus dari
kaki jenjang perempuan manis persis plastik manekin.
Tidaklah maksudnya menyindir jika hasratnya dalam hal ini serupa dengan
hasratku. Akulah lelaki dengan gelegak darah muda dan birahi bergejolak bak
ombak yang menggulung nafsu perempuan-perempuan jatuh cinta pada eksotisme
pantai laut selatan.
Karena
itulah aku menikah muda. Pada usiaku yang ke-21 dengan darah yang bergejolak
itu, aku menikah dengan seorang perempuan. Bukan karena aku telah siap segala
hal sebagaimana kewajibanku sebagai lelaki menurut kitab-kitab berhuruf cacing
itu. Aku menikah lebih karena ingin kutunjukkan kebahagian pada Bapak dan Emak.
Bahwa aku bisa bahagia. Bahwa kebahagiaanku bukan hanya ketika membakar dupa
mengusir nyamuk. Bahkan bukan hanya kebahagiaan yang hendak kutunjukkan, tapi
juga keberanian. Bapak bangsa kita dan orang-orang sezamannya yang memerdekakan
negeri ini, berani kawin muda. Aku tak ingin jadi penakut.
Persisnya,
aku putuskan menikah muda karena menimbang soal keselamatan, mumpung aku masih
hidup. Siapa berani menjamin umurku esok, lusa, bulan depan, setahun lagi
tampang seganteng ini masih bisa menikmati seporsi pecel lele atau cap jay kuah? Bukankah detik ini, hari ini dan sepanjang
sisa waktu berlalu aku adalah makanan empuk setiap moncong nyamuk loreng
pembunuh berdarah dingin itu? Aku tak peduli istriku lebih muda ataukah lebih
tua daripada aku. Mungkin lebih baik istriku seperti besi—lebih tua lebih baik.
Besi tua tahan segala cuaca dan yang pasti ia telah lulus dari segala macam
model serbuan nyamuk sialan itu.
Kebahagiaan
itu memang ada, ternyata. Anak-anakku lahir sehat berkat susu terbaik di dunia
ini. Ceria, pintar, ganteng dan cantik-cantik. Kulitnya putih mulus dan
lagi-lagi moncong nyamuk loreng itu membuatku menjadi hampir gila. Andai aku
presiden pastilah kuperintahkan panglima perang di negeri ini mengerahkan meriam-meriam
ke kampung-kampung kumuh. Kubunuh segala nyamuk dengan meriam. Itulah legenda
peperangan paling perkasa di abad ini, sebelum kiamat benar-benar datang. Sebuah
peperangan antar kekuatan sonder strategi nyinyir ala legenda komik Jepang itu.
***
SAMPAI dengan tanggal 12
bulan 12 tahun 12 lewat sekian derajat, dunia masih selamat. Kiamat sudah benar-benar
lewat dan setidaknya, keluargaku belum tamat. Anak-anak tetap sehat, makin
hormat pada orangtua dan tak mau kualat. Aku pun masih bisa menikmati nyerinya
syaraf akibat setengah matangnya jerawat.
Setelah kiamat telah lewat, bagiku dunia tampak jauh lebih nikmat
ketimbang jus tomat yang hanya bisa dirasakan sesaat.
Mulai
hari ini aku percaya akan menghadapi kiamat yang baru. Tapi kiamat macam apa
itu, aku belum tahu. Kalau kiamat-kiamat yang lalu berurusan dengan segala
macam urusan duniawi, aku sudah hafal dan itu masalah keluargaku. Jika itu yang
terjadi, meski telah berlalu, tapi benarkah kiamat-kiamat seperti itu telah berlalu?
Jawabnya tentu saja tidak. Sambil menunggu datang waktu kiamat seperti itu, marilah
kuajak kalian mengenali tanda-tanda kiamat makin mendekat yang terjadi padaku. Semua
masih belum bergeser dari dunia lama—dunia sebelum kiamat telah lewat. Tentang benci, cinta, dan kebahagiaan itu.
Setelah
kemarau panjang, jarum-jarum hujan menyerbu dari langit. Melihat itu tampak
dunia tak lagi bundar apalagi datar. Bumi persis buah mengkudu, berkerut.
Percayalah menikmatinya bisa melenyapkan hipertensi. Dunia basah dan air
dimana-mana. Jentik-jentik menggelepar gelepar. Lalu nyamuk-nyamuk menyerbu ke
dalam rumah. Bersenyawa dengan dunia, menempel ke mana saja. Jumlahnya ribuan,
puluhan ribu, tak terhingga. Semuanya bersenjata.
Hari
Minggu, aku dan istriku membersihkan kamar. Itulah waktu yang kami sepakati
karena pada hari lain, kami sama-sama bekerja. Kami membersihkan kamar untuk
anak-anak karena selama ini nyaman tidur dimana pun mereka suka. Namun kini, musim
penghujan bukan lagi aman buat mereka dari serbuan nyamuk. Bukan hanya buat
anak-anak, tapi juga buat bapak-ibunya ini.
Kenyataannya,
terbit dalam benakku sesuatu yang bermuara pada kemarahan dan kebencian: pada
malam hari itu istriku memilih tidur di kamar anak-anak. Sementara anak-anak
tetap memilih tidur di sembarang tempat—kebiasaan lamanya tidur di sofa dan
baru kugendong ke kamar bila aku pulang kerja, kemudian tak lupa kubakar obat
nyamuk di sampingnya.
Begitulah,
istriku tidur di kamar anak-anak oleh karena nyamuk, menjadi sebuah pertanda
kiamat sudah dekat. Sebagai manusia, tepatnya selaku suami istri, pisah ranjang
adalah sesuatu yang bermakna. Lain hal itu bila terjadi pada nyamuk, meski
nyamuk itu seperti manusia juga.
Benar
ternyata, tanda tanda kiamat semakin mendekat. Sehari kemudian, Senin sore,
sepulang kerja pula, kuminta ban motor yang dikendarai
istriku diganti yang baru karena sudah licin dan tentu berbahaya bagi
keselamatannya. Bukan hanya soal keselamatan, tapi diam-diam aku mencemaskan
biaya bila telah celaka dan musti masuk rumah sakit—tempat perbengkelan manusia
yang tak kenal kompromi itu. Mending pilih bengkel motorlah. Saranku tak gayung
bersambut. Aku jadi nggak enak hati dan saling mendiamkan diri.
Pada hari lain kusarankan agar motornya dibelikan kunci
ganda, karena aku mengkuatirkan hilang dibawa kabur maling. Karena itu, aku tak
keberatan keluar sedikit duit untuk itu. “Daripada kemalingan, kan repot,” kataku. “Daripada kehilangan motor mending kehilangan
suami,” kataku lagi menyindir perangai istri yang belum juga sudi angkat
bicara.
Sejak kejadian pisah ranjang dan didiamkan istri
sepanjang zaman itu, aku terus mengumpat karena hanya itu yang bisa kulakukan. Pada
siapa? Tentulah kepada nyamuk sialan itu. Tidak ada alasan lain. Tak ada makluk
lain yang menjadi sasaran kebencianku. Nyamuk kali ini benar-benar kuanggap
seperti manusia. Sekalipun ada manusia yang layak kujadikan sasaran
kebencianku, tapi itu urutan berikutnya sesudah nyamuk. Yakni, mertua.
Kami tinggal serumah dengan orangtua istriku. Aku
betah berdiam di rumah, meski sejak lama mertua lelaki, bapak dari istriku itu
benalu dan terus menteror keluargaku. Aku cukup terlatih dan bertahan sebagai
lelaki ayah dari anak-anakku dengan bersikap keras pada benalu itu. Tentu saja
dalam hal ini aku dan istriku kompak, dan lain hal bila ada masalah saling
berdiam diri, pisah ranjang seperti ini. Jelas ini penggembosan diri dari sikap
keras pada benalu.
Kami, aku dan istriku tahu, jika sampai keluargaku cerai
berai, lelaki benalu itu yang pertama kali bertempik sorak. Selain terus menteror
keluargaku, dahulu dialah pendukung utama perceraian kami. Aku mendendam karena
itu. Cuma tersebab sabar saja belum ada kekerasan. Karena itulah sering kuminta
istriku atas masalah apapun, jangan sampai nggak kompak lagi. Karena bila nggak
kompak berarti teror kian membesar kuat.
Pisah ranjang itu menyita begitu banyak perhatianku.
Aku menjadi malas bekerja bila tak ada hal-hal yang mendesak kukerjakan. Aku
makin penuh perhitungan. Apalagi aku nggak suka anak-anakku dekat dengan mertua
benalu itu, tanpa ada yang bisa bersikap keras padanya seperti aku.
“Sepertinya kamu ada masalah dengan istri, atau kerjaan
di kantormu? Ceritakanlah,” pinta Ndindy, perempuan bermata bening, perempuan
sabar sesabar gelas yang menemani pemabuk itu, ketika kumuntahi masalahku.
“Soal pekerjaan, memang selalu ada. Apalagi
pekerjaanku itu tergantung proyek luar negeri. Karena itu pinter-pinternya kita
mengatur sendiri kegiatan, sewaktu-waktu proyek bisa berakhir. Seminggu kemarin
kantor kosong, karena ditinggal beberapa orang ke Bandung. Dan kantor nggak
efektif. Terkadang jika nggak ada kegiatan aku menghitung kembali efektivitas di
kantor. Terlebih putriku yang bungsu susah kutinggal. Apalagi, jika aku tak
pulang ditelpon terus. Terus terang aku nggak suka anak-anak dijaga mertua
benalu itu. Selain tak baik untuk perkembangan jiwanya, itu cuma jadi alasan, menjadi pekerjaan sehari-hari saja
bagi benalu itu.”
“Lalu? Masalah dengan istrimu?”
“Aku sudah pisah ranjang.”
“Apa yang kamu lakukan jika sudah pisah ranjang?
Menikahi aku?”
“Entahlah, mungkin akan kupasrahkan segala tubuh dan
jiwa ini untuk jadi santapan nyamuk saja. Yang membuat saya betah hidup
hanyalah anak-anak dan istri. Jika salah satu timpang oleh suatu sebab,
jangankan sehari, sejam duajam saja aku tak bisa betah berdiam di rumah.”
“Datanglah kemari sesukamu. Pintu rumahku selalu
terbuka,” suara gelas yang tak saja sabar, tapi juga ikhlas itu.
***
AKSI saling mendiamkan
diri itu akhirnya berhenti. Bukan karena redanya masalah. Sebaliknya, justru
itu pertanda pecahnya amarah. Pada suatu siang yang panas, istriku tahu aku
telah mengisahkan remahan keluargaku pada seorang perempuan, yang sialnya dia
percaya itu kekasih gelapku.
“Itu
tidak betul! Dia itu sahabatku,” aku persis anakku minta ice cream.
“Tapi
tidak juga sepenuhnya salah, bukan? Dia pacarmu!”
Sudah
dari sononya, selalu aku tak bisa mengelak bila telah terdesak.
“Apa maksudmu kau kisahkan keluarga pada perempuan lain seperti itu? Itu
menyakitkan aku, dan itu nggak bijak,” tahu aku terpojok, istriku terus menohok
dengan uppercut-uppercut
mautnya. “Kalau kamu kecewa sama aku,
jangan begitu merendahkan aku pada orang lain. Kalau kamu masih mau dengarkan
aku, ini nasihat terakhirku. Jangan merasa berpendidikan, terus merasa paling bener. Maaf kalau aku mengecewakanmu.
Tapi aku belum pernah direndahkan oleh siapapun, terlebih keluargaku, biarpun
oleh seorang bapak seperti benalu. Aku hormati kau karena kau bisa mengajak aku
untuk membangun kehormatan biarpun dengan kebencian pada bapakku. Ingat! Aku tidak untuk direndahkan di depan orang
lain. Aku ingatkan, aku akan membela diri pada orang-orang yang kau sebari
kabarmu. Tapi kalau itu caramu, untuk berpisah dengan aku, cara itu nggak
betul—semoga kamu tahu. Kamu memancing emosiku.”
Aku tahu istriku benar-benar marah. Ia marah bukan
oleh nyamuk, tapi oleh karena ada seorang perempuan dalam pikirannya yang
menjadi kekasih gelapku. Kuakui itu tidak sepenuhnya salah. Kupikir istriku
tahu betapa aku menempatkan perempuan segar berkulit bening—yang telanjur sial
disebut kekasih gelap itu—laiknya santapan nyamuk-nyamuk nakal dengan menghisap
darah cinta kasihnya.
Walhasil, bermula dari pisah ranjang, lantas aku berakhir
diusir oleh istriku untuk minggat dari rumah. Ia tak pernah percaya biar pun
beribu kali kukatakan, “Aku tidak merendahkan siapapun. Yang perlu engkau tahu,
aku selalu cinta kau sampai kapanpun, meski kita tidak bisa bersama.”
Istriku sudah tak sudi lagi mendengar rayuan seekor
nyamuk.
Sementara
dalam kesendirianku itu, dalam malam-malamku yang kerap terjangkit imsonia aku
bersenda gurau dengan nyamuk. Hei...apakah juga ada presiden diantara kalian?
Panglima tentara? Polisi? Menteri? Sial! Kenapa kalian diam saja? Bukankah
kalian seperti manusia juga? Atau kalian cuma seperti manusia biasa yang miskin
tawa tapi kaya mimpi sepertiku? Apa diantara kalian ini petugas Pengadilan
Agama yang makan dan liburannya dari kasus perceraian? Jawab!
Aku
hanya bisa meragukan segala bentuk kebencian atau kasih sayang pada diriku.
Bersamaan dengan itu kedua tanganku bergerak cepat dan..craakkkk!!!!! Duh Gusti,
aku membunuh nyamuk yang sedang bercinta. Mestinya tadi aku sedikit lebih sabar
menanti.[]