Alek Subairi:
“Saya Adalah Ladang
Bagi Diri Saya Sendiri”
SECARA
mengejutkan buku puisinya Kembang Pitutur
(Amper Media, 2011) masuk nominasi sebuah penghargaan sastra bergengsi,
Khatulistiwa Literary Award pada tahun 2011. Buku tersebut masuk dalam 10
besar, bersama-sama dengan buku puisi Pembuangan
Phoenix karya A
Muttaqin—yang tak lain juga rekan satu komunitasnya di Komunitas Rabo Sore.
Di komunitas yang didirikan
bersama penyair Didik
Wahyudi dan A Muttaqin pada 2003, Alek Subairi, penyair
kelahiran Sampang,
5 Maret 1979 menggembleng dirinya.
“Saya adalah ladang, dan saya yang lain
adalah penggarap ladang,” begitu ungkapnya kepada Alur, yang mewancarainya.
Dalam menempatkan diri bagian dari
komunitasnya itu, sebagaimana umumnya komunitas sastra, Komunitas Rabu Sore pun
lahir dari diskusi-diskusi kecil di warung kopi sekitar kampus Universitas
Negeri Surabaya (Unesa).
Intensitas pertemuan dan militansi untuk
menggembleng diri membuahkan sejumlah buletin dan jurnal dari sana. Termasuk
juga kumpulan puisi bersama. Menyebut beberapa saja, Album Tanah
Logam (kumpulan puisi bersama), Duka
Muara (kumpulan puisi bersama), Kusir
Bulan Gunjai (kumpulan puisi dan
cerpen). Dan yang paling mutakhir adalah Jurnal Puisi Amper. Semua
itu tentu saja tidak lepas dari sentuhan tangan dingin Alek Subairi yang
ternyata adalah lulusan Seni Rupa di kampus itu.
“Komunitas bagi saya adalah tempat yang cukup efektif untuk bertukar pendapat, dan
saling berbagi pengalaman pengetahuan,” katanya.
Tahun ini, penyair yang juga bergiat di
Komunitas Tikar Merah dan Komunitas Danau Kata itu kembali membuat kejutan:
Oktober mendatang Alek Subairi satu-satunya penyair dari Surabaya yang diundang Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) di Bali.
Berikut petikan wawancara Alur dengan penyair yang menerbitkan
buku puisi terbarunya Pemeluk (Amper
Media bekerjasama dengan Sarbikita Publishing, 2013), seputar pandangan kepenyairannya.
Puisi
menurut Anda itu apa sih?
Ketika saya menulis puisi, saya merasa sedang
membaca diri saya dari dalam.
Saya memasuki diri saya dari mana-mana. Dari
(tempat) yang saya suka dan yang tidak saya
suka.
Lalu menyapa setiap apa-apa yang saya temui di dalamnya. Namun demikian, saya
merasa tak benar-benar yakin apakah saya telah berada di dalamnya. Atau
jangan-jangan saya sebenarnya berada di luar dan hanya melihat ke dalam,
seperti melihat ikan-ikan dalam aquarium.
Tapi, yang pasti ada interaksi yang intim antara “saya” dan
“saya”.
Kadang saya menemukan diri saya yang di
dalam—saya duduk kesepian, merasa bersalah, merasa gembira, merindukan sesuatu,
mencari sesuatu, mengingat sesuatu, menyambut sesuatu, kehilangan sesuatu, dan lain-lain. Saya kemudian beranggapan bahwa saya
adalah ladang, dan saya yang lain adalah penggarap ladang. Karena saya adalah
ladang bagi diri saya sendiri, maka saya berupaya untuk menggali, mencangkul,
menyabit, membajak, dan memelihara apa-apa yang saya sangka benih.
Dalam perjalanan menggarap “ladang”, ada
benih yang tumbuh dan berbunga, ada yang tumbuh dan layu, ada yang tumbuh di
luar kendali, ada yang hilang dan saya mencarinya, ada yang datang lalu saya
menyambutnya.
Lantas seberapa penting puisi bagi Anda sehingga merasa perlu untuk menuliskannya?
