Selasa, 03 Desember 2013

Sosok

Alek Subairi:

“Saya Adalah Ladang 
Bagi Diri Saya Sendiri”





SECARA mengejutkan buku puisinya Kembang Pitutur (Amper Media, 2011) masuk  nominasi  sebuah penghargaan sastra bergengsi, Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2011. Buku tersebut masuk dalam 10 besar, bersama-sama dengan buku puisi Pembuangan Phoenix karya A Muttaqin—yang tak lain juga rekan satu komunitasnya di Komunitas Rabo Sore.



Di komunitas yang didirikan bersama penyair Didik Wahyudi dan A Muttaqin pada 2003, Alek Subairi, penyair kelahiran Sampang, 5 Maret 1979 menggembleng dirinya.

“Saya adalah ladang, dan saya yang lain adalah penggarap ladang,” begitu ungkapnya kepada Alur, yang mewancarainya.

Dalam menempatkan diri bagian dari komunitasnya itu, sebagaimana umumnya komunitas sastra, Komunitas Rabu Sore pun lahir dari diskusi-diskusi kecil di warung kopi sekitar kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa).

Intensitas pertemuan dan militansi untuk menggembleng diri membuahkan sejumlah buletin dan jurnal dari sana. Termasuk juga kumpulan puisi bersama. Menyebut beberapa saja, Album Tanah Logam (kumpulan puisi bersama), Duka Muara (kumpulan puisi bersama), Kusir Bulan Gunjai  (kumpulan puisi dan cerpen). Dan yang paling mutakhir adalah Jurnal Puisi Amper. Semua itu tentu saja tidak lepas dari sentuhan tangan dingin Alek Subairi yang ternyata adalah lulusan Seni Rupa di kampus itu.

Komunitas bagi saya adalah tempat yang cukup efektif untuk bertukar pendapat, dan saling berbagi pengalaman pengetahuan,” katanya.

Tahun ini, penyair yang juga bergiat di Komunitas Tikar Merah dan Komunitas Danau Kata itu kembali membuat kejutan: Oktober mendatang Alek Subairi satu-satunya penyair dari Surabaya yang diundang Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) di Bali.

Berikut petikan wawancara Alur dengan penyair yang menerbitkan buku puisi terbarunya Pemeluk (Amper Media bekerjasama dengan Sarbikita Publishing, 2013), seputar pandangan kepenyairannya.


Puisi menurut Anda itu apa sih?

Ketika saya menulis puisi, saya merasa sedang membaca diri saya dari dalam.
Saya memasuki diri saya dari mana-mana. Dari (tempat) yang saya suka dan yang tidak saya suka. Lalu menyapa setiap apa-apa yang saya temui di dalamnya. Namun demikian, saya merasa tak benar-benar yakin apakah saya telah berada di dalamnya. Atau jangan-jangan saya sebenarnya berada di luar dan hanya melihat ke dalam, seperti melihat ikan-ikan dalam aquarium. Tapi, yang pasti ada interaksi yang intim antara “saya” dan “saya”.

Kadang saya menemukan diri saya yang di dalam—saya duduk kesepian, merasa bersalah, merasa gembira, merindukan sesuatu, mencari sesuatu, mengingat sesuatu, menyambut sesuatu, kehilangan sesuatu, dan lain-lain. Saya kemudian beranggapan bahwa saya adalah ladang, dan saya yang lain adalah penggarap ladang. Karena saya adalah ladang bagi diri saya sendiri, maka saya berupaya untuk menggali, mencangkul, menyabit, membajak, dan memelihara apa-apa yang saya sangka benih.

Dalam perjalanan menggarap “ladang”, ada benih yang tumbuh dan berbunga, ada yang tumbuh dan layu, ada yang tumbuh di luar kendali, ada yang hilang dan saya mencarinya, ada yang datang lalu saya menyambutnya.

Lantas seberapa penting  puisi bagi Anda sehingga  merasa perlu untuk menuliskannya?

