Realisme yang Bermula dari Problem Personal
Judul :
Gadis Tiyingtali
Penulis : Yuleng Ben Tallar
Penerbit : Selasar publishing
Penulis : Yuleng Ben Tallar
Penerbit : Selasar publishing
Cetakan :
I, 2012
Tebal : viii + 220 Halaman
ISBN : 978-979-25-9433-1
Tebal : viii + 220 Halaman
ISBN : 978-979-25-9433-1
ANDAIKATA kisah dalam novel ini difilmkan, barangkali judul
yang menarik untuk diangkat kembali adalah Lukisan
yang Tertunda. Film bergenre drama ini mungkin bisa diprediksi bakal
disaksikan sejuta penonton (rekor yang lebih bagus ketimbang film Perahu Kertas).
Film Lukisan
yang Tertunda, berkisah tentang gejolak batin perempuan bersuami (Ida Ayu
Puspasari) yang diam-diam mencintai seorang pelukis (Ruspandi) yang pada suatu
saat melukisnya di halaman pura desa Tiyingtali—pedalaman Bali. Bahwa penolakan
cinta perempuan itu pada sang pelukis hanyalah kepura-puraan.
Selama puluhan tahun, kehidupan perempuan itu tak
bahagia. Perempuan itu tetap membawa benih cintanya sekalipun tahun-tahun
berlalu hingga melanglangbuana dalam ketidakbahagiaan. Perempuan itu
betul-betul menderita, apalagi oleh suatu sebab dipisahkan dari putrinya
(Rahma).
Dalam ketakbahagiaan itu, dalam kesendiriannya, perempuan
itu masih terbawa arus memilih antara suaminya ataukah sang pelukis. Ketika
sudah hampir putus asa, ia mencari suaminya—lelaki penyebab ketidakbahagiaannya itu—di pedalaman
Kalimantan. Tapi di sana yang ditemukannya hanyalah kubur suaminya yang baru
dua minggu dikebumikan.
Di pedalaman itu, penderitaan Ida Ayu masih berlanjut.
Ia berladang dari tanah garapan suaminya, walau tujuannya tinggallah sebiji
saja; mengumpulkan bekal untuk pulang. Sampai suatu ketika ia berhasil
mengumpulkan uang yang hanya cukup untuk perjalanan, maka dalam kepulangannya,
diam-diam ia sekaligus mencari cinta sejatinya: sang pelukis.
Wanita itu masih membawa benih cintanya yang tetap
tumbuh meski tentu saja kini bagaikan pohon yang kerontang. Sang pelukis
penebar benih cinta itu tentu sudah tak muda lagi seperti ketika merayunya di
halaman pura itu. Bahkan kini pelukis itu telah berkeluarga dan hidup bahagia.
Takdir yang getir masih terus mengampu pada Ida Ayu.
Ia bisa menemukan sang pelukis, tapi tentu saja perjumpaan itu tidak dalam
rupa-rupa pelukan mesra dan cium pipi kiri-kanan. Karena perempuan itu menemukan
sang pelukis dengan perasaan hanyalah akan mengganggu kebahagiaan keluarganya.
Tapi keajaiban itu datang, karena istri sang pelukis
berhati sangat mulia. Ia mengerti arti persahabatan, dan meringankan derita hidup
Ida Ayu.
Begitu dalam memaknai persahabatan, sampai suatu
ketika beberapa saat sebelum istri sang pelukis meninggal, ia berpesan agar
wanita itu terus hidup mendampingi sang pelukis. Begitulah, istri sang pelukis ikhlas
merawat benih cinta dari pohon kerontang yang perlahan lalu tumbuh kukuh (hal 212-215).
***
AKAN TETAPI novel Gadis
Tiyingtali ini, tidak berkisah tentang penderitaan perempuan yang melarikan
cintanya tersebut. Novel Yuleng Ben Tallar ini lebih bertutur tentang
persahabatan tiga perempuan (Novie, Sandra dan Rahma) para broker lukisan—yang salah
satunya adalah putri dari Ida Ayu, perempuan yang turut hilang ketika ibunya melarikan
cinta sang pelukis. Ketiga perempuan tersebut adalah sejawat jaringan bisnis
lukisan yang boleh jadi kerap terlibat ‘goreng-menggoreng’ lukisan (hal 147-155).
