Tiga Menguak Tabir
“PUISI menurut saya adalah teman
berbincang. Dengannya kita bisa bercengkerama tentang apa saja, melakukan
pengakuan-pengakuan dan saling bertelanjang.,” ungkap penyair F Aziz Manna
kepada Alur.
F Aziz Manna, penyair lulusan
Sejarah dari FIB Unair itu baru-baru ini memenangkan sayembara menulis buku
puisi dari Dewan Kesenian Jawa Timur. Ia juga menulis buku puisi Wong Kam Pung, Siti Surabaya dan Kisah Para
Pendatang.
Penyair satu ini terhitung satu diantara sekian penyair yang melakukan revolusi jejak kepenyairan
Chairil Anwar—sosok ‘presiden’ angkatan 45 yang bersama Asrul Sani, Rivai Apin dan Chairil Anwar
menyusun Tiga Menguak Takdir,
sebuah buku kumpulan syair yang diterbitkannya di Jakarta.
Tapi Aziz, kini di Surabaya dan hidup di zaman
pasca-modern. Bersama dua penyair lainnya,
berkumpul dalam satu komunitas Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar
(FS3LP) di Surabaya, tengah menguak tabir kepenyairan mereka.
Ya, mereka punya takdir yang berbeda, meski
sama-sama menguak tabir masing-masing dalam dunia kepenyairan: F Aziz Manna,
Indra Tjahyadi dan Mashuri.
“Tapi
sebenarnya dalam hidup keseharian,” tutur Aziz,
“Saya adalah seorang penyendiri. Bagi seorang penyendiri seperti saya,
kawan terkadang malah menyusahkan dengan kecerewetan-kecerewetannya dan kadang
pula tak diperlukan. Lalu mengapa saya terus saja bercengkerama dengan puisi?
Mungkin bukan saya, tapi puisi yang mengajak saya.”
Memang dalam hal merevolusi
puisi, amat menarik menelisik sudut pandang “kami” yang dipakai penyair F Aziz
Manna dalam hampir keseluruhan sajak-sajak yang terkumpul Siti Surabaya, dan Kisah Para Pendatang, November 2010.
Lihat salah satu sajaknya berjudul Jagir
berikut: …kau anggap kami pengganggu,
perusuh, kau perlakukan kami seperti benalu, seperti panu, kau siram kami
dengan siksa agar segera musnah, kau pangkas, kau gosok-gesek dengan ampelas
agar nampak halus dan mulus, kehadiran kami bagimu hanyalah pengganggu, perusuh
seperti kadas, kudis, kurap, kutil, jerawat, kami laknat dilaknat, tapi akar
kami kadung menjalar, liar melingkar-lingkar, akar yang lahir dari kisah
perlawanan, penggusuran, pembantaian,…(hal 61)
Boleh jadi ini sebuah revolusi sajak dari suatu pengalaman personal, subjektif yang
selama ini telanjur menguasai mainstream
sejarah puisi kita, yang puncaknya diteguhkan “aku” kelompok di sekitar Chairil Anwar dan penganutnya. Mata pandang sebagai pisau analisis atau teknik dan metode dalam
pergulatan menemukan manusia inilah yang oleh
Aziz Manna direvolusi habis dari “aku” menjadi “kami.”
Meski demikian
puisi tetaplah suatu dunia penuh misteri. Sebagaimana misteri penyair ini
ketika menulis sajak Lagu Orang Usiran. Menyimak sajak
tersebut, terungkap keunikannya, Aziz Manna seakan menyentil ingatan kita pada
Chairil Anwar tanpa kepastian maksudnya.
(Chairil pernah menggunakan judul yang sama saat menterjemahkan sajak WH Auden
tentang pengusiran orang Yahudi oleh Hitler).
Dalam sajak Aziz: tidak ada yang lebih kuat dibanding kami
yang tidak memiliki apa-apa, yang terenggut harta bendanya, yang dulunya
bernapas di jantung kota lalu terjengkang, tersuruk di pinggiran, di kekumuhan,
di mulut-mulut sungai, mulut sungai yang seperti lobang kakus, lobang kakus
yang menjulur ke anus-anusmu, anus yang menyemprotkan kotoran ke rumah kami, ke
depan meja makan kami.
Kisah-kisah para perempuan perkasa, mengilhami puisi-puisi F Aziz Manna dalam Siti Surabaya. Karena penyair ini banyak melakukan penggalian potensi
estetik puisinya di sebuah warung di luar pagar kampus Universitas Airlangga, milik Mak Mursinah—salah seorang yang disebut dalam ucapan terimakasih buku kumpulannya. Juga lingkungan
seperti itu memang memungkinkan menciptakan tokoh Siti Surabaya dalam sajaknya yang tergencet hingga ke komplek
pelacuran pinggiran kota Surabaya. Lihatlah pada
sajak-sajak lain seperti Perempuan itu
Tak Bisa Menangis, Perempuan Tua Kota Kami.
***
SALAH sebuah puisi F Aziz
Manna berjudul Kepada Penyair Indra. Tentu saja yang
dimaksud adalah Indra Tjahyadi—salah seorang kontributor gagasan komunitas
FS3LP. Ia penyair yang menulis buku
puisi Kitab Syair Diancuk Jaran,
Ekspedisi Waktu dan yang paling mutakhir adalah Syair Pemanggul Mayat. Pada buku puisi paling mutakhirnya ini
Indra Tjahyadi meneguhkan dirinya dalam
manifesto puisi gelapnya.