Dengan menulis puisi, saya seperti memasuki ruang-ruang sunyi yang memungkinkan saya untuk menjalin dialog yang intim di dalamnya. Saya bertanya, apa kiranya yang terjadi pada diri saya ketika saya tidur. Dan ketika saya bangun, kemana tidur saya disembunyikan. Saya ingin berterima kasih kepada tidur, saya ingin berterima kasih kepada yang menidurkan saya. Meskipun saya tak pernah mengatur jam tidur, saya hormat bila ia datang sewaktu-waktu. Di luar itu, kadang saya suka mengamati orang-orang yang sedang tidur, baik itu di pasar, di masjid, di surau, di kereta, di bus, atau di mana saja yang secara tak sengaja saya temui.

Kapan puisi atau suasana itu hadir lantas mendorong anda menuliskannya?

Suatu pagi, ketika saya hendak berangkat kerja, saya melihat ada seekor tikus kecil. Tikus itu terkurung dalam perangkap kawat persegi, di tempat parkir sepeda di emperan kos. Saya merasa iba. Mata tikus itu melihat saya. Jernih, tapi tak berdaya. Adanya kontak mata, antara mata saya dan mata tikus itu menimbulkan semacam dialog kecil yang dalam. Namun karena saya terburu-buru mau berangkat kerja, saya jadi tak sempat melepas tikus itu dari kurungan perangkap. Saya berlalu seraya berkata dalam hati, bahwa nanti saat pulang kerja saya akan membebaskannya.

Setelah jam kerja selesai, kadang saya terikat janji dengan teman ini dan itu, dengan komunitas ini dan itu, menjumpai ajakan ngopi, menonton semacam pertunjukan, atau aktivitas lain yang tak disangka-sangka. Sehingga kadang saya pulang ke kos saat dini hari. Saya lupa kalau punya janji membebaskan tikus yang tersiksa dalam perangkap.

Pagi berikutnya saat hendak berangkat kerja lagi, saya lihat di dekat sepeda saya, tikus itu mati dalam perangkap. Saya tertegun beberapa saat. Lintasan-lintasan aktivitas yang saya jalani seperti menciut seketika. “Bagaimana kau bisa mengatasi perkara yang besar kalau perkara yang kecil dan tanpa risiko ternyata kau lalai?” Tegur saya kepada saya.

Peristiwa itu memang telah lama berlalu, namun mata tikus yang jernih itu sekali-kali datang ketika misalnya, saya menemukan hewan-hewan lain, entah itu lalat, lebah, semut, tiba-tiba masuk ke gelas kopi saya, saya menegrti apa yang dikatakan mata tikus itu pada saat-saat yang demikian.

Saya kira hal-hal seperti itulah yang banyak mendorong saya untuk menulis puisi.

Apa yang Anda lakukan terhadap puisi yang sudah Anda tulis?

Saya selalu membaca puisi-puisi saya. Kadangkala saya masih memperdebatkan apa-apa yang pernah saya tulis dan yang akan saya tulis. Tentu saja perdebatan itu antara saya dengan saya. Dan ada kalanya saya menjumpai apa-apa yang saya tulis, kemudian “terjadi betulan” dalam kehidupan sehari-hari saya. Iapuisi  yang saya tulismenjadi peristiwa yang berhadap-hadapan dengan saya, menantang saya. Dan pada saat yang demikian, ia seperti menuntut sikap saya selanjutnya.

Anda sangat bergiat di sejumlah komunitas. Sebetulnya apa peran komunitas bagi proses kreatif  atau pandangan (dunia) kepenyairan?

Komunitas bagi saya adalah tempat yang cukup efektif untuk bertukar pendapat, dan saling berbagi pengalaman pengetahuan. Saya ingat ketika awal-awal saya berproses bersama Didik Wahyudi, dan A Muttaqin di Komunitas Rabo Sore, ada bayak hal yang sebelumnya saya anggap cukup baik, tapi ternyata ada hal lain yang berposisi  sebaliknya yang juga cukup baik. Dan tahulah saya bahwa apa-apa yang saya sangka baik itu memerlukan sudut pandang yang berlawanan yang datang dari orang lain. Bukan sekadar untuk menguji apa yang saya yakini baik, namun juga untuk melengkapi, atau malah mengurangi apa yang saya yakini. Demikian kiranya.

Ada yang menjadi benih, ada yang gagal menjadi benih dalam “ladang” diri saya. Ada yang menjadi puisi, ada yang tak sampai jadi kabar. Ada yang hilang lalu saya mencarinya. Ada yang datang lalu saya tentu saja harus menyambutnya. [S. Jai]