Dan sialnya, persahabatan dalam jaringan bisnis lukisan ini tak lain adalah
kegiatan memitoskan lukisan atas nama uang. Juga memitoskan perihal
keberuntungan. Pada definisi tertentu, secara ekstrem orang bisa
mengkategorikan perilaku tokoh-tokoh novel ini musrik. Walau terlepas dari itu,
pendidikan mereka yang tinggi dan berkelas yuppies
(hal 84) lebih tepat jika dikatakan
bersentuhan dengan grafik tanggungjawab etika-moralitas dalam bahasa Franz
Magnis Suseno.
Fungsi etika sebagai integrasi intelektual—sebagai makluk yang berpikir
rasional, dapat mempertanggungjawabkan sikap-sikapnya terhadap
perngalaman-pengalaman baru (Berfilsafat
dari Konteks, hal 10)
Inilah saya kira simpul dari Gadis Tiyingtali ini sebagai sebuah kisah dengan sastra—tepatnya sebagai
sebuah novel. Sastra yang baik adalah sastra yang membongkar mitos (walaupun
dalam dirinya sekaligus menciptakan mitos baru), bukan sebaliknya justru
mengukuhkannya. Ada idealisme yang bisa hadir di sana yang berhadapan dengan
realisme.
Mitos-mitos itu begitu gamblang tampil pada novel Gadis Tiyingtali. Dengan kata lain ada
ideologi yang tampil di sana, karena mitos kemunculannya senantiasa disokong
ideologi, alias pesan. Meski semua hal berpotensi menjadi mitos. Mitos tidak
didefinisikan oleh objek pesannya tetapi oleh caranya menyatakan pesan
tersebut. Tidak ada batas subtansinya, karena semua hal bisa menjadi mitos (Roland
Barthes). Dan ideologi itu adalah pasar, uang.
***
NOVEL atau setidaknya karya yang dimaksudkan sebagai sebuah
novel adalah karya sastra. Oleh karena itu novel yang ditulis dalam bahasa
Indonesia suka atau tidak suka musti ditempatkan dalam konteks sastra
Indonesia. Demikian pula pada Gadis
Tiyingtali ini yang ditulis dengan bahasa yang sangat baik. Dalam arti,
bahasa yang efektif, hemat, jelas, lugas, lancar: Sebuah ciri-ciri bahasa yang
biasa digunakan dalam dunia jurnalistik.
Tidak heran, karena memang Yuleng bertahun-tahun bergulat dan bergelut
sebagai wartawan. Walaupun, sudah barangtentu penting menimbang jawaban
pertanyaan apakah pentingnya bahasa jurnalistik dalam sastra, atau sebaliknya
apakah pentingnya sastra dalam jurnalistik. Novel-novel Ahmad Tohari atau
karya-karya Pramodya Ananta Toer menjadi referensi penting para jurnalis. Sebaliknya,
di satu sisi, kedua sastrawan ini adalah wartawan. Di lain sisinya lagi, banyak
juga wartawan yang sastrawan.
Menempatkan Gadis
Tiyingtali dalam ranah sastra Indonesia adalah suatu keharusan karena karya
ini dimaksudkan sebagai sebuah novel. Lebih tepatnya novel bercorak realisme
yang di dalam kontek sejarah sastra realisme selalu membungkus dirinya dengan
pesan moral—saya lebih suka menterjemahkan etika, moralitas dalam definisi
Franz Magnis.
Termasuk realisme dalam sastra Indonesia. Walau, tentu
saja realisme dalam sastra kita mengalir dari Eropa (Inggris, Belanda, Prancis
dan Rusia). Bahwa kata kunci dari sastra realisme selain moralitas adalah
masyarakat, dan simpul keduanya adalah etika masyarakat. Yaitu
pertanggungjawaban intelektual kepada masyarakat. Contoh terbaik sastra ini
adalah novel Oliver Twist, dari
Charles Dickens, gambaran reaksi atas dampak kemiskinan dari revolusi industri.
Lalu Les Miserables, dari Victor Hugo
lukisan di atas kenyataan sehari-hari sikap romantisme hadirnya kekuatan ilahi
dari manusia yang berwatak santo pada kemiskinan, di seberang kekuasaan
kebangsawanan yang berujung revolusi Perancis.
Di Indonesia, novel Manusia Bebas, karya
Soewarsih Djojopoespito sebagai gambaran idealisme aktivis
sosial tokoh Sulastri dan Sudarmo. Lalu realisme karya-karya Pramoedya Ananta
Toer, juga Idrus yang menerjemahkan realisme-naturalnya dalam Surabaya itu.
***
SAYANGNYA, di negeri ini
“konsepsi internasionalisme” sebagai
estetika modernis eropa yang dibawa kelompok Chairil Anwar menenggelamkan
marka realisme. Tanggungjawab individual, personal, kemudian ditambah dengan
eksistensialisme (Sartre) mengalir ke mana-mana, termasuk mempengaruhi
novel-novel. Novel-novel ekstase subjektif Iwan Simatupang dan Budi Darma
berada di garis ini.
Pada konteks sastra Indonesia, saya kira Gadis Tiyingtali berada di ruang ini
karena ia sebetulnya bukanlah realisme yang membawa moralitas atau etika
masyarakat tertentu, melainkan problem personal. Lebih tepatnya dokumentasi
personal, sehingga cenderung abai pada masyarakatnya, setidaknya pada
pembacanya. Gadis Tiyingtali sebangun
dengan Ziarah atau Olenka. Yang membedakannya pada Ziarah dan Olenka pengarang mengeksplorasi habis-habisan sampai pada hal yang
tidak mungkin atas sisi psikologis tokoh (imajinasi, persepsi, intuisi,
interpretasi) yang mengukuhkan sebagai novel yang bukan realis.
Sementara
pengarang Gadis Tiyingtali lebih
memilih mencatat detil-detil peristiwa dan disiplin realisme dalam pengertian
fakta 5 W + 1 H (peristiwa, sebab, akibat, manusia, tempat, waktu dan kronologi kejadian). Pengarang memilih keukeuh
berdiri di dua kaki: fakta dan personal. Barangkali ini hal baru. Jika realisme
dan internasionalisme hingga kini terus bertikai, lantas bagaimana dengan fakta
jurnalistik dan personal-individual?
Boleh jadi Yuleng bermaksud menampilkan aspek puitik (model Chairil Anwar)
ke dalam novel karyanya yang sudah mengurung diri dalam kelugasan bahasa
jurnalistik tersebut. Yang kemudian diperkuat dengan pilihan sub tema ‘misteri
lukisan mebanten.’ Bukankah esensi dari sebuah lukisan serupa dengan puisi:
sebagai sebuah karya?
Itulah sebabnya, saya kira, mengapa justru peluang untuk menggarap sisi
eksotis dari setting ekonomi, sosial, novel ini tidak digarap pengarang.
Madura. Surabaya. Argopura. Desa Tiyingtali. Ia tidak ingin terjebak dalam
dunia semacam Laskar Pelangi. Dugaan
saya oleh karena pengarang demikian memuja dan memitoskan lukisan, dan bukan
pemuja eksotisme alam atau menu masakan. Mitos itu begitu kuatnya, sehingga
terungkap bahwa semua lukisan memiliki misteri. Dengan kata lain, sebetulnya
pengarang menciderai kerangka pikirannya sendiri atas novel dari tokoh-tokoh
ciptaannya. Seolah pengarang menjadi bagian dari jaringan broker lukisan
bersama tokoh-tokoh ciptaannya.
Yang menarik bagi saya, selain usaha pengarang menggabungkan fakta
jurnalistik dan personal-individual ini, tak ada pretensi pengarang menjual
novel ini untuk diproduksi masal di pasar. Tanda-tanda itu tidak tampak dalam Gadis Tiyingtali. Yang nampak adalah ia
sedang berjuang menaklukkan tulisan jurnalistik paling menyentuh (feature—yang tentu saja untuk pembaca
media) untuk bisa mendokumentasikan
pengalaman manusia paling dalam: kepercayaan pada Tuhan, mitos, takdir,
keberuntungan serta kerinduannya pada masa depan atau masa lalu.
Sampai di sini novel ini berhasil, atau kisah ini berhasil sebagai sebuah
novel. Walaupun kurangnya mempertimbangkan kepentingan pembaca, ia mirip dengan
tabiat puisi: untuk dirinya sendiri. Lebih dari itu, jika pengarang sadar, sebagai
sebuah strategi, novel ini sekaligus model baru untuk menyihir para pembacanya
untuk mengagumi, memitoskan dan melambungkan harga jual karya tertentu—lukisan.
Cuma yang terakhir ini tentu saja: pikiran bisnis.[S.Jai]