Cerita-Cerita yang “Bergerak”
Oleh S. JAI
Judul :
Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo
Penulis : Bagus Putu Parto
Penerbit : Satukata Book Art Publisher
Penulis : Bagus Putu Parto
Penerbit : Satukata Book Art Publisher
Cetakan : I, Agustus 2013
Tebal : xii + 80 Halaman
ISBN : 978-602-9850-19-2
Tebal : xii + 80 Halaman
ISBN : 978-602-9850-19-2
KEBUDAYAAN yang benar—karena
tak sedikit yang memaknainya secara keliru—selalu menggerakkan pelbagai perangkatnya;
bahasa, mitos, teknologi, kode, kepercayaan. Dan mutlak, semua itu demi
kualitas hidup yang lebih baik. Masyarakat komunikatif menyediakan ruang gerak
itu dengan wadah emansipasinya.
“Kebenaran” pun juga bergerak. Sebagai suatu
keyakinan nilai kebenaran itu pun bergeser. Pada ruang dan waktu yang berbeda,
ada banyak sekali “kebenaran” lain. Disinilah
ungkapan filosof James Rachels “Kebudayaan yang berbeda
memiliki kode moral yang berbeda juga” menemukan maknanya. Tidak ada sistem
nilai budaya yang memiliki kebenaran universal.
Bahkan, sistem nilai
sebagai kode dalam moral komunitas tertentu—katakanlah moralitas Jawa—sekadar kebenaran
kontekstual yang cuma berlaku pada komunitas itu saja. Dengan kata lain, secara
etik hal
itu hanya mitos belaka. Sebagai suatu mitos, ia membawa kebenaran ideologis
versinya sendiri.
Di hadapan kebenaran universal, pluralisme moral dari etika banyak komunitas itu,
justru mitos yang paling benar. Keduanya kerap saling bertentangan dalam
perkembangan kebudayaan dan etika-etika masyarakatnya di masa kini. Namun Bagus
Putu Parto, terus menggerakkan piranti kebudayaan itu sampai pada ranah etika
Jawa. Karena pengarang kelahiran Blitar
2 Juni 1967 yang memilih tetap berdiam di tempat kelahirannya itu, tak percaya
pada sesuatu yang paling benar—apalagi mitos.
Inilah kiranya yang mendasari gerakan
Revitalisasi Sastra Pedalaman yang di era 1990-an begitu mengejutkan dan Bagus
Putu Parto menjadi salah satu sosok pentingnya. Cerita-cerita dalam buku ini,
dilandasi spirit tersebut yang dalam kontek etika Jawa, diterjemahkan Bagus
melalui sosok Kartomarmo. “Kartomarmo telah mengajari saya untuk berani
bermimpi, kalau tidak hanya ingin hidup biasa-biasa saja,” (pasca lakon, hal 63).
Jelas, Bagus dengan sadar menggerakkan mitos
Kartomarmo pada sebuah situasi kebudayaan untuk meneguhkan diri, merawat setiap
gerak aktif daya budi sebagai penemuan kembali kebenaran itu. Bahkan ia membebaskan diri dari situasi
relativitas dalam kebenaran moral dan etika—simbol, kode, bahasa, tradisi,
sistem kepercayaan—menjadi temuannya sendiri.
Dari “sosok prajurit rendah, pengecut nan lari
dari palagan Baratayuda,” dan ditakdirkan binasa oleh Pandawa, Bagus
menggerakkan arti dari kebenaran sendiri Kartomarmo. Yaitu gerak, perjuangan
dan strategi gerilya. Mungkin ada yang absolut dan tidak bisa ditawar-tawar:
takdir binasa. Tapi dalam cerpen Seusai
Baratayuda (hal 49) ia sudah
menggerakannya.
Spirit Kartomarmo, yang kemudian diakui
penulis menjadi spirit dalam banyak hal menemukan identitas diri itu, bisa
ditempuh dengan laku: kebebasan, keberanian, kesadaran dan juga aspirasi. Yang,
selanjutnya akan menumbuhkan sikap emansipasi: dibukanya ruang baru bagi rumah
kemanusiaan, dan “suara dari pedalaman.”
Realitas yang Realistis
BAGUS menyuarakan dalam
cerita-cerita yang bergerak. Sebagai pribadi, sekaligus subjek, yang justru sadar pada
takdir binasa. Spirit itu ia hadirkan
nyata dalam In Memoriam (hal 15) tentang takdir nyata kematian,
Kartomarmo—dirinya. Untuk apa kita mempelajari suatu yang jauh dari
kita, dengan mengorbankan dunia kita sendiri?
Marilah kita melihat realitas dengan sikap realistis—yang mencerminkan
kehidupan kita sendiri. Begitulah kira-kira khotbahnya.
Suara dari pedalaman itu, di pelosok Jawa yang
paling dekat dirinya, miliknya, pribadinya. Justru karena Bagus tahu, tidak ada
hal yang benar-benar pribadi. Pengalaman (teks pribadi) senantiasa berjalin
kelindan dengan konteks di luar kepribadiannya, semisal kondisi sosial politik.
Cerpen Aku
Ingin Menjadi Walikota (hal 9),
kisah tukang becak bernama Sutrimo alias Petruk itu dibacakan di sidang DPRD
Blitar. Cerpen ini meneguhkan, Bagus menyusun sebuah teks dan berbagi, karena
teksnya bukanlah satu-satunya yang sahih. Publik, wakil rakyat, dan ada banyak
teks lain yang memiliki konteks kesahihannya sendiri.
Tak cuma di DPRD Blitar, memang Bagus rajin
membacakan cerpen-cerpennya menjumpai publiknya. Menghadirkan kembali ingatan,
juga berbagi pengetahuan sebagai suatu pengalaman pribadi dalam suatu ruang publik.
Bagus menciptakan sebuah (seni) peristiwa. Dalam kosa kata kajian budaya—segala
sesuatu itu bermuatan estetis karena seni kembali menjadi bagian integral kegiatan
kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, tidak ada seni tinggi atau seni rendah
di era pasca-modern.
Karena itulah, bentuk-bentuk spontanitas
dalam berbagi pengalaman melalui tuturan lisan atau tradisi tutur boleh jadi
sangat efektif dalam membungkus pesan atau ‘muatan ideologis’ dalam
cerpen-cerpen Bagus. Dalam hal ini, efektif untuk membebaskan ‘kekuatan’ yang sudah
berurat berakar berbungkus etika Jawa. Tradisi tutur dalam seni peristiwa itulah
yang memberikan ruang pertempuran subjektivitas di antara kesadaran kolektif
yang seringkali menguasai masyarakat pedalaman. Bagus memporakporandakan itu.
Bingkai Seni Pertunjukan
BOLEH jadi inilah yang kemudian banyak ditafsirkan
pemerhati sastra (tak terkecuali R Giryadi dalam pralakon, hal v)
cerpen-cerpen Bagus Putu Parto adalah
cerpen pertunjukkan. Tak sepenuhnya benar, bahkan istilah itu sendiri
problematik. Karena setiap bentuk sastra tentu berpotensi untuk menjadi suatu
pertunjukkan; Puisi, prosa, drama. Tahun 1950-an, Utuy Tatang Sontani menulis
drama Awal dan Mira dalam bentuk prosa. Pada dekade 90-an esai-esai pun
banyak ditulis untuk kemudian dipanggungkan. Lalu, bukankah cerpen-cerpen
Danarto juga mirip sebuah naskah pertunjukan teater absurd?
Cerpen Bagus lebih
berbentuk berbingkai seni pertunjukkan—utamanya wayang—ketimbang sebagai cerpen
pertunjukkan. Dan bingkai itu lebih dimaksudkan untuk menggerakkan mitos yang
beku, ketimbang untuk dipentaskan. Lihatlah dari judul Semar juga Semar (hal
55), mirip sebuah esai tentang Semar yang masuk pada sebuah seminar. Cerpen
Kuku Bima (hal 27) menggambarkan tokoh Bima yang mengamuk dan
memberontak pada dalang, karena ia mendapati dirinya tinggal menjadi mitos.
Cerpen Anin (hal 21) tafsir dari kisah Rahwana yang mengejar
Shinta yang tak lain benihnya sendiri.
Demikian pula
asosiasi pertunjukkan pada cerpen Panggung Sandiwara, Nyanyi Sunyi si Burung
Merak, Muktamar Para Jin. Pola pikir bahwa cerpen Bagus Putu Parto adalah
cerpen pertunjukkan, menjadikan antara Bagus dan Danarto memiliki kemiripan.
Dicarilah kemudian aspek pembedanya: tentu pada wilayah garapan ‘suara dari
pedalaman’—nya Bagus dan ‘pertempuran mistik dan nalar’-nya Danarto. Namun
sebetulnya, yang terjadi pada cerpen-cerpen Bagus Putu Parto, lebih sebagai
sesuatu gerak ketimbang bentuk—walaupun pada sejumlah cerpen ditulis dengan
kesadaran bentuk, dari segi teknik Seusai Baratayuda dan Aku Ingin
Jadi Walikota sangat memukau.
Suatu gerak
barangkali peduli, mungkin juga tak peduli apapun, atau bahkan mungkin pula
abai pada keduanya dan kacau. Sehingga secara teknik menyebabkan kesepuluh
cerpen dalam buku ini beragam, yang sebetulnya gambaran dari “kekacauan” gerak
itu. Sebagai pengucapan, ia mirip celotehan. Pada titik ini, kesepuluh cerpen
Bagus ini adalah gambaran sukses pengucapan atas gerak-gerak yang bersumber dari
suara pedalaman itu. Bahkan kesunyian pun, diucapkannya dengan begitu percaya
diri.[]
*)Penulis adalah Staff Women and Youth Development Institute of
Indonesia
(WYDII), Surabaya.