Dengan menulis puisi, saya seperti memasuki ruang-ruang sunyi yang memungkinkan saya untuk
menjalin dialog yang intim di dalamnya. Saya bertanya, apa kiranya yang terjadi pada
diri saya ketika saya tidur. Dan ketika saya bangun, kemana tidur saya
disembunyikan. Saya ingin berterima kasih kepada tidur, saya ingin berterima
kasih kepada yang menidurkan saya. Meskipun saya tak pernah mengatur jam tidur,
saya hormat bila ia datang sewaktu-waktu. Di luar itu, kadang saya suka
mengamati orang-orang yang sedang tidur, baik itu di pasar, di masjid, di
surau, di kereta, di bus, atau di mana saja yang secara tak sengaja saya temui.
Kapan puisi atau suasana itu hadir lantas
mendorong anda menuliskannya?
Suatu pagi, ketika saya hendak berangkat
kerja, saya melihat ada seekor tikus kecil. Tikus itu terkurung dalam perangkap
kawat persegi, di tempat parkir sepeda di emperan kos. Saya merasa iba. Mata
tikus itu melihat saya. Jernih, tapi tak berdaya. Adanya kontak mata, antara
mata saya dan mata tikus itu menimbulkan semacam dialog kecil yang dalam. Namun
karena saya terburu-buru mau berangkat kerja, saya jadi tak sempat melepas
tikus itu dari kurungan perangkap. Saya berlalu seraya berkata dalam hati,
bahwa nanti saat pulang kerja saya akan membebaskannya.
Setelah jam kerja selesai, kadang saya
terikat janji dengan teman ini dan itu, dengan komunitas ini dan itu, menjumpai
ajakan ngopi, menonton semacam pertunjukan, atau aktivitas lain yang tak
disangka-sangka. Sehingga kadang saya pulang ke kos saat dini hari. Saya lupa
kalau punya janji membebaskan tikus yang tersiksa dalam perangkap.
Pagi berikutnya saat hendak berangkat kerja
lagi, saya lihat di dekat sepeda saya, tikus itu mati dalam perangkap. Saya
tertegun beberapa saat. Lintasan-lintasan aktivitas yang saya jalani seperti
menciut seketika. “Bagaimana kau bisa mengatasi perkara yang besar kalau
perkara yang kecil dan tanpa risiko ternyata kau lalai?” Tegur saya kepada
saya.
Peristiwa itu memang telah lama berlalu,
namun mata tikus yang jernih itu sekali-kali datang ketika misalnya, saya
menemukan hewan-hewan lain, entah itu lalat, lebah, semut, tiba-tiba masuk ke
gelas kopi saya, saya menegrti apa yang dikatakan mata tikus itu pada saat-saat
yang demikian.
Saya kira hal-hal seperti itulah yang banyak mendorong saya untuk menulis puisi.
Apa yang Anda lakukan terhadap puisi yang
sudah Anda tulis?
Saya selalu membaca puisi-puisi saya. Kadangkala saya masih memperdebatkan apa-apa
yang pernah saya tulis dan yang akan saya tulis. Tentu saja perdebatan itu
antara saya dengan saya. Dan ada kalanya saya menjumpai apa-apa yang saya tulis,
kemudian “terjadi betulan” dalam kehidupan sehari-hari saya. Ia—puisi
yang saya tulis—menjadi
peristiwa yang berhadap-hadapan dengan saya, menantang
saya. Dan pada saat yang demikian, ia seperti menuntut sikap saya selanjutnya.
Anda
sangat bergiat di sejumlah komunitas. Sebetulnya apa peran komunitas bagi
proses kreatif atau pandangan (dunia)
kepenyairan?
Komunitas bagi saya adalah tempat yang cukup efektif untuk bertukar pendapat, dan
saling berbagi pengalaman pengetahuan. Saya ingat ketika awal-awal saya
berproses bersama Didik Wahyudi, dan A Muttaqin di Komunitas Rabo Sore, ada
bayak hal yang sebelumnya saya anggap cukup baik, tapi ternyata ada hal lain
yang berposisi sebaliknya yang juga
cukup baik. Dan tahulah saya bahwa apa-apa yang saya sangka baik itu memerlukan
sudut pandang yang berlawanan yang datang dari orang lain. Bukan sekadar untuk
menguji apa yang saya yakini baik, namun juga untuk melengkapi, atau malah
mengurangi apa yang saya yakini. Demikian kiranya.
Ada yang menjadi benih, ada yang gagal
menjadi benih dalam “ladang” diri saya. Ada yang menjadi puisi, ada yang tak
sampai jadi kabar. Ada yang hilang lalu saya mencarinya. Ada yang datang lalu
saya tentu saja harus menyambutnya. [S. Jai]