Senin, 23 Desember 2013

Cerita-Cerita yang “Bergerak”
Oleh S. JAI

Judul          : Catatan Harian Doktorandus Kartomarmo
Penulis      : Bagus Putu Parto
Penerbit    : Satukata Book Art Publisher
Cetakan    :  I, Agustus 2013
Tebal         :  xii + 80 Halaman
ISBN          : 978-602-9850-19-2


KEBUDAYAAN yang benar—karena tak sedikit yang memaknainya secara keliru—selalu menggerakkan pelbagai perangkatnya; bahasa, mitos, teknologi, kode, kepercayaan. Dan mutlak, semua itu demi kualitas hidup yang lebih baik. Masyarakat komunikatif menyediakan ruang gerak itu dengan wadah emansipasinya.




“Kebenaran” pun juga bergerak. Sebagai suatu keyakinan nilai kebenaran itu pun bergeser. Pada ruang dan waktu yang berbeda, ada banyak sekali “kebenaran” lain.  Disinilah ungkapan filosof James Rachels “Kebudayaan yang berbeda memiliki kode moral yang berbeda juga” menemukan maknanya. Tidak ada sistem nilai budaya yang memiliki kebenaran universal.

Bahkan, sistem nilai sebagai kode dalam moral komunitas tertentu—katakanlah moralitas Jawa—sekadar kebenaran kontekstual yang cuma berlaku pada komunitas itu saja. Dengan kata lain, secara etik hal itu hanya mitos belaka. Sebagai suatu mitos, ia membawa kebenaran ideologis versinya sendiri.

Di hadapan kebenaran universal,  pluralisme moral dari etika banyak komunitas itu, justru mitos yang paling benar. Keduanya kerap saling bertentangan dalam perkembangan kebudayaan dan etika-etika masyarakatnya di masa kini. Namun Bagus Putu Parto, terus menggerakkan piranti kebudayaan itu sampai pada ranah etika Jawa.  Karena pengarang kelahiran Blitar 2 Juni 1967 yang memilih tetap berdiam di tempat kelahirannya itu, tak percaya pada sesuatu yang paling benar—apalagi mitos.

Inilah kiranya yang mendasari gerakan Revitalisasi Sastra Pedalaman yang di era 1990-an begitu mengejutkan dan Bagus Putu Parto menjadi salah satu sosok pentingnya. Cerita-cerita dalam buku ini, dilandasi spirit tersebut yang dalam kontek etika Jawa, diterjemahkan Bagus melalui sosok Kartomarmo. “Kartomarmo telah mengajari saya untuk berani bermimpi, kalau tidak hanya ingin hidup biasa-biasa saja,” (pasca lakon, hal 63).

Jelas,  Bagus dengan sadar menggerakkan mitos Kartomarmo pada sebuah situasi kebudayaan untuk meneguhkan diri, merawat setiap gerak aktif daya budi sebagai penemuan kembali kebenaran itu.  Bahkan ia membebaskan diri dari situasi relativitas dalam kebenaran moral dan etika—simbol, kode, bahasa, tradisi, sistem kepercayaan—menjadi temuannya sendiri.

Dari “sosok prajurit rendah, pengecut nan lari dari palagan Baratayuda,” dan ditakdirkan binasa oleh Pandawa, Bagus menggerakkan arti dari kebenaran sendiri Kartomarmo. Yaitu gerak, perjuangan dan strategi gerilya. Mungkin ada yang absolut dan tidak bisa ditawar-tawar: takdir binasa. Tapi dalam cerpen Seusai Baratayuda (hal 49) ia sudah menggerakannya.

Spirit Kartomarmo, yang kemudian diakui penulis menjadi spirit dalam banyak hal menemukan identitas diri itu, bisa ditempuh dengan laku: kebebasan, keberanian, kesadaran dan juga aspirasi. Yang, selanjutnya akan menumbuhkan sikap emansipasi: dibukanya ruang baru bagi rumah kemanusiaan, dan “suara dari pedalaman.”

Realitas yang  Realistis
BAGUS menyuarakan dalam cerita-cerita yang bergerak. Sebagai pribadi,  sekaligus subjek, yang justru sadar pada takdir binasa. Spirit itu ia hadirkan nyata dalam In Memoriam (hal 15) tentang takdir nyata kematian, Kartomarmo—dirinya. Untuk apa kita mempelajari suatu yang jauh dari kita, dengan mengorbankan dunia kita sendiri?  Marilah kita melihat realitas dengan sikap realistis—yang mencerminkan kehidupan kita sendiri. Begitulah kira-kira khotbahnya.

Suara dari pedalaman itu, di pelosok Jawa yang paling dekat dirinya, miliknya, pribadinya. Justru karena Bagus tahu, tidak ada hal yang benar-benar pribadi. Pengalaman (teks pribadi) senantiasa berjalin kelindan dengan konteks di luar kepribadiannya, semisal kondisi sosial politik.

Cerpen Aku Ingin Menjadi Walikota (hal 9), kisah tukang becak bernama Sutrimo alias Petruk itu dibacakan di sidang DPRD Blitar. Cerpen ini meneguhkan, Bagus menyusun sebuah teks dan berbagi, karena teksnya bukanlah satu-satunya yang sahih. Publik, wakil rakyat, dan ada banyak teks lain yang memiliki konteks kesahihannya sendiri.

Tak cuma di DPRD Blitar, memang Bagus rajin membacakan cerpen-cerpennya menjumpai publiknya. Menghadirkan kembali ingatan, juga berbagi pengetahuan sebagai suatu pengalaman pribadi dalam suatu ruang publik. Bagus menciptakan sebuah (seni) peristiwa. Dalam kosa kata kajian budaya—segala sesuatu itu bermuatan estetis karena seni kembali menjadi bagian integral kegiatan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, tidak ada seni tinggi atau seni rendah di era pasca-modern.

Karena itulah, bentuk-bentuk spontanitas dalam berbagi pengalaman melalui tuturan lisan atau tradisi tutur boleh jadi sangat efektif dalam membungkus pesan atau ‘muatan ideologis’ dalam cerpen-cerpen Bagus. Dalam hal ini, efektif untuk membebaskan ‘kekuatan’ yang sudah berurat berakar berbungkus etika Jawa. Tradisi tutur dalam seni peristiwa itulah yang memberikan ruang pertempuran subjektivitas di antara kesadaran kolektif yang seringkali menguasai masyarakat pedalaman. Bagus memporakporandakan itu.

Bingkai Seni Pertunjukan

BOLEH jadi inilah yang kemudian banyak ditafsirkan pemerhati sastra (tak terkecuali R Giryadi dalam pralakon, hal v)  cerpen-cerpen Bagus Putu Parto adalah cerpen pertunjukkan. Tak sepenuhnya benar, bahkan istilah itu sendiri problematik. Karena setiap bentuk sastra tentu berpotensi untuk menjadi suatu pertunjukkan; Puisi, prosa, drama. Tahun 1950-an, Utuy Tatang Sontani menulis drama Awal dan Mira dalam bentuk prosa. Pada dekade 90-an esai-esai pun banyak ditulis untuk kemudian dipanggungkan. Lalu, bukankah cerpen-cerpen Danarto juga mirip sebuah naskah pertunjukan teater absurd?

Cerpen Bagus lebih berbentuk berbingkai seni pertunjukkan—utamanya wayang—ketimbang sebagai cerpen pertunjukkan. Dan bingkai itu lebih dimaksudkan untuk menggerakkan mitos yang beku, ketimbang untuk dipentaskan. Lihatlah dari judul Semar juga Semar (hal 55), mirip sebuah esai tentang Semar yang masuk pada sebuah seminar. Cerpen Kuku Bima (hal 27) menggambarkan tokoh Bima yang mengamuk dan memberontak pada dalang, karena ia mendapati dirinya tinggal menjadi mitos. Cerpen Anin (hal 21) tafsir dari kisah Rahwana yang mengejar Shinta yang tak lain benihnya sendiri.

Demikian pula asosiasi pertunjukkan pada cerpen Panggung Sandiwara, Nyanyi Sunyi si Burung Merak, Muktamar Para Jin. Pola pikir bahwa cerpen Bagus Putu Parto adalah cerpen pertunjukkan, menjadikan antara Bagus dan Danarto memiliki kemiripan. Dicarilah kemudian aspek pembedanya: tentu pada wilayah garapan ‘suara dari pedalaman’—nya Bagus dan ‘pertempuran mistik dan nalar’-nya Danarto. Namun sebetulnya, yang terjadi pada cerpen-cerpen Bagus Putu Parto, lebih sebagai sesuatu gerak ketimbang bentuk—walaupun pada sejumlah cerpen ditulis dengan kesadaran bentuk, dari segi teknik Seusai Baratayuda dan Aku Ingin Jadi Walikota sangat memukau.

Suatu gerak barangkali peduli, mungkin juga tak peduli apapun, atau bahkan mungkin pula abai pada keduanya dan kacau. Sehingga secara teknik menyebabkan kesepuluh cerpen dalam buku ini beragam, yang sebetulnya gambaran dari “kekacauan” gerak itu. Sebagai pengucapan, ia mirip celotehan. Pada titik ini, kesepuluh cerpen Bagus ini adalah gambaran sukses pengucapan atas gerak-gerak yang bersumber dari suara pedalaman itu. Bahkan kesunyian pun, diucapkannya dengan begitu percaya diri.[]

*)Penulis adalah Staff  Women and Youth Development Institute of Indonesia (WYDII), Surabaya.