“Tugas penyair adalah menyelamatkan manusia.
Menyelamatkan manusia dari kejatuhannya yang mengerikan,” katanya.
Betapa dunia sudah semakin banal, dan tak ada
jalan keselamatan bagi manusia di dunia sebab segala nila kemanusiaan yang
pernah dimiliki oleh manusia telah menuai kejatuhannya. Untuk memperolehnya
kembali hanya ada satu cara, satu jalan, yakni ‘maut.’ Ya, hanya mautlah
manusia, umat manusia dan nilai-nilai kemanusiaannya dapat diselamatkannya
dapat diselamatkan dari kejatuhannya.
“Untuk menunaikan tugasnya tersebut seorang
penyair tidak dapat bersandar pada dunia sebab dunia telah mengalami kebanalan.
Maka jalan yang paling mungkin dilakukan seorang penyair dalam menunaikan
tugasnya menyelamatkan manusia adalah dengan menghancurkan dunia.”
Menghancurkan dunia bagi peneguh Manifesto Puisi Gelap, Indra Tjahyadi ini bermakna
menggembalikan mengembalikan kemurnian, mengembalikan kemurnian berarti
mendekatkan manusia pada ‘surga yang dijanjikan. Dan untuk sampai pada surga yang dijanjikan,manusia
harus memahami ‘maut’, sebab hanya pada mautlah segala nilai-nilai kemanusiaan dapat
dibangkitkan kembali dan manusia terselamatkan dari kejatuhannya yang
mengerikan.
“Maka tugas puisi adalah menciptakan
makna-makna baru. Memang hal ini
mengakibatkan puisi jatuh dalam kondisi gelap. Kondisi dimana dunia luar puisi
dapat menarik makna apa saja atas sebuah puisi ,” tandas alumnus Sastra
Indonesia Unair tersebut.
Sebagaimana dalam salah satu bait Kitab Kejahatan Puisi:
Kusimpan
diriku dalam gelap tak teraba. Kampung-kampung jadi asing, jadi ganjil dalam
ingatan. Tak ada lagi yang bisa ditunggu, bahakn jejak pun Cuma tinggal kabur,
tinggal pudar dalam hampa. Tak kunyanyikan lagu kepergian sebab setiap kata
senantiasa gagal terucap. Di cermin, sekali lagi kulihat wajahku letih, uzur,
Cuma nunggu panggil kehancuran dari kubur.
Aku detak jam yang berhenti di dasar jurang waktu menganga. Kucambuk
senyap. Aku terpekur, serupa kejahatan puisi yang kau agungkan dalam setiap
suluk dan pilu.
Meski tidak sepenuhnya mengamini ‘kegelapan’
puisi, rupanya Mashuri penyair yang baru
saja meluncurkan Munajat Buaya Darat
ini punya jalan lain untuk menyingkap tabir syair.
“Saya menulis puisi untuk berbagi dengan
sesama. Karena berbagi pengetahuan, buah pikiran dan perasaan adalah berbagi
yang keren. Berbagi lewat puisi adalah berbagi yang indah,” kata penulis yang
juga pengarang novel Hubbu—pemenang
sayembara novel DKJ 2006 tersebut.
Ditegaskan Mashuri, dirinya menulis puisi
karena dengan berpuisi ia bisa berpikir bebas dan berimajinasi gokil, bisa
melanggar tabu, bisa melakukan banyak hal yang mungkin bila dilakukannya di
luar kegiatan berpuisi, dirinya bisa disebut ‘gila.’ “Saya punya pandangan,
liar dalam berpikir dan berimajinasi adalah sebuah keharusan, asal tidak
diwujudkan dalam perilaku,” imbuhnya.
Oleh karena itu, jika ada
yang menyangka, karyanya sebagai karya gelap, sekaligus laku edan dalam
bersastra, ia pun menganggap Itu hanya satu perspektif sia-sia. Tanda keawaman
dan ‘maqam/derajat’ yang masih menapak pada pengetahuan awam dan massal.
Bagamanapun sebutan ‘gelap’,
lanjut Mashuri, telah menjadi marka yang berpalung ambigu. Satu sisi, ia
dianggap wilayah samun, berbahaya, penuh ranjau, jebakan, jalan sesat
bercecabang, dihuni para hantu. Di sisi lain, ia diberi satu vonis: tak
terpahami, ngawur dan selalu
diperlawankan dengan benderang.
“Karya gelap adalah harta
karun terpendam,” tandasnya. “Karena karya gelap menuntut pembacanya sabar dan
berpikir, mengungkai rajutan kalam yang berpusar pada sastra-buta bagi
pandangan awam, bawah sadar yang nanar, dan celah jiwa yang terbelah, memori
terpenggal, menolak dibaca oleh pembaca yang malas dan manja, mengaburkan
fakta-fiksi, dan lain-lainnya,” terangnya.
Maka puisi gelap akan
memberi ruang pada karya-karya itu, ide-gagasan, buah pikiran tentang sastra
yang berpatok pada satu hal: manusia dan karyanya tidak mudah dipahami. Bahwa puisi
gelap akan mendedah karya yang dihasilkan dari intensitas dan integritas
menyuntuki ‘dunia’ yang dihindari oleh pengarang-pengarang yang merasa diri
‘mapan’. Dengan kata lain,
puisi gelap, memang media ‘hanya untuk yang mau berpikir’. [S. Jai]