Kamis, 28 November 2013

cerpen

Aku Membunuh Nyamuk 
yang Sedang Bercinta
Cerpen S. Jai

(Radar Surabaya, 3 November 2013)


 MENGENANG masa kanak bersama adik-adikku yang lucu, waktu itu. Sering bila kami  bermain, kupandangi mereka penuh belas kasih.

“Kasihan, kalianlah yang kelak menjumpai kiamat,” pikirku sambil mengunyah balung tebu.


Lalu kami berkenalan dengan dongeng, dan kiamat terselip di sana—diantara kisah dunia dan akherat. Dan tentu saja, di sebalik gambar-gambar azab siksa api neraka. Kami sempat berdebat dan menemukan jawab: semua yang mati maupun yang hidup akan bersua dengan kiamat.


Karena itu, serasa berkendara mobil lintas waktu, aku dan rombonganku bersuka anjangsana ke suatu masa yang belum sama sekali kami kenal—alam dongeng gelap dan diterangi nyala api yang berkobar.

Sekembali bermobil itu, alam yang kusambangi sering balik datang berwujud mimpi dan kerap membuat badanku panas dingin. Tepatnya mimpi buruk buatku. Karena itu, aku diajari membaca kitab yang huruf-hurufnya seperti cacing itu. Sampai bertahun-tahun buku yang tak kumengerti betul artinya itu, justru membuatku makin takut.

Aku melewati hari-hari dengan rasa takut dan keinginan guru mengajiku agar aku bisa menghibur diri berkat membacai huruf-huruf seperti cacing itu.  Sampai aku tumbuh dewasa, kiamat itu dimakan oleh waktu. Dan waktu betul-betul menakutkan kami bukan karena kami siap menunggu pada setiap yang pasti. Sebaliknya, kami takut pada yang tak pasti—kebahagiaan.

Kebahagiaanku adalah ketika mengenang Bapak bercanda ria, mengumbar tawa meskipun getir saat para penagih hutang datang padanya. Atau, ketika Bapak tak menjumpai lagi sisa uang gaji yang terselip di saku atau di lipatan kopyah karena lebih dulu tangan Emak merogohnya tanpa sepengetahuan Bapak. Tawa getir Emak dan Bapak adalah hiburan paling menggetarkan pada masa kanakku.

Sementara kebencianku, bahkan kejahatanku yang paling laknat melebihi tanda-tanda kiamat sudah dekat adalah berperang melawan nyamuk, tentu saja bersama-sama Bapak. Bagiku dengung nyamuk lebih menggelegar ketimbang raung pesawat tempur. Karena itu aku bersekongkol dengan Bapak mengusir mereka. Aku mengumpulkan bakal buah sukun yang mengering dan kubakar bila malam tiba. Asapnya kusebar ke segenap ruang. Sedangkan bapak menyulut arang, kulit kelapa kering yang dibakar diatas kendil besar, lalu asapnya mengepul luar biasa dalam rumah itu. Bau sangit menempel kemana-mana.

Itulah kali pertama perkenalanku dengan kebencian: pada raung nyamuk-nyamuk yang menyerbu rumah. Aku betul-betul membenci nyamuk dan yang terjadi kubayangkan seperti tentara yang berperang membunuhi musuh-musuhnya. Walau terkadang terpikir olehku nyamuk seperti manusia juga, tapi kebencian telah begitu menguasai diriku seiring lamanya waktu. Bukan hanya tentara atau penjahat yang bisa membunuh orang, tapi nyamuk pun sekalipun tak bersenjata, ia menjadi pembunuh yang tak menyisakan bekas-bekas.

Masih kuingat pertama kali aku tahu pembunuhan oleh seekor nyamuk itu terjadi pada kawan sekolahku. Kata guruku, kawan sekolahku itu mati oleh gigitan nyamuk loreng. Pasti nyamuk tentara, pikirku. Semenjak itu banyak berita kematian manusia oleh nyamuk loreng. Karena ia tak bersenjata, maka ia lebih kejam dari tentara. Ia menjadi pembunuh yang gentayangan seperti hantu, drakula penghisap darah. Itulah kenanganku pertama kali menjadi sangat takut dan benci pada nyamuk.

Tapi nyamuk seperti manusia juga. Ia bisa dibenci tapi juga bisa membenci. Ketakutan dan kebencianku pada nyamuk melupakan keingintahuanku bagaimana nyamuk-nyamuk itu membenci orang. Terlebih bagaimana melampiaskan kebenciannya pada semua orang. Bahkan dalam keingintahuanku yang tersembunyi itu diam-diam aku meragukan diri: benarkah nyamuk itu memiliki kebencian, atau secuil lampiasan dendam pada orang?

Atau jangan-jangan malah sebaliknya, bagi nyamuk hanya ada satu rasa cinta pada orang. Sebagaimana ketika orang menyantap kue ulang tahun, ia akan bernafsu menikmatinya, menyingkirkan segala kebusukan pikirannya sekalipun yang berulang tahun itu makluk cacat atau laknat. Begitulah sebagaimana manusia, nyamuk makan atas dasar cinta, menghisap darah orang atas dasar kasih sayang.

Ya, setidaknya jika pun bukan cinta, atas dasar suka sama sukalah. Toh, aku tak mungkin tahu persis mana yang lebih disuka nyamuk: darah yang sudah mengalir di borok bernanah pada leher lelaki, ataukah dari sebalik paha segar mulus dari kaki jenjang perempuan manis persis plastik manekin. Tidaklah maksudnya menyindir jika hasratnya dalam hal ini serupa dengan hasratku. Akulah lelaki dengan gelegak darah muda dan birahi bergejolak bak ombak yang menggulung nafsu perempuan-perempuan jatuh cinta pada eksotisme pantai laut selatan.

Karena itulah aku menikah muda. Pada usiaku yang ke-21 dengan darah yang bergejolak itu, aku menikah dengan seorang perempuan. Bukan karena aku telah siap segala hal sebagaimana kewajibanku sebagai lelaki menurut kitab-kitab berhuruf cacing itu. Aku menikah lebih karena ingin kutunjukkan kebahagian pada Bapak dan Emak. Bahwa aku bisa bahagia. Bahwa kebahagiaanku bukan hanya ketika membakar dupa mengusir nyamuk. Bahkan bukan hanya kebahagiaan yang hendak kutunjukkan, tapi juga keberanian. Bapak bangsa kita dan orang-orang sezamannya yang memerdekakan negeri ini, berani kawin muda. Aku tak ingin jadi penakut.

Persisnya, aku putuskan menikah muda karena menimbang soal keselamatan, mumpung aku masih hidup. Siapa berani menjamin umurku esok, lusa, bulan depan, setahun lagi tampang seganteng ini masih bisa menikmati seporsi pecel lele atau cap jay kuah?  Bukankah detik ini, hari ini dan sepanjang sisa waktu berlalu aku adalah makanan empuk setiap moncong nyamuk loreng pembunuh berdarah dingin itu? Aku tak peduli istriku lebih muda ataukah lebih tua daripada aku. Mungkin lebih baik istriku seperti besi—lebih tua lebih baik. Besi tua tahan segala cuaca dan yang pasti ia telah lulus dari segala macam model serbuan nyamuk sialan itu.

Kebahagiaan itu memang ada, ternyata. Anak-anakku lahir sehat berkat susu terbaik di dunia ini. Ceria, pintar, ganteng dan cantik-cantik. Kulitnya putih mulus dan lagi-lagi moncong nyamuk loreng itu membuatku menjadi hampir gila. Andai aku presiden pastilah kuperintahkan panglima perang di negeri ini mengerahkan meriam-meriam ke kampung-kampung kumuh. Kubunuh segala nyamuk dengan meriam. Itulah legenda peperangan paling perkasa di abad ini, sebelum kiamat benar-benar datang. Sebuah peperangan antar kekuatan sonder strategi nyinyir ala legenda komik Jepang itu.
***

SAMPAI dengan tanggal 12 bulan 12 tahun 12 lewat sekian derajat, dunia masih selamat. Kiamat sudah benar-benar lewat dan setidaknya, keluargaku belum tamat. Anak-anak tetap sehat, makin hormat pada orangtua dan tak mau kualat. Aku pun masih bisa menikmati nyerinya syaraf akibat setengah matangnya jerawat.  Setelah kiamat telah lewat, bagiku dunia tampak jauh lebih nikmat ketimbang jus tomat yang hanya bisa dirasakan sesaat.

Mulai hari ini aku percaya akan menghadapi kiamat yang baru. Tapi kiamat macam apa itu, aku belum tahu. Kalau kiamat-kiamat yang lalu berurusan dengan segala macam urusan duniawi, aku sudah hafal dan itu masalah keluargaku. Jika itu yang terjadi, meski telah berlalu, tapi benarkah kiamat-kiamat seperti itu telah berlalu? Jawabnya tentu saja tidak. Sambil menunggu datang waktu kiamat seperti itu, marilah kuajak kalian mengenali tanda-tanda kiamat makin mendekat yang terjadi padaku. Semua masih belum bergeser dari dunia lama—dunia sebelum kiamat telah lewat.  Tentang benci, cinta, dan kebahagiaan itu.

Setelah kemarau panjang, jarum-jarum hujan menyerbu dari langit. Melihat itu tampak dunia tak lagi bundar apalagi datar. Bumi persis buah mengkudu, berkerut. Percayalah menikmatinya bisa melenyapkan hipertensi. Dunia basah dan air dimana-mana. Jentik-jentik menggelepar gelepar. Lalu nyamuk-nyamuk menyerbu ke dalam rumah. Bersenyawa dengan dunia, menempel ke mana saja. Jumlahnya ribuan, puluhan ribu, tak terhingga. Semuanya bersenjata.

Hari Minggu, aku dan istriku membersihkan kamar. Itulah waktu yang kami sepakati karena pada hari lain, kami sama-sama bekerja. Kami membersihkan kamar untuk anak-anak karena selama ini nyaman tidur dimana pun mereka suka. Namun kini, musim penghujan bukan lagi aman buat mereka dari serbuan nyamuk. Bukan hanya buat anak-anak, tapi juga buat bapak-ibunya ini.

Kenyataannya, terbit dalam benakku sesuatu yang bermuara pada kemarahan dan kebencian: pada malam hari itu istriku memilih tidur di kamar anak-anak. Sementara anak-anak tetap memilih tidur di sembarang tempat—kebiasaan lamanya tidur di sofa dan baru kugendong ke kamar bila aku pulang kerja, kemudian tak lupa kubakar obat nyamuk di sampingnya.

Begitulah, istriku tidur di kamar anak-anak oleh karena nyamuk, menjadi sebuah pertanda kiamat sudah dekat. Sebagai manusia, tepatnya selaku suami istri, pisah ranjang adalah sesuatu yang bermakna. Lain hal itu bila terjadi pada nyamuk, meski nyamuk itu seperti manusia juga.

Benar ternyata, tanda tanda kiamat semakin mendekat. Sehari kemudian, Senin sore, sepulang kerja pula, kuminta ban motor yang dikendarai istriku diganti yang baru karena sudah licin dan tentu berbahaya bagi keselamatannya. Bukan hanya soal keselamatan, tapi diam-diam aku mencemaskan biaya bila telah celaka dan musti masuk rumah sakit—tempat perbengkelan manusia yang tak kenal kompromi itu. Mending pilih bengkel motorlah. Saranku tak gayung bersambut. Aku jadi nggak enak hati dan saling mendiamkan diri.

Pada hari lain kusarankan agar motornya dibelikan kunci ganda, karena aku mengkuatirkan hilang dibawa kabur maling. Karena itu, aku tak keberatan keluar sedikit duit untuk itu. “Daripada kemalingan, kan repot,”  kataku.  “Daripada kehilangan motor mending kehilangan suami,” kataku lagi menyindir perangai istri yang belum juga sudi angkat bicara.

Sejak kejadian pisah ranjang dan didiamkan istri sepanjang zaman itu, aku terus mengumpat karena hanya itu yang bisa kulakukan. Pada siapa? Tentulah kepada nyamuk sialan itu. Tidak ada alasan lain. Tak ada makluk lain yang menjadi sasaran kebencianku. Nyamuk kali ini benar-benar kuanggap seperti manusia. Sekalipun ada manusia yang layak kujadikan sasaran kebencianku, tapi itu urutan berikutnya sesudah nyamuk. Yakni, mertua.

Kami tinggal serumah dengan orangtua istriku. Aku betah berdiam di rumah, meski sejak lama mertua lelaki, bapak dari istriku itu benalu dan terus menteror keluargaku. Aku cukup terlatih dan bertahan sebagai lelaki ayah dari anak-anakku dengan bersikap keras pada benalu itu. Tentu saja dalam hal ini aku dan istriku kompak, dan lain hal bila ada masalah saling berdiam diri, pisah ranjang seperti ini. Jelas ini penggembosan diri dari sikap keras pada benalu.

Kami, aku dan istriku tahu, jika sampai keluargaku cerai berai, lelaki benalu itu yang pertama kali bertempik sorak. Selain terus menteror keluargaku, dahulu dialah pendukung utama perceraian kami. Aku mendendam karena itu. Cuma tersebab sabar saja belum ada kekerasan. Karena itulah sering kuminta istriku atas masalah apapun, jangan sampai nggak kompak lagi. Karena bila nggak kompak berarti teror kian membesar kuat.

Pisah ranjang itu menyita begitu banyak perhatianku. Aku menjadi malas bekerja bila tak ada hal-hal yang mendesak kukerjakan. Aku makin penuh perhitungan. Apalagi aku nggak suka anak-anakku dekat dengan mertua benalu itu, tanpa ada yang bisa bersikap keras padanya seperti aku.

“Sepertinya kamu ada masalah dengan istri, atau kerjaan di kantormu? Ceritakanlah,” pinta Ndindy, perempuan bermata bening, perempuan sabar sesabar gelas yang menemani pemabuk itu, ketika kumuntahi masalahku.

“Soal pekerjaan, memang selalu ada. Apalagi pekerjaanku itu tergantung proyek luar negeri. Karena itu pinter-pinternya kita mengatur sendiri kegiatan, sewaktu-waktu proyek bisa berakhir. Seminggu kemarin kantor kosong, karena ditinggal beberapa orang ke Bandung. Dan kantor nggak efektif. Terkadang jika nggak ada kegiatan aku menghitung kembali efektivitas di kantor. Terlebih putriku yang bungsu susah kutinggal. Apalagi, jika aku tak pulang ditelpon terus. Terus terang aku nggak suka anak-anak dijaga mertua benalu itu. Selain tak baik untuk perkembangan jiwanya, itu cuma jadi  alasan, menjadi pekerjaan sehari-hari saja bagi benalu itu.”

“Lalu? Masalah dengan istrimu?”

“Aku sudah pisah ranjang.”

“Apa yang kamu lakukan jika sudah pisah ranjang? Menikahi aku?”

“Entahlah, mungkin akan kupasrahkan segala tubuh dan jiwa ini untuk jadi santapan nyamuk saja. Yang membuat saya betah hidup hanyalah anak-anak dan istri. Jika salah satu timpang oleh suatu sebab, jangankan sehari, sejam duajam saja aku tak bisa betah berdiam di rumah.”

“Datanglah kemari sesukamu. Pintu rumahku selalu terbuka,” suara gelas yang tak saja sabar, tapi juga ikhlas itu.
***

AKSI saling mendiamkan diri itu akhirnya berhenti. Bukan karena redanya masalah. Sebaliknya, justru itu pertanda pecahnya amarah. Pada suatu siang yang panas, istriku tahu aku telah mengisahkan remahan keluargaku pada seorang perempuan, yang sialnya dia percaya itu kekasih gelapku.

“Itu tidak betul! Dia itu sahabatku,” aku persis anakku minta ice cream.

“Tapi tidak juga sepenuhnya salah, bukan? Dia pacarmu!”

Sudah dari sononya, selalu aku tak bisa mengelak bila telah terdesak.

Apa maksudmu kau kisahkan keluarga pada perempuan lain seperti itu? Itu menyakitkan aku, dan itu nggak bijak,” tahu aku terpojok, istriku terus menohok dengan uppercut-uppercut mautnya.  “Kalau kamu kecewa sama aku, jangan begitu merendahkan aku pada orang lain. Kalau kamu masih mau dengarkan aku, ini nasihat terakhirku. Jangan merasa berpendidikan, terus merasa paling bener. Maaf kalau aku mengecewakanmu. Tapi aku belum pernah direndahkan oleh siapapun, terlebih keluargaku, biarpun oleh seorang bapak seperti benalu. Aku hormati kau karena kau bisa mengajak aku untuk membangun kehormatan biarpun dengan kebencian pada bapakku. Ingat!  Aku tidak untuk direndahkan di depan orang lain. Aku ingatkan, aku akan membela diri pada orang-orang yang kau sebari kabarmu. Tapi kalau itu caramu, untuk berpisah dengan aku, cara itu nggak betul—semoga kamu tahu. Kamu memancing emosiku.”

Aku tahu istriku benar-benar marah. Ia marah bukan oleh nyamuk, tapi oleh karena ada seorang perempuan dalam pikirannya yang menjadi kekasih gelapku. Kuakui itu tidak sepenuhnya salah. Kupikir istriku tahu betapa aku menempatkan perempuan segar berkulit bening—yang telanjur sial disebut kekasih gelap itu—laiknya santapan nyamuk-nyamuk nakal dengan menghisap darah cinta kasihnya.

Walhasil, bermula dari pisah ranjang, lantas aku berakhir diusir oleh istriku untuk minggat dari rumah. Ia tak pernah percaya biar pun beribu kali kukatakan, “Aku tidak merendahkan siapapun. Yang perlu engkau tahu, aku selalu cinta kau sampai kapanpun, meski kita tidak bisa bersama.”

Istriku sudah tak sudi lagi mendengar rayuan seekor nyamuk.

Sementara dalam kesendirianku itu, dalam malam-malamku yang kerap terjangkit imsonia aku bersenda gurau dengan nyamuk. Hei...apakah juga ada presiden diantara kalian? Panglima tentara? Polisi? Menteri? Sial! Kenapa kalian diam saja? Bukankah kalian seperti manusia juga? Atau kalian cuma seperti manusia biasa yang miskin tawa tapi kaya mimpi sepertiku? Apa diantara kalian ini petugas Pengadilan Agama yang makan dan liburannya dari kasus perceraian? Jawab!

Aku hanya bisa meragukan segala bentuk kebencian atau kasih sayang pada diriku. Bersamaan dengan itu kedua tanganku bergerak cepat dan..craakkkk!!!!!  Duh Gusti, aku membunuh nyamuk yang sedang bercinta. Mestinya tadi aku sedikit lebih sabar menanti